Dina langsung memasuki mobilnya saat jam pulang kerjanya berakhir. Entah kenapa dia memiliki dorongan kuat untuk segera pulang ke rumah dan bertemu dengan anak-anaknya, kerinduan yang tiba-tiba muncul itu menyerang dirinya tanpa ampun, padahal baru satu jam yang lalu dia menelepon Bibi dan berbicara langsung dengan mereka.
Tidak ada yang salah pada mereka, bahkan Dina tak menerima telepon apapun dari rumah jadi bisa dipastikan kalau semua baik-baik saja.Mungkin ini efek baper dari drama Brian dan Anggun tadi, apalagi setelah itu Brian yang biasanya tertutup urusan pribadinya begitu gamblang menceritakan semuanya pada Dina.Dina teringat ekspresi sakit hati Brian saat tahu Anggun mengkhianatinya. Dina bisa merasakan hal itu karena dia sendiri juga mengalaminya dalam kisahnya saat ini. Betapa sakitnya dikhianati orang yang kita percaya, tapi Brian sungguh beruntung dia bisa segera keluar dari hubungan itu.Dulu sebelum menikah mungkin Dina akanSetelah beberapa menit hanya bisa termangu di depan cermin, Dina akhirnya memutuskan segera membasuh seluruh tubuhnya dengan air dingin. Udara yang sudah mulai dingin membuat tubuhnya yang diguyur air dingin menggigil, tapi Dina tak peduli, dia memang memerlukan rasa dingin ini untuk mengembalikan otak dan hatinya yang mengebul kepanasan, apapun yang terjadi nanti dia harus tetap berpikir dengan logis dan taktis, dia tidak akan sudi untuk menjadi korban untuk kesekian kalinya. Dina keluar kamar mandi setelah merasa tubuhnya sudah mati rasa. “Bunda.” “Arsyi? Sudah lama di sini, kok nggak ngetuk kamar mandi?” tanya Dina yang sedikit kaget dengan kehadiran anak tirinya itu, Arsyi jarang mengunjunginya di kamar, dia biasanya lebih suka mengetuk pintu dan mengajak Dina duduk-duduk di ruang tengah atau kamar Arsyi sendiri.Anak itu hanya menggeleng. “Bunda sedang mandi jadi Arsyi nggak mau ganggu.” “Baiklah Bunda ganti baju dulu.” Tak ingin Arsyi menunggu lama, Dina segera mengambil ba
Pertama kali bertemu dengan Keira, Dina tidak akan menyangka jika wanita itu akan jadi benalu dalam rumah tangganya. Keira begitu rapuh, bahkan meski Angga waktu itu menikahinya, Dina masih yakin kalau wanita itu tidak jahat, menurut Dina Keira hanya wanita yang salah didikan dan juga salah pergaulan saja. Tapi sepertinya pendapat itu sedikit bergeser saat tahu hubungan Keira dengan dua orang kakak beradik keluarga Hartono, dan sekarang wanita itu bahkan kukuh meminta pengakuan dan perhatian dari Angga. Yang meskipun saat ini juga berstatus sebagai suami Keira, tapi permintaan itu menurut Dina terlalu berlebihan apalagi saat ini wanita itu mengandung bayi yang bukan anak suaminya. Manja, egois dan menyebalkan mungkin itu pandangan Dina untuk Keira. "Anak dalam kandunganku juga ingin selalu dekat dengan papanya," kata Keira dia memandang Dina tajam, tapi segera menunduk saat pandangannya bertemu dengan padangan Dina yang dingin dan da
“Kenapa kamu mengajakku turut serta, Mas, bukankah lebih mudah jika kamu sendiri yang bicara dengannya?” Angga menghentikan langkahnya dan Dina juga mengikuti, mereka berdua bertatapan di depan kamar tamu yang ditempati Dina saat ini. Perlahan Angga melangkah mendekati istrinya, hanya mendekat karena dia tahu sang istri masih enggan untuk dia sentuh. “Karena aku ingin membuktikan kalau apa yang aku katakan adalah kebenaran.” “Terlalu dangkal jika kamu membuktikan ucapanmu dengan meminta Keira pergi dari rumah ini sekali lagi, aku yakin meski kamu tak memintanya dia juga akan pergi dari sini.” Karena aku tak akan membuat hidupnya mudah di sini, batin Dina. “Aku tahu, tapi setidaknya beri aku kesempatan, aku ingin menyelesaikan ini dengan baik, dan aku harap setelah ini kamu tidak meragukanku lagi.” “Aku tidak bisa janji, kau sendiri yang menghancurkan kepercayaan itu, jadi jangan salahkan aku.” “Maaf, aku benar-ben
Dina mengawasi suaminya yang mendorong kursi roda Keira keluar dari rumah, sampai hilang di telan pintu, tak lama kemudian dia mendengar suara mobil yang bergerak menjauh. Dina masih memandang kosong ke sana seolah mencari-cari jejak suaminya yang tertinggal, berusaha menerka-nerka apa yang akan terjadi pada hidupnya selanjutnya.Apa benar narkoda kapal akan bisa mengendalikan kapal yang terlanjur terguncang oleh badai? Atau sang nahkoda akan memilih menyerah dan membiarkan kapal tenggelam terbawa arus yang kejam.Dina tak menyangka kalau hari ini, akan mengalami kekonyolan ini sekali lagi, entah sampai kapan ini akan terus berulang.Dina sadar sejak pertama bertemu dengan Angga, dia tidak hanya menikahi laki-laki tampan dengan kekayaan berlimpah, tapi juga sepaket dengan permasalahan pelik yang mengikutinya. Laki-laki itu bukan orang yang mudah, dia selalu memiliki pemikiran yang rumit dan berliku.Sosoknya seolah selalu dilingkupi tab
Keheningan mewarnai mobil yang melaju cukup kencang itu, dua orang yang ada di dalamnya seperti kompak terkena sariawan akut, yang membuat mereka tak mampu untuk sekedar membuka mulut. Meski sesekali wanita yang ada di kursi penumpang sesekali melirik pada laki-laki di sebelahnya yang sedang mengemudikan mobil dengan wajar dingin. Berkali-kali sang wanita membuka mulutnya seperti hendak mengatakan sesuatu tapi seolah dia kehilangan kata yang akan dia ucapkan dan terpaksa menutup mulutnya lagi. Dengan kesal wanita itu kembali membuang pandangan ke luar jendela, dia kesal sekali dengan semua orang terutama laki-laki di sampingnya yang saat ini menyandang status sebagai suaminya. Kenapa sulit sekali meraih laki-laki ini? Padahal dia sangat mengagumi sosoknya yang sangat berwibawa, perhatian dan kebaikan hati laki-laki itu membuatnya tak butuh waktu lama untuk jatuh cinta, meski usia mereka terpaut sangat jauh tapi itu tak menghalangi rasa cintanya, bahkan rasa itu mampu mengh
Angga segera keluar dari mobilnya dan membanting pintu mobil dengan keras membuat beberapa orang yang berada di sekitarnya terjengkit kaget. Tak ingin menimbulkan masalah dengan orang lain karena tindakan konyolnya buru-buru Angga menunduk meminta maaf tak lupa memamerkan senyum sejuta watt yang biasanya ampuh untuk menaklukan orang lain. Laki-laki itu dengan terburu-buru mencari lokasi Keira, tak sampai sepuluh meit dia berjalan, laki-laki itu sudah menemukan keberadaan istri mudanya itu. Terlihat amat bahagia berbicara dengan beberapa orang lelaki di sana. Apa mungkin teman-teman Keira? Mereka memang terlihat seumuran. Mata Angga kontan melebar saat salah satu lelaki itu mengusap lembut pipi Keira dan istrinya itu membiarkan saja malah terlihat tersenyum malu-malu, senyum yang memberi tahu Angga bahwa mereka jelas bukan saudara. Sebenarnya wanita macam apa yang dia nikahi ini? Bagaimana dia begitu nyaman disentuh oleh seorang laki-laki, padahal dia telah bersua
Angga melangkahkan kakinya ke balkon lantai dua rumah mamanya.Kursi paling pojok menjadi tujuannya, tempat favoritnya dari dulu. Angga mengeluarkan sebungkus rokok dari saku celananya, dia bukan perokok berat, dia hanya merokok saat pikirannya sedang ruwet dan perlu pengalihan untuk menjernihkan pikirannya.Angga menghembuskan asap rokok ke udara malam yang kelam. Dia memandang pohon mangga yang berdiri gagah di seberang sana, dan seketika tidak dapat membendung rasa iri dalam dirinya, pohon itu meski memiliki banyak cabang dan semuanya tumbuh dengan lebat, buahnya pun bergantungan semakin banyak, betapa hebatnya batang pohon itu. Sedangkan dia hanya memiliki dua cabang untuk tempatnya pulang tapi dia tak mampu membuatnya tumbuh subur, keduanya mengering dan dalam tahap yang mengkhawatirkan."Apa yang kamu pikirkan, Ngga?" sebuah tepukan di bahunya menyadarkan Angga dari lamunannya tentang pohon mangga."Mama?"
Angga segera melajukan mobilnya keluar dari pekarangan rumah mamanya, laki-laki itu perlu waktu sebentar untuk menenangkan diri, dia tidak mau menghadapi Dina dan anak-anaknya dalam keadaan pikiran kacau. Mereka sudah banyak kecewa karena pilihan yang dia buat, jadi tidak akan dia tambah kekecewaan mereka lagi dengan bersikap yang sangat tidak sepantasnya, meski dengan konsekuensi dia harus mengingkari janjinya untuk makan malam bersama mereka. Semoga mereka bisa mengerti. Batin Angga. Angga langsung menghentikan langkahnya saat didengarnya denting piano yang mengalun dari ruang tengah. Angga berdiri di sana menyaksikan istri dan anak-anaknya tertawa gembira, sudut hatinya sedikit tercubit saat melihat itu semua. Angga bukan tak suka kalau keluarganya bahagia, hanya saja sebagai seorang ayah dan juga suami dia merasa tidak dibutuhkan. Mereka bahkan bisa tertawa bahagia tanpa dirinya dan dia yakin seandainya mereka melihatnya sekarang kebahagiaan itu mu