Sebuah pusat perbelanjaan menjadi tujuan Sean kali ini. Sejak keluar dari mobil, lelaki itu tak sekali pun melepaskan genggamannya dari tangan Salwa. Entah mengapa jiwa posesifnya kian menjadi-jadi meski tanpa ia sadari. Berjalan bergandengan, tetapi raut wajahnya tetap dingin dengan sorot mata yang menatap lurus ke depan.Apakah pasangan itu tampak romantis?Tentu saja tidak. Salwa merasa seperti sedang diseret-seret oleh Sean. Langkah lebar dan cepat lelaki itu sama sekali tak selaras dengan langkah kecil Salwa sehingga perempuan itu tampak kesulitan mengimbangi langkah lebar Sean yang sedari tadi menggandeng tangannya."Tuan, bisakah Tuan memelankan jalannya? Apakah kita sedang dikejar-kejar penagih hutang?" Salwa bertanya dengan napas memburu dan sedikit ngos-ngosan, mencoba menyadarkan Sean bahwa dirinya kewalahan mengimbangi langkah lelaki itu yang seperti sedang dikejar hantu."Kau terlalu lamban." Helaan napas terdengar dari bibir lelaki itu, menatap kesal ke arah Salwa. "Ayo,
Suasana berubah tegang, tatapan semua orang tak beralih dari insiden itu. Salwa terlihat pucat pasi, melihat bagaimana seorang Sean Arthur ternyata mampu dan tega memukul seorang wanita. Dia menelan ludah, tubuhnya gemetar.Apakah jika dirinya melakukan kesalahan, lelaki itu akan memukulnya juga?Salwa mendadak takut dengan suaminya. Rasa takutnya melebihi wanita yang mendapat tamparan keras dari lelaki itu. Sekelebat bayangan lelaki yang pernah dihajar oleh Sean saat itu terbayang kembali di kepalanya, membuat ia merasa sedang dalam bahaya hingga memundurkan langkahnya dua kali. Peluh tiba-tiba membanjiri pelipis Salwa, tubuhnya benar-benar bergetar karena takut.Sangat berbeda dengan kondisi Salwa, wanita yang kini sedang mengusap pipinya yang memanas tersebut justru berusaha mendekati Sean. Ia menangis tersedu, menatap Sean penuh permohonan, berharap belas kasihan dari lelaki itu."Tuan, kenapa Tuan memukul saya? Saya korbannya di sini. Dan wanita itu ... dialah yang harus disalahk
Hening seakan tercipta dengan sendirinya ketika Sean dan Salwa sedang berada di dalam mobil yang sama. Perkataan Salwa saat berada di ruang perawatan masih terngiang di kepala lelaki itu. Apakah dia akan menceriakan Salwa? Apakah dia akan menikah lagi dan memutuskan Salwa untuk tetap menjadi pelayannya?Sean tidak mengerti akan apa yang harus ia lakukan ke depannya. Dia hanya menjalani apa yang ada di depan mata. Apalagi bersama Salwa masih sangat menyenangkan baginya.Sean belum merasa bosan meski setiap hari bertemu dengan Salwa. Apalagi bercinta dengan perempuan itu tentu masih sangat menyenangkan. Dia belum berniat mencari partner lain karena masih menginginkan wanita itu. Aroma alami tubuh Salwa terasa mampu memikatnya hingga ia tak pernah bisa jauh dari perempuan itu, mendekapnya erat ketika tidur.Apalagi semenjak Salwa berada dalam kehidupannya, Sean sudah tidak memusingkan lagi mencari wanita untuk melepaskan hasrat. Dia menyadari jika tawaran menikah dan tinggal dalam satu a
Malam itu suasana terlihat gaduh. Suara sirene mobil polisi juga pemadam kebakaran terdengar mendominasi. Pun dengan suara kenalpot kendaraan bermotor menambah kebisingan di area itu. Debu-debu berterbangan, kepulan asap dari ledakan mobil yang terbakar menambah perih mata memandang, pun dengan napas yang akan sesak karena terpaksa menghirup karbon monoksida dari bekas kebakaran itu.Dersik angin malam yang menggoyangkan dedaunan di ranting-ranting pohon, menggugurkan beberapa di antaranya, lantas menari seirama dengan gerakan angin itu membawanya ke mana. Mereka berterbangan di atas dua tubuh yang tergeletak di sana.Salwa tak sadarkan diri dengan tubuh memeluk Sean Arthur. Matanya sempat berkunang-kunang karena kepalanya juga telah terbentur aspal. Napasnya kian sesak setelah tanpa sengaja menghirup udara bekas asap ledakan. Dia memejamkan mata setelah merasakan sesak di dada dengan air mata berderai membasahi wajah.***Seorang pria berwajah oriental tampak sedang duduk di kursi ber
