"Kenapa harus ada adegan kayak gini sih," kesalku pada Doni yang menyetujui adegan mesra bersama lawan mainku—Sheila, dalam sinetron striping yang kugeluti hampir dua tahun ini.
"Apa salahnya sih? Ini 'kan cuma akting. Kamu harus profesional, Bian. Toh si Sheila juga nggak masalah beradegan kayak gitu.""Dia nggak masalah?" Aku yang heran menatap Doni yang mengangguk.Pasalnya adegan kissing itu tidak ada dalam kontrak kerja sebelumnya. Tapi entah kenapa sutradara malah menyarankan agar ada adegan itu untuk lebih mendekatkan kemistri antara aku dan Sheila. Si4l!Bukan apa-apa. Aku hanya tidak ingin memberi contoh yang buruk untuk para penikmat tontonan, termasuk aku juga tidak mau menyakiti hati istriku.Marina pasti akan cemburu melihat adegan mesra antara aku dengan wanita lain itu, terlebih usianya beberapa tahun lebih muda darinya."Ayolah, Bi. Kamu harus profesional dan terima apapun arahan dari sutrKesal, marah, frustasi, membuatku tidak bisa berpikir jernih menghadapi Marina yang terlanjur murka. Maka kuputuskan untuk menemui papa di kantornya. Akan kugunakan rahasia papa untuk menekan pria itu demi membujuk putrinya yang keras kepala.Melangkah dengan cepat, tak kutemui sekretaris yang biasa ada di meja kerjanya. Berpikir hal itu terjadi, aku menyunggingkan senyum dan buru-buru masuk ke ruangan.Sudah kuduga, papa dan wanita itu sedang memadu kasih. Tua bangka, beradegan mesum tidak mengenal tempat dan waktu.Pria yang tengah bermain-main dengan sekretarisnya itu langsung terkejut dan membenarkan dasinya, ketika aku menerobos masuk ke dalam ruangan tempatnya kerja sekaligus tempat bermain plus-plusnya."Bian, tak sopan kamu main masuk masuk aja ke ruangan orang. Nggak bisa apa ketuk pintu dulu."Suara papa yang serak karena tergoda oleh si wanita yang juga tengah membenarkan dressnya itu, kentara terlihat.
Aku menyambar beberapa dokumen berwarna coklat di atas meja. Kepalaku semakin berat saja melihat nama panggilan yang tertera di atasnya. Marina, selain dia melaporkanku ke pihak kepolisian, dia juga langsung mengajukan gugatan perceraian.Doni benar. Sial4n wanita itu. Bagaimana dia bisa bertindak cepat tanpa memberi kesempatan untukku.Kulempar kertas itu hingga berserakan ke ujung ruangan. Tak peduli. Yang kurasakan kini hanyalah beban yang bertumpu di atas kepala.Arghhh … rasanya seperti ada besi ribuan ton yang menimpa di atas hingga membuatku sesak dan tak berdaya. Sedangkan aku memiliki emosi dan keegoisan tersendiri, hingga ingin mendebat dan melawan semuanya.Tak sampai di sana, sekelumit masalahku datang. Kini ditambah dengan Sheila yang terus-terusan membuatku jemu. Wanita yang tidak memiliki mata pencaharian sama sepertiku, karena di blok dari berbagai kegiatan bahkan syuting dan sebagainya itu, semakin urin
"Wah, hebat sekali bumil yang satu ini. Kamu berani bicara di depan publik, lalu mengakui siapa ayah yang ada dalam rahimmu. Aku benar-benar salut padamu, Marin," ucap Erick saat aku meminta bertemu dengannya di sebuah cafe yang cukup terjaga privasinya. Bukan apa-apa, aku hanya merasa bersalah pada orang yang selama ini selalu mendampingiku. Semoga Erick tidak tersinggung saat aku menyebut mantan suamiku dan kembali mengaitkannya dengan anak yang ada dalam rahimku."Entah itu sindiran atau kau benar-benar mengagumiku," balasku mengulas senyum sambil duduk di depannya.Erick terkekeh menampilkan gigi-giginya yang bersih dan rapi."Jelas sebenarnya aku cemburu. Bahkan setelah ketuk palu, Bian masih saja dikait-kaitkan denganmu.""Lalu aku harus bagaimana, hm? Masa iya aku mengakui kalau ini adalah anakmu. Yang ada aku akan semakin dibully habis-habisan oleh para netizen yang maha benar. Lagipula mana mungkin aku berbohong untuk menjatuh
