Ada yang berbeda dari mereka berdua, Dina memperhatikannya dalam diam, sejak tiba tadi pagi mereka memang masih bertingkah seperti biasa jika tidak saling bertatap muka.
Akan tetapi jika tak sengaja bertatapan, Bara akan mengalihkan pandangannya dan Hera yang menunduk dalam, Ada apa bukankah saat di rumah sakit mereka terlihat sangat akur?Dina memang bukan orang yang sangat kepo seperti Siska, tapi dia juga bukan orang yang akan cuek saja melihat keanehan di depan matanya, dia sudah banyak belajar dalam hidup ini, hal-hal kecil saja bisa menjadi petunjuk sebuah peristiwa besar.Dalam hati Dina tersenyum geli, dia sudah seperti detektif saja yang suka menganalisa segalanya. Tapi instingnya yang terbiasa bekerja untuk menilai karakter orang menjadi sangat tajam. Dan Dina yakin sesuatu telah terjadi pada mereka berdua.“Wangi sekali baunya.” Dina melangkah menghampiri dua orang itu, Dina memandang mangkuk yang masih mengepulkan uap tipis yang dibawa Hera. “Ini supJika Bara sudah menutup pembicaraan dan mengindikasikan tak ingin orang lain ikut campur dalam urusannya Dina bisa apa, wanita itu tak mungkin memaksakan kehendaknya untuk tahu dengan jelas persoalan mereka berdua. “Kamu orang baik, Bar, aku hanya berharap kamu bisa memiliki seseorang yang juga mencintaimu tulus.” Bara hanya tersenyum sambil mengangguk. “Mbak sendiri bagaimana? apa yang akan mbak lakukan setelah ini, kalian sudah berpisah rumah apa akan berpisah selamanya?” “Entahlah, aku bisa merasakan kalau Mas Angga mulai mencintaiku, tapi hatiku masih ragu untuk menerimanya seperti dulu.” Bara mengangguk mengerti, masalah ini memang cukup rumit untuk posisi Angga, dengan adanya anak dari Keira tidak mungkin Angga begitu saja lepas tangan dan mencerikan wanita itu. tapi di sisi Dinapun merasa tak nyaman dengan kehadiran Keira di antara mereka. “Saat ini mereka masih menunggu hasil test DNA,” kata Dina tiba-tiba, enta mengapa dia ingin mengatakannya pada B
Makan malam di alam terbuka berhiaskan cahaya bulan dan juga nyanyian binatang malam yang dengan bangga memperdengarkan suaranya membuat suasana yang indah itu makin romantis. Makanan yang mengeluarkan bau yang harum semakin membuat perut kelaparan, bukan jenis makan malam mewah seperti yang sering terlihat di restoran mewah, hanya menu desa dengan berbagai macam lalapan yang dipetik dari hasil kebun sendiri dan berbagai macam sambal yang membuat air liur menetes. Ini bukan malam romantis seperti kebanyakan pasangan yang lain, ini hanya sekedar makan malam keluarga yang penuh kehangatan. Dina tertawa melihat expresi suaminya yang gondok berat saat dia melakukan panggilan video dengan latar belkang meja makan itu. Bara bahkan dengan tak berperasaan, duduk di dekat Dina dan makan ikan bakar dengan nikmatnya. Sungguh jika saja Bara ada di dekatnya, Angga akan dengan senang hati memukul kepalanya. “Kalian di sana berpesta aku di sini kelaparan,” keluh Angga.“Sal
Hera mengetuk kamar Dina dengan pelan, sebenarnya dia ragu untuk bicara dengan sang nyonya, tapi mau bagaimana lagi, dia sadar sikapnya sudah membuat suasana tak nyaman untuk Bara terutama. Sang Nyonya baru saja menidurkan putra putrinya dan masuk ke kamarnya sendiri, Hera yakin Dina belum tidur, dia hapal betul kebiasaan sang nyonya yang selalu membaca di malam hari. “Semoga Nyonya tidak keberatan,” doa Hera salam hati. Hera segera membuka pintu kamar yang memang tidak dikunci dengan sebelah tangannya, tangannya yang lain menahan nampan yang berisi air minum dan potongan buah titipan bibi. “Maaf Nyonya saya mau mengantarkan ini.” Benar saja Dina sedang asyik membaca bukunya, sejenak dia menghentikan bacaannya dan menatap Hera dengan senyuman.”Taruh di meja saja, Her, terima kasih.” Hera meletakkan nampan itu dengan hati-hati, memalukan memang, dia yang seorang pengawal, terbiasa dengan berbagai orang-orang kasar dan harus tegas dalam berbagai tindakan
“Aku ingin melihat bayiku, Mas.,” itu yang Keira katakan saat Angga memasuki ruang rawatnya. Sore itu Angga memang menyempatkan diri mampir ke rumah sakit. Angga menatap suster yang menjaga Keira, seolah bertanya kenapa mereka tidak pergi, kalau hanya ingin melihat bayinya. “Non Keira ingin pergi dengan Tuan,” kata perawat itu dengan menunduk, dia sangat mengerti kalau Angga enggan sekali berdekatan dengan Keira, apalagi setelah sadar, Keira terus saja berulah yang membuat semua orang kerepotan. Sang perawat sangat paham memang dengan keengganan Angga, semula saat mulai bekerja dia merasa iba dengan Dina yang diduakan suaminya dengan wanita manja yang tak bisa apa-apa seperti Keira, sayangnya wanita manja itu berusia jauh lebih muda dan telah dipilih suaminya untuk dijadikan istri kedua. Tapi sekarang setelah melihat keterlibatan keluarga crazy rich itu, sang perawat berpikir lain, dia tak tahu apa di sini Angga yang begitu lemah sampai mau dipermainkan oleh wanita ya
Lelah itulah yang dirasakan Angga saat ini, laki-laki yang biasanya terkesan berwibawa itu kini terlihat kusut dan muram. Seharusnya Angga menjadi laki-laki yang paling bahagia dengan mempunyai dua istri yang cantik-cantik. Dulu dia berpikir mungkin Dina yang memang selalu mandiri dan bisa diandalkan tak akan terpengaruh dengan keputusannya mempunyai seorang istri lagi yang bisa membantu Dina mengurusnya dan anak-anak. Tapi lihat sekarang bukan Keira yang mengurusnya, malah istri mudanya itu yang sering kali harus dia urus, dengan berbagai macam ulahnya yang membuat pusing kepala. Baru satu hari Dina pergi berlibur harinya sudah kacau seperti neraka rasanya. Bukan tanpa alasan memang penampilan Angga seperti itu, selama pernikahannya dengan Dina, laki-laki itu sudah terbiasa diurus oleh sang istri dari bangun tidur sampai tidur, jadi tidak akan heran kalau selama Dina memilih pergi dari rumah ini, sulit bagi Angga untuk menyesuaikan diri, meski Dina masih tetap mengurusnya lewat
“Akhirnya kalian kembali juga,” kata Angga dengan senyum sejuta watt yang menghiasi wajahnya. Dia sudah duduk, berdiri lalu duduk lagi lebih dari satu jam yang lalu, laki-laki itu begitu antusias menyambut kepulangan keluarganya, lebay memang tapi itulah yang dia rasakan saat ini. di usianya yang sudah berkepala empat Angga baru tahu kalau keluarganya adalah hal yang terpenting dalam hidupnya, bukan pekerjaan yang selama ini dia perjuangkan siang dan malam. “Kita hanya pergi satu hari, bukan yang bertahun-tahun.” Bara yang ikut serta ke rumah ini memandang Angga dengan mengejek. “Beisik kamu.” Tanpa mempedulikan Bara lagi Angga langsung membantu anak-anak untuk turun dan menggandeng tangan istrinya hangat, tak dia pedulikan Bara yang berteriak-teriak memintanya membantu mengangkat barang-barang mereka. Pertanyaan basa basi seperti apa kabar? bagaimana liburannya? Membuat Dina cemberut, wanita itu ingin mandi sebentar, gerah rasanya tapi suaminya ini begitu c
“Aku akan memenuhi undangan Steven Hartono.” Angga memandang ponselnya memastikan kalau sambungan tak terputus. Dina masih tetap terdiam di ujung sana. “Halo, Din?” tanya Angga lagi. “Ok,” jawab Dina akhirnya singkat. Mungkin dia juga tak tahu harus bilang apa. Pagi itu Angga menghubungi istrinya setelah meeting yang dia lakukan dengan para staffnya. Kebiasaan rutin yang akhir-akhir ini selalu dilakukan oleh Angga, dia hanya ingin lebih dekat dengan istrinya meski mereka bekerja ditempat yang berbeda.Dan Dina juga pelan-pelan mulai terbuka padanya, istrinya itu juga tak segan menceritakan kegiatannya sehari-hari meski kadang Angga sedikit cemburu karena Brian yang terlalu perhatian pada Dina menurutnya, tapi itu hanya hal kecil yang tidak perlu dia besar-besarkan, dia berusaha percaya pada sang istri. “Apa kamu tidak ingin ikut? Aku bisa menjemputmu sebelum ke sana?” satu kebiasaan baru yang dilakuakn Angga adalah selalu mendatangi kantor istrinya jika makan
“Maksudmu mengakui kalau anak itu anak kandungku? Apa kamu lupa dengan test DNA yang akan dilakukan?” tanya Angga marah saat mengetahui dengan jelas arah pembicaraan Steven. “Jadi itu anakmu? Kamu berselingkuh dengan pacar kakakmu sendiri dan sekarang kamu tidak ingin ketahuan oleh kakakmu, makanya mengorbankan orang lain,” Angga berkata dengan takjub. Angga berdiri tak ada gunanya dia di sini dia pikir hanya Rudi Hartono yang bertindak gila tapi anaknya lebih gila lagi, mengakui anak itu anaknya yang benar saja, Dina bisa langsung pergi darinya, dia tak segila itu hanya karena Harta, jika boleh berbangga diri Angga lebih dari mampu untuk memberikan sebuah restoran untuk Dina. Kekayaan yang dia miliki memang masih kalah jauh dibandingkan dengan keluarga Hartono, tapi dia tak akan berbuat serendah itu hanya demi uang, sudah cukup dia menyesali keputusannya yang ceroboh dengan menerima permintaan Rudi Hartono dulu jangan sampai putranya juga ikut memanfaatkannya. “Tungg