"Siramkan air ke wajahnya!"Abust memerintahkan anak buahnya dengan wajah dingin serta aura gelap yang menyelimuti. Lelaki itu tengah duduk di kursi dengan menyilangkan kaki, sementara di depannya Salwa yang belum sadarkan diri didudukkan di lantai begitu saja dengan punggung disandarkan ke dinding.Salwa diletakkan di sebuah penjara bawah tanah yang berada di bangunan markas rahasia yang keberadaannya hanya diketahui oleh Leon dan Abust. Sebuah ruangan berukuran dua kali dua meter menjadi tempat tinggal perempuan itu saat ini.Pagi mulai menjelang. Semburat cahaya yang tampak di kaki langit memberikan jalan bagi matahari untuk naik ke peraduannya guna mempersiapkan tugasnya untuk menerangi bumi yang sebelumnya telah diselimuti gelapnya malam.Rasa penasaran dengan sosok Salwa membuat Abust tak sabar menunggu perempuan itu sadar. Lelaki itu ingin segera mengetahui dari mulut wanita itu, menginterogasinya dengan jelas, siapa sebenarnya dia. Karena sangat tidak mungkin jika seorang Sean
Sunyi yang sebelumnya tercipta berubah dipenuhi teror dan ketegangan. Salwa semakin mencengkeram selimutnya, membalut tubuh polos tak berpenghalang itu agar tak terlihat oleh lelaki di depannya tersebut. Matanya menilik ke arah samping di mana pakaian yang disiapkan Yin berada. Ada rasa sesal menyelimuti karena ia tak terlalu fokus dengan perkataan Yin. Dia hanya sibuk dengan pikirannya sendiri, tak menghiraukan kondisi sekitar.Abust melangkah mendekat, tak beralih sedikit pun dari tubuh Salwa yang terduduk di tepian ranjang. Langkahnya berhenti tepat di sisi kiri ranjang Salwa, tubuhnya membungkuk dengan tangan kanan bertumpu pada kepala ranjang."Jangan mendekat!"Salwa tak bisa berbuat banyak. Dirinya hanya beringsut sejauh yang ia bisa. Namun, semuanya tampak sia-sia belaka di saat punggungnya terentak ke dinding sebagai batas terakhir pertahanannya.Abust hanya terkekeh, melihat Salwa yang tak bisa berkutik lagi. Dia menaikkan satu kakinya dengan lutut bertumpu di atas ranjang,
"Bagaimana kondisinya, Dokter?"Terdengar pertanyaan dari bibir seorang laki-laki berpakaian formal, berwajah oriental dengan rambut belah samping. Pria itu tampak menatap sang dokter dengan serius, menunggu pemeriksaan terhadap seorang wanita asing yang kebetulan melintas dan tertabrak oleh mobil mewah majikannya."Tidak ada masalah yang berarti. Hanya luka-luka ringan. Dia akan segera siuman sebentar lagi."Dokter itu pun mengangguk, lantas izin undur diri pergi memeriksa pasien yang lain.***Di saat kesadaran mulai merasuk dalam diri Salwa, mata perempuan itu terbuka dan langsung disuguhkan dengan ruangan asing yang sama sekali tidak ia kenali. Pikirannya terasa berkabut dengan ingatan terpecah sepenggal demi sepenggal, terserak dan kesulitan untuk dirangkai kembali. Kepalanya pun merasakan dentuman yang menyakitkan, hingga ia harus mengangkat tangan kanannya untuk menekan kuat pangkal hidungnya.Apa yang terjadi?Ruangan itu tampak bersih dan indah, meski ia menyadari dari bentuk
Cukup lama mereka terdiam dengan tatapan Sean menuntut akan sebuah jawaban, tetapi tak ada seorang pun yang berani membuka suara. Alan yang mengetahui kejadian salah tangkap itu tak bisa berkata-kata, ia tidak ingin terjadi masalah antara Sean dengan kedua adik angkatnya itu.Apa yang Abust lakukan memang tidak berperikemanusiaan, tetapi Alan tak menampik jika apa yang lelaki itu lakukan atas dasar karena mencemaskan seorang Sean Arthur. Banyak bahaya yang mengintai lelaki itu. Upaya musuh mengirimkan seorang penyusup kerap kali terjadi, sehingga sikap waspada dan penuh curiga kepada orang baru yang tiba-tiba menjadi dekat patut untuk dipertanyakan kelogisannya. Pun dengan hubungan Sean dan Salwa yang ternyata memang di luar akal sehat serta logika. Sean yang merupakan tipe pemilih, tidak semua wanita bisa masuk ke dalam kehidupannya, bahkan artis papan atas pun hanya sekadar sambil lalu, tak bisa menjamah hatinya meski hanya seujung saja, malah bisa menaruh perhatian lebih kepada se
