"Sebaiknya kita bicara lain waktu saja, ini kencan pertama kita."
"Bukankah biasanya kencan pertama untuk saling mengenal kepribadian masing-masing? Aku hanya ingin tahu saja kamu cukup menjawab iya atau tidak?""Iya, tapi itu tidak serius hanya kekonyolan sesaat saja dan berhenti saat kami memutuskan untuk kembali bersama meski hubungan kami tak pernah sama lagi.""Aku tidak pernah berpikir ada orang yang menganggap pengkhianatan sebagai kekonyolan sesaat, dan sialnya orang itu adalah suamiku."Angga merasa ada sebuah tangan tak kasat mata yang memukul dadanya sehingga membuatnya sesak dan sulit untuk bernapas. Dina benar dia memang segila itu, membiarkan semua berjalan seolah semua baik-baik saja tapi tanpa sadar semuanya perlahan hancur.Mereka sama-sama terdiam menikmati musik yang sedang ditampilkan. Angga tersenyum senang saat melihat Dina ikut menggerakkan kepalanya mengikuti irama dan perlahan dari mulutnya keluar lirik lagu yang sama. Mungkin suaraAngga mengakui kebenaran kata-kata mamanya saat memintanya menikah dengan Dina. Wanita seperti Dinalah yang pantas untuk mendampinginya. Wanita lembut dan manja seperti Laras dan Keira hanya akan patah hati dan menderita menghadapinya yang dinilai terlalu berani dan tak takut dengan segala resiko yang akan dia hadapi. Angga seorang penjudi, dia berjudi dengan nasib, hidupnya terbiasa dengan mengambil resiko yang tinggi untuk menghasilkan hal yang tinggi pula. Tapi jangan salah, Angga tidak akan mau mengambil resiko tanpa perhitungan yang matang, tapi satu kesalahan Angga dia tidak pernah menggunakan perasaannya.Dia bukan tipe laki-laki romantis dan kebapakan yang akan membuat wanita-wanita nyaman dengannya, ini terbukti dari hubungannya dengan Ghea dan Laras yang berakhir mengenaskan, juga beberapa pacarnya yang terdahulu yang memiliki ciri khas yang sama, cantik, lembut, manja dan selalu haus akan perhatian. Tapi Dina berbeda, wanita itu memang butuh perhatian darinya selayaknya
Keira duduk melamun di taman belakang rumah mertuanya, air mata menetes di kedua pipinya, perkataan Angga tadi malam memang benar adanya, dia hanya wanita yang dia nikahi karena alasan bisnis semata. Bahkan selama ini sang suami tak pernah menyentuhnya, meski Keira sudah menggodanya dengan berbagai cara. Keira tahu semua laki-laki akan berpikir dua kali untuk menikahi wanita yang sedang mengandung janin laki-laki lain, tapi Angga berbeda, laki-laki itu meski menjadikan permintaan Rudi Hartono sebagai alasan tapi sikapnya yang lembut dan penuh perhatian membuat Keira merasa bahwa Anggalah laki-laki yang tepat untuknya. Pelan-pelan hatinya yang semula milik Anton Hartono kini berbalik arah.Meski usia mereka terpaut jauh, tapi atas nama cinta segalanya mungkin saja terjadi. Dan Keira bertekad untuk mendapatkan kembali perhatian Angga seutuhnya. Dia yakin dengan kecantikan wajahnya laki-laki manapun akan bertekuk lutut. Keira tidak akan mempermas
Keira masih termenung di atas kursi rodanya, memikirkan apa yang baru saja dikatakan oleh Tante Bianca. Dia memang tidak bisa hanya menarik perhatian Angga saja kalau ingin laki-laki itu menjadi milikinya, bagaimanapun Angga memang sudah mempunyai anak dari wanita lain yang harus dia perhatikan, jadi mengambil hati anak-anaknya memang sangat diperlukan. Itu juga yang menurut Tante Bianca dilakukan oleh Dina dulu, menarik perhatian anak-anak, membuat mereka menyayanginya seperti ibu kandungnya sendiri dan akhirnya sekarang bisa menguasai Angga. Dengan semangat untuk meraih apa yang diinginkannya, Keira menjalankan kursi rodanya menuju kamar, dia akan pergi keluar membeli beberapa mainan. "Sus, bantu aku ganti baju," kata Keira pada suster yang memang ditugaskan Angga untuk merawatnya. "Lho, Mbak Keira ini mau ke mana, sebentar lagi makan siang?" "Aku mau makan di luar, Sus, sekalian temani aku belanja." Perawat Keira hanya m
Pagi itu Dina berangkat kerja dengan pikiran linglung, pagi sekali tadi dia baru saja pulang dari hotel tempatnya menginap bersama sang suami. Mereka bukan lagi pasangan yang bisa seenaknya untuk bepergian ke mana saja, apalagi masih pada hari kerja seperti ini. Yang membuat pikirannya bercabang adalah apa yang telah dia lakukan semalam dengan sang suami kenapa begitu mudah baginya untuk menyerahkan diri, padahal dia masih begitu marah dan kecewa pada suaminya, apalagi setelah mendengar cerita tentang masa lalu suaminya yang meskipun kata Angga sudah selesai semuanya, tapi dampaknya masih dia rasakan sampai sekarang. “Mereka hanya masa lalu untukku, bagiku sekarang kamu adalah masa depan yang harus aku pikirkan.” Kalimat Angga itu selalu terngiang dalam benaknya, tak bisa dipungkiri ada sebersit harapan dalam relung hati Dina, setidaknya suaminya masiih memikirkannya, meski tak menutup kemungkinan dia akan pergi begitu saja bila harapan itu sudah sirna terge
Dina langsung berjalan menuju ruang kesehatan yang telah diberitahukan oleh petugas piket di depan begitu mobil yang dia tumpangi berhenti. Bahkan Dia harus sedikit berteriak untuk mengucapkan terima kasih pada sopir kantornya. Wajahnya yang tadi pagi sedikit pucat makin terlihat pucat, apalagi kekhawatiran jelas terbayang di wajahnya, guru Aksa tadi hanya menjelaskan kalau putranya itu tiba-tiba kejang dan pingsan setelah seorang wanita mendatanginya. Dina bahkan belum bisa menebak siapa wanita itu. apa mungkin Vanya yang diceritakan Angga tadi malam, diam-diam datang kembali menemui Aksa. "Nyonya!" seketika Dina menghentikan larinya saat dilihatnya Pak Amin tergopoh-gopoh menghampirinya. "Oh, bagaimana dengan Aksa, Pak? Apa yang terjadi?" berondong Dina. "Saya juga tidak tahu Nyonya, saat sampai ke sini den Aksa sudah pingsan." Dina mengangguk mengerti, mungkin nanti dia akan meminta keterangan pada gurunya. "Bapak Ikut saya ke dal
Wanita itu selain memiliki wajah yang cantik dengan sepasang mata sendu yang mengundang juga gaya bicaranya yang lemah lembut sekalipun dia sedang berbicara buruk. Kecantikannya bagai seorang peri yang mampu menyihir siapapun untuk rela dijadikan tempat bersandar, bahkan mungkin tak menyadari kalau hal itu mungkin akan menghancurkan orang itu sendiri. Meski beberapa kali saat berbicara dengannya wanita itu kehilangan kontrol dirinya, saat semua perhatian tak lagi berpusat padanya. Dia licik dan serakah akan perhatian, dia akan melakukan segala cara untuk membuat perhatian kembali tercurah padanya, itulah yang Dina baca dari karakter Keira. “Selamat untuk apa, Din?” tanya Angga yang tidak mengerti ucapan istrinya. “Kamu selalu mengerjakan pekerjaan kantor di sini?” tanya Dina dengan pandangan menyelidik, ada kecemburuan yang terselip dalam ucapannya, tapi berusaha dia sembunyikan dengan baik. “Aku datang barusan dan karena pekerjaan kantor tidak bisa dit
Dina menyusul Angga yang berjalan ke arah kamar yang biasa mereka tempati saat berkunjung kemari. Laki-laki itu langsung masuk ke dalam kamarnya dan menutup pintu, sejenak Dina ragu untuk menyusulnya. Laki-laki dan egonya memang tak bisa dipisahkan, Angga memang baru saja mengambil keputusan besar dalam hidupnya, Dina tak tahu apa yang dirasakan Angga saat ini, menyesalkah, atau rasa bersalah karena membawa masuk Keira dalam keluarganya. “Din.” Dina menoleh saat seseorang menepuk pundaknya. Ternyata mama mertuanya. “Bagaimana dengan Aksa, apakah dia baik-baik saja? Maaf tadi aku mendengar pertengkaran kalian.” Dina menghela napas sejenak. “Selain baru saja pingsan dan stock sekarang Aksa baik-baik saja, dokter memberinya obat penenang, dan dia sudah lebih baik, saat saya tinggal tadi dia sedang tidur.” “Terima kasih, Din, kamu menyayangi mereka dengan tulus bahkan melebihi ayah kandungnya sendiri.” “Tidak sulit untuk menyayangi mereka, M
Tadinya Dina mengira Angga akan langsung datang ke kamar Aksa begitu sampai di rumah dan melihat keadaan putranya, ternyata Dina salah, laki-laki itu itu malah duduk diam membiarkan televisi menonton dirinya. Bahkan setelah Dina selesai mandi dan berganti baju, Angga tetap di sana. “Mas sudah lihat Aksa?” tanya Dina yang mengambil tempat duduk di sebelah Angga. “Mas kenapa ditanya kok diam saja.” Dina menyentuh lengan suaminya meminta perhatian. “Kenapa, Din?” Dina mengawasi suaminya yang seperti orang bingung. “Mas kenapa? Aku tadi bertanya Mas Angga sudah lihat Aksa?” ulang Dina. “Belum.” Angga menggeleng dengan putus asa. “Apa dia akan baik-baik saja kalau melihat aku, apa nanti dia tidak akan histeris, secara tidak langsung akulah yang menyebabkan semua ini terjadi,” kata Angga dengan putus asa. “Kenapa Mas, malah berpikir begitu, Mas Angga itu satu-satunya orang tua kandung yang dia punya, jadi dia akan baik-baik saja
"Bu Dina dilarikan ke rumah sakit."Pesan salah satu anak buahnya, membuat Angga langsung meninggalkan semua pekerjaannya.Dia melangkah terburu-buru, ingin rasanya dia terbang supaya cepat sampai, dia merutuki dirinya sendiri kenapa harus ada masalah di kantor saat seperti ini, padahal dia sudah berusaha membereskan pekerjaannya dan menemani Dina yang sedang hamil tua. Syukurlah Bara sangat bisa diandalkan di saat seperti ini, dia juga meminjamkan sang istri, Hera untuk menjaga Dina."Bagaimana keadaan Dina?" tanya Angga tak sabar saat melihat Hera terduduk di kursi tunggu."Masih ditangani dokter."Tanpa membuang waktu Angga menuju ruangan yang ditunjuk Hera."Eh pak kita tunggu di sini saja nggak boleh masuk!" Tapi Angga tampaknya tak peduli."Sus, dimana istri saya?" tanyanya pada seorang perawat."Istri Bapak siapa?" tanya sang perawat bingung."Dina, Sus, istri saya yang akan melahirkan."Untunglah sang perawat punya kesabaran lebih
“Ciee mbak Dina... sebentar lagi akan jadi mertuanya Pak Brian.” Dina bahkan baru saja menginjakkan kakinya di lobi kantor, terdengar suara membahana Siska yang membuatnya melongo tak mengerti. Dia akan jadi mertuanya Pak Brian, seingatnya dia memang punya dua orang putri cantik Arsyi dan Ara dan usia keduanyapun masih anak-anak. Tak mungkinkan Brian mau menikahi salah satu dari dua bocilnya itu. Jadi anak yang mana yang dimaksud Siska?“Kamu belum sarapan ya, Sis, sana ke kantin dulu atau ke cafe depan, biar kamu lebih fokus ngomongnya,” kata dina sedikit jengkel. “Gratis, Mbak?” “Apanya?’ “Makannyalah katanya tadi suruh makan.” “Makannya gratis, tapi setelah itu kamu harus cuci piring.” “Mbak Dina kayak ibu tiri saja. kejam.” “Bahkan anak tiriku bilang aku baik hati.” “Ups aku lupa kalau memang mbak Dina ibu tiri.” Dina segera meneruskan langkahnya , ngobrol dengan Siska tak akan ada habisnya. “Eh, Mbak tunggu, tapi aku serius soal Pak Brian yang akan menikah dan jadi m
Brian memasuki kamarnya dengan hati bercabang, dia sebenarnya juga terkejut dengan keputusannya sendiri yang mengatakan kalau Sinta adalah calon istrinya. Dan lebih buruknya lagi dia mengatakannya di depan sang mama, wanita yang sangat dia sayangi dan tidak ingin dia kecewakan. Sekarang apa yang akan dia lakukan? Tetap menikahi Sinta seperti perkataannya tadi atau menjelaskan semuanya dengan resiko membuat mamanya kecewa. “Apa kamu yakin mau menjadikannya istri dan atas dasar apa keinginanmu itu?”Pertanyaan sang mama seolah terus terngiang di dalam otaknya membuatnya pusing luar biasa, dia bahkan tak bisa menjawab pertanyaan itu dan dengan pengecut, dia malah mengalihkan pembicaraan pada hal lain. Syukurlah sang mama cukup bijak untuk tak terus mendesaknya dan memberikan waktu untuknya menelaah rasa yang ada di hati.Tapi sekarang dia bingung sendiri apa yang harus dia katakan pada Sinta, gadis itu pasti juga membuatuhkan penjelasan darinya. Mulutnya kadang-
Mobil yang dikendarai Brian tiba di halaman rumah yang ditunjukkan Sinta. Dengan senyum terima kasih atas semua kebaikan Brian, gadis itu mengangguk dan turun dari dalam mobil.“Sin, tunggu.” Gadis itu menoleh dan terlihat Brian sudah turun dari mobil mewahnya. “Telepon aku jika kamu butuh tumpangan untuk pulang.” Sinta sudah akan membuka mulutnya menjawab tawaran Brian, tapi tubuhnya langsung tersentak saat sebuah gagang sapu memukul punggungnya dengan keras, sakit sekali. “Dasar anak tak tahu diuntung, sudah numpang bikin malu saja, berikan gajimu padaku.”Rasa sakit di punggungnya bahkan jadi tak terasa saat dia bersitatap dengan mata Brian yang memandang semua ini dengan tatapan tak percaya. “Iya, Bi, kita masuk dulu.... terima kasih sudah mengantar saya, Pak.” Sang Bibi memandang Brian dari atas sampai bawah, penampilan Brian yang sangat tampan dan juga semua benda yang melekat dalam tubuhnya meneriakkan kata mahal... dan jangan lupakan mobil me
Dalam kegelapan, Brian terduduk diam dalam mobilnya yang sewarna malam, matanya begitu tajam mengawasi seorang gadis yang terlihat tersenyum bersama teman-temannya di seberang sana. Sampai satu persatu gadis-gadis itu pergi dari sana, tinggallah Sinta, gadis mungil dengan kuncir ekor kuda yang sesekali melihat arloji di pergelangan tangannya. Brian terus mengamati dalam diam, bahkan sampai setengah jam, yang ditunggu gadis itu tak juga datang, tapi gadis itu tetap menunggu di sana. Malam yang kian beranjak membuat suasana menjadi sepi, bahkan semua toko yang tadi masih ramai dengan pembeli sudah membenahi barang dagangannya. “Apa dia tak takut semakam ini pulang sendiri,” gumam Brian tak senang. Dia sudah akan membuka pintu mobilnya, saat sebuah motor menghampirinya dan terlihat gadis itu menerima uluran helm dari si pengendara dan bergegas naik keboncengannya. Brian cepat-cepat menstater mobilnya untuk mengikuti motor itu sambil terus menjaga jarak ama
Setelah dengan penuh perjuangan mengantar Winda ke rumahnya, akhirnya Brian bisa bernapas lega dia bisa terbebas dari wanita itu, dia bahkan tak habis pikir bagaimana mamanya yang biasanya sangat kalem dan anggun itu bisa menyukai wanita agresif seperti itu untuk dikenalkan padanya. Apa dia terlihat setak laku itu, usianya baru tiga puluh dua tahun, usia yang belum terlalu tua untuk laki-laki sepertinya. Dan yang lebih menyebalkan lagi, wanita itu dengan tak tahu malunya mengambil hadiah yang akan dia berikan pada Sinta. Brian menghela napas dalam berusaha menetralkan perasaannya, dia ingin menemui Sinta, tapi tentu saja tidak dengan tangan kosong. “Ah! Dasar sialan,” maki Brian kesal. Dia harus memikirkan hadiah apa yang bisa dia bawa untuk Sinta, memang bukan keharusan, Sinta juga tidak sedang berulang tahun, tapi tetap saja, Brian merasa tak nyaman.Dengan tergesa dia meminggirkan mobilnya, sejenak dia menimbang apakah akan menghubungi Dina atau S
Brian menatap pita rambut itu dengan senyum terselit di bibirnya, dia bisa membayangkan Sinta pasti akan terlihat sangat manis mengenakan ini. Satu minggu sudah Brian ada di Bali, berlibur sekaligus bekerja, karena meski dia mengajukan cuti kerja, nyatanya pikirannya malah melayang kemana-mana. Bahkan saat mengikuti Arga melakukan pemotretan ke berbagai tempat dan melihat pemandangan yang sangat indah termasuk wanita-wanita cantik yang bertebaran tak membuatnya bisa melupakan bayangan wajah belia yang selalu menghantui pikirannya. Jadi dia memutuskan tetap bekerja di hari kedua cutinya, yang membuat sang paman yang menerima laporan entah dari siapa menghubunginya hanya untuk menertawakan keputusan anehnya. “Kamu memang tak pantas untuk cuti, sudahlah bekerja saja, sedekahkan cutimu untuk yang membutuhkan.”Brian hanya bisa tersenyum kecut, meski pamannya di seberang sana pasti tak bisa melihatnya, mau apalagi, tidak mungkinkan dia mengomel pada pamannya yang
Sebuah proyek pembangunan sekolah luar biasa di Bali. Brian memandang informasi yang baru saja masuk ke ponselnya dengan penuh pertimbangan. Ini memang bukan tugasnya untuk meninjau secara langsung, tapi dia bisa mengajukan diri untuk ikut meninjau ke sana, memastikan sarana dan prasarana apa yang dibutuhkan di sana. “Saya akan ikut ke sana.” Brian mengirimkan pesan balasan pada direktur utama yayasan tempatnya bekerja, yang tak lain adalah pamannya sendiri. “Kamu yakin, kamu sebenarnya hanya perlu mengirim salah seorang staffmu, lagipula pembangunan di sana juga belum selesai.” Sebuah pesan balasan masuk tak lama kemudian. “Aku sedang ada urusan di Bali jadi sekalian saja.” “Baiklah, lusa mereka akan berangkat, persiapkan dirimu.” Brian masih memandang ponselnya. Meski tak ada lagi pesan yang masuk. Tangannya tergoda untuk mengirim pesan pada Sinta, tapi dia kembali ragu, Kemarin setelah dia datang ke cafe Dina dan menemui Sinta di sana sikap
Bahkan saat bekerjapun bayangan Sinta memenuhi kepalanya. Membuatnya sulit untuk berkonsentrasi. “Kenapa kopi buatanmu rasanya jadi tidak karuan seperti ini, Sa?” gerutu Brian.Bahkan kopi yang biasa dibuatkan oleh Sasa, sekretarisnya terasa aneh dan tidak seperti biasanya. Suasana hati Brian benar-benar mengerikan sepagi ini bahkan sudah ada dua anak buahnya yang kena semprot. “Tapi saya buat dengan takaran yang biasa pak, satu sendok makan kopi hitam dan satu sendok teh gula, bapak biasanya tidak suka kopi manis jadi saya hanya memberi sedikit gula,” Sasa tentu saja tak terima dengan tuduhan Brian orang dia membuat kopi seperti biasa tak ada yang dikurangi ataupun ditambah. “Airnya belum matang mungkin atau ini bukan bubuk kopi yang biasanya.” Sasa membelalak tak percaya. “Saya merebusnya langsung di atas kompor bapak kan tidak mau air dispenser, dan saya sudah lebih dari tiga puluh tahun berpengalaman untuk masak air, dan tahu benar bagaimana air yang suda