Lima tahun yang lalu aku meninggalkan Marina atas perintah dari papaku. Waktu itu usiaku masih muda dan aku tertarik pada gadis cantik dan ceria, namun dia memiliki masalah di keluarganya.
Marina gadis broken home. Dia tidak seperti gadis lainnya, bahkan saat di kampus pun dia kerap kali murung dan tidak banyak teman, kecuali Maya.Kedekatan kami dimulai ketika dia curhat tentang keadaan di rumahnya. Dia mengaku tidak betah di rumah. Papa dan mamanya kerap bertengkar, tentu saja alasannya karena Ardian doyan selingkuh.Pertengkaran pun semakin tidak terhindarkan, dan imbasnya Marina sedikit depresi. Wanita itu sering murung, bahkan lebih parahnya lagi, Marina sempat ingin mengakhiri hidupnya beberapa kali.Suatu malam, aku menemukan gadis itu tengah berteriak-teriak di club' malam milik Dimas—sahabatku. Atas saran dari sahabatku itu juga, kemudian aku membawanya ke apartemen milikku.Setelah itu, kedekatan kami semakin intens, dima"Siapa kalian dan apa urusan kalian denganku. Jika kalian butuh uang, aku bisa membayar dua kali lipat. Tapi kumohon lepaskan aku!!" teriakku frustasi apalagi mengingat bayangan Marina dan penderitaannya."Diam dan jangan banyak bicara!"Bugh!! Satu tonjokan mendarat di pelipis yang sebelumnya berdarah. Aku lunglai dengan pandangan mengabur.Mereka terus membawaku ke jalanan sepi. Saat ada kesempatan, berbarengan dengan dua mobil yang sedang patroli, kulirik salah satu orang yang disibukkan dengan ponsel. Kuduga dia tengah bicara dengan Bian. Kulihat mobil patroli semakin dekat jaraknya. Dengan cepat aku melingkarkan tangan di leher seorang sopir, kemudian menekan klakson berkali-kali, hingga mobil tidak bisa menjaga keseimbangan dan akhirnya tersungkur ke parit.Para polisi yang menyadari segera membantu dan membawaku keluar, lalu menangkap orang-orang itu dan membawanya ke mobil tahanan. Saat itu aku meminta diantarkan ke rumah Marina.Beruntung hal yang kutakutkan itu b
Wajah Ardian menggelap seiring dengan pernyataan yang keluar dari bibirku. Biar saja dia merasakan buah akibat dari kesalahannya, karena tidak becus menjaga putri satu-satunya.Marina, sekarang dia terluka karena sebab akibat orang-orang di sekitarnya.Aku sendiri tidak main-main dengan tekadku. Aku benar-benar aku memasukkan mereka ke penjara, sampai mereka menyesali apa yang sudah mereka lakukan pada Marina."Erick, kau tidak bisa melakukan hal ini pada kami! Kami orang tua Marina!" bentaknya emosi.Beni dan Tommy menahan Ardian. Pria itu memburu dan terus mendekat. Aku tidak peduli, hanya saja Marisa terlihat murung dan sedih.Wanita itu menahan suaminya agar tidak membuat keributan. Masih untung tak kuberi pelajaran. Bukannya aku kejam, tapi mereka harus diingatkan artinya perlindungan, terutama pada putrinya. Bukankah sebentar lagi mereka tua dan renta, lalu siapa yang akan mengurus dan memperhatikan mereka kalau bukan anak dan cucunya.Aku kembali ke kamar untuk melihat Richi
"Aku minta restu buat nikahin Marina, Ma.""Menikah? Jangan main-main, Erick. Bukankah wanita itu sedang hamil muda dan barusaja bercerai?" Mama begitu terkejut ketika aku sampaikan perihal keinginanku untuk menghalalkan Marina lewat sambungan telepon."Iya Ma, aku ingin segera menikahinya, kalau bisa besok sekalian. Aku ingin melindungi wanita itu, terlebih sekarang dia sudah keguguran dan tak punya siapapun untuk melindunginya," tuturku pada wanita yang sudah melahirkanku ke dunia."Kalau begitu Mama bisa apa selain ikut mendoakan dan memohon yang terbaik untukmu. Jangan lupa bawa dia ke italy kalau bisa. Mama yakin pikirannya akan sedikit lebih tenang, mengingat di sini tidak sepanas masalah yang dihadapi di negaranya.""Aku berterima kasih dan lega karena Mama mendukung keputusanku ini. Makasih, ya, Ma.""Sama-sama, Erick. Yang penting kalian bahagia dan kamu melindunginya."Mama memang tinggal di Italy sejak 3 tahun yang lalu, tepatnya setelah Papa meninggal dunia. Mama tida
"Aku minta restu buat nikahin Marina, Ma.""Menikah? Jangan main-main, Erick. Bukankah wanita itu sedang hamil muda dan barusaja bercerai?" Mama begitu terkejut ketika aku sampaikan perihal keinginanku untuk menghalalkan Marina lewat sambungan telepon. Kalau aku ada di depannya bisa kupastikan seperti apa wajahnya sekarang."Iya Ma, aku ingin segera menikahinya, kalau bisa besok sekalian. Aku ingin melindungi wanita itu, terlebih sekarang dia sudah keguguran dan tak punya siapapun untuk melindunginya," tuturku pada wanita yang sudah melahirkanku ke dunia."Kalau begitu Mama bisa apa selain ikut mendoakan dan memohon yang terbaik untukmu. Jangan lupa bawa dia ke italy kalau bisa. Mama yakin pikirannya akan sedikit lebih tenang, mengingat di sini tidak sepanas masalah yang dihadapi di negaranya.""Aku berterima kasih dan lega karena Mama mendukung keputusanku ini. Makasih, ya, Ma.""Sama-sama, Erick. Yang penting kalian bahagia dan kamu melindunginya."Mama memang tinggal di Italy seja