Aku mengangguk dengan pelan, "seperti yang Papa lihat di pemberitaan itu. Saat itu usia kandunganku 5 minggu, dan sekarang sudah berusia hampir 3 bulan."Brakkk!! Papa memukul meja. "Dan keegoisanmu itu telah menghancurkan ikatan pernikahanmu dengan Bian. Bener-bener anak tebal! Setidaknya tidak bisakah sekali saja kau menuruti permintaan papa waktu itu untuk tidak meninggalkan suamimu.""Tidak setelah dia berkhianat, Pa!!" balasku tak kalah tinggi, "lagi pula apa yang harus kulakukan waktu itu?!""Maafkan dia walau sekali saja. Lihat keputusan yang kau buat ini, menjadi bumerang untuk dirimu sendiri sekarang. Kau menjadi janda, dan kau hamil tanpa seorang suami, Marina!!" ucap Papa jengkel."Lalu apa masalahnya, Pa? Toh aku tidak meminta bantuan Papa untuk memberiku nafkah buat Richie. Aku bisa mencari uang sendiri. Aku sehat, dan aku tidak terbebani lagi dengan apapun. Aku hanya harus membesarkan anak ini sampai lahir dan menikah
Bunyi klakson terus bersahutan, setelah aku membanting ponsel dan membuatnya retak hingga hancur berantakan. Gelisah, aku mondar-mandir di dalam kamar dengan pikiran semakin kalut. Bian, kenapa pria itu tidak menyerah saja dan pulang, lalu berhenti mengharapkan sesuatu yang mustahil kulakukan.Kesal, dan tidak memiliki usaha untuk mencegah kenekatan pria itu, bersamaan dengan pintu yang diketuk dari luar."Bu Marina, sepertinya orang-orang itu tidak akan pergi sebelum kamu mengizinkan untuk membuka gerbang. Perlukah kami mengusirnya dengan cara yang kasar?" Beni salah satu bodyguard yang dikirim oleh Erick bertanya. Buru-buru aku membuka pintu dan menatap cemas pada pria yang selalu menampilkan raut wajah serius tersebut."Apa tidak masalah kalau kita melakukan kekerasan?""Justru itu masalahnya. Entah atas perintah siapa, tapi beberapa mobil wartawan juga tampak sedang menunggu. Mereka bahkan secara terang-terangan meliput ke
"Bagaimana Marin, apa kau sudah memikirkannya? Jujur, aku tidak memiliki banyak waktu karena orang-orangku sudah siap untuk membawanya ke akhirat. Kau tinggal menyetujuinya saja, aku bahkan sudah membawa penghulu dan orang tua kita, juga bodyguardmu sebagai saksi malam ini."Tanganku mengepal. Emosiku meluap tanpa tidak bisa kutahan lagi. "Bajing4n, badeb4h!! Apa yang kau lakukan pada Erick, hah!! Aku bersumpah tidak akan pernah memaafkanmu, seandainya kau melakukan hal buruk padanya. Bahkan setetes darahnya yang jatuh, aku akan melaknatmu dan aku tidak akan pernah memaafkanmu!!" Aku berdiri dan memukul-mukul dadanya. Sedangkan Mas Bian berusaha menahan tangan dan membawaku ke pelukannya. Aku meronta, mencakar dan berusaha melepaskan diri.Beni, hajar pria itu dan jangan biarkan dia hidup lebih lama lagi! Ingin aku teriakan kata itu dan memerintah anak buah Erick. Tapi yang ada, pasti anak buah Mas Bian bergerak leb