"Siramkan air ke wajahnya!"Abust memerintahkan anak buahnya dengan wajah dingin serta aura gelap yang menyelimuti. Lelaki itu tengah duduk di kursi dengan menyilangkan kaki, sementara di depannya Salwa yang belum sadarkan diri didudukkan di lantai begitu saja dengan punggung disandarkan ke dinding.Salwa diletakkan di sebuah penjara bawah tanah yang berada di bangunan markas rahasia yang keberadaannya hanya diketahui oleh Leon dan Abust. Sebuah ruangan berukuran dua kali dua meter menjadi tempat tinggal perempuan itu saat ini.Pagi mulai menjelang. Semburat cahaya yang tampak di kaki langit memberikan jalan bagi matahari untuk naik ke peraduannya guna mempersiapkan tugasnya untuk menerangi bumi yang sebelumnya telah diselimuti gelapnya malam.Rasa penasaran dengan sosok Salwa membuat Abust tak sabar menunggu perempuan itu sadar. Lelaki itu ingin segera mengetahui dari mulut wanita itu, menginterogasinya dengan jelas, siapa sebenarnya dia. Karena sangat tidak mungkin jika seorang Sean
Sunyi yang sebelumnya tercipta berubah dipenuhi teror dan ketegangan. Salwa semakin mencengkeram selimutnya, membalut tubuh polos tak berpenghalang itu agar tak terlihat oleh lelaki di depannya tersebut. Matanya menilik ke arah samping di mana pakaian yang disiapkan Yin berada. Ada rasa sesal menyelimuti karena ia tak terlalu fokus dengan perkataan Yin. Dia hanya sibuk dengan pikirannya sendiri, tak menghiraukan kondisi sekitar.Abust melangkah mendekat, tak beralih sedikit pun dari tubuh Salwa yang terduduk di tepian ranjang. Langkahnya berhenti tepat di sisi kiri ranjang Salwa, tubuhnya membungkuk dengan tangan kanan bertumpu pada kepala ranjang."Jangan mendekat!"Salwa tak bisa berbuat banyak. Dirinya hanya beringsut sejauh yang ia bisa. Namun, semuanya tampak sia-sia belaka di saat punggungnya terentak ke dinding sebagai batas terakhir pertahanannya.Abust hanya terkekeh, melihat Salwa yang tak bisa berkutik lagi. Dia menaikkan satu kakinya dengan lutut bertumpu di atas ranjang,
"Bagaimana kondisinya, Dokter?"Terdengar pertanyaan dari bibir seorang laki-laki berpakaian formal, berwajah oriental dengan rambut belah samping. Pria itu tampak menatap sang dokter dengan serius, menunggu pemeriksaan terhadap seorang wanita asing yang kebetulan melintas dan tertabrak oleh mobil mewah majikannya."Tidak ada masalah yang berarti. Hanya luka-luka ringan. Dia akan segera siuman sebentar lagi."Dokter itu pun mengangguk, lantas izin undur diri pergi memeriksa pasien yang lain.***Di saat kesadaran mulai merasuk dalam diri Salwa, mata perempuan itu terbuka dan langsung disuguhkan dengan ruangan asing yang sama sekali tidak ia kenali. Pikirannya terasa berkabut dengan ingatan terpecah sepenggal demi sepenggal, terserak dan kesulitan untuk dirangkai kembali. Kepalanya pun merasakan dentuman yang menyakitkan, hingga ia harus mengangkat tangan kanannya untuk menekan kuat pangkal hidungnya.Apa yang terjadi?Ruangan itu tampak bersih dan indah, meski ia menyadari dari bentuk
Cukup lama mereka terdiam dengan tatapan Sean menuntut akan sebuah jawaban, tetapi tak ada seorang pun yang berani membuka suara. Alan yang mengetahui kejadian salah tangkap itu tak bisa berkata-kata, ia tidak ingin terjadi masalah antara Sean dengan kedua adik angkatnya itu.Apa yang Abust lakukan memang tidak berperikemanusiaan, tetapi Alan tak menampik jika apa yang lelaki itu lakukan atas dasar karena mencemaskan seorang Sean Arthur. Banyak bahaya yang mengintai lelaki itu. Upaya musuh mengirimkan seorang penyusup kerap kali terjadi, sehingga sikap waspada dan penuh curiga kepada orang baru yang tiba-tiba menjadi dekat patut untuk dipertanyakan kelogisannya. Pun dengan hubungan Sean dan Salwa yang ternyata memang di luar akal sehat serta logika. Sean yang merupakan tipe pemilih, tidak semua wanita bisa masuk ke dalam kehidupannya, bahkan artis papan atas pun hanya sekadar sambil lalu, tak bisa menjamah hatinya meski hanya seujung saja, malah bisa menaruh perhatian lebih kepada se