“Terima kasih, Bu Veronica. Veronica Astrid Prawira. Proposal ini cukup menarik, tetapi tetap keputusan akan kami serahkan kepada pimpinan untuk menyetujuinya atau tidak.” Wanita setengah baya berkacamata itu bicara dengan senyum manis.
Veronica tidak mengira akan mendapat jawaban normatif setelah panjang lebar dia paparkan proposal bisnis yang dia akan lakukan.“Oh, baik, Bu Ranintya. Kira-kira bisa saya bertemu dengan pimpinan hari ini juga?” Sambil membaca papan nama di meja, Veronica memandang wanita di depannya.Yang ada di kepala Veronica, begitu proposal dia paparkan, segera akan mendapat sambutan baik dan usaha yang dia rintis pun bisa cepat punya rekan untuk berkembang. Sayang sekali, jawaban itu yang dia terima. Dan Veronica tidak bisa menunggu. Dia harus mendapat kepastian.“Maaf, Bu, kalau hari ini pimpinan kami sudah punya jadwal. Saya akan sampaikan perihal pengajuan ini dan beliau akan mengatur pertemuan dengan Bu Veronica. Saya kira paling lama tiga hari sampai lima hari ke depan pertemuan bisa dilakukan.” Wanita dengan rambut sebagian mulai memutih itu menjawab dengan tetap tenang, tetap mengurai senyum manisnya.Tidak! Sampai lima hari ke depan, ada deretan jadwal yang Veronica sudah atur. Ini bisa menunda beberapa hal lain. Tidak bisa!“Bu Ranintya, saya mohon, sebentar saja, saya minta waktu bertemu dengan pimpinan Ibu. Tidak akan lebih dari lima belas menit, atau … dua puluh menit. Saya mohon, Bu,” ucap Veronica bersungguh-sungguh. Dia tidak boleh kehilangan kesempatan.Kalau saja Veronica tahu, setelah pemaparan proposal dia masih harus menunggu lebih baik dia minta bertemu langsung saja dengan pimpinan dari awal.Ranintya cepat menarik senyumnya. Dia cukup terkejut dengan sikap Veronica yang mendesak seperti itu.“Saya juga meminta pengertian Bu Veronica. Pimpinan saya, CEO perusahaan ini, punya jadwal yang tidak bisa dengan mudah dialihkan. Jam ini beliau masih ada meeting dengan rekan bisnis dari beberapa perusahaan. Usai meeting itu, langsung akan menuju ke lain tempat untuk jadwal selanjutnya. Saya juga harus bersiap mendampingi beliau.” Keramahan wanita itu berubah menjadi tatapan dan nada suara yang tegas.“Ah, Bu, sekali lagi saya minta maaf. Hari ini saja berikan sa-““Bu, Rani! Apa sudah siap?!”Ranintya mengangkat wajahnya melihat ke arah pintu. Veronia memutar kepala dan melihat juga ke arah yang sama. Seorang pria tampan dan gagah berdiri di sana. Dia mengenakan kaos putih dilengkapi dengan jas hitam.“Sebentar, Pak Hendrick, saya siap dalam dua menit.” Tegas, Ranintya menjawab. Seandainya Veronica tidak menahannya, pasti dia sudah siap.Veronica berdiri dan menghadap ke arah pria tampan itu. Wajahnya tegas, dengan pandangan mata tajam dan berkharisma. Dia melihat sekilas pada Veronica lalu beralih pada Ranintya, sekretarisnya.“Oke, aku tunggu di lobi, Bu Rani,” kata pria itu, kemudian beranjak meninggalkan ruangan itu.“Pak CEO!” Veronica dengan sigap bergerak dan menuju ke pintu.Ranintya terkejut melihat secepat itu Veronica bergerak.“Pak CEO!” panggil Veronica lagi lebih keras.Pria tampan penuh kharisma itu berbalik, melihat pada Veronica. Seorang wanita tinggi dengan bentuk tubuh sintal dan sikap anggun. Rambutnya berwarna coklat gelap, lurus panjang hingga hampir sepunggungnya. Melihat penampilannya, usianya baru masuk tiga puluhan.“Perlu dengan saya?” Pria itu menatap tajam pada Veronica.Suaranya tenang, tapi tegas. Namun, tatapannya dingin dan tajam. Meski begitu, kharismanya kembali menyeruak. Kali ini Veronica terpana. Pesona dari CEO dingin itu tak bisa dia elakkan.“Saya minta waktu sebentar, saya ingin bicara dengan Pak CEO.” Veronica memberanikan diri.Dia melangkah tiga tapak ke depan, berhadapan dengan CEO yang berdiri tegak, masih dengan tatapan dingin terarah padanya.“Saya Veronica Prawira.” Veronica mengulurkan tangan memperkenalkan diri.Pria itu hanya menatap saja, tidak bergerak.“Ehh, saya ingin menyampaikan sesuatu, maksud saya, saya sedang mengembangkan usaha dan ingin melakukan kerja sama dengan perusahaan Bapak.” Veronica segera memperbaiki kesiapannya.CEO dingin itu membuat Veronica kehilangan fokus. Tapi dia harus segera kembali ke urusannya, tidak boleh sampai kehilangan momen penting itu.“Pak Hendrick, maafkan saya.” Ranintya muncul dan segera menjelaskan siapa Veronica dan apa tujuannya datang ke kantor itu. Ringkas, jelas, dan padat Ranintya bicara.CEO dingin itu memandang Veronica selama Ranintya memberi penjelasan. Lalu dia mengulurkan tangannya kepada Veronica.“Saya Gio, Georgio Hendrick. Silakan ikut dengan saya,” kata Gio lalu berjalan mendahului menuju ke ruangannya.“Ibu, terima kasih banyak. Sungguh, terima kasih banyak,” ujar Veronica pada Ranintya lalu bergegas menyusul Gio.Ranintya menarik napas dan menggeleng-geleng. Dia berbalik dan kembali masuk ke dalam ruangannya. Sementara, Gio telah duduk di sofa, di kantornya yang besar dan nyaman. Veronica ikut masuk dan memilih duduk di kursi samping, sedikit berseberangan dengan Gio.“Silakan. Waktu Anda maksimal lima belas menit,” ucap Gio dengan tatapan tajam, sementara kedua lengan dia lipat di depan dada.Veronica mengerjap beberapa kali, lalu menarik napas dalam. Dia membuka berkas yang dia bawa dan dia sodorkan di depan Gio.“Ini proposal saya, Pak. Saya akan paparkan rencana usaha saya yang saya yakin bisa bekerja sama dengan perusahaan ini,” kata Veronica.Gio mengambil berkas yang ada di depannya. Dia membacanya sekilas, lalu memperhatikan Veronica yang mulai menjelaskan usaha distro yang dia sedang rintis di kota itu. Veronica sudah mendapatkan ketenangan, sehingga percaya dirinya pun bangkit. Dengan lancar dan lugas dia menyampaikan semua yang dia akan lakukan dan dalam hal apa dia yakin bisa bekerja sama dengan perusahaan yang dipimpin oleh Gio.Selama kurang lebih sepuluh menit Veronica bicara, tatapan Gio tak beralih. Dia seperti tidak bergerak dan tidak juga berkedip. Dia mencermati wanita cantik di depannya itu dengan detil. Cerdas, penuh semangat, dan sangat menarik. Apa yang dia sampaikan tidak terlalu Istimewa, bukan sebuah usaha besar yang perusahaannya bisa mendapat keuntungan besar pula seandainya menerima kerja sama itu. Tetapi, melihat kesungguhan wanita itu, Gio penasaran.“Jadi demikian, Pak. Saya yakin, dengan menjalin relasi dalam usaha ini, kita akan berkembang bersama.” Veronica mengakhiri pemaparan proposalnya. Matanya memandang penuh harap pada Gio.“Anda seyakin itu? Bisnis yang Anda bicarakan, punya saingan terlalu banyak. Dalam hal apa Anda bisa meyakinkan saya, kerja sama ini akan bagus buat perusahaan ini?” Tajam, sedikit sinis kalimat itu terdengar.“Design. Design yang saya buat, pasti akan dengan cepat diminati banyak anak muda. Dan akan terus berinovasi dengan cepat, sesuai pasar dan kebutuhan lapangan.” Cepat dan yakin Veronica menjawab.“Hmm …” Gio mengerutkan keningnya. Dia berpikir akan mengiyakan atau menolak saja permintaan wanita muda itu. Tidak terlalu ada pengaruh juga bagi bisnisnya yang sudah melebar dengan cepat dalam waktu lebih dua tahun.