Pertama kali bertemu dengan Keira, Dina tidak akan menyangka jika wanita itu akan jadi benalu dalam rumah tangganya.
Keira begitu rapuh, bahkan meski Angga waktu itu menikahinya, Dina masih yakin kalau wanita itu tidak jahat, menurut Dina Keira hanya wanita yang salah didikan dan juga salah pergaulan saja.Tapi sepertinya pendapat itu sedikit bergeser saat tahu hubungan Keira dengan dua orang kakak beradik keluarga Hartono, dan sekarang wanita itu bahkan kukuh meminta pengakuan dan perhatian dari Angga. Yang meskipun saat ini juga berstatus sebagai suami Keira, tapi permintaan itu menurut Dina terlalu berlebihan apalagi saat ini wanita itu mengandung bayi yang bukan anak suaminya.Manja, egois dan menyebalkan mungkin itu pandangan Dina untuk Keira."Anak dalam kandunganku juga ingin selalu dekat dengan papanya," kata Keira dia memandang Dina tajam, tapi segera menunduk saat pandangannya bertemu dengan padangan Dina yang dingin dan da“Kenapa kamu mengajakku turut serta, Mas, bukankah lebih mudah jika kamu sendiri yang bicara dengannya?” Angga menghentikan langkahnya dan Dina juga mengikuti, mereka berdua bertatapan di depan kamar tamu yang ditempati Dina saat ini. Perlahan Angga melangkah mendekati istrinya, hanya mendekat karena dia tahu sang istri masih enggan untuk dia sentuh. “Karena aku ingin membuktikan kalau apa yang aku katakan adalah kebenaran.” “Terlalu dangkal jika kamu membuktikan ucapanmu dengan meminta Keira pergi dari rumah ini sekali lagi, aku yakin meski kamu tak memintanya dia juga akan pergi dari sini.” Karena aku tak akan membuat hidupnya mudah di sini, batin Dina. “Aku tahu, tapi setidaknya beri aku kesempatan, aku ingin menyelesaikan ini dengan baik, dan aku harap setelah ini kamu tidak meragukanku lagi.” “Aku tidak bisa janji, kau sendiri yang menghancurkan kepercayaan itu, jadi jangan salahkan aku.” “Maaf, aku benar-ben
Dina mengawasi suaminya yang mendorong kursi roda Keira keluar dari rumah, sampai hilang di telan pintu, tak lama kemudian dia mendengar suara mobil yang bergerak menjauh. Dina masih memandang kosong ke sana seolah mencari-cari jejak suaminya yang tertinggal, berusaha menerka-nerka apa yang akan terjadi pada hidupnya selanjutnya.Apa benar narkoda kapal akan bisa mengendalikan kapal yang terlanjur terguncang oleh badai? Atau sang nahkoda akan memilih menyerah dan membiarkan kapal tenggelam terbawa arus yang kejam.Dina tak menyangka kalau hari ini, akan mengalami kekonyolan ini sekali lagi, entah sampai kapan ini akan terus berulang.Dina sadar sejak pertama bertemu dengan Angga, dia tidak hanya menikahi laki-laki tampan dengan kekayaan berlimpah, tapi juga sepaket dengan permasalahan pelik yang mengikutinya. Laki-laki itu bukan orang yang mudah, dia selalu memiliki pemikiran yang rumit dan berliku.Sosoknya seolah selalu dilingkupi tab
Keheningan mewarnai mobil yang melaju cukup kencang itu, dua orang yang ada di dalamnya seperti kompak terkena sariawan akut, yang membuat mereka tak mampu untuk sekedar membuka mulut. Meski sesekali wanita yang ada di kursi penumpang sesekali melirik pada laki-laki di sebelahnya yang sedang mengemudikan mobil dengan wajar dingin. Berkali-kali sang wanita membuka mulutnya seperti hendak mengatakan sesuatu tapi seolah dia kehilangan kata yang akan dia ucapkan dan terpaksa menutup mulutnya lagi. Dengan kesal wanita itu kembali membuang pandangan ke luar jendela, dia kesal sekali dengan semua orang terutama laki-laki di sampingnya yang saat ini menyandang status sebagai suaminya. Kenapa sulit sekali meraih laki-laki ini? Padahal dia sangat mengagumi sosoknya yang sangat berwibawa, perhatian dan kebaikan hati laki-laki itu membuatnya tak butuh waktu lama untuk jatuh cinta, meski usia mereka terpaut sangat jauh tapi itu tak menghalangi rasa cintanya, bahkan rasa itu mampu mengh