Papa tak bicara lagi setelah mendengar apa yang dikatakan oleh Erick dan seorang pria yang kuduga sebagai sahabatnya. Satu wanita yang berdiri di sampingnya kemudian mendekat dan membantuku untuk duduk."Marina, akhirnya kita bertemu juga. Sebagai perwakilan dari Erick anggap saja kami ini kerabatmu, karena suamiku dan Erick sudah bersahabat sejak remaja. Dan sekarang aku ingin bertanya padamu. Kamu mau 'kan menikah dengan Erick sekarang? Ya, meskipun cuma akad, tapi setelah kamu sembuh aku yakin Erick akan meresmikan pernikahan kalian." Suara wanita yang belum aku ketahui namanya itu terdengar lembut. Meski tidak berhijab, namun dari tutur kata dan aura wajahnya aku yakin dia wanita yang cukup baik.Tatapanku kemudian mengedar pada Erick, lalu menoleh pada Papa yang rahangnya mengeras, tapi tak berdaya untuk mencegah. Terakhir pada Mama yang mengangguk pelan seolah-olah merestui akad yang akan dilangsungkan dan hanya tinggal mendengar putusanku saja."Marin, jika kamu masih membut
Kujalani hariku dengan tenang tanpa gangguan. Menyongsong masa depan dengan lebih baik lagi setelah memaafkan dan berdamai dengan masa lalu. Ada Erick dan Richie yang harus diperhatikan sekarang, disamping dengan kesibukanku menjadi model pakaian muslimah.Apakah pikiranku baik-baik saja setelah apa yang terjadi, nyatanya tidak. Aku bisa melewati semuanya setelah berkonsultasi dengan psikolog dan lebih mendekatkan diri pada ilahi. Dan ternyata ikhlas adalah kunci semuanya.“Marin, Mas mau pergi ke kantor sebentar untuk mengurusi beberapa kerajaan, sekalian mengantar Richie ke sekolahnya. Kamu tinggal di rumah, aja, ya. Nanti sore baru siap-siap, kita belanja untuk persiapan ke Italy,” ucap Erick pagi-pagi saat kami sarapan.“Iya, Mas. Hati-hati.” Aku mengiyakan, dan melepas kepergian keduanya sambil mengantarnya ke halaman. Seharian berdiam di rumah membuatku bosan. Iseng, aku masuk ke ruang kerja suamiku dan membongkar beberapa barang yang dibawa dari apartemen. Saking sibukn
Mobil melaju dengan kecepatan sedang. Tak biasanya Erick yang ceria tampak menjawab beberapa pertanyaan dari Richie dengan singkat. Kendati mengulas senyum, tapi jelas pikirannya tidak baik-baik saja.Masuk ke halaman rumah, sudah ada mobil putih terparkir di sana. Sepertinya Mama datang berkunjung. Tapi kenapa beliau tidak memberitahuku dulu?Lantas kubuka ponsel untuk mencari sesuatu, barangkali ada panggilan dari mama. Namun setelah melihat log panggilan, tidak ada panggilan terakhir dari wanita itu.Tumben, tidak biasanya Mama datang tanpa mengabari lebih dulu, batinku bicara sendiri.“Di mana Mamaku, Mbak?” tanyaku pada Mbak Ani yang mengangkat cangkir dari ruang tamu untuk dibawa ke dapur, yang sepertinya bekas Mama minum.“Bu Marisa mengeluh sakit tadi. Makanya minta istirahat. Jadi Saya tunjukkan ke kamar tamu, Bu,” ujarnya sopan.“Oh, oke. Terima kasih. Tolong bawa barang-barang belanjaan di dalam mobil, ya, aku mau bicara dengan Mama,” ucapku yang dibalas lagi dengan
Siapa yang tidak khawatir melihat keadaan Mama yang semakin lama semakin memprihatinkan. Entah karena terkejut atau saking sakit hatinya, Mama sampai-sampai tidak bisa berkata-kata. Lalu akhirnya, atas saran dari Maya kami membawa Mama ke rumah sakit untuk diperiksa lebih lanjut.Setelah diperiksa menyeluruh, Mama terpaksa di opname dan diberi obat penenang karena gelisah dan terus-terusan histeris.Beruntung Erick memesan kamar VIP untuk Mama bisa istirahat, ada bed tambahan juga untuk tidur di sana.“Tidurlah di ranjang Mas, ini sudah hampir jam sebelas malam. Mas pasti kecapean,” ucapku pada Erick. Kasihan, dia yang paling direpotkan mengurus segala sesuatunya. Dari mulai membawa Mama ke rumah sakit sampai mendaftar dan segala tetek bengeknya.“Bukan hanya Mas yang tidur, tapi kamu juga. Mas takut keadaanmu juga drop, jadi sebaiknya kamu istirahat sekarang. Biar Mas tidur di sofa,” jelas Erick saat aku menyuruhnya untuk tidur di ranjang. Karena esok hari dia harus bekerja,