“Apa yang membuat design Anda akan bertahan? Keunikan apa yang akhirnya konsumen Anda akan tetap mau mengikuti dan menjadikannya favorit?” Pertanyaan Gio lebih jauh, memastikan bahwa Veronica tahu apa yang akan dia jual.“Ah, ya …” Veronica ingin cepat menjawab tetapi tiba-tiba dia seperti kehilangan kata-kata. Benar! Keunikan apa yang dia mau tonjolkan sehingga produknya akan bisa berumur panjang bersaing di pasaran.“Anda tidak yakin?” Gio menyunggingkan senyum di ujung bibirnya. Dia sedikit maju, memastikan Veronica tidak siap dengan jawaban yang Gio butuhkan.Veronica menatap Gio dengan mulut sedikit terbuka. Wajah Gio makin dekat. Ketampanannya makin tak terelakkan. Kedua manik tajam itu menghujam hingga ke ulu hati. Debaran kuat pun melanda dada Veronica. “Saya … Pak, saya yakin …” Veronica masih berusaha menjawab, tidak ingin dia akan pulang tanpa hasil. Gio kembali tersenyum sinis. Dia berdiri bersiap meninggalkan ruangan itu. “Anda membuang waktu saya, Nona,” ucap Gio. Lalu pria itu melangkah menuju ke arah pintu. Veronica mengepalkan kedua tangannya. Tidak, ini belum berakhir. “Pak Gio, percaya saya, ini bukan a-“ “Dua hari lagi, jam sepuluh. Temui saya di sini, dengan jawaban yang saya tahu, itu menjadi alasan kuat kita bisa bekerja sama,” sela Gio. Rasa penasarannya pada kegigihan wanita muda itu membuat Gio ingin memberinya kesempatan. “Baik. Saya akan bawakan beberapa contoh. Terima kasih, Pak. Saya pastikan Bapak tidak akan kecewa.” Veronica menatap Gio dengan mata lebar. Semangatnya bangkit mendengar yang Gio sampaikan.
Veronica berdiri dengan tote bag besar di tangannya. Outfit yang dia kenakan sangat berbeda dengan dua hari sebelumnya saat dia datang ke kantor itu. Jika yang lalu dia mengenakan pakaian resmi seorang wanita karir, yaitu setelan berwarna coklat gelap yang manis, kali ini sangat lain. Kostum yang menempel di tubuhnya pagi itu, kaos cerah berwarna biru tosca dengan lengan sedikit lebar dan panjang sampai di pinggang. Lalu celana 7/8 berwarna hitam dengan model unik ada pita di sisi kiri dan kanan kaki, lengkap dengan Sepatu kets putih. Dengan penampilan itu, Veronica tampak beberapa tahun lebih muda. Apalagi dengan rambut tebal coklat miliknya dikuncir tinggi di belakang kepalanya. “Bu Veronica? Mari, silakan masuk!” Ranintya yang sama terkejutnya akhirnya bergerak menyambut Veronica. “Selamat pagi, Pak Gio, Bu Ranintya. Terima kasih,” sapa Veronica. Dia melempar senyum lebar, agar merasa lebih tenang dan tidak terlalu tegang. Dengan tote bag besar di tangan Veronica masuk dan dudu
Biarkan Veronica menikmati kegembiraan karena berhasil melewati satu tahap dari rencananya. Ada baiknya mengintip kehidupan CEO tampan dan dingin, Gio Hendrick. "Congratulations, Pak Gio Hendrick! Ini lebih dari espektasi. Rencana Bapak berjalan sempurna." Senyum manis dengan mata biru berbinar menatap Georgio Leonard Hendrick.Pria berusia empat puluh empat tahun itu tersenyum dengan tatapan tenang. Auranya yang selalu memunculkan kesan seorang pemimpin yang berkharisma, hadir lagi."Ya, aku juga tidak menduga yang tercapai bahkan lebih baik dari yang direncanakan. Melegakan, semua yang terlibat bekerja luar biasa." Gio kembali mengurai senyum tipis khas miliknya. Dia memandangi wajah ayu di depannya."Tidak berlebihan kalau keberhasilan ini dirayakan, bukan?" Wanita dengan rambut coklat terang itu mencondongkan tubuhnya merapat pada meja, menatap lebih dalam pada mata tegas Gio."Ah, aku tidak memikirkan itu, Bu Shiany," ujar Gio. Dia agak kaget tiba-tiba Shiany mengatakan itu."Se
Mata indah berlensa biru itu menatap tajam tapi manja dan penuh harap pada Gio. Sementara tangan Shiany menggelayut erat di leher Gio. Posisi seperti itu, tak bisa dipungkiri, sisi kejantanan Gio bangkit. Meskipun sekian lama dia tidak menyentuh wanita, dia masih normal dan punya hasrat."Malam ini akan jadi spesial banget. I promise." Shiany memandangi lebih lekat pada Gio.Gio sangat kaget dengan keberanian Shiany. Selama bekerja sama dalam event yang baru mereka sukseskan, sikap Shiany wajar-wajar saja. Tetapi memang tatapan kekaguman sekali waktu Gio lihat jelas dari Shiany. "Bu Shiany, ini di kantor. Jaga sikap Anda." Gio makin memasang wajah dingin. Dia pegang dua tangan Shiany dan menurunkannya."Pak Gio, aku hanya mau membuat Bapak happy. Aku mau happy sama Pak Gio." Tangan Shiany kembali terulur ingin memegang lengan Gio.Gio mundur dua langkah. Wanita cantik ini ternyata lebih dari berani. Usianya masih tergolong muda jika dibandingkan Gio yang tak lama lagi akan masuk kepa
Gio melangkah masuk ke dalam ruangan IGD menuju ranjang di mana anak keduanya berbaring. Di sampingnya, Maureen memegang lengannya dengan kuat. Gadis itu sangat gugup dan juga dipenuhi rasa takut bercampur rasa bersalah.Tinggal beberapa langkah dari ranjang mereka berhenti. Di depan mereka Felipe terbaring lemah di atas kasur. Kepalanya dibalut perban putih. Ada memar dan luka di wajahnya. Kedua tangan dan kakinya juga banyak luka-luka akibat yang dia alami. Tangan kirinya diinfus, entah obat apa yang dia perlukan.Mata Felipe memandang lurus pada Gio dan Maureen. Tetapi tatapan Felipe terlihat aneh. Dia memandang ke sekelilingnya seolah-olah mencoba memahami apa yang terjadi."Hai, Fel. Apa yang kamu rasa?" Gio maju lagi dua langkah. Maureen terus memegang kuat lengan Gio."Aku? Aku, kenapa?" Pandangan Felipe tampak bingung."Fel!""Kak?!" Gio dan Maureen berseru bareng. Pertanyaan Felipe membuat mereka kaget."Kak, beneran kamu ga ingat apa yang terjadi?" Maureen maju selangkah, t
"Aku bawakan sarapan, Pak. Masih hangat." Shiany menyodorkan kotak berwarna coklat di depan Gio. Gio mengusap-usap mata dan wajahnya. Dia masih harus memaksa dirinya segera dapat kesadaran lagi. Ya, dia tidak sedang bermimpi. Shiany memang datang menemuinya di rumah sakit. "Dari mana kamu tahu aku di sini?" Gio tidak bisa basa-basi. Dia tidak menerima kotak yang masih terulur di depannya. Dia menatap Shiany dengan pandangan tidak suka. "Itu gampang sekali, Pak Gio. Media sosial bisa menjawab apapun yang kita tanya dan menunjukkan apapun yang kita perlu," jawab Shiany. Ya, kenapa tidak terpikir oleh Gio? Anak-anaknya bisa saja meng-up load yang terjadi pada Felipe. Mudah saja mencari jejak digital.Dia duduk di samping Gio sambil memegang kotak yang ditolak Gio. Gio berdiri, mendekati Felipe. Anak muda itu masih lelap dengan posisi kepalanya miring. Perlahan-lahan Gio membetulkan posisinya agar lebih nyaman. "Hhmmm ..." Felipe bergumam. Sepertinya dia merasa ada yang mengganggu ti