Lima tahun yang lalu aku meninggalkan Marina atas perintah dari papaku. Waktu itu usiaku masih muda dan aku tertarik pada gadis cantik dan ceria, namun dia memiliki masalah di keluarganya. Marina gadis broken home. Dia tidak seperti gadis lainnya, bahkan saat di kampus pun dia kerap kali murung dan tidak banyak teman, kecuali Maya.Kedekatan kami dimulai ketika dia curhat tentang keadaan di rumahnya. Dia mengaku tidak betah di rumah. Papa dan mamanya kerap bertengkar, tentu saja alasannya karena Ardian doyan selingkuh. Pertengkaran pun semakin tidak terhindarkan, dan imbasnya Marina sedikit depresi. Wanita itu sering murung, bahkan lebih parahnya lagi, Marina sempat ingin mengakhiri hidupnya beberapa kali. Suatu malam, aku menemukan gadis itu tengah berteriak-teriak di club' malam milik Dimas—sahabatku. Atas saran dari sahabatku itu juga, kemudian aku membawanya ke apartemen milikku.Setelah itu, kedekatan kami semakin intens, dima
"Siapa kalian dan apa urusan kalian denganku. Jika kalian butuh uang, aku bisa membayar dua kali lipat. Tapi kumohon lepaskan aku!!" teriakku frustasi apalagi mengingat bayangan Marina dan penderitaannya."Diam dan jangan banyak bicara!"Bugh!! Satu tonjokan mendarat di pelipis yang sebelumnya berdarah. Aku lunglai dengan pandangan mengabur.Mereka terus membawaku ke jalanan sepi. Saat ada kesempatan, berbarengan dengan dua mobil yang sedang patroli, kulirik salah satu orang yang disibukkan dengan ponsel. Kuduga dia tengah bicara dengan Bian. Kulihat mobil patroli semakin dekat jaraknya. Dengan cepat aku melingkarkan tangan di leher seorang sopir, kemudian menekan klakson berkali-kali, hingga mobil tidak bisa menjaga keseimbangan dan akhirnya tersungkur ke parit.Para polisi yang menyadari segera membantu dan membawaku keluar, lalu menangkap orang-orang itu dan membawanya ke mobil tahanan. Saat itu aku meminta diantarkan ke rumah Marina.Beruntung hal yang kutakutkan itu b
Telepon itu datang seperti petir di siang bolong. Baru saja aku duduk di ruang kerja, mencoba melupakan pertengkaran sengit dengan Sabrina pagi tadi. Suara Papa mertua terdengar dingin, hampir seperti tamparan di wajahku."Ardian, apa yang sudah kau lakukan pada putriku?”“Memang apalagi yang aku lakukan padanya? Kenapa dia mengadu sesuatu?” Cukup, aku sudah muak dengan semua sandiwara ini. Rasanya aku tidak perlu berpura-pura menjadi pria baik di depan mertuaku. Aku janji setelah ini akan menceraikan wanita itu, tak peduli dengan kehamilannya. Ya, sebuntu itu memang otakku saat ini. Banyaknya masalah pertengkaran juga sikap Sabrina yang kekanakan membuatku mengambil pilihan ini. “Apa yang kau bicarakan itu? Saat ini Sabrina kecelakaan. Dia di rumah sakit sekarang. Segera datang atau terpaksa aku melaporkanmu ke kantor polisi."“Apa?! Bagaimana mungkin itu terjadi, Pa?”“Heh, apakah pikir aku sedang membuat pura-pura? Di saat seperti ini keselamatan putriku yang terpenting! Dia sed
Hati dan pikiran Ardian terlihat lebih tenang. Dia keluar setelah membersihkan diri dan memakai kimono mandi. Mengambil pakaian dari dalam lemari, Ardian mengabaikan ponselnya yang terus bergetar. Nama Sabrina muncul sesekali sebelum layar itu kembali menghitam dan nada deringnya mati. “Sesekali kamu harus dibiarkan? Agar kamu tahu di mana posisimu, Sab.” Ardian bicara seorang diri seolah-olah Sabrina sedang berdiri memohon padanya. Alih-alih memikirkan wanitanya, pria itu membaringkan diri dan tidur menyamping, mengabaikan perutnya yang sedikit lapar. Entah sudah jam berapa saat dia tertidur lelap, tiba-tiba bayangan Marissa dan Marina hadir dalam mimpinya. Keduanya sedang bergandengan tangan. Senyumnya berseri. Anak dan mantan istrinya itu sedang memainkan salju dan berlarian diantara tumpukan putih yang memanjakan mata. Keduanya tampak berseri dengan wajah penuh kebahagiaan. Ah, kenapa aku memimpikan mereka? Tiba-tiba Ardian bangun dan mengedarkan pandangan ke sekitar.
