Veronica menatap Gio dengan mulut sedikit terbuka. Wajah Gio makin dekat. Ketampanannya makin tak terelakkan. Kedua manik tajam itu menghujam hingga ke ulu hati. Debaran kuat pun melanda dada Veronica.
“Saya … Pak, saya yakin …” Veronica masih berusaha menjawab, tidak ingin dia akan pulang tanpa hasil.Gio kembali tersenyum sinis. Dia berdiri bersiap meninggalkan ruangan itu. “Anda membuang waktu saya, Nona,” ucap Gio.Lalu pria itu melangkah menuju ke arah pintu.Veronica mengepalkan kedua tangannya. Tidak, ini belum berakhir.“Pak Gio, percaya saya, ini bukan a-““Dua hari lagi, jam sepuluh. Temui saya di sini, dengan jawaban yang saya tahu, itu menjadi alasan kuat kita bisa bekerja sama,” sela Gio. Rasa penasarannya pada kegigihan wanita muda itu membuat Gio ingin memberinya kesempatan.“Baik. Saya akan bawakan beberapa contoh. Terima kasih, Pak. Saya pastikan Bapak tidak akan kecewa.” Veronica menatap Gio dengan mata lebar. Semangatnya bangkit mendengar yang Gio sampaikan.“Silakan.” Gio menunjuk dengan tangannya ke arah pintu, meminta Veronica meninggalkan tempat itu.Dengan cepat Veronica membereskan bawaannya, lalu dia keluar. Begitu Veronica ada di luar ruangan, Gio menutup dan mengunci kantornya. Tanpa bicara apa-apa pria tampan itu berjalan meninggalkan Veronica yang masih terdiam di tempatnya berdiri.“Huuffhhh …” Veronica mengembuskan napas berat. Rasanya seperti baru selesai sidang skripsi saja.“CEO itu tampan dan keren sekali. Tapi ihh, dingin kayak kulkas.” Veronica masih memandangi Gio yang dengan gagahnya berjalan makin jauh. Ternyata yang dia dengar dari seorang teman tentang sikap dingin CEO yang satu ini dan dijuluki CEO Sedingin Kulkas, tepat disematkan padanya.“Setidaknya dia masih mau ketemu, berarti dia tertarik dengan tawaranku. Aku akan buktikan, aku bisa lebih dari yang dia harapkan. Pasti bisa, Veronica, pasti bisa.” Veronica bicara tegas pada dirinya sendiri.Tidak menunda lagi, Veronica pun turun menuju lantai dasar kantor itu dan keluar gedung. Veronica berjalan terus ke arah tempat parkir untuk mengambil motornya. Tinggal beberapa meter lagi, sebuah mobil hitam berjalan melintas di depan Veronica. Jendela mobil itu terbuka. Veronica bisa melihat dengan jelas wajah tampan Gio. Dengan kacamata hitam dia makin keren mengendari mobil yang pas banget untuk seorang CEO.“Siang, Pa …” Veronica membatalkan salam yang dia ucapkan. Senyum yang sudah tersungging terpaksa dia simpan cepat.Gio tidak melihat Veronica rupanya. Atau pura-pura tidak lihat? Aneh jika pria itu tidak ingat Veronica yang baru sekian menit sebelumya bertemu dan bicara dengannya.“Aishhh, sombong banget. Dasar kulkas,” ucap Veronica. Kesal juga dicuekin seperti itu.Veronica meneruskan langkah menuju motornya dan segera melaju menuju ke perumahan tempat di mana dia tinggal dan sekaligus membuka usahanya.Dia akan bekerja keras menyiapkan semua dan kembali dua hari lagi dengan kejutan baut CEO tampan yang sedingin kulkas itu!*****Veronica mengangkat kedua tangannya, meregangkan otot yang kaku, sampai ke punggungnya. Dia menoleh ke dinding dan melihat jam yang terpajang di sana.“Astaga, hampir jam dua belas malam. Pantas saja lelah sekali rasanya,” katanya terkejut sendiri.Veronica mengambil jedai dan mengikat rambut tebalnya agak tinggi di atas kepala. Lalu dia bangun dan mengambil minum. Segelas langsung ludes dia habiskan. Dia perhatikan ruangan kerjanya. Berantalan. Tapi tiga kaos dan dua celana sudah selesai dia kerjakan. Lumayan juga.Sejak pulang dari kantor CEO dingin itu, Veronica hampir tidak keluar ruangan kerjanya. Membuat bermacam design lalu menjahit model yang paling bagus untuk dia bawa sebagai contoh. Selain itu dia memikirkan keunikan apa dari produknya yang akan bisa bertahan untuk semua pelanggan yang akan membeli hasil karyanya.“Bagus juga dia bertanya begitu,” kata Veronica. “Akhirnya aku akan punya ciri istimewa dari apa yang aku akan pasarkan. Ah, entah kamu sengaja ingin mengecilkan aku, Pak CEO. Atau ... jika memang itu saran darimu, aku akan sangat berterima kasih. Kamu tidak akan rugi kalau kamu, CEO Sedingin Kulkas, mau menerima tawaran kerja sama ini.”Veronica kembali tersenyum. Dia bahkan sudah punya motto atau slogan untuk design produk miliknya.“Kita akan lihat besok, kamu tidak akan menolak aku lagi, Pak CEO.” Veronica berkata dengan yakin sembari membentangkan kaos berwarna biru terang yang ada di depannya.Veronica lega, dia sudah bergerak lumayan cepat, mendapat kemajuan cukup banyak. Saatnya dia istirahat. Besok waktu bertemu dengan CEO sedingin kulkas itu, Veronica harus tampil cantik, sangat maksimal, dengan kostum yang menggambarkan produk andalan miliknya.Masuk ke kamarnya, Veronica masuk ke kamar mandi membersihkan diri dan segera berganti dengan pakaian tidurnya. Lalu Veronica naik ke atas ranjang dan duduk berselonjor. Dia menoleh ke sisi kiri. Tepat di sebelah ranjang, di atas nakas, pigura ukuran A5 berdiri di sana. Dua wajah tersenyum pada Veronica. Satu seorang pria tampan dengan rambut ikal, di sampingnya seorang anak perempuan dengan lesung pipi yang bagus.Tangan Veronica terulur dan mengambil pigura itu. Dia pandangi dua wajah yang masih tersenyum padanya. Veronica mengusapnya, ikut tersenyum tetapi dengan hati mulai merasa sendu.“I miss you a lot. But don’t worry, I am okey.” Veronica bicara lirih.Lalu dia merebahkan badan dan mendekap pigura itu di dadanya. Dengan posisi seperti itu, tidak lama Veronica pun terlelap.Krringggg!!!Veronica melonjak kaget mendengar deringan kencang itu! Segera dia bangun dan duduk. Tangannya dengan cepat mematikan weker yang ada di atas nakas. Lalu dia meletakkan kembali pigura di tempatnya.“Guys, wish me luck. Perjuanganku kembali dimulai hari ini,” kata Veronica sambil memandang pada pigura itu.Dengan sigap Veronica bersiap. Dia akan memastikan lagi semua yang akan dia bawa untuk bertemu CEO dingin itu tidak ada yang tertinggal. Dia akan siap menjawab apa saja yang nanti mungkin ditanyakan sang CEO.“Hari ini, aku siap, Pak CEO. Kamu akan terkejut dan tidak mungkin membiarkan aku pulang dengan tangan hampa.” Veronica dengan yakin berkata.*****“Pak, jadi akan bertemu Veronica Prawira hari ini?” Ranintya bertanya pada Gio saat mereka usai briefing dengan beberapa karyawan.“Ya. Benar, untung Ibu ingatkan. Hampir aku lupa. Jam sepuluh.” Gio mengangguk-angguk.“Pak Gio yakin mau menerima proposal wanita itu?” tanya Ranintya lagi.“Itu semacam kudapan saja di perusahaan ini, kan?” Gio menaikkan kedua alisnya menatap RanintyaRanintya tersenyum, lalu menaikan kedua bahunya. “Apa Pak Gio merasa sesuatu dengan dia? Maaf, Veronica ini cantik sekali, dan cerdas.”“Ah, Ibu Rani ada-ada saja. Aku ga mikir sama sekali,” sahut Gio cepat.Ranintya menarik napas dalam. Dia sudah bisa menduga kalimat itu yang akan Gio ucapkan. Masih saja, tidak peduli dengan urusan wanita.“Sudah lima tahun, Pak Gio beneran tidak ingin move on?” Ranintya belum lelah mengulik hati Gio.“Aku tidak ingin melukai anak-anakku, Bu Rani. Mereka punya papa setia dan hanya akan cinta pada mama mereka.” Gio menjawab sambil melihat ke layar ponselnya. Wajah tiga buah hatinya terpampang di sana. Senyum lebar dan ceria yang tampak.“Mereka butuh seorang ibu. Khususnya Maureen. Dia sudah remaja, dia butuh wanita untuk mendampinginya di masa puber ini. Pasti tidak mudah buat Maureen.” Ranitya bicara dari hatinya sebagai seorang ibu yang telah melewati masa-masa itu.“Hmm … aku belum memikirkannya, Bu Rani. Kami hidup baik-baik, kurasa itu cukup,” ujar Gio sambil tersenyum kecil.Ranintya tidak tahu akan bicara apa lagi. Sudah beberapa kali Ranintya bicara soal ini, Gio selalu menghindar. Ranintya tahu, Gio harus berjuang begitu rupa menjadi ayah dan juga ibu bagi tiga anak kesayangannya, sejak istri tercintanya berpulang. Ranintya juga tahu, di dasar hati Gio, dia butuh pendamping, tapi terus dia sisihkan rasa itu. Demi anak-anaknya, demi citra diri sebagai ayah yang sayang keluarga, tetap setia pada istrinya, sekalipun sang istri sudah pergi untuk selamanya.Tok tok tok!!Gio dan Ranintya menoleh ke arah pintu mendengar ketukan itu. Mata Gio melebar melihat siapa yang berdiri di sana dan menatap padanya.Veronica berdiri dengan tote bag besar di tangannya. Outfit yang dia kenakan sangat berbeda dengan dua hari sebelumnya saat dia datang ke kantor itu. Jika yang lalu dia mengenakan pakaian resmi seorang wanita karir, yaitu setelan berwarna coklat gelap yang manis, kali ini sangat lain. Kostum yang menempel di tubuhnya pagi itu, kaos cerah berwarna biru tosca dengan lengan sedikit lebar dan panjang sampai di pinggang. Lalu celana 7/8 berwarna hitam dengan model unik ada pita di sisi kiri dan kanan kaki, lengkap dengan Sepatu kets putih. Dengan penampilan itu, Veronica tampak beberapa tahun lebih muda. Apalagi dengan rambut tebal coklat miliknya dikuncir tinggi di belakang kepalanya. “Bu Veronica? Mari, silakan masuk!” Ranintya yang sama terkejutnya akhirnya bergerak menyambut Veronica. “Selamat pagi, Pak Gio, Bu Ranintya. Terima kasih,” sapa Veronica. Dia melempar senyum lebar, agar merasa lebih tenang dan tidak terlalu tegang. Dengan tote bag besar di tangan Veronica masuk dan dudu
Biarkan Veronica menikmati kegembiraan karena berhasil melewati satu tahap dari rencananya. Ada baiknya mengintip kehidupan CEO tampan dan dingin, Gio Hendrick. "Congratulations, Pak Gio Hendrick! Ini lebih dari espektasi. Rencana Bapak berjalan sempurna." Senyum manis dengan mata biru berbinar menatap Georgio Leonard Hendrick.Pria berusia empat puluh empat tahun itu tersenyum dengan tatapan tenang. Auranya yang selalu memunculkan kesan seorang pemimpin yang berkharisma, hadir lagi."Ya, aku juga tidak menduga yang tercapai bahkan lebih baik dari yang direncanakan. Melegakan, semua yang terlibat bekerja luar biasa." Gio kembali mengurai senyum tipis khas miliknya. Dia memandangi wajah ayu di depannya."Tidak berlebihan kalau keberhasilan ini dirayakan, bukan?" Wanita dengan rambut coklat terang itu mencondongkan tubuhnya merapat pada meja, menatap lebih dalam pada mata tegas Gio."Ah, aku tidak memikirkan itu, Bu Shiany," ujar Gio. Dia agak kaget tiba-tiba Shiany mengatakan itu."Se
Mata indah berlensa biru itu menatap tajam tapi manja dan penuh harap pada Gio. Sementara tangan Shiany menggelayut erat di leher Gio. Posisi seperti itu, tak bisa dipungkiri, sisi kejantanan Gio bangkit. Meskipun sekian lama dia tidak menyentuh wanita, dia masih normal dan punya hasrat."Malam ini akan jadi spesial banget. I promise." Shiany memandangi lebih lekat pada Gio.Gio sangat kaget dengan keberanian Shiany. Selama bekerja sama dalam event yang baru mereka sukseskan, sikap Shiany wajar-wajar saja. Tetapi memang tatapan kekaguman sekali waktu Gio lihat jelas dari Shiany. "Bu Shiany, ini di kantor. Jaga sikap Anda." Gio makin memasang wajah dingin. Dia pegang dua tangan Shiany dan menurunkannya."Pak Gio, aku hanya mau membuat Bapak happy. Aku mau happy sama Pak Gio." Tangan Shiany kembali terulur ingin memegang lengan Gio.Gio mundur dua langkah. Wanita cantik ini ternyata lebih dari berani. Usianya masih tergolong muda jika dibandingkan Gio yang tak lama lagi akan masuk kepa
Gio melangkah masuk ke dalam ruangan IGD menuju ranjang di mana anak keduanya berbaring. Di sampingnya, Maureen memegang lengannya dengan kuat. Gadis itu sangat gugup dan juga dipenuhi rasa takut bercampur rasa bersalah.Tinggal beberapa langkah dari ranjang mereka berhenti. Di depan mereka Felipe terbaring lemah di atas kasur. Kepalanya dibalut perban putih. Ada memar dan luka di wajahnya. Kedua tangan dan kakinya juga banyak luka-luka akibat yang dia alami. Tangan kirinya diinfus, entah obat apa yang dia perlukan.Mata Felipe memandang lurus pada Gio dan Maureen. Tetapi tatapan Felipe terlihat aneh. Dia memandang ke sekelilingnya seolah-olah mencoba memahami apa yang terjadi."Hai, Fel. Apa yang kamu rasa?" Gio maju lagi dua langkah. Maureen terus memegang kuat lengan Gio."Aku? Aku, kenapa?" Pandangan Felipe tampak bingung."Fel!""Kak?!" Gio dan Maureen berseru bareng. Pertanyaan Felipe membuat mereka kaget."Kak, beneran kamu ga ingat apa yang terjadi?" Maureen maju selangkah, t