Salwa terpaku di tempat, menyadari seseorang yang sejak semalam ia rawat ternyata pemilik vila itu. Sedikit malu ia menoleh, menerbitkan senyum sungkan."Maaf, saya tidak tahu sebelumnya. Asisten Lie tidak memberi tahu saya. Kalau begitu, saya permisi."Hampir saja Salwa melangkah keluar, menyeret kakinya gugup, tetapi lelaki itu masih menahannya dengan pertanyaan-pertanyaan yang membuat dirinya tak juga pergi dari ruangan itu."Aku dengar dari Asisten Lie jika kau menjalani serangkaian terapi kejiwaan di sini. Sebenarnya apa yang membuatmu mengalami trauma hingga seperti itu?""Sa-sa-ya ... sa-sa-ya ...." Salwa tak sanggup menjawab pertanyaan Yang Pohan. Pertanyaan itu menjebaknya pada kenangan pahit yang menyedihkan.Wajah Salwa mendadak pucat, mengingat kembali peristiwa yang membuatnya membenci dunia, tak lagi berani membayangkan masa depan. Kejadian yang teramat sangat kejam baginya yang sempat memupuskan harapan dia bahwa di dunia masih ada harapan untuk hidup bahagia. Dia tak in
"Jadi, kau adalah pekerja dari Indonesia?" Yang Pohan berdiri di belakang Salwa yang sedang menyirami tanaman-tanaman itu.Salwa mengangguk, "Iya, Tuan." Hanya itu yang sejak tadi Salwa katakan, "iya, iya, dan iya". Perempuan itu seolah membatasi diri meski Yang Pohan tidak bersikap layaknya seorang majikan kepadanya."Kau kabur dari majikanmu? Dia menyiksamu?" Yang Pohan menerka lagi, membuat perempuan yang menggulung lengannya sebatas siku itu menoleh.Salwa menatap wajah yang sedang diterpa sinar jingga mentari sore, menyemburkan warna keemasan di wajah oriental lelaki itu. Dia menampilkan raut menyesal, tetapi tidak tahu harus berbuat apa."Saya tidak bisa pulang karena semua surat-surat berharga saya terkait perizinan masih tertinggal di sana. Maafkan saya.""Apakah kau ingin kembali, atau bekerja bersamaku?"Kucuran air di selang itu berhenti menyirami dedaunan, ranting, dan kelopak bunga yang sedang bermekaran. Perkataan Yang Pohan cukup membuatnya bingung sehingga tubuh Salwa y
Ruangan yang sunyi hampir tanpa pencahayaan itu kini terlibat sebuah perbincangan serius. Yang Pohan memindai daftar nama yang tertera di kertas yang ia pegang, memeriksanya dengan mengandalkan lampu baca yang terletak di atas meja ruang kerjanya.Asisten Lie menunduk, berdiri dengan tegap tepat di depan meja Yang Pohan, tak menyela ataupun sekadar bertanya sebelum sang atasan memintanya."Aku ingin Salwa dipindahkan ke kediamanku. Aku ingin dia bekerja di sana."Asisten Lie mengangguk mengiakan. Namun, ada hal yang membuat lelaki itu sedikit bingung dengan keputusan Yang Pohan. "Apakah Tuan yakin jika Nona Salwa tidak histeris lagi. Dia belum menjalani perawatan lengkap untuk kondisi kejiwaannya."Yang Pohan menyandarkan punggungnya di sandaran kursi putar yang sedang ia duduki, menekuk kedua tangan ke depan, lantas menyatukan jemarinya menyentuh bawah dagu. "Aku akan mengurusnya. Kau tidak perlu khawatir.""Perkembangan terbaru, Sean Arthur selamat dari kecelakaan itu. Artinya dua or
Mungkin Salwa sudah menyadari perilaku Sean yang bengis itu. Sejak awal bertemu, lelaki itu sudah menyeramkan, menghajar seseorang tanpa ampun meskipun lawannya tidak bisa berkutik lagi. Namun, ia tidak menyangka jika salah satu korban Sean adalah seseorang yang telah menolong kehidupannya."Kau tidak percaya, bukan?" Yang Pohan tersenyum miris, mengira Salwa ragu akan perkataannya. "Semua orang yang melihat pasti tidak akan menyangka jika seorang Sean Arthur adalah manusia kejam yang tidak berperikemanusiaan. Dia bisa dengan mudah melenyapkan nyawa orang lain yang menurutnya mengganggu tujuannya.""Tuan!" Salwa menyela dengan nada lirih, menghentikan perkataan Yang Pohan yang menjelek-jelekkan nama suaminya. Meski mungkin apa yang lelaki itu katakan benar adanya, tetapi Salwa tidak suka jika ada orang lain menghina Sean seperti itu. "Saya turut berduka cita atas kematian ayah Tuan. Maafkan saya.""Bukan salahmu. Dunia ini kejam, Salwa. Kau akan disegani jika kau adalah orang yang kuat