Dina memandang suaminya iba, ditolak oleh darah dagingnya sendiri pasti memberikan pukulan yang sangat besar untuknya. Meski dia tahu ini juga sedikit banyak kesalahan Angga, tapi tetap saja ada rasa tak tega di hatinya.
Pelan Dina menyentuh bahu Angga memberinya dukungan agar tak menyerah mendapatkan hati putranya."Bunda di sini, Sayang, Aksa butuh sesuatu?"Dina mendekati ranjang Aksa, setelah memberikan sebuah anggukan kecil pada suaminya.Dipeluknya tubuh anak yang sebentar lagi menginjak masa remaja itu dengan sayang, menenangkannya dengan tepukan halus tangannya di punggung Aksa."Bunda tidak akan tinggalin Aksa kan?" tanya anak itu dengan tatapan sendu."Apa Aksa berbuat kesalahan?" tanya Dina. Anak itu menggeleng."Apa Aksa tidak sayang Bunda?""Sayang, Bunda.""Kalau begitu nggak ada alasan buat Bunda tinggalin Aksa," jawab Dina lembut."Tapi kata Tante Keira-""Sttt, Aksa tanya hLiburan, saat mendengar kata itu anak-anak langsung bersorak senang, dengan antusias mereka lalu merencanakan apa saja yang akan mereka bawa. Ya Tuhan ternyata memang selama ini Dirinya belum bisa menjadi ibu yang baik, batin Dina. Dia bahkan terlalu sibuk meratapi nasibnya yang tidak mendapatkan cinta dari suaminya, bahkan keinginan kecil seperti liburan bersama saja belum pernah dia wujudkan. Anak-anak memang biasanya pergi berlibur bersama neneknya, tapi liburan yang dimaksud adalah menginap di Villa keluarga mereka yang ada di kawasan pedesaan, meski bagi Dina itu sangat menyenangkan saat kita bisa menghirup udara tanpa pencemaran atau melihat pemandangan alam yang membentang indah. Tapi mungkin tidak demikian untuk anak-anak. Mereka pasti juga ingin seperti anak lain yang pergi ke tempat-tempat yang mereka suka dengan keluarganya, dan Dina merasa sangat berdosa. Karena tidak peka.Pagi itu mereka semua bersiap untuk berangkat dengan masing-masing membawa
Setelah hampir sebulan lebih pontang panting dihajar pekerjaan yang menumpuk, akhirnya hari ini datang juga, hari dimana hasil kerja mereka akan dievaluasi oleh pihak terkait, dan sialnya hari ini juga Sasa harus ijin kerja karena anaknya tiba-tiba sakit, dan sebagai seorang ibu dan juga single parent tentu tak ada pilihan lain bagi Sasa selain ijin tidak masuk kerja. Dan sialnya, yang terhormat Pak Brian Mahendra langsung menunjuk Dina menggantikan posisi Sasa untuk sementara waktu, mendampinginya menghadapi para auditor yang telah bersiap membantai mereka. "Kamu sudah mempelajari semua berkas tadi kan, Din?" tanya Brian saat mereka bersiap terjun ke lapangan mengawal orang-orang itu. "Sudah, Pak, sesuai dengan list yang Bapak berikan tadi," jawab Dina yakin."Baguslah, nanti aku harap kamu bisa membantuku menjawab pertanyaan mereka.""Siap, Pak."Sebagai seorang pegawai tentu Dina tak bisa menolak perintah atasannya mengenai
“Kamu kalau sudah mengomel seperti mamaku saja,” sindir Brian. ““Sayakan memang sudah ibu-ibu, Pak anak saya sudah tiga, ingatkan.” Dina tertawa di akhir kalimatnya. “Kamu sepertinya bahagia sekali menyebut dirimu ibu-ibu padahal banyak wanita di luar sana yang meskipun sudah ibu-ibu enggan untuk mengakuinya dan masih merasa seperti gadis muda.” “Bagi saya menjadi ibu itu satu tahapan kehidupan yang paling mulia, saya merasa memiliki dan miliki oleh seseorang.” “Apa itu cara lain darimu untuk mengatakan supaya aku cepat menikah?” Dina hanya tertawa. “Menikah bukan perlombaan, Pak, kesempatan itu akan datang di saat yang tepat.” “Itu pengalaman pribadi, ya?” “Benar, dulu saya hanya tahu bekerja, tiba-tiba ada duda tampan yang melamar saya dan tak lama kemudian saya harus rela diseret ke pelaminan.” “Aku tak menyangka perjalanan cintamu sereceh itu,” ejek Brian. “Untuk apa yang rumit kalau bisa d
Dina sesekali menengok ke belakang, dia ingin tahu apa yang akan dilakukan oleh Anggun Paramitha di sana. ternyata wanita itu sudah pergi keluar butik dengan tergesa-gesa. Entah karena perdebatannya dengan Brian atau memang dia sedang ada urusan yang harus dia kerjakan. “Ada apa, Din?” Tanya Brian yang mendapati Dina sepertinya gelisah. “Tidak, Pak, saya hanya khawatir dengan Mbak Anggun.” Sejenak Brian terdiam lalu mengangkat alisnya. “Kalau yang kamua maksud dia akan celaka karena menyetir mobil sendiri, itu tidak akan terjadi karena aku lihat tadi ada manager Anggun yang mengantarnya,” jawab Brian enteng. “Jadi pak Brian tahu kalau Mbak Angggun ada di sini sejak awal?” “Aku hanya tahu managernya, tapi tidak bertemu Anggun,” jawab Brian tanpa beban. Dina hanya mengangguk tak ingin mencampuri urusan Brian lebih jauh lagi. dia hanya orang luar tak bisa begitu saja menghakimi hubungan mereka. “Saya sudah bertanya kemung
Kombinasi badan yang capek dan perut yang lapar membuat Dina langsung menuju meja makan begitu dia sampai di rumah, mendampingi Brian mengawal para auditor itu ternyata hampir meremukkan tubuhnya, ditambah lagi pertanyaan mereka yang membuat pusing kepala."Bi ada makanan, Nggak?" tanya Dina pada Bibi yang sedang sibuk di dapur."Eh, Nyonya, tumben, hanya ada sayur asem sama telur mata sapi sisa makan siang tadi, apa nyonya belum makan siang? Atau mau saya buatkan lauk sebentar?" Bibi memandang heran Dina yang sudah duduk manis di meja makan padahal belum ganti baju. "Nggak usah, Bi, itu saja. Saya sudah makan siang tenang saja," jawab Dina sambil tertawa. "Saya cuma ingin makan masakan Bibi saja. Boleh?" Bibi ikut tertawa. "Boleh banget, Nya," jawabnya antusias. "Saya angetin dulu lauknya, atau mau saya gorengkan ayam sebentar? Ini sudah dingin.""Boleh deh, Bi, tinggal goreng saja, kan?" "Iya."Dengan cekatan Bibi menyed
Dina terbangun pagi itu masih dalam dekapan hangat suaminya, sejenak dia memandang wajah tampan yang sudah menemaninya selama lima tahun terakhir ini. Dadanya masih saja berdebar saat memandang wajah itu, sama seperti lima tahun yang lalu saat awal-awal mereka baru saja menikah. Debar yang indah dan juga menakutkan, dua hal itu bagai dua sisi mata uang yang menemaninya mengarungi pernikahan selama ini. Dina memuