Dina menyusul Angga yang berjalan ke arah kamar yang biasa mereka tempati saat berkunjung kemari. Laki-laki itu langsung masuk ke dalam kamarnya dan menutup pintu, sejenak Dina ragu untuk menyusulnya.
Laki-laki dan egonya memang tak bisa dipisahkan, Angga memang baru saja mengambil keputusan besar dalam hidupnya, Dina tak tahu apa yang dirasakan Angga saat ini, menyesalkah, atau rasa bersalah karena membawa masuk Keira dalam keluarganya.“Din.” Dina menoleh saat seseorang menepuk pundaknya. Ternyata mama mertuanya. “Bagaimana dengan Aksa, apakah dia baik-baik saja? Maaf tadi aku mendengar pertengkaran kalian.”Dina menghela napas sejenak. “Selain baru saja pingsan dan stock sekarang Aksa baik-baik saja, dokter memberinya obat penenang, dan dia sudah lebih baik, saat saya tinggal tadi dia sedang tidur.”“Terima kasih, Din, kamu menyayangi mereka dengan tulus bahkan melebihi ayah kandungnya sendiri.”“Tidak sulit untuk menyayangi mereka, MTadinya Dina mengira Angga akan langsung datang ke kamar Aksa begitu sampai di rumah dan melihat keadaan putranya, ternyata Dina salah, laki-laki itu itu malah duduk diam membiarkan televisi menonton dirinya. Bahkan setelah Dina selesai mandi dan berganti baju, Angga tetap di sana. “Mas sudah lihat Aksa?” tanya Dina yang mengambil tempat duduk di sebelah Angga. “Mas kenapa ditanya kok diam saja.” Dina menyentuh lengan suaminya meminta perhatian. “Kenapa, Din?” Dina mengawasi suaminya yang seperti orang bingung. “Mas kenapa? Aku tadi bertanya Mas Angga sudah lihat Aksa?” ulang Dina. “Belum.” Angga menggeleng dengan putus asa. “Apa dia akan baik-baik saja kalau melihat aku, apa nanti dia tidak akan histeris, secara tidak langsung akulah yang menyebabkan semua ini terjadi,” kata Angga dengan putus asa. “Kenapa Mas, malah berpikir begitu, Mas Angga itu satu-satunya orang tua kandung yang dia punya, jadi dia akan baik-baik saja
Dina memandang suaminya iba, ditolak oleh darah dagingnya sendiri pasti memberikan pukulan yang sangat besar untuknya. Meski dia tahu ini juga sedikit banyak kesalahan Angga, tapi tetap saja ada rasa tak tega di hatinya.Pelan Dina menyentuh bahu Angga memberinya dukungan agar tak menyerah mendapatkan hati putranya."Bunda di sini, Sayang, Aksa butuh sesuatu?" Dina mendekati ranjang Aksa, setelah memberikan sebuah anggukan kecil pada suaminya.Dipeluknya tubuh anak yang sebentar lagi menginjak masa remaja itu dengan sayang, menenangkannya dengan tepukan halus tangannya di punggung Aksa. "Bunda tidak akan tinggalin Aksa kan?" tanya anak itu dengan tatapan sendu."Apa Aksa berbuat kesalahan?" tanya Dina. Anak itu menggeleng."Apa Aksa tidak sayang Bunda?" "Sayang, Bunda." "Kalau begitu nggak ada alasan buat Bunda tinggalin Aksa," jawab Dina lembut. "Tapi kata Tante Keira-""Sttt, Aksa tanya h
Liburan, saat mendengar kata itu anak-anak langsung bersorak senang, dengan antusias mereka lalu merencanakan apa saja yang akan mereka bawa. Ya Tuhan ternyata memang selama ini Dirinya belum bisa menjadi ibu yang baik, batin Dina. Dia bahkan terlalu sibuk meratapi nasibnya yang tidak mendapatkan cinta dari suaminya, bahkan keinginan kecil seperti liburan bersama saja belum pernah dia wujudkan. Anak-anak memang biasanya pergi berlibur bersama neneknya, tapi liburan yang dimaksud adalah menginap di Villa keluarga mereka yang ada di kawasan pedesaan, meski bagi Dina itu sangat menyenangkan saat kita bisa menghirup udara tanpa pencemaran atau melihat pemandangan alam yang membentang indah. Tapi mungkin tidak demikian untuk anak-anak. Mereka pasti juga ingin seperti anak lain yang pergi ke tempat-tempat yang mereka suka dengan keluarganya, dan Dina merasa sangat berdosa. Karena tidak peka.Pagi itu mereka semua bersiap untuk berangkat dengan masing-masing membawa
Setelah hampir sebulan lebih pontang panting dihajar pekerjaan yang menumpuk, akhirnya hari ini datang juga, hari dimana hasil kerja mereka akan dievaluasi oleh pihak terkait, dan sialnya hari ini juga Sasa harus ijin kerja karena anaknya tiba-tiba sakit, dan sebagai seorang ibu dan juga single parent tentu tak ada pilihan lain bagi Sasa selain ijin tidak masuk kerja. Dan sialnya, yang terhormat Pak Brian Mahendra langsung menunjuk Dina menggantikan posisi Sasa untuk sementara waktu, mendampinginya menghadapi para auditor yang telah bersiap membantai mereka. "Kamu sudah mempelajari semua berkas tadi kan, Din?" tanya Brian saat mereka bersiap terjun ke lapangan mengawal orang-orang itu. "Sudah, Pak, sesuai dengan list yang Bapak berikan tadi," jawab Dina yakin."Baguslah, nanti aku harap kamu bisa membantuku menjawab pertanyaan mereka.""Siap, Pak."Sebagai seorang pegawai tentu Dina tak bisa menolak perintah atasannya mengenai
“Kamu kalau sudah mengomel seperti mamaku saja,” sindir Brian. ““Sayakan memang sudah ibu-ibu, Pak anak saya sudah tiga, ingatkan.” Dina tertawa di akhir kalimatnya. “Kamu sepertinya bahagia sekali menyebut dirimu ibu-ibu padahal banyak wanita di luar sana yang meskipun sudah ibu-ibu enggan untuk mengakuinya dan masih merasa seperti gadis muda.” “Bagi saya menjadi ibu itu satu tahapan kehidupan yang paling mulia, saya merasa memiliki dan miliki oleh seseorang.” “Apa itu cara lain darimu untuk mengatakan supaya aku cepat menikah?” Dina hanya tertawa. “Menikah bukan perlombaan, Pak, kesempatan itu akan datang di saat yang tepat.” “Itu pengalaman pribadi, ya?” “Benar, dulu saya hanya tahu bekerja, tiba-tiba ada duda tampan yang melamar saya dan tak lama kemudian saya harus rela diseret ke pelaminan.” “Aku tak menyangka perjalanan cintamu sereceh itu,” ejek Brian. “Untuk apa yang rumit kalau bisa d
Dina sesekali menengok ke belakang, dia ingin tahu apa yang akan dilakukan oleh Anggun Paramitha di sana. ternyata wanita itu sudah pergi keluar butik dengan tergesa-gesa. Entah karena perdebatannya dengan Brian atau memang dia sedang ada urusan yang harus dia kerjakan. “Ada apa, Din?” Tanya Brian yang mendapati Dina sepertinya gelisah. “Tidak, Pak, saya hanya khawatir dengan Mbak Anggun.” Sejenak Brian terdiam lalu mengangkat alisnya. “Kalau yang kamua maksud dia akan celaka karena menyetir mobil sendiri, itu tidak akan terjadi karena aku lihat tadi ada manager Anggun yang mengantarnya,” jawab Brian enteng. “Jadi pak Brian tahu kalau Mbak Angggun ada di sini sejak awal?” “Aku hanya tahu managernya, tapi tidak bertemu Anggun,” jawab Brian tanpa beban. Dina hanya mengangguk tak ingin mencampuri urusan Brian lebih jauh lagi. dia hanya orang luar tak bisa begitu saja menghakimi hubungan mereka. “Saya sudah bertanya kemung
Kombinasi badan yang capek dan perut yang lapar membuat Dina langsung menuju meja makan begitu dia sampai di rumah, mendampingi Brian mengawal para auditor itu ternyata hampir meremukkan tubuhnya, ditambah lagi pertanyaan mereka yang membuat pusing kepala."Bi ada makanan, Nggak?" tanya Dina pada Bibi yang sedang sibuk di dapur."Eh, Nyonya, tumben, hanya ada sayur asem sama telur mata sapi sisa makan siang tadi, apa nyonya belum makan siang? Atau mau saya buatkan lauk sebentar?" Bibi memandang heran Dina yang sudah duduk manis di meja makan padahal belum ganti baju. "Nggak usah, Bi, itu saja. Saya sudah makan siang tenang saja," jawab Dina sambil tertawa. "Saya cuma ingin makan masakan Bibi saja. Boleh?" Bibi ikut tertawa. "Boleh banget, Nya," jawabnya antusias. "Saya angetin dulu lauknya, atau mau saya gorengkan ayam sebentar? Ini sudah dingin.""Boleh deh, Bi, tinggal goreng saja, kan?" "Iya."Dengan cekatan Bibi menyed
Dina terbangun pagi itu masih dalam dekapan hangat suaminya, sejenak dia memandang wajah tampan yang sudah menemaninya selama lima tahun terakhir ini. Dadanya masih saja berdebar saat memandang wajah itu, sama seperti lima tahun yang lalu saat awal-awal mereka baru saja menikah. Debar yang indah dan juga menakutkan, dua hal itu bagai dua sisi mata uang yang menemaninya mengarungi pernikahan selama ini. Dina memuaskan diri untuk memandang wajah itu. “Apa ada sesuatu yang salah di wajahku?” Dina terkejut mendapati Angga membuka matanya dan menatapnya dengan mata yang masih mengantuk. Segera dia palingkan muka saat rona merah perlahan naik merambat ke pipinya, dia seperti perawan lugu yang baru saja berdekatan dengan pria. “Syukurlah, Mas sudah bangun jadi aku tidak perlu repot-repot membangunkanmu.” Dina yang salah tingkah langsung melangkah ke kamar mandi dan membersihkan dirinya. Angga tersenyum kecil dan menggeleng pelan melihat tin
"Bu Dina dilarikan ke rumah sakit."Pesan salah satu anak buahnya, membuat Angga langsung meninggalkan semua pekerjaannya.Dia melangkah terburu-buru, ingin rasanya dia terbang supaya cepat sampai, dia merutuki dirinya sendiri kenapa harus ada masalah di kantor saat seperti ini, padahal dia sudah berusaha membereskan pekerjaannya dan menemani Dina yang sedang hamil tua. Syukurlah Bara sangat bisa diandalkan di saat seperti ini, dia juga meminjamkan sang istri, Hera untuk menjaga Dina."Bagaimana keadaan Dina?" tanya Angga tak sabar saat melihat Hera terduduk di kursi tunggu."Masih ditangani dokter."Tanpa membuang waktu Angga menuju ruangan yang ditunjuk Hera."Eh pak kita tunggu di sini saja nggak boleh masuk!" Tapi Angga tampaknya tak peduli."Sus, dimana istri saya?" tanyanya pada seorang perawat."Istri Bapak siapa?" tanya sang perawat bingung."Dina, Sus, istri saya yang akan melahirkan."Untunglah sang perawat punya kesabaran lebih
“Ciee mbak Dina... sebentar lagi akan jadi mertuanya Pak Brian.” Dina bahkan baru saja menginjakkan kakinya di lobi kantor, terdengar suara membahana Siska yang membuatnya melongo tak mengerti. Dia akan jadi mertuanya Pak Brian, seingatnya dia memang punya dua orang putri cantik Arsyi dan Ara dan usia keduanyapun masih anak-anak. Tak mungkinkan Brian mau menikahi salah satu dari dua bocilnya itu. Jadi anak yang mana yang dimaksud Siska?“Kamu belum sarapan ya, Sis, sana ke kantin dulu atau ke cafe depan, biar kamu lebih fokus ngomongnya,” kata dina sedikit jengkel. “Gratis, Mbak?” “Apanya?’ “Makannyalah katanya tadi suruh makan.” “Makannya gratis, tapi setelah itu kamu harus cuci piring.” “Mbak Dina kayak ibu tiri saja. kejam.” “Bahkan anak tiriku bilang aku baik hati.” “Ups aku lupa kalau memang mbak Dina ibu tiri.” Dina segera meneruskan langkahnya , ngobrol dengan Siska tak akan ada habisnya. “Eh, Mbak tunggu, tapi aku serius soal Pak Brian yang akan menikah dan jadi m
Brian memasuki kamarnya dengan hati bercabang, dia sebenarnya juga terkejut dengan keputusannya sendiri yang mengatakan kalau Sinta adalah calon istrinya. Dan lebih buruknya lagi dia mengatakannya di depan sang mama, wanita yang sangat dia sayangi dan tidak ingin dia kecewakan. Sekarang apa yang akan dia lakukan? Tetap menikahi Sinta seperti perkataannya tadi atau menjelaskan semuanya dengan resiko membuat mamanya kecewa. “Apa kamu yakin mau menjadikannya istri dan atas dasar apa keinginanmu itu?”Pertanyaan sang mama seolah terus terngiang di dalam otaknya membuatnya pusing luar biasa, dia bahkan tak bisa menjawab pertanyaan itu dan dengan pengecut, dia malah mengalihkan pembicaraan pada hal lain. Syukurlah sang mama cukup bijak untuk tak terus mendesaknya dan memberikan waktu untuknya menelaah rasa yang ada di hati.Tapi sekarang dia bingung sendiri apa yang harus dia katakan pada Sinta, gadis itu pasti juga membuatuhkan penjelasan darinya. Mulutnya kadang-
Mobil yang dikendarai Brian tiba di halaman rumah yang ditunjukkan Sinta. Dengan senyum terima kasih atas semua kebaikan Brian, gadis itu mengangguk dan turun dari dalam mobil.“Sin, tunggu.” Gadis itu menoleh dan terlihat Brian sudah turun dari mobil mewahnya. “Telepon aku jika kamu butuh tumpangan untuk pulang.” Sinta sudah akan membuka mulutnya menjawab tawaran Brian, tapi tubuhnya langsung tersentak saat sebuah gagang sapu memukul punggungnya dengan keras, sakit sekali. “Dasar anak tak tahu diuntung, sudah numpang bikin malu saja, berikan gajimu padaku.”Rasa sakit di punggungnya bahkan jadi tak terasa saat dia bersitatap dengan mata Brian yang memandang semua ini dengan tatapan tak percaya. “Iya, Bi, kita masuk dulu.... terima kasih sudah mengantar saya, Pak.” Sang Bibi memandang Brian dari atas sampai bawah, penampilan Brian yang sangat tampan dan juga semua benda yang melekat dalam tubuhnya meneriakkan kata mahal... dan jangan lupakan mobil me
Dalam kegelapan, Brian terduduk diam dalam mobilnya yang sewarna malam, matanya begitu tajam mengawasi seorang gadis yang terlihat tersenyum bersama teman-temannya di seberang sana. Sampai satu persatu gadis-gadis itu pergi dari sana, tinggallah Sinta, gadis mungil dengan kuncir ekor kuda yang sesekali melihat arloji di pergelangan tangannya. Brian terus mengamati dalam diam, bahkan sampai setengah jam, yang ditunggu gadis itu tak juga datang, tapi gadis itu tetap menunggu di sana. Malam yang kian beranjak membuat suasana menjadi sepi, bahkan semua toko yang tadi masih ramai dengan pembeli sudah membenahi barang dagangannya. “Apa dia tak takut semakam ini pulang sendiri,” gumam Brian tak senang. Dia sudah akan membuka pintu mobilnya, saat sebuah motor menghampirinya dan terlihat gadis itu menerima uluran helm dari si pengendara dan bergegas naik keboncengannya. Brian cepat-cepat menstater mobilnya untuk mengikuti motor itu sambil terus menjaga jarak ama
Setelah dengan penuh perjuangan mengantar Winda ke rumahnya, akhirnya Brian bisa bernapas lega dia bisa terbebas dari wanita itu, dia bahkan tak habis pikir bagaimana mamanya yang biasanya sangat kalem dan anggun itu bisa menyukai wanita agresif seperti itu untuk dikenalkan padanya. Apa dia terlihat setak laku itu, usianya baru tiga puluh dua tahun, usia yang belum terlalu tua untuk laki-laki sepertinya. Dan yang lebih menyebalkan lagi, wanita itu dengan tak tahu malunya mengambil hadiah yang akan dia berikan pada Sinta. Brian menghela napas dalam berusaha menetralkan perasaannya, dia ingin menemui Sinta, tapi tentu saja tidak dengan tangan kosong. “Ah! Dasar sialan,” maki Brian kesal. Dia harus memikirkan hadiah apa yang bisa dia bawa untuk Sinta, memang bukan keharusan, Sinta juga tidak sedang berulang tahun, tapi tetap saja, Brian merasa tak nyaman.Dengan tergesa dia meminggirkan mobilnya, sejenak dia menimbang apakah akan menghubungi Dina atau S
Brian menatap pita rambut itu dengan senyum terselit di bibirnya, dia bisa membayangkan Sinta pasti akan terlihat sangat manis mengenakan ini. Satu minggu sudah Brian ada di Bali, berlibur sekaligus bekerja, karena meski dia mengajukan cuti kerja, nyatanya pikirannya malah melayang kemana-mana. Bahkan saat mengikuti Arga melakukan pemotretan ke berbagai tempat dan melihat pemandangan yang sangat indah termasuk wanita-wanita cantik yang bertebaran tak membuatnya bisa melupakan bayangan wajah belia yang selalu menghantui pikirannya. Jadi dia memutuskan tetap bekerja di hari kedua cutinya, yang membuat sang paman yang menerima laporan entah dari siapa menghubunginya hanya untuk menertawakan keputusan anehnya. “Kamu memang tak pantas untuk cuti, sudahlah bekerja saja, sedekahkan cutimu untuk yang membutuhkan.”Brian hanya bisa tersenyum kecut, meski pamannya di seberang sana pasti tak bisa melihatnya, mau apalagi, tidak mungkinkan dia mengomel pada pamannya yang
Sebuah proyek pembangunan sekolah luar biasa di Bali. Brian memandang informasi yang baru saja masuk ke ponselnya dengan penuh pertimbangan. Ini memang bukan tugasnya untuk meninjau secara langsung, tapi dia bisa mengajukan diri untuk ikut meninjau ke sana, memastikan sarana dan prasarana apa yang dibutuhkan di sana. “Saya akan ikut ke sana.” Brian mengirimkan pesan balasan pada direktur utama yayasan tempatnya bekerja, yang tak lain adalah pamannya sendiri. “Kamu yakin, kamu sebenarnya hanya perlu mengirim salah seorang staffmu, lagipula pembangunan di sana juga belum selesai.” Sebuah pesan balasan masuk tak lama kemudian. “Aku sedang ada urusan di Bali jadi sekalian saja.” “Baiklah, lusa mereka akan berangkat, persiapkan dirimu.” Brian masih memandang ponselnya. Meski tak ada lagi pesan yang masuk. Tangannya tergoda untuk mengirim pesan pada Sinta, tapi dia kembali ragu, Kemarin setelah dia datang ke cafe Dina dan menemui Sinta di sana sikap
Bahkan saat bekerjapun bayangan Sinta memenuhi kepalanya. Membuatnya sulit untuk berkonsentrasi. “Kenapa kopi buatanmu rasanya jadi tidak karuan seperti ini, Sa?” gerutu Brian.Bahkan kopi yang biasa dibuatkan oleh Sasa, sekretarisnya terasa aneh dan tidak seperti biasanya. Suasana hati Brian benar-benar mengerikan sepagi ini bahkan sudah ada dua anak buahnya yang kena semprot. “Tapi saya buat dengan takaran yang biasa pak, satu sendok makan kopi hitam dan satu sendok teh gula, bapak biasanya tidak suka kopi manis jadi saya hanya memberi sedikit gula,” Sasa tentu saja tak terima dengan tuduhan Brian orang dia membuat kopi seperti biasa tak ada yang dikurangi ataupun ditambah. “Airnya belum matang mungkin atau ini bukan bubuk kopi yang biasanya.” Sasa membelalak tak percaya. “Saya merebusnya langsung di atas kompor bapak kan tidak mau air dispenser, dan saya sudah lebih dari tiga puluh tahun berpengalaman untuk masak air, dan tahu benar bagaimana air yang suda