Gio harus menjelaskan pada anak-anaknya kalau dia dan Shiany memang tidak ada apa-apa. Dia harus memilih kata-kata yang tepat agar tidak akan ada lagi pertanyaan dan kecurigaan dari mereka kalau Gio tidak ada hubungan lebih dari rekan kerja dengan wanita itu. Reggy dan Felipe memandang pada sang ayah, menunggu penjelasan. Maureen masih pura-pura sibuk meskipun telinganya siap menerima jawaban. "Bu Shiany itu utusan dari perusahaan lain untuk bekerja sama dengan event di kota. Lebih dua bulan kami bersama-sama mengurus semuanya. Baru tuntas kemarin. Papa juga tidak mengira dia punya perhatian lebih. Serius, Papa bahkan tidak mengatakan kalau anak Papa sedang kena musibah. Dia mendapat kabar dari yang lain." Ketiga anak Gio memperhatikannya. Mereka mau mendengar semuanya, sejelas-jelasnya. "Papa sudah janji akan fokus dengan keluarga. Papa masih sayang mama kalian. Buat Papa tujuan hidup Papa melihat kalian berhasil meraih cita-cita, itu saja." Gio tidak mau menceritakan lebih jauh y
Gio merasa deru jantungnya melaju begitu cepat. Hasrat rindunya meningkat. Victoria tiba-tiba ada di depannya. Mata mereka bertemu, tangan pun saling menggenggam. Gio tak akan menyia-nyiakan waktu kebersamaan itu."Vicky, Vicky ...""Mas Gio, kamu yang aku kuatirkan." Victoria mengulang kata-katanya."Aku sangat rindu sama kamu," kata Gio tanpa berkedip, terus memandang wajah cantik wanita paling dia cintai."Mas, kamu harus bahagia," ucap Victoria lembut. Tangannya naik menyentuh pipi Gio. Ada ketulusan dari tatapan mata Victoria."Kamu bahagiaku, Vicky. Kamu tahu itu," ucap Gio. Makin menderu rasa di dadanya. "Kamu pun bahagiaku. Ketiga buah hati kita bukti kebahagiaan kita. Tapi kamu, Mas, kamu harus bahagia ..." Tuttt!!! Tutttt!!!Keras dering telpon terdengar. Gio melonjak dan segera bangun."Astaga ... Aku ketiduran. Dan, Vicky??" Gio benar-benar bermimpi bertemu mendiang istrinya.Tutttt!! Tuttt!! Lagi dering ponsel membahana di ruang kamar itu.Masih belum mendarat, masih te
Veronica mendorong Gio agar menjauh. Dengan cepat Veronica bangun dan turun dari ranjang besar itu. Veronica merapikan rambut dan baju yang dia kenakan. “Papa!!” Terdengar lagi teriakan Maureen. “Ah, aku salah strategi. Kenapa aku suruh mereka nyusul ke sini sekarang?” Kesal, Gio berkata. Veronica tersenyum mendengar kalimat itu. Dia mendekati Gio, mengecup pipinya, lalu cepat bergerak menuju ke pintu dan membukanya. Di depan pintu, Maureen berdiri memandang dengan cemas. Di belakangnya Felipe dan Reggy berdiri sama cemasnya, menatap Veronica. “Mama. Mama ga apa-apa?” Maureen mencermati Veronica dengan mata bergerak cepat melihat dari atas ke bawah. “Nggak apa-apa,” kata Veronica. “Papa mana?” tanya Felipe. “Ada di dalam. Masuklah,” jawab Veronica sambil membuka lebih lebar pintu kamar itu. Ketiga anak itu semakin bingung. Veronica terlihat baik-baik saja. Dia tampak tenang dan tidak ada lagi marah meluap seperti yang dia tunjukkan saat masih di rumah. Veronica mendah
Gio mengepalkan tangannya menatap dengan marah pada Veronica. “Oh, kamu mencurigaiku?! Oke! Sekarang, kamu ikut aku. Biar kamu tahu sekalian apa yang aku lakukan tadi malam. Biar kamu puas!” Gio berkata lebih keras dengan wajah juga memerah. “Buat apa? Kamu mau kenalkan aku sama wanita itu? Buat apa!?” sentak Veronica. Geram makin melambung di dadanya yang terasa panas membara. Gio menarik lengan Veronica, tidak memberi kesempatan istrinya menolak. Sekalipun Veronica mencoba melepaskan tangan, Gio tidak melonggarkan pegangan tangannya. “Papa!” Maureen memanggil Gio dengan hati porak poranda. Dia marah, sangat marah papanya bertindak kasar pada Veronica yang tidk lain dan tidak bukan adalah istrinya. Reggy dan Felipe pun bergerak maju dua langkah karena sangat terkejut mendapati orang tuanya sampai ribut di depan mereka. “Kalian juga mau tahu!? Silakan menyusul. Aku akan share lokasinya. Jelas?” Gio melihat pada ketiga anaknya yang melotot dengan pandangan bingung bercampur
“Hmm …” Veronica tersenyum tipis. Ya, kejutan luar biasa! Gio ada main hati dengan wanita lain di belakang Veronica. “Mungkin. Mama belum tahu.”Veronica berusaha tersenyum dengan tatapan tenang, meskipun hatinya terasa pilu.“Tepat banget lagi, Mama ultah di hari Sabtu. Semua ada di rumah,” kata Maureen dengan senyum lebar. “Ah, aku mau masak yang spesial buat Mama, deh, buat sarapan.”“Wah, terima kasih banyak. Tapi Mama mau pergi belanja. Di kulkas tinggal sedikit bahan makanan,” ujar Veronica. Rencananya ingin menenangkan diri harus dia lakukan.“Oke. Pas Mama balik, sarapan sudah siap.” Maureen berucap dengan dua jempol terangkat.Veronica melempar senyum kecil, lalu meninggalkan rumah. Veronica sengaja berjalan saja menuju ke swalayan yang ada di dekat distro. Dia akan ambil waktu di sana menenangkan diri sebelum nanti kembali ke rumah.Lantao 3 di distro memang jadi tempat para karyawan Veronica tinggal sejak Veronica menikah dan tinggal dengan Gio serta anak-anaknya. Ruangan m
Veronica menoleh ke jam dinding di kamar, hampir setengah sepuluh malam. Gio belum juga pulang. Ke mana sebenarnya pria itu? Biasanya, dia akan memberitahu dengan jelas ke mana pergi, ada urusan apa, dan dengan siapa. Tapi kali itu, dia bukan hanya bersikap dingin, tetapi juga tidak mau bicara apapun pada Veronica. Bagi Veronica, sikap Gio itu kembali menjadi CEO tampan sedingin kulkas.Sekali lagi Veronica mengirimkan pesan pada Gio. Tentu saja berharap Gio akan membalasnya.- Kak, belum bisa pulang? Aku tunggu atau aku tidur lebiih dulu?Gio akhirnya membalas pesan itu, setelah hampir sepuluh menit berlalu.- terserahJawaban itu membuat Veronica kesal. Sedang sibuk apa, sih, sampai membalas pesan saja tidak bisa dengan kata-kata yang melegakan? Tidak sabar, Veronica menelpon suaminya. Beberapa kali mencoba, Gio pun menerima panggilan itu.“Kenapa?” tanya Gio datar.“Kakak ada apa? Beritahu aku yang jelas. Aku bingung dengan sikap Kak Gio,” kata Veronica tanpa basa-basi.“Jangan leb
Hari hampir malam saat Gio tiba di rumah. Empat hari di luar kota, sangat melelahkan. Dia ingin sekali segera istirahat, bertemu keluarga, dan menikmati waktu untuk menyegarkan penat dirinya. Maureen menyambut Gio di depan pintu. Dengan senyum lebar dia memeluk kuat Gio. Meskipun sudah menjadi gadis dewasa, Maureen tetap saja manja. “Senang Papa pulang. Kak Reggy juga sudah di rumah. Lengkap keluarga kita,” kata Maureen masih bergelayut manja pada ayahnya. “Gimana Reggy? Dia baik?” tanya Gio sambil berjalan menuju ke kamarnya. “Baik. Lagi keluar sama Kak Sita. Biasalah, kangen-kangenan, hee … abis LDR,” jawab Maureen. “Reen masak apa buat makan malam? Papa lapar.” Gio meletakkan koper di dekat lemari pakaiannya. “Ada, udah siap. Tapi mama belum pulang,” kata Maureen. “Ga apa-apa. Ga usah tunggu, keburu sakit perut,” ujar Gio. “Oya, Pa, tiga hari lagi mama ultah. Mau bikin acara, ga?” tanya Maureen. “Oya?” Gio menatap Maureen. Bagaimana bisa dia tidak ingat? “Yaa … Papa sama
Pasak melangkah menjauh, Randy dan Maureen menuju motor. Tak lama mereka sudah di jalanan yang cukup ramai. Randy mengantar Maureen pulang. Di jalan dia cerita tentang Pasak. Dia pembalap yang sangat lihai dan tajam menyerang lawan. Kayak pasak menghujam tanah dengan dalam. Karena itu dia dipanggil Pasak. Satu lagi Maureen bertemu teman lama Randy. Dan dia mengatakan sesuatu yang memang Randy akui pada Maureen. Randy dulu suka balapan liar tapi dia sudah berhenti. Maureen tersenyum. Dia makin yakin, Randy sungguh-sungguh mau mengubah hidupnya. "Senangnya Kakak di rumah lagi. Kangen banget aku." Maureen memeluk Reggy yang baru masuk rumah. "Aku juga lega akhirnya kembali ke rumah. Kangen masakan kamu sama mama," ucap Reggy dengan senyum. khasnya. "Udah, Reggy istirahat dulu, nanti aja ceritanya," kata Veronica. "Bawa oleh-oleh ga, Kak?" tanya Maureen mengikuti Reggy ke kamarnya. "Ada. Pasti aku bawa buat adikku yang cantik ini." Reggy mengusap kepala Maureen. "Biar aku belum pern
Mobil merah keren itu masuk halaman rumah keluarga Hendrick. Randy memarkir mobil dan turun dari mobil. Maureen juga keluar dari mobil itu. Lalu mengeluarkan beberapa belanjaannya dari bagasi. Randy membantu membawakan juga. Mereka masuk dalam ruang tamu, menaruh tas belanjaan di sana. "Terima kasih buat hari ini," kata Randy. Dia tersenyum, hatinya sangat lega. "Aku minta maaf." Maureen melihat Randy. "Untuk apa? Aku seharusnya yang minta maaf karena kejadian tadi." Randy memandang heran pada Maureen. "Aku sengaja minta yang aneh-aneh sama kamu." Maureen melihat tas-tas belanjaan yang tergelak di sofa. "Aku hanya ingin melihat bagaimana sikapmu kalau menghadapi perempuan bawel dan banyak maunya." "Jadi ..." Randy mengerutkan keningnya. Maureen tersenyum lebih lebar. "Aku bukan tipe perempuan yang suka shopping banget. Apalagi yang ga dibutuhkan. Tapi, aku akan jaga baik-baik barang-barang ini. Janji." "Aku lulus tes?" tanya Randy. Maureen lagi melebarkan bibirnya. Dia menga
Randy memandang Maureen. Rasanya Randy seperti sedang dikuliti. "Ga ada," jawab Randy. "Setelah papa mama cerai, lalu papa menikah dengan wanita itu, aku mulai malas dengan perempuan. Maksudku, aku menilai perempuan lebih negatif. Hanya memanfaatkan pria untuk kesenangannya. Tentu kecuali mamaku. Makanya aku ga dekat sama siapapun, hampir setahun ini." "Kebiasaan yang lain?" Maureen ingin semua dia tahu, tanpa ada yang Randy sembunyikan. "Tinggal merokok. Meski makin jarang. Sejak kecelakaan, mama tegas bilang ga mau aku celaka. Dan balapan sangat beresiko. Aku ga melakukannya lagi. Minum, sudah lama aku ga lakukan. Pernah Sandy tahu dan dia sangat marah. Dia ga suka kakaknya jadi kayak orang gila. Karena aku sampai mabuk waktu itu." Randy menjawab panjang lebar. Mulai nyaman mengatakan semuanya, walaupun Maureen sangat mungkin akan memilih mundur setelah itu. "Apa yang kamu pikirkan ketika ingin mendekati aku? Jalan dengan cara seperti dengan semua mantan kamu itu?" Tajam dan sin
"Omongan Nesti ga usah didengarin, Reen. Cewek tomboy ini rada sableng emang." Randy melotot karena jengkel."Hati-hati, Reen! Dia suka makan cewek, hehe ..." Nesti makin jadi."Sudah sana jauh-jauh, hari sial aku ketemu kamu." Randy mendorong Nesti agar pergi dari situ."Bye, Maureen! Bye, ex babe, hee ... hee ..." Masih sempat juga Nesti berceloteh.Maureen makin masam mukanya. Hatinya tidak karuan melihat pemandangan tak terduga di depannya."Reen ..." panggil Randy. Randy bisa membaca tatapan Maupun yang berubah tidak secerah tadi."Oo ... iya. Kita masuk?" kata Maureen. Dia langsung melangkah duluan ke gedung bioskop mencari tempat duduknya.Randy mengikuti dan duduk di sisi Maureen. Dia menaruh popcorn di antara mereka. Dia beli satu tapi yang jumbo.Maureen tidak lagi konsentrasi dengan situasi. Tidak juga bisa memperhatikan film yang mulai ditayangkan. Dia memikirkan Nesti dan kata-katanya. Yang Maureen tangkap, Randy biasa bebas dengan cewek. Entah kenapa perasaannya jadi kur