"Aku bawakan sarapan, Pak. Masih hangat." Shiany menyodorkan kotak berwarna coklat di depan Gio. Gio mengusap-usap mata dan wajahnya. Dia masih harus memaksa dirinya segera dapat kesadaran lagi. Ya, dia tidak sedang bermimpi. Shiany memang datang menemuinya di rumah sakit. "Dari mana kamu tahu aku di sini?" Gio tidak bisa basa-basi. Dia tidak menerima kotak yang masih terulur di depannya. Dia menatap Shiany dengan pandangan tidak suka. "Itu gampang sekali, Pak Gio. Media sosial bisa menjawab apapun yang kita tanya dan menunjukkan apapun yang kita perlu," jawab Shiany. Ya, kenapa tidak terpikir oleh Gio? Anak-anaknya bisa saja meng-up load yang terjadi pada Felipe. Mudah saja mencari jejak digital.Dia duduk di samping Gio sambil memegang kotak yang ditolak Gio. Gio berdiri, mendekati Felipe. Anak muda itu masih lelap dengan posisi kepalanya miring. Perlahan-lahan Gio membetulkan posisinya agar lebih nyaman. "Hhmmm ..." Felipe bergumam. Sepertinya dia merasa ada yang mengganggu ti
Gio harus menjelaskan pada anak-anaknya kalau dia dan Shiany memang tidak ada apa-apa. Dia harus memilih kata-kata yang tepat agar tidak akan ada lagi pertanyaan dan kecurigaan dari mereka kalau Gio tidak ada hubungan lebih dari rekan kerja dengan wanita itu. Reggy dan Felipe memandang pada sang ayah, menunggu penjelasan. Maureen masih pura-pura sibuk meskipun telinganya siap menerima jawaban. "Bu Shiany itu utusan dari perusahaan lain untuk bekerja sama dengan event di kota. Lebih dua bulan kami bersama-sama mengurus semuanya. Baru tuntas kemarin. Papa juga tidak mengira dia punya perhatian lebih. Serius, Papa bahkan tidak mengatakan kalau anak Papa sedang kena musibah. Dia mendapat kabar dari yang lain." Ketiga anak Gio memperhatikannya. Mereka mau mendengar semuanya, sejelas-jelasnya. "Papa sudah janji akan fokus dengan keluarga. Papa masih sayang mama kalian. Buat Papa tujuan hidup Papa melihat kalian berhasil meraih cita-cita, itu saja." Gio tidak mau menceritakan lebih jauh y
Gio merasa deru jantungnya melaju begitu cepat. Hasrat rindunya meningkat. Victoria tiba-tiba ada di depannya. Mata mereka bertemu, tangan pun saling menggenggam. Gio tak akan menyia-nyiakan waktu kebersamaan itu."Vicky, Vicky ...""Mas Gio, kamu yang aku kuatirkan." Victoria mengulang kata-katanya."Aku sangat rindu sama kamu," kata Gio tanpa berkedip, terus memandang wajah cantik wanita paling dia cintai."Mas, kamu harus bahagia," ucap Victoria lembut. Tangannya naik menyentuh pipi Gio. Ada ketulusan dari tatapan mata Victoria."Kamu bahagiaku, Vicky. Kamu tahu itu," ucap Gio. Makin menderu rasa di dadanya. "Kamu pun bahagiaku. Ketiga buah hati kita bukti kebahagiaan kita. Tapi kamu, Mas, kamu harus bahagia ..." Tuttt!!! Tutttt!!!Keras dering telpon terdengar. Gio melonjak dan segera bangun."Astaga ... Aku ketiduran. Dan, Vicky??" Gio benar-benar bermimpi bertemu mendiang istrinya.Tutttt!! Tuttt!! Lagi dering ponsel membahana di ruang kamar itu.Masih belum mendarat, masih te
Pagi datang. Veronica bersemangat memulai hari. Dengan dua karyawatinya tinggal di ruko, di lantai 2, dia tidak lagi merasa kesepian. Veronica sendiri memilih lantai 3 menjadi tempat dia tinggal. Lebih privasi dan tenang.“Mbak, jadi belanja?” Seorang wanita muda menghampiri Veronica yang baru turun dari lantai atas ke distro.“Eih, Tina. Iya. Ada beberapa yang harus aku beli buat besok.” Veronica menjawab dengan senyum ceria di bibirnya.“Perlu aku temani, Mbak?” Tina menawarkan diri.“Hmm …” Veronica berpikir. “Ga usah, deh. Ga banyak juga yang dibeli. Kamu bantu di sini aja, biar semua segera beres.”"Siap!" Tina menyahut dengan mantap."Kalau ada apa-apa jangan sungkan hubungi saja. Aku harap yang aku cari ga susah dapatnya, jadi aku bisa cepat balik." Veronica merapatkan jaket tipis yang dia kenakan."Iya, Mbak. Hati-hati di jalan." Tina mengangguk.Veronica keluar distro. Taksi online yang di pesan sudah datang. Dengan cepat Veronica masuk ke dalam kendaraan berwarna putih itu,
Veronica mendorong Gio agar menjauh. Dengan cepat Veronica bangun dan turun dari ranjang besar itu. Veronica merapikan rambut dan baju yang dia kenakan. “Papa!!” Terdengar lagi teriakan Maureen. “Ah, aku salah strategi. Kenapa aku suruh mereka nyusul ke sini sekarang?” Kesal, Gio berkata. Veronica tersenyum mendengar kalimat itu. Dia mendekati Gio, mengecup pipinya, lalu cepat bergerak menuju ke pintu dan membukanya. Di depan pintu, Maureen berdiri memandang dengan cemas. Di belakangnya Felipe dan Reggy berdiri sama cemasnya, menatap Veronica. “Mama. Mama ga apa-apa?” Maureen mencermati Veronica dengan mata bergerak cepat melihat dari atas ke bawah. “Nggak apa-apa,” kata Veronica. “Papa mana?” tanya Felipe. “Ada di dalam. Masuklah,” jawab Veronica sambil membuka lebih lebar pintu kamar itu. Ketiga anak itu semakin bingung. Veronica terlihat baik-baik saja. Dia tampak tenang dan tidak ada lagi marah meluap seperti yang dia tunjukkan saat masih di rumah. Veronica mendah
Gio mengepalkan tangannya menatap dengan marah pada Veronica. “Oh, kamu mencurigaiku?! Oke! Sekarang, kamu ikut aku. Biar kamu tahu sekalian apa yang aku lakukan tadi malam. Biar kamu puas!” Gio berkata lebih keras dengan wajah juga memerah. “Buat apa? Kamu mau kenalkan aku sama wanita itu? Buat apa!?” sentak Veronica. Geram makin melambung di dadanya yang terasa panas membara. Gio menarik lengan Veronica, tidak memberi kesempatan istrinya menolak. Sekalipun Veronica mencoba melepaskan tangan, Gio tidak melonggarkan pegangan tangannya. “Papa!” Maureen memanggil Gio dengan hati porak poranda. Dia marah, sangat marah papanya bertindak kasar pada Veronica yang tidk lain dan tidak bukan adalah istrinya. Reggy dan Felipe pun bergerak maju dua langkah karena sangat terkejut mendapati orang tuanya sampai ribut di depan mereka. “Kalian juga mau tahu!? Silakan menyusul. Aku akan share lokasinya. Jelas?” Gio melihat pada ketiga anaknya yang melotot dengan pandangan bingung bercampur
“Hmm …” Veronica tersenyum tipis. Ya, kejutan luar biasa! Gio ada main hati dengan wanita lain di belakang Veronica. “Mungkin. Mama belum tahu.”Veronica berusaha tersenyum dengan tatapan tenang, meskipun hatinya terasa pilu.“Tepat banget lagi, Mama ultah di hari Sabtu. Semua ada di rumah,” kata Maureen dengan senyum lebar. “Ah, aku mau masak yang spesial buat Mama, deh, buat sarapan.”“Wah, terima kasih banyak. Tapi Mama mau pergi belanja. Di kulkas tinggal sedikit bahan makanan,” ujar Veronica. Rencananya ingin menenangkan diri harus dia lakukan.“Oke. Pas Mama balik, sarapan sudah siap.” Maureen berucap dengan dua jempol terangkat.Veronica melempar senyum kecil, lalu meninggalkan rumah. Veronica sengaja berjalan saja menuju ke swalayan yang ada di dekat distro. Dia akan ambil waktu di sana menenangkan diri sebelum nanti kembali ke rumah.Lantao 3 di distro memang jadi tempat para karyawan Veronica tinggal sejak Veronica menikah dan tinggal dengan Gio serta anak-anaknya. Ruangan m
Veronica menoleh ke jam dinding di kamar, hampir setengah sepuluh malam. Gio belum juga pulang. Ke mana sebenarnya pria itu? Biasanya, dia akan memberitahu dengan jelas ke mana pergi, ada urusan apa, dan dengan siapa. Tapi kali itu, dia bukan hanya bersikap dingin, tetapi juga tidak mau bicara apapun pada Veronica. Bagi Veronica, sikap Gio itu kembali menjadi CEO tampan sedingin kulkas.Sekali lagi Veronica mengirimkan pesan pada Gio. Tentu saja berharap Gio akan membalasnya.- Kak, belum bisa pulang? Aku tunggu atau aku tidur lebiih dulu?Gio akhirnya membalas pesan itu, setelah hampir sepuluh menit berlalu.- terserahJawaban itu membuat Veronica kesal. Sedang sibuk apa, sih, sampai membalas pesan saja tidak bisa dengan kata-kata yang melegakan? Tidak sabar, Veronica menelpon suaminya. Beberapa kali mencoba, Gio pun menerima panggilan itu.“Kenapa?” tanya Gio datar.“Kakak ada apa? Beritahu aku yang jelas. Aku bingung dengan sikap Kak Gio,” kata Veronica tanpa basa-basi.“Jangan leb
Hari hampir malam saat Gio tiba di rumah. Empat hari di luar kota, sangat melelahkan. Dia ingin sekali segera istirahat, bertemu keluarga, dan menikmati waktu untuk menyegarkan penat dirinya. Maureen menyambut Gio di depan pintu. Dengan senyum lebar dia memeluk kuat Gio. Meskipun sudah menjadi gadis dewasa, Maureen tetap saja manja. “Senang Papa pulang. Kak Reggy juga sudah di rumah. Lengkap keluarga kita,” kata Maureen masih bergelayut manja pada ayahnya. “Gimana Reggy? Dia baik?” tanya Gio sambil berjalan menuju ke kamarnya. “Baik. Lagi keluar sama Kak Sita. Biasalah, kangen-kangenan, hee … abis LDR,” jawab Maureen. “Reen masak apa buat makan malam? Papa lapar.” Gio meletakkan koper di dekat lemari pakaiannya. “Ada, udah siap. Tapi mama belum pulang,” kata Maureen. “Ga apa-apa. Ga usah tunggu, keburu sakit perut,” ujar Gio. “Oya, Pa, tiga hari lagi mama ultah. Mau bikin acara, ga?” tanya Maureen. “Oya?” Gio menatap Maureen. Bagaimana bisa dia tidak ingat? “Yaa … Papa sama
Pasak melangkah menjauh, Randy dan Maureen menuju motor. Tak lama mereka sudah di jalanan yang cukup ramai. Randy mengantar Maureen pulang. Di jalan dia cerita tentang Pasak. Dia pembalap yang sangat lihai dan tajam menyerang lawan. Kayak pasak menghujam tanah dengan dalam. Karena itu dia dipanggil Pasak. Satu lagi Maureen bertemu teman lama Randy. Dan dia mengatakan sesuatu yang memang Randy akui pada Maureen. Randy dulu suka balapan liar tapi dia sudah berhenti. Maureen tersenyum. Dia makin yakin, Randy sungguh-sungguh mau mengubah hidupnya. "Senangnya Kakak di rumah lagi. Kangen banget aku." Maureen memeluk Reggy yang baru masuk rumah. "Aku juga lega akhirnya kembali ke rumah. Kangen masakan kamu sama mama," ucap Reggy dengan senyum. khasnya. "Udah, Reggy istirahat dulu, nanti aja ceritanya," kata Veronica. "Bawa oleh-oleh ga, Kak?" tanya Maureen mengikuti Reggy ke kamarnya. "Ada. Pasti aku bawa buat adikku yang cantik ini." Reggy mengusap kepala Maureen. "Biar aku belum pern
Mobil merah keren itu masuk halaman rumah keluarga Hendrick. Randy memarkir mobil dan turun dari mobil. Maureen juga keluar dari mobil itu. Lalu mengeluarkan beberapa belanjaannya dari bagasi. Randy membantu membawakan juga. Mereka masuk dalam ruang tamu, menaruh tas belanjaan di sana. "Terima kasih buat hari ini," kata Randy. Dia tersenyum, hatinya sangat lega. "Aku minta maaf." Maureen melihat Randy. "Untuk apa? Aku seharusnya yang minta maaf karena kejadian tadi." Randy memandang heran pada Maureen. "Aku sengaja minta yang aneh-aneh sama kamu." Maureen melihat tas-tas belanjaan yang tergelak di sofa. "Aku hanya ingin melihat bagaimana sikapmu kalau menghadapi perempuan bawel dan banyak maunya." "Jadi ..." Randy mengerutkan keningnya. Maureen tersenyum lebih lebar. "Aku bukan tipe perempuan yang suka shopping banget. Apalagi yang ga dibutuhkan. Tapi, aku akan jaga baik-baik barang-barang ini. Janji." "Aku lulus tes?" tanya Randy. Maureen lagi melebarkan bibirnya. Dia menga
Randy memandang Maureen. Rasanya Randy seperti sedang dikuliti. "Ga ada," jawab Randy. "Setelah papa mama cerai, lalu papa menikah dengan wanita itu, aku mulai malas dengan perempuan. Maksudku, aku menilai perempuan lebih negatif. Hanya memanfaatkan pria untuk kesenangannya. Tentu kecuali mamaku. Makanya aku ga dekat sama siapapun, hampir setahun ini." "Kebiasaan yang lain?" Maureen ingin semua dia tahu, tanpa ada yang Randy sembunyikan. "Tinggal merokok. Meski makin jarang. Sejak kecelakaan, mama tegas bilang ga mau aku celaka. Dan balapan sangat beresiko. Aku ga melakukannya lagi. Minum, sudah lama aku ga lakukan. Pernah Sandy tahu dan dia sangat marah. Dia ga suka kakaknya jadi kayak orang gila. Karena aku sampai mabuk waktu itu." Randy menjawab panjang lebar. Mulai nyaman mengatakan semuanya, walaupun Maureen sangat mungkin akan memilih mundur setelah itu. "Apa yang kamu pikirkan ketika ingin mendekati aku? Jalan dengan cara seperti dengan semua mantan kamu itu?" Tajam dan sin
"Omongan Nesti ga usah didengarin, Reen. Cewek tomboy ini rada sableng emang." Randy melotot karena jengkel."Hati-hati, Reen! Dia suka makan cewek, hehe ..." Nesti makin jadi."Sudah sana jauh-jauh, hari sial aku ketemu kamu." Randy mendorong Nesti agar pergi dari situ."Bye, Maureen! Bye, ex babe, hee ... hee ..." Masih sempat juga Nesti berceloteh.Maureen makin masam mukanya. Hatinya tidak karuan melihat pemandangan tak terduga di depannya."Reen ..." panggil Randy. Randy bisa membaca tatapan Maupun yang berubah tidak secerah tadi."Oo ... iya. Kita masuk?" kata Maureen. Dia langsung melangkah duluan ke gedung bioskop mencari tempat duduknya.Randy mengikuti dan duduk di sisi Maureen. Dia menaruh popcorn di antara mereka. Dia beli satu tapi yang jumbo.Maureen tidak lagi konsentrasi dengan situasi. Tidak juga bisa memperhatikan film yang mulai ditayangkan. Dia memikirkan Nesti dan kata-katanya. Yang Maureen tangkap, Randy biasa bebas dengan cewek. Entah kenapa perasaannya jadi kur