Tak jauh beda dengan kehidupan Sheila yang penuh liku, kehidupan Ardian juga tak jauh berbeda.Sejak dia digugat cerai oleh Marisa disertai paksaan dari Marina, Ardian berpikir kalau kehidupannya akan lebih bebas dan tenang. Masalah pernikahannya tidak perlu lagi disembunyikan. Ardian merasa hidupnya akan baik-baik saja meski ditinggalkan oleh anak dan istrinya. Lagipula apa yang dia dapatkan dari Marisa? Tidak ada. Lalu dia tidak harus dipusingkan dengan urusan nafkah batinnya, yang akan selalu terpenuhi dari wanita muda yang dinikahinya di bawah umur dengan cara siri tentu saja.Tapi ternyata hal itu tak seindah angan-angan dan pikirannya. Nyatanya menikahi wanita di bawah umur, yang jelas-jelas semuanya masih belum matang, membuat Ardian tak ubahnya seperti mengasuh anak kecil yang demen merengek dan manja. Lebih dari itu, kantongnya lebih sering bolong karena sering dimintai untuk membeli barang-barang mahal yang tidak jelas gunanya.Seperti siang ini contohnya. Tiba-tiba Sabri
Sheila menetapnya kecewa. Dia mengambil minuman kaleng lalu meneguknya beberapa kali. Masih dengan perasaan kesal wanita itu bertanya. "Kenapa kamu harus lakukan hal itu, Son? Bukannya kita pernah saling membantu? Lagi pula aku tidak memiliki masalah denganmu." Ya Sheila ingat, saat dirinya masih bersama Bian, Sony bersikap layaknya seperti anjing yang setia. Tapi lihatlah sekarang, bahkan kesetiaan itu tidak ada arti setelah hidupnya hancur.Sony menjawab datar. "Sorry, Shei. Aku cuma menjalankan perintah. Pak Imam yang menyuruhku mengadu ke Bian. Aku juga butuh uang, Shei. Lagian, hidup ini keras. Aku butuh uang banyak untuk bertahan hidup. Memangnya mau sampai kapan aku menunggu kamu naik daun lagi? Hmm, rasanya itu mustahil sekarang."Sheila menatap Sony dengan perasaan campur aduk, antara marah, kecewa, dan sedih. Dia merasa semakin terpojok dalam situasi yang semakin tidak terkendali. Terlebih ternyata Imam lah pelakunya. Tapi kenapa pria itu mengadukan dirinya pada Bian
Beberapa pria yang ditugaskan oleh Imam tiba di unit apartemen Sheila. Mereka masuk dengan suara tawa keras dan tatapan mengejek. Ketiganya langsung menuju ke ruang tamu di mana Sheila sudah menunggu dengan perasaan kesal tentu saja. "Wow, jadi ini Sheila yang dulu artis itu? Gak nyangka sekarang lo bisa ngelayanin kita, Sheila."Wanita yang namanya disebut itu buru-buru berdiri dengan wajah kesal. Bibirnya bahkan tidak bisa protes atas ledekan yang didengarnya. "Dulu lo itu sombong banget, ya? Sekarang lihat deh, bagaimana mungkin kita bisa nikmatin malam sama lo," sambar pria lain dengan tangan membawa 2 botol minuman. Sheila merasakan amarah dan penghinaan yang mendalam, tapi dia tahu dia tidak punya pilihan lain selain menjalani peran ini. Dia mencoba tersenyum, meskipun hatinya hancur. "Silakan duduk, apa yang bisa aku lakukan untuk kalian?" "Yang kita pengen, tentu saja lo bikin kita seneng malam ini. Tapi wajahnya jangan setengah hati gitu, dong. Lo nggak mau sampai ki
Imam melempar bantal ke wajah Sheila yang terlelap tidur.Dia berkacak pinggang dengan wajah mengeras. "Bangun, Sheila! Bangun sekarang juga!"Sheila terbangun dengan kaget, matanya masih setengah terbuka saat dia melihat wajah marah Imam di depannya. Tatapan mata Imam terlihat tajam dan penuh amarah.Sebaliknya, Imam melihat penampilan wanita itu yang acak-acakan dan dia tidak senang saat melihatnya. "Cepat pergi ke dapur dan siapkan sarapan pagi. Dan jangan lupa, kau harus tampil cantik ketika ada di depanku! Aku tak mau kamu kelihatan seperti pembantu!"Sheila mengangguk lemah, menahan rasa sakit dan kelelahan yang masih terasa di seluruh tubuhnya. Dia bangkit dari tempat tidur, mengenakan pakaian dengan tergesa-gesa, dan berjalan menuju dapur.Sambil menyiapkan sarapan, Sheila mencoba menenangkan pikirannya. Dia tahu bahwa dia harus tampil sempurna di depan Imam, meskipun hatinya memberontak. ‘Ck, padahal semalam dia berbuat manis dan memperlakukan aku dengan baik. Tapi sek
Badan Sheila terasa remuk setelah hampir semalaman melayani Imam. Dengan hati yang berat, dia mencoba mengabaikan rasa lelah yang terus menghampirinya. Setelah Imam terlelap, Sheila berjalan pelan ke arah balkon. Dia membuka pintu kaca dan melangkah keluar, merasakan angin malam yang sejuk menyentuh kulitnya.Dia menatap langit malam yang dipenuhi bintang, mencoba mencari ketenangan dalam gemerlap cahaya di atas. Namun, pikirannya terus melayang pada Bian, orang yang pernah dia cintai dan kini merasa telah mengkhianati saat makin jauh ke jurang kenistaan.Sheila berbisik pada dirinya sendiri. "Maaf Mas Bian, aku terpaksa jadi wanita seperti ini setelah aku tak punya pilihan lain ..."Sheila menghela nafas panjang. Meskipun dia merasa bersalah, ada bagian dalam dirinya yang menikmati kemewahan dan kenyamanan yang kini dia miliki. Kehidupan yang jauh dari kerasnya dunia yang dulu dia kenal. Tapi hidup harus berjalan terus dan dia sudah dengan pilihannya sendiri.Sheila membiarkan pi
“Kau tenang aja ini tidak jauh dengan profesimu sekarang. Bukan sebagai artis, tapi sebagai wanita yang menemaniku di apartemen. Kau akan mendapatkan tempat tinggal yang layak dan penghasilan yang cukup besar. Bagaimana? Bukankah kau tidak memiliki alasan untuk menolak permintaanku? Lagi pula lihat hidupmu sekarang. Marina sudah hidup dengan bahagia bersama suami baru dan anaknya. Mereka bahkan liburan ke luar negeri dan menghabiskan waktu dengan kebahagiaan. Bian juga berada di dalam penjara dan entah kapan akan keluar. Tapi aku yakin itu masih di atas 5 tahun. Sementara itu, kebutuhanmu sangat banyak setelah ditipu oleh manajer dan orang tuamu. Bukankah ada baiknya kau menerima tawaranku saat ini?"Imam menata penuh minat pada Sheila yang sedang mematung dan memikirkan tawarannya. Terus-terang dia sudah tidak tahan saat melihat wanita itu dan penampilan sederhananya. Dia selalu tertarik pada wanita-wanita cantik dan selebritas yang selalu berpenampilan menarik. Dengan uangnya nan
Lila dan Sheila berdiri di depan klub malam yang penuh dengan lampu neon warna-warni. Suara musik yang keras menggema ke luar, membuat suasana malam itu terasa hidup. Lila menatap Sheila dengan ragu.Lila bertanya ke samping. "Lo yakin mau kerja di sini, Shei? Ini bukan tempat yang gampang lho, apalagi lo pernah menjadi artis. Gue cuma takut aja mereka bakal ngolok-ngolok elo dan ngata-ngatain elo."Sheila menelan ludah. Dia mencoba untuk mencoba menguatkan diri. Ini adalah pilihan hidupnya dan dia tidak punya pilihan lain kecuali bekerja di tempat mengerikan itu. "Iya, Li. Gue butuh kerjaan dan gue udah gak punya pilihan lain. Sebelumnya makasih ya, udah mau ngajak gue ke tempat ini."Lila mengangguk pelan, lalu mengajak Sheila masuk ke dalam klub. Begitu mereka melewati pintu masuk, suara musik semakin keras dan lampu-lampu semakin terang, menciptakan suasana yang meriah tapi juga agak menakutkan buat yang gak biasa.Di dalam klub, suasana hidup banget. Lantai dansa penuh sam