Keheningan itu terasa seperti lubang hitam yang akan menelan setiap manusia ke dalam pusaran kegelapan yang pekat, sepi, dingin dan mencekam. Mereka tenggelam dalam pemikiran masing-masing, berusaha menyelami apa yang baru saja menjadi bahan pembicaraan mereka berdua. Mereka masih diliputi keheningan saat ponsel Dina berdering mengagetkan keduanya. Dina memperhatikan nama suaminya yang muncul di layar, Dina mendesah lelah dia sangat tidak ingin bicara dengan suaminya terlebih dahulu, cerita mama Laras membuatnya masih shock dia tidak mau keceplosan mengucapkan apa pun yang akan dia sesali nantinya, tapi saat mengingat Ara bersama suaminya itu membuat Dina tak tenang, dia tahu kombinasi antara suami dan anak-anaknya saja bukan komposisi yang bagus. “Maaf saya terima telepon dulu.” Dina langsung berdiri tanpa menunggu jawaban Nyonya Aryobimo. “Ya?” “Kamu masih di rumah omanya anak-anak?” tanya Angga di uju
“Bunda!” Ara tersenyum lebar saat melihat Bundanya mendekat, anak itu sedang menaiki komidi putar dan tertawa lebar melambaikan tangan padanya. Wajahnya ceria meski tampak lelah. Dina membalas lambaian tangan putrinya, dia gemas sekali dengan kuncir dua Ara yang sudah berantakan. “Kukira kamu pergi sama Mbak pengasuh,” kata Dina saat dia berdiri dekat suaminya yang menumpukan tubuh di pagar pembatas komidi putar. “Aku memang pergi dengannya, tapi aku minta dia pergi membeli es krim untuk Ara.” Dina hanya mengangguk mendengar jawaban suaminya, dia ikut menumpukan tubuhnya di pagar pembatas. “Apa Ara merepotkanmu?” tanya Dina. Angga tersenyum memandang istrinya. “Aku tahu maksud pertanyaanmu, ini memang kali pertama aku pergi dengan Ara tanpa kamu, tapi semuanya baik-baik saja, Ara bukan anak yang sulit didekati, bagaimanapun aku papanya ada sebagaian darahku yang mengalir di tubuhnya. Tentu
Bagi Dina hari libur bukan waktu untuk berleha-leha, tapi waktu dia untuk membereskan pekerjaan rumah yang ada, memang banyak asisten rumah tangga yang dipekerjakan oleh suaminya tapi Dina bukan tipe istri dan juga ibu yang akan melepas semuanya pada orang lain. Jadi jangan harap Angga yang jarang berada di rumah saat matahari menyinari bumi seperti ini, harus kecewa saat pergi ke kamar tamu yang untuk sementara di tempati sang istri kosong tanpa menemukan wanita itu di dalamnya. Angga mengatakan sementara karena laki-laki itu bertekad untuk meyakinkan sang istri untuk kembali seperti dulu dan menempati kamar mereka lagi. “Nyonya di mana, Bi?” tanya Angga saat melhat asisten rumah tangganya lewat. “Di belakang, Tuan, sedang membuat camilan.” Angga mendesah, lalu kembali ke kamarnya, dia ingin tidur siang sejenak sebelum nanti mengumpulkan energi untuk bersitegang dengan sang istri. Angga tersenyum kecil, Dina memang bukan ti
Dina memandang nanar laki-laki yang masih duduk di depannya, Angga memang tak pernah berubah, sejak pertama kali mereka bertemu, dia memang sudah seperti itu, bertanggung jawab pada Dina dan keluarga secara finansial dan berlaku lembut itu saja, tapi hambar. Tidak ada kasih sayang yang tulus di sana, Dina merasa hampa. Dia ingin menertawakan kata sedikit yang dibilang Angga. "Sedikit, ya, setelah lima tahun kita bersama, setelah pengabdianku selama ini padamu?" Dina berkata dengan pahit."Dan sekarang setelah kehadiran Keira aku tak yakin yang sedikit itu akan bertambah bisa juga jadi hilang," lanjut Dina."Itu tidak akan terjadi," Angga berkata dengan yakin. "Karena tidak pernah sekalipun Keira ada dalam pikiranku.""Bohong!" bantah Dina dengan keras."Kamu boleh tidak percaya tapi itulah kenyataan, aku memang selalu menjaga Keira, tapi itu bukan tentang rasa, tapi hanya tentang bisnis belaka, aku menganggap Keira ad
Dina baru saja turun dari mobil, seperti beberapa hari ini Angga selalu mengantarnya terlebih dahulu dan anak-anak. Baru kemudian dia berangkat ke kantor dengan sopir pribadinya yang mengikuti di belakang. Meski Dina mengatakan kalau itu terlalu berlebihan dan boros tapi laki-laki itu sepertinya tak peduli, dia tetap saja melakukannya dengan senang hati. Apalagi dia juga masih enggan untuk berdekatan dengan suaminya itu, apalagi pengakuannya kemarin yang telah berhasil memporak-porandakan hati Dina. Ya sudahlah duit-duit dia juga, batin Dina kesal. “Halo, Mbak sudah dengar berita terbaru belum?” Dina yang baru saja sampai di lobi kantornya tiba-tiba dikejutkan oleh Siska yang menarik tangannya agar sedikit menyingkir. “Kamu apaan sih, Sis, masak beritanya nggak bisa nunggu,” jawab Dina dengan sebal. “Issh ini penting banget, Mbak, Mbak Dina harus tahu.” Tanpa meresa bersalah Siska terus menyeret t
Pekerjaan bertemu klien atau perwakilan perusahaan yang akan menjadi donatur di yayasan mereka, bukan jenis pekerjaan yang disukai Dina. Pekerjaan seperti itu menuntut kita untuk selalu tersenyum manis, ramah dan kata-kata yang persuasif, tak jarang kalau kita harus sedikit merayu atau bersikap centil di hadapan mereka.Itu sama sekali bertolak belakang dengan kepribadian Dina yang cenderung blak-blakan dan apa adanya, kadang dia bisa bersikap sangat judes jika ada yang tak berkenan di hatinya, kadang dia bisa bersikap sangat ramah pada seseorang yang jelas Dina tak suka berpura-pura.Dina bahkan tak tahu alasan Brian membawanya ikut serta kali ini, alih-alih membawa Sasa yang lebih luwes untuk urusan begini."Mbak Sasa nggak ikut, Pak?" tanya Dina saat mereka sudah duduk manis di dalam mobil dengan Brian di sampingnya, sibuk mempelajari berkas-berkas yang baru saja selesai dia siapkan, ada sedikit rasa bersalah pada diri Dina, saat melihat atasannya terpa
“Jadi ini alasanmu menolak mentah mentah ajakanku balikan.”Dina yang sedang menikmati makanannya sontak menoleh ke belakang. Di sana berdiri dengan wajah marah wanita cantik dengan penampilan yang up to date dari kepala pundak lutut kaki. Dan pastinya semua meneriakkan kata mahal. Tidak bisa dipungkiri wanita ini memang sangat cantik, apalagi saat diperhatikan dari dekat, Dina saja yang perempuan sangat mengagumi hal itu. tapi sepertinya kecantikannya tak dibarengi dengan etika yang baik, bahkan dia dengan tidak sopannya memandang Dina dari atas ke bawah dengan pandangan meremehkan. Hai atittude, Mbak. Ingin sekali Dina meneriakkan hal itu, tapi sebisa mungkin dia tahan. Dia tidak akan sudi memeprmalukan dirinya sendiri dan bertengkar dengan mantan tunangan atasannya itu. Dia wanita bersuami, demi Tuhan, dan tak ada sedikitpun keinginan Dina, untuk merebut Brian dari wanita itu. “Duduklah, tidak baik bicara sambil berdiri,” jawab Bri
Dina langsung memasuki mobilnya saat jam pulang kerjanya berakhir. Entah kenapa dia memiliki dorongan kuat untuk segera pulang ke rumah dan bertemu dengan anak-anaknya, kerinduan yang tiba-tiba muncul itu menyerang dirinya tanpa ampun, padahal baru satu jam yang lalu dia menelepon Bibi dan berbicara langsung dengan mereka.Tidak ada yang salah pada mereka, bahkan Dina tak menerima telepon apapun dari rumah jadi bisa dipastikan kalau semua baik-baik saja. Mungkin ini efek baper dari drama Brian dan Anggun tadi, apalagi setelah itu Brian yang biasanya tertutup urusan pribadinya begitu gamblang menceritakan semuanya pada Dina. Dina teringat ekspresi sakit hati Brian saat tahu Anggun mengkhianatinya. Dina bisa merasakan hal itu karena dia sendiri juga mengalaminya dalam kisahnya saat ini. Betapa sakitnya dikhianati orang yang kita percaya, tapi Brian sungguh beruntung dia bisa segera keluar dari hubungan itu. Dulu sebelum menikah mungkin Dina akan
"Bu Dina dilarikan ke rumah sakit."Pesan salah satu anak buahnya, membuat Angga langsung meninggalkan semua pekerjaannya.Dia melangkah terburu-buru, ingin rasanya dia terbang supaya cepat sampai, dia merutuki dirinya sendiri kenapa harus ada masalah di kantor saat seperti ini, padahal dia sudah berusaha membereskan pekerjaannya dan menemani Dina yang sedang hamil tua. Syukurlah Bara sangat bisa diandalkan di saat seperti ini, dia juga meminjamkan sang istri, Hera untuk menjaga Dina."Bagaimana keadaan Dina?" tanya Angga tak sabar saat melihat Hera terduduk di kursi tunggu."Masih ditangani dokter."Tanpa membuang waktu Angga menuju ruangan yang ditunjuk Hera."Eh pak kita tunggu di sini saja nggak boleh masuk!" Tapi Angga tampaknya tak peduli."Sus, dimana istri saya?" tanyanya pada seorang perawat."Istri Bapak siapa?" tanya sang perawat bingung."Dina, Sus, istri saya yang akan melahirkan."Untunglah sang perawat punya kesabaran lebih
“Ciee mbak Dina... sebentar lagi akan jadi mertuanya Pak Brian.” Dina bahkan baru saja menginjakkan kakinya di lobi kantor, terdengar suara membahana Siska yang membuatnya melongo tak mengerti. Dia akan jadi mertuanya Pak Brian, seingatnya dia memang punya dua orang putri cantik Arsyi dan Ara dan usia keduanyapun masih anak-anak. Tak mungkinkan Brian mau menikahi salah satu dari dua bocilnya itu. Jadi anak yang mana yang dimaksud Siska?“Kamu belum sarapan ya, Sis, sana ke kantin dulu atau ke cafe depan, biar kamu lebih fokus ngomongnya,” kata dina sedikit jengkel. “Gratis, Mbak?” “Apanya?’ “Makannyalah katanya tadi suruh makan.” “Makannya gratis, tapi setelah itu kamu harus cuci piring.” “Mbak Dina kayak ibu tiri saja. kejam.” “Bahkan anak tiriku bilang aku baik hati.” “Ups aku lupa kalau memang mbak Dina ibu tiri.” Dina segera meneruskan langkahnya , ngobrol dengan Siska tak akan ada habisnya. “Eh, Mbak tunggu, tapi aku serius soal Pak Brian yang akan menikah dan jadi m
Brian memasuki kamarnya dengan hati bercabang, dia sebenarnya juga terkejut dengan keputusannya sendiri yang mengatakan kalau Sinta adalah calon istrinya. Dan lebih buruknya lagi dia mengatakannya di depan sang mama, wanita yang sangat dia sayangi dan tidak ingin dia kecewakan. Sekarang apa yang akan dia lakukan? Tetap menikahi Sinta seperti perkataannya tadi atau menjelaskan semuanya dengan resiko membuat mamanya kecewa. “Apa kamu yakin mau menjadikannya istri dan atas dasar apa keinginanmu itu?”Pertanyaan sang mama seolah terus terngiang di dalam otaknya membuatnya pusing luar biasa, dia bahkan tak bisa menjawab pertanyaan itu dan dengan pengecut, dia malah mengalihkan pembicaraan pada hal lain. Syukurlah sang mama cukup bijak untuk tak terus mendesaknya dan memberikan waktu untuknya menelaah rasa yang ada di hati.Tapi sekarang dia bingung sendiri apa yang harus dia katakan pada Sinta, gadis itu pasti juga membuatuhkan penjelasan darinya. Mulutnya kadang-
Mobil yang dikendarai Brian tiba di halaman rumah yang ditunjukkan Sinta. Dengan senyum terima kasih atas semua kebaikan Brian, gadis itu mengangguk dan turun dari dalam mobil.“Sin, tunggu.” Gadis itu menoleh dan terlihat Brian sudah turun dari mobil mewahnya. “Telepon aku jika kamu butuh tumpangan untuk pulang.” Sinta sudah akan membuka mulutnya menjawab tawaran Brian, tapi tubuhnya langsung tersentak saat sebuah gagang sapu memukul punggungnya dengan keras, sakit sekali. “Dasar anak tak tahu diuntung, sudah numpang bikin malu saja, berikan gajimu padaku.”Rasa sakit di punggungnya bahkan jadi tak terasa saat dia bersitatap dengan mata Brian yang memandang semua ini dengan tatapan tak percaya. “Iya, Bi, kita masuk dulu.... terima kasih sudah mengantar saya, Pak.” Sang Bibi memandang Brian dari atas sampai bawah, penampilan Brian yang sangat tampan dan juga semua benda yang melekat dalam tubuhnya meneriakkan kata mahal... dan jangan lupakan mobil me
Dalam kegelapan, Brian terduduk diam dalam mobilnya yang sewarna malam, matanya begitu tajam mengawasi seorang gadis yang terlihat tersenyum bersama teman-temannya di seberang sana. Sampai satu persatu gadis-gadis itu pergi dari sana, tinggallah Sinta, gadis mungil dengan kuncir ekor kuda yang sesekali melihat arloji di pergelangan tangannya. Brian terus mengamati dalam diam, bahkan sampai setengah jam, yang ditunggu gadis itu tak juga datang, tapi gadis itu tetap menunggu di sana. Malam yang kian beranjak membuat suasana menjadi sepi, bahkan semua toko yang tadi masih ramai dengan pembeli sudah membenahi barang dagangannya. “Apa dia tak takut semakam ini pulang sendiri,” gumam Brian tak senang. Dia sudah akan membuka pintu mobilnya, saat sebuah motor menghampirinya dan terlihat gadis itu menerima uluran helm dari si pengendara dan bergegas naik keboncengannya. Brian cepat-cepat menstater mobilnya untuk mengikuti motor itu sambil terus menjaga jarak ama
Setelah dengan penuh perjuangan mengantar Winda ke rumahnya, akhirnya Brian bisa bernapas lega dia bisa terbebas dari wanita itu, dia bahkan tak habis pikir bagaimana mamanya yang biasanya sangat kalem dan anggun itu bisa menyukai wanita agresif seperti itu untuk dikenalkan padanya. Apa dia terlihat setak laku itu, usianya baru tiga puluh dua tahun, usia yang belum terlalu tua untuk laki-laki sepertinya. Dan yang lebih menyebalkan lagi, wanita itu dengan tak tahu malunya mengambil hadiah yang akan dia berikan pada Sinta. Brian menghela napas dalam berusaha menetralkan perasaannya, dia ingin menemui Sinta, tapi tentu saja tidak dengan tangan kosong. “Ah! Dasar sialan,” maki Brian kesal. Dia harus memikirkan hadiah apa yang bisa dia bawa untuk Sinta, memang bukan keharusan, Sinta juga tidak sedang berulang tahun, tapi tetap saja, Brian merasa tak nyaman.Dengan tergesa dia meminggirkan mobilnya, sejenak dia menimbang apakah akan menghubungi Dina atau S
Brian menatap pita rambut itu dengan senyum terselit di bibirnya, dia bisa membayangkan Sinta pasti akan terlihat sangat manis mengenakan ini. Satu minggu sudah Brian ada di Bali, berlibur sekaligus bekerja, karena meski dia mengajukan cuti kerja, nyatanya pikirannya malah melayang kemana-mana. Bahkan saat mengikuti Arga melakukan pemotretan ke berbagai tempat dan melihat pemandangan yang sangat indah termasuk wanita-wanita cantik yang bertebaran tak membuatnya bisa melupakan bayangan wajah belia yang selalu menghantui pikirannya. Jadi dia memutuskan tetap bekerja di hari kedua cutinya, yang membuat sang paman yang menerima laporan entah dari siapa menghubunginya hanya untuk menertawakan keputusan anehnya. “Kamu memang tak pantas untuk cuti, sudahlah bekerja saja, sedekahkan cutimu untuk yang membutuhkan.”Brian hanya bisa tersenyum kecut, meski pamannya di seberang sana pasti tak bisa melihatnya, mau apalagi, tidak mungkinkan dia mengomel pada pamannya yang
Sebuah proyek pembangunan sekolah luar biasa di Bali. Brian memandang informasi yang baru saja masuk ke ponselnya dengan penuh pertimbangan. Ini memang bukan tugasnya untuk meninjau secara langsung, tapi dia bisa mengajukan diri untuk ikut meninjau ke sana, memastikan sarana dan prasarana apa yang dibutuhkan di sana. “Saya akan ikut ke sana.” Brian mengirimkan pesan balasan pada direktur utama yayasan tempatnya bekerja, yang tak lain adalah pamannya sendiri. “Kamu yakin, kamu sebenarnya hanya perlu mengirim salah seorang staffmu, lagipula pembangunan di sana juga belum selesai.” Sebuah pesan balasan masuk tak lama kemudian. “Aku sedang ada urusan di Bali jadi sekalian saja.” “Baiklah, lusa mereka akan berangkat, persiapkan dirimu.” Brian masih memandang ponselnya. Meski tak ada lagi pesan yang masuk. Tangannya tergoda untuk mengirim pesan pada Sinta, tapi dia kembali ragu, Kemarin setelah dia datang ke cafe Dina dan menemui Sinta di sana sikap
Bahkan saat bekerjapun bayangan Sinta memenuhi kepalanya. Membuatnya sulit untuk berkonsentrasi. “Kenapa kopi buatanmu rasanya jadi tidak karuan seperti ini, Sa?” gerutu Brian.Bahkan kopi yang biasa dibuatkan oleh Sasa, sekretarisnya terasa aneh dan tidak seperti biasanya. Suasana hati Brian benar-benar mengerikan sepagi ini bahkan sudah ada dua anak buahnya yang kena semprot. “Tapi saya buat dengan takaran yang biasa pak, satu sendok makan kopi hitam dan satu sendok teh gula, bapak biasanya tidak suka kopi manis jadi saya hanya memberi sedikit gula,” Sasa tentu saja tak terima dengan tuduhan Brian orang dia membuat kopi seperti biasa tak ada yang dikurangi ataupun ditambah. “Airnya belum matang mungkin atau ini bukan bubuk kopi yang biasanya.” Sasa membelalak tak percaya. “Saya merebusnya langsung di atas kompor bapak kan tidak mau air dispenser, dan saya sudah lebih dari tiga puluh tahun berpengalaman untuk masak air, dan tahu benar bagaimana air yang suda