Daren baru saja keluar dari ruang rapat bersama Executive Luna Star yang lain. Beberapa karyawan yang tadi ikut rapat bersama masih berada dalam ruangan, mereka memberi jalan bagi para Executive untuk keluar lebih dulu.
Hadley yang merupakan kepala Divisi Quality Control menghentikan langkah saat dia melihat CEO mereka. Dia tersenyum begitu mendapati kehadiran Sean di sana.
“Sepertinya Pak CEO baru saja kembali,” ucap Hadley pada rekan yang lain.
Sean Reviano berjalan cepat di lorong menuju ke arah kumpulan para Executive yang berdiri di depan ruang rapat.
Melihat sahabatnya sudah kembali, Daren tersenyum hendak menyapa, namun suasana berubah menegangkan begitu Sean berada di hadapan mereka, karena senyuman di wajah Daren lenyap seketika saat dua pukulan keras mendarat di pipi kiri sedang tubuhnya terhempas ke lantai.
Terdengar suara keributan hingga menarik perhatian karyawan Luna Star di sekitar.
Dario Leaman, merupakan Manager
Sean berlari di sepanjang lorong rumah sakit. Dia mengabaikan hardikan beberapa perawat. Di dalam kepalanya hanya ada Via dan bayi dalam kandungan. Ponsel Sean bergetar, dia melihat pesan yang dikirim Tya, memberi tahukan letak bangsal kamar perawatan.Melihat Sean yang hadir dari ujung lorong, Tya pun berdiri dari bangku dan menunggu hingga Sean tiba di dekatnya.“Apa yang terjadi?” tanya Sean dengan suara bergetar menahan emosional.Tya menatap Sean cemas, sedang tangannya saling meremas menyalurkan kegugupan.“Dia melihat majalah yang memuat wajahmu dengan seorang wanita. Seketika Via menjadi pucat dan aku mengantarnya pulang. Baru sebentar saja aku meninggalkan dia, saat aku mendengar teriakan dan mendapati Via dengan darah di sekitar tubuhnya.” Tya menangis mengingat kejadian itu. “Aku tidak pernah melihat darah sebanyak itu seumur hidup. Kupikir aku akan kehilangan Via saat itu juga.”Tubuh Sean terasa lema
Ruang perawatan Via terasa sempit. Sean berpikir untuk memindahkannya ke ruangan yang lebih besar, tetapi dia menolak untuk keluar dan meninggalkan Via sendirian, sehingga yang dilakukan Sean adalah duduk di sisi wanita itu sejak tadi.Sean mengelus pipi Via yang pucat. Dia juga mencium wajahnya yang terlelap.“Maaf kan aku, Baby,” bisik Sean dengan suara bergetar.Pria tangguh itu menundukan wajah, tanpa peduli air mata yang perlahan turun membasahi pipi hingga ke dagu. Dia menangis tanpa suara. Pada waktu yang terbuang karena kesalah pahaman dan juga keegoisannya sendiri.Andaikan saja sebelum pergi ke Blueberry dia menjelaskan gossip yang beredar, Via mungkin tidak berbaring di sana.“Maaf kan aku,” gumam Sean sembari menangkup kedua tangan Via dalam genggaman, lalu menciumi buku-buku jari yang terkulai tak berdaya.Sean bangkit dari kursi kemudian memeluk Via yang terbaring. Lama dia melilitkan kedua tangan pada t
Nicko Andreson mendekati Sean yang bersandar pada dinding di dekat halaman rumah sakit. Kedua pria itu menatap lampu yang menerangi jalan-jalan di sekitar halaman. Cukup lama keduanya diam dan memerhatikan beberapa orang yang lalu-lalang.Hingga pada akhirnya, Nicko mengeluarkan sebatang rokok dan menawarkan pada Sean yang ditolak mentah-mentah.Nicko mengedikan bahu dan membuang rokok itu ke tanah. Tidak satu pun dari pria-pria itu merokok, Nicko hanya basa-basi. Dia mendapatkan batangan nikotin dari salah satu bawahan yang dia bawa. Tadinya Nicko pikir, benda itu bisa mencairkan suasana.Setelah keheningan panjang, Nicko pun berkata, “Bawalah Via dari sini.” Dia memasukan tangan pada saku karena udara dingin mulai menggigit. “Aku memiliki Villa di sebuah pulau pribadi. Untuk sementara tinggal-lah di sana. Aku sudah menyediakan semua fasilitas yang Via butuhkan, termasuk tim medis yang siap sedia dua puluh empat jam.”Sean melirik
Suara ombak yang bergulung bagaikan musik di telinga, menarik Via semakin dalam ke mimpinya. Bibir ranum Via mengulas senyum, merasakan betapa indah mimpinya saat itu. Bahkan, samar-samar dia melihat Sean yang juga ikut berbaring di atas ranjang tepat di sebelah.Fokus Via semakin tajam. Lama dia memandang wajah pria yang dicinta. Hatinya membuncah bahagia, seolah hendak meledak dari dada. Dalam benak Via berdoa, mimpi itu bertahan lama, karena tabungan kerinduan yang terpendam membuat Via enggan menghadapi dunia nyata.Tangan Via melingkar di pinggang Sean yang tanpa sehelai benang. Pria itu hanya mengenakan celana pendek yang tertutup selimut sampai perut.Mimpi Via mulai terasa sangat nyata ketika dia meraba kulit Sean yang hangat dalam sentuhan. Dan juga, Via dapat mencium wangi familiar tubuh Sean yang maskulin. Dengan sadar Via mengendus dada telanjang Sean, tanpa malu menciumi permukaan kulit pria itu.Siapa yang dapat menyalahkannya dalam mimpi? D
Via menatap Sean yang sejak tadi menyuapinya. Dengan sabar pria itu menyendokan suapan demi suapan. Tidak peduli apakah Via lambat mengunyah, atau enggan menerima makanan yang disodorkan ke depan mulut. Sean tetap tersenyum dan membuat Via secara tidak sadar menghabiskan lebih dari setengah mangkuk sup.“Aku kenyang,” kata Via pada akhirnya, memalingkan wajah begitu Sean menyodorkan sendok di depan bibir.Sean menaruh sendok stainless itu kembali dalam mangkuk porselin dan menaruhnya di meja. Dia memberikan segelas air mineral yang Via terima tanpa protes.Kali ini, pria itu beralih pada buah di meja. Dia mengupas kulit buah apel yang tadi berada dalam nampan. Jemari Sean begitu ahli saat menguliti buah di tangan. Dia membelah buah itu dalam beberapa bagian, lalu menyuapi ke Via lagi.Lama Via menatap buah yang hanya berjarak beberapa inci di depan wajah, bahkan berkali-kali dia mencuri-curi lihat ke arah Sean yang duduk tenang tanpa sekali pu
“Kau ingin keluar?” tanya Sean setelah Dokter Timothy menyatakan bahwa kondisi Via membaik, tapi masih berada dalam pengawasan sehingga tidak boleh melakukan aktivitas yang berat.Cukup lama Via menimbang-nimbang sebelum akhirnya menerima.“Aku ingin mengganti piyama dengan sundress,” kata Via berusaha bangun.Dengan cepat Sean meneggendong Via hingga wanita itu terpekik kaget dan menatap Sean bingung ketika dia meletakan Via kembali ke atas tempat tidur.“Apa yang kau lakukan?”“Tetaplah di ranjang,” ucap Sean menggunakan intonasi tanpa bantahan, sembari berjalan menuju lemari mencari sundress berwarna kuning lemon. “Aku suka saat kau memakai warna ini,” katanya menunjukan sundress tersebut pada Via.Melihat sundress di tangan Sean, Via pun menggeleng tidak percaya. Bisa-bisanya pria itu berubah menjadi over protektif bahkan sampai melarang untuk berjalan ke lemari pakaian!
Sean berjalan melintasi pantai dan berpapasan dengan Gideon Rose.Mata kedua pria itu saling mengunci dan mereka hanya mengangguk bersamaan begitu saling melewati. Tidak ada kata yang terucap, hanya pandangan mengerti posisi maing-masing. Bahkan, Sean tidak menatap wanita dalam gendongan pria itu, karena dia juga tidak suka bila seorang pria asing melihat ke arah Via.Wajah Sean yang tadinya datar berubah menjadi lembut begitu berada dalam jarak pandang Via.“Kau lama menunggu?” tanya Sean membungkukan tubuh dan memberi kecupan di kening.“Tidak, aku baru saja berbicara dengan tetangga kita,” kata Via, menatap pasangan yang sudah menjauh.Pandangan Via kembali pada buku yang berada dalam genggaman Sean. Senyum wanita itu sirna begitu melihat buku yang Sean bawa.Melihat perubahan ekspresi Via yang tiba-tiba, Sean pun menatap buku itu ragu.“Ada apa? Kau tidak suka buku ini? Bukankah saat di rumah sakit ka
Beberapa Hari Lalu ….Hilda mencari keberadaan Sean dan Via di sekitar Summer Breeze, termasuk rumah sakit dan Sweety, tetapi dia tidak pernah menemukan keberadaan keduanya. Bahkan, ketika dia berkunjung ke toko roti hanya ada seorang wanita bernama Tya yang selalu melayani, membuat Hilda putus asa.Setelah pertengkaran dengan Gamal waktu lalu, Hilda memutuskan untuk tidak menghubungi pria itu lagi. Dia bekerja sendirian nyaris menyerah.“Apa kau pemilik tempat ini?” tanya Hilda pada Tya yang berada di balik konter.Sejak tadi wanita di hadapan Tya selalu menanyakan hal-hal yang menyinggung masalah pribadi, membuat dia tidak nyaman.“Tidak, aku hanya mengurus tempat ini saja,” jawab Tya masih bersikap ramah. “Apa ada pesanan yang lain?” tanya Tya mencoba mengubah topik.Hilda menatap sekitar, seperti sedang mencari sesuatu.“Tidak, itu saja,” kata Hilda pada akhirnya, membuat Tya