Angga segera keluar dari mobilnya dan membanting pintu mobil dengan keras membuat beberapa orang yang berada di sekitarnya terjengkit kaget. Tak ingin menimbulkan masalah dengan orang lain karena tindakan konyolnya buru-buru Angga menunduk meminta maaf tak lupa memamerkan senyum sejuta watt yang biasanya ampuh untuk menaklukan orang lain. Laki-laki itu dengan terburu-buru mencari lokasi Keira, tak sampai sepuluh meit dia berjalan, laki-laki itu sudah menemukan keberadaan istri mudanya itu. Terlihat amat bahagia berbicara dengan beberapa orang lelaki di sana. Apa mungkin teman-teman Keira? Mereka memang terlihat seumuran. Mata Angga kontan melebar saat salah satu lelaki itu mengusap lembut pipi Keira dan istrinya itu membiarkan saja malah terlihat tersenyum malu-malu, senyum yang memberi tahu Angga bahwa mereka jelas bukan saudara. Sebenarnya wanita macam apa yang dia nikahi ini? Bagaimana dia begitu nyaman disentuh oleh seorang laki-laki, padahal dia telah bersua
Angga melangkahkan kakinya ke balkon lantai dua rumah mamanya.Kursi paling pojok menjadi tujuannya, tempat favoritnya dari dulu. Angga mengeluarkan sebungkus rokok dari saku celananya, dia bukan perokok berat, dia hanya merokok saat pikirannya sedang ruwet dan perlu pengalihan untuk menjernihkan pikirannya.Angga menghembuskan asap rokok ke udara malam yang kelam. Dia memandang pohon mangga yang berdiri gagah di seberang sana, dan seketika tidak dapat membendung rasa iri dalam dirinya, pohon itu meski memiliki banyak cabang dan semuanya tumbuh dengan lebat, buahnya pun bergantungan semakin banyak, betapa hebatnya batang pohon itu. Sedangkan dia hanya memiliki dua cabang untuk tempatnya pulang tapi dia tak mampu membuatnya tumbuh subur, keduanya mengering dan dalam tahap yang mengkhawatirkan."Apa yang kamu pikirkan, Ngga?" sebuah tepukan di bahunya menyadarkan Angga dari lamunannya tentang pohon mangga."Mama?"
Angga segera melajukan mobilnya keluar dari pekarangan rumah mamanya, laki-laki itu perlu waktu sebentar untuk menenangkan diri, dia tidak mau menghadapi Dina dan anak-anaknya dalam keadaan pikiran kacau. Mereka sudah banyak kecewa karena pilihan yang dia buat, jadi tidak akan dia tambah kekecewaan mereka lagi dengan bersikap yang sangat tidak sepantasnya, meski dengan konsekuensi dia harus mengingkari janjinya untuk makan malam bersama mereka. Semoga mereka bisa mengerti. Batin Angga. Angga langsung menghentikan langkahnya saat didengarnya denting piano yang mengalun dari ruang tengah. Angga berdiri di sana menyaksikan istri dan anak-anaknya tertawa gembira, sudut hatinya sedikit tercubit saat melihat itu semua. Angga bukan tak suka kalau keluarganya bahagia, hanya saja sebagai seorang ayah dan juga suami dia merasa tidak dibutuhkan. Mereka bahkan bisa tertawa bahagia tanpa dirinya dan dia yakin seandainya mereka melihatnya sekarang kebahagiaan itu mu
“Jadi, kita mau ke mana?” tanya Dina saat mereka sudah duduk nyaman dalam mobil yang dikendarai suaminya. “Ke mana saja, yang penting bisa sama-sama kamu,” jawab Angga dengan nada menggoda.Dina langsung memutar bola matanya malas, menghadapi kekonyolan suaminya. “Ke mall bagaimana? kita nonton film,” kata Angga lagi, setelah melihat Dina hanya diam di sampingnya. “Di rumah juga ada teater kenapa jauh-jauh ke mall juga, lagi pula aku bukan ABG yang lagi kencan dengan pacarnya.” “Kalau ke Pantai?” “Yang bener saja, sih, Mas masak malam-malam ke pantai.” Angga menghembuskan napas kesal, tadi bertanya mau ke mana giliran di jawab malah protes, batinnya. “Baiklah jadi kamu pinginnya ke mana? Maksudku saat kamu pergi dengan orang yang spesial kamu inginnya ke mana?” tanya Angga berusaha memupuk rasa sabarnya. Istrinya ini memang benar-benar menyebalkan, sayangnya dia sama sekali tak ingin kehilangan wanita menyebalkan ini. Angga menoleh pada Dina saat wanita itu hanya diam dengan p
"Sebaiknya kita bicara lain waktu saja, ini kencan pertama kita." "Bukankah biasanya kencan pertama untuk saling mengenal kepribadian masing-masing? Aku hanya ingin tahu saja kamu cukup menjawab iya atau tidak?" "Iya, tapi itu tidak serius hanya kekonyolan sesaat saja dan berhenti saat kami memutuskan untuk kembali bersama meski hubungan kami tak pernah sama lagi." "Aku tidak pernah berpikir ada orang yang menganggap pengkhianatan sebagai kekonyolan sesaat, dan sialnya orang itu adalah suamiku." Angga merasa ada sebuah tangan tak kasat mata yang memukul dadanya sehingga membuatnya sesak dan sulit untuk bernapas. Dina benar dia memang segila itu, membiarkan semua berjalan seolah semua baik-baik saja tapi tanpa sadar semuanya perlahan hancur. Mereka sama-sama terdiam menikmati musik yang sedang ditampilkan. Angga tersenyum senang saat melihat Dina ikut menggerakkan kepalanya mengikuti irama dan perlahan dari mulutnya keluar lirik lagu yang sama. Mungkin suara
"Bu Dina dilarikan ke rumah sakit."Pesan salah satu anak buahnya, membuat Angga langsung meninggalkan semua pekerjaannya.Dia melangkah terburu-buru, ingin rasanya dia terbang supaya cepat sampai, dia merutuki dirinya sendiri kenapa harus ada masalah di kantor saat seperti ini, padahal dia sudah berusaha membereskan pekerjaannya dan menemani Dina yang sedang hamil tua. Syukurlah Bara sangat bisa diandalkan di saat seperti ini, dia juga meminjamkan sang istri, Hera untuk menjaga Dina."Bagaimana keadaan Dina?" tanya Angga tak sabar saat melihat Hera terduduk di kursi tunggu."Masih ditangani dokter."Tanpa membuang waktu Angga menuju ruangan yang ditunjuk Hera."Eh pak kita tunggu di sini saja nggak boleh masuk!" Tapi Angga tampaknya tak peduli."Sus, dimana istri saya?" tanyanya pada seorang perawat."Istri Bapak siapa?" tanya sang perawat bingung."Dina, Sus, istri saya yang akan melahirkan."Untunglah sang perawat punya kesabaran lebih
“Ciee mbak Dina... sebentar lagi akan jadi mertuanya Pak Brian.” Dina bahkan baru saja menginjakkan kakinya di lobi kantor, terdengar suara membahana Siska yang membuatnya melongo tak mengerti. Dia akan jadi mertuanya Pak Brian, seingatnya dia memang punya dua orang putri cantik Arsyi dan Ara dan usia keduanyapun masih anak-anak. Tak mungkinkan Brian mau menikahi salah satu dari dua bocilnya itu. Jadi anak yang mana yang dimaksud Siska?“Kamu belum sarapan ya, Sis, sana ke kantin dulu atau ke cafe depan, biar kamu lebih fokus ngomongnya,” kata dina sedikit jengkel. “Gratis, Mbak?” “Apanya?’ “Makannyalah katanya tadi suruh makan.” “Makannya gratis, tapi setelah itu kamu harus cuci piring.” “Mbak Dina kayak ibu tiri saja. kejam.” “Bahkan anak tiriku bilang aku baik hati.” “Ups aku lupa kalau memang mbak Dina ibu tiri.” Dina segera meneruskan langkahnya , ngobrol dengan Siska tak akan ada habisnya. “Eh, Mbak tunggu, tapi aku serius soal Pak Brian yang akan menikah dan jadi m
Brian memasuki kamarnya dengan hati bercabang, dia sebenarnya juga terkejut dengan keputusannya sendiri yang mengatakan kalau Sinta adalah calon istrinya. Dan lebih buruknya lagi dia mengatakannya di depan sang mama, wanita yang sangat dia sayangi dan tidak ingin dia kecewakan. Sekarang apa yang akan dia lakukan? Tetap menikahi Sinta seperti perkataannya tadi atau menjelaskan semuanya dengan resiko membuat mamanya kecewa. “Apa kamu yakin mau menjadikannya istri dan atas dasar apa keinginanmu itu?”Pertanyaan sang mama seolah terus terngiang di dalam otaknya membuatnya pusing luar biasa, dia bahkan tak bisa menjawab pertanyaan itu dan dengan pengecut, dia malah mengalihkan pembicaraan pada hal lain. Syukurlah sang mama cukup bijak untuk tak terus mendesaknya dan memberikan waktu untuknya menelaah rasa yang ada di hati.Tapi sekarang dia bingung sendiri apa yang harus dia katakan pada Sinta, gadis itu pasti juga membuatuhkan penjelasan darinya. Mulutnya kadang-
Mobil yang dikendarai Brian tiba di halaman rumah yang ditunjukkan Sinta. Dengan senyum terima kasih atas semua kebaikan Brian, gadis itu mengangguk dan turun dari dalam mobil.“Sin, tunggu.” Gadis itu menoleh dan terlihat Brian sudah turun dari mobil mewahnya. “Telepon aku jika kamu butuh tumpangan untuk pulang.” Sinta sudah akan membuka mulutnya menjawab tawaran Brian, tapi tubuhnya langsung tersentak saat sebuah gagang sapu memukul punggungnya dengan keras, sakit sekali. “Dasar anak tak tahu diuntung, sudah numpang bikin malu saja, berikan gajimu padaku.”Rasa sakit di punggungnya bahkan jadi tak terasa saat dia bersitatap dengan mata Brian yang memandang semua ini dengan tatapan tak percaya. “Iya, Bi, kita masuk dulu.... terima kasih sudah mengantar saya, Pak.” Sang Bibi memandang Brian dari atas sampai bawah, penampilan Brian yang sangat tampan dan juga semua benda yang melekat dalam tubuhnya meneriakkan kata mahal... dan jangan lupakan mobil me
Dalam kegelapan, Brian terduduk diam dalam mobilnya yang sewarna malam, matanya begitu tajam mengawasi seorang gadis yang terlihat tersenyum bersama teman-temannya di seberang sana. Sampai satu persatu gadis-gadis itu pergi dari sana, tinggallah Sinta, gadis mungil dengan kuncir ekor kuda yang sesekali melihat arloji di pergelangan tangannya. Brian terus mengamati dalam diam, bahkan sampai setengah jam, yang ditunggu gadis itu tak juga datang, tapi gadis itu tetap menunggu di sana. Malam yang kian beranjak membuat suasana menjadi sepi, bahkan semua toko yang tadi masih ramai dengan pembeli sudah membenahi barang dagangannya. “Apa dia tak takut semakam ini pulang sendiri,” gumam Brian tak senang. Dia sudah akan membuka pintu mobilnya, saat sebuah motor menghampirinya dan terlihat gadis itu menerima uluran helm dari si pengendara dan bergegas naik keboncengannya. Brian cepat-cepat menstater mobilnya untuk mengikuti motor itu sambil terus menjaga jarak ama
Setelah dengan penuh perjuangan mengantar Winda ke rumahnya, akhirnya Brian bisa bernapas lega dia bisa terbebas dari wanita itu, dia bahkan tak habis pikir bagaimana mamanya yang biasanya sangat kalem dan anggun itu bisa menyukai wanita agresif seperti itu untuk dikenalkan padanya. Apa dia terlihat setak laku itu, usianya baru tiga puluh dua tahun, usia yang belum terlalu tua untuk laki-laki sepertinya. Dan yang lebih menyebalkan lagi, wanita itu dengan tak tahu malunya mengambil hadiah yang akan dia berikan pada Sinta. Brian menghela napas dalam berusaha menetralkan perasaannya, dia ingin menemui Sinta, tapi tentu saja tidak dengan tangan kosong. “Ah! Dasar sialan,” maki Brian kesal. Dia harus memikirkan hadiah apa yang bisa dia bawa untuk Sinta, memang bukan keharusan, Sinta juga tidak sedang berulang tahun, tapi tetap saja, Brian merasa tak nyaman.Dengan tergesa dia meminggirkan mobilnya, sejenak dia menimbang apakah akan menghubungi Dina atau S
Brian menatap pita rambut itu dengan senyum terselit di bibirnya, dia bisa membayangkan Sinta pasti akan terlihat sangat manis mengenakan ini. Satu minggu sudah Brian ada di Bali, berlibur sekaligus bekerja, karena meski dia mengajukan cuti kerja, nyatanya pikirannya malah melayang kemana-mana. Bahkan saat mengikuti Arga melakukan pemotretan ke berbagai tempat dan melihat pemandangan yang sangat indah termasuk wanita-wanita cantik yang bertebaran tak membuatnya bisa melupakan bayangan wajah belia yang selalu menghantui pikirannya. Jadi dia memutuskan tetap bekerja di hari kedua cutinya, yang membuat sang paman yang menerima laporan entah dari siapa menghubunginya hanya untuk menertawakan keputusan anehnya. “Kamu memang tak pantas untuk cuti, sudahlah bekerja saja, sedekahkan cutimu untuk yang membutuhkan.”Brian hanya bisa tersenyum kecut, meski pamannya di seberang sana pasti tak bisa melihatnya, mau apalagi, tidak mungkinkan dia mengomel pada pamannya yang
Sebuah proyek pembangunan sekolah luar biasa di Bali. Brian memandang informasi yang baru saja masuk ke ponselnya dengan penuh pertimbangan. Ini memang bukan tugasnya untuk meninjau secara langsung, tapi dia bisa mengajukan diri untuk ikut meninjau ke sana, memastikan sarana dan prasarana apa yang dibutuhkan di sana. “Saya akan ikut ke sana.” Brian mengirimkan pesan balasan pada direktur utama yayasan tempatnya bekerja, yang tak lain adalah pamannya sendiri. “Kamu yakin, kamu sebenarnya hanya perlu mengirim salah seorang staffmu, lagipula pembangunan di sana juga belum selesai.” Sebuah pesan balasan masuk tak lama kemudian. “Aku sedang ada urusan di Bali jadi sekalian saja.” “Baiklah, lusa mereka akan berangkat, persiapkan dirimu.” Brian masih memandang ponselnya. Meski tak ada lagi pesan yang masuk. Tangannya tergoda untuk mengirim pesan pada Sinta, tapi dia kembali ragu, Kemarin setelah dia datang ke cafe Dina dan menemui Sinta di sana sikap
Bahkan saat bekerjapun bayangan Sinta memenuhi kepalanya. Membuatnya sulit untuk berkonsentrasi. “Kenapa kopi buatanmu rasanya jadi tidak karuan seperti ini, Sa?” gerutu Brian.Bahkan kopi yang biasa dibuatkan oleh Sasa, sekretarisnya terasa aneh dan tidak seperti biasanya. Suasana hati Brian benar-benar mengerikan sepagi ini bahkan sudah ada dua anak buahnya yang kena semprot. “Tapi saya buat dengan takaran yang biasa pak, satu sendok makan kopi hitam dan satu sendok teh gula, bapak biasanya tidak suka kopi manis jadi saya hanya memberi sedikit gula,” Sasa tentu saja tak terima dengan tuduhan Brian orang dia membuat kopi seperti biasa tak ada yang dikurangi ataupun ditambah. “Airnya belum matang mungkin atau ini bukan bubuk kopi yang biasanya.” Sasa membelalak tak percaya. “Saya merebusnya langsung di atas kompor bapak kan tidak mau air dispenser, dan saya sudah lebih dari tiga puluh tahun berpengalaman untuk masak air, dan tahu benar bagaimana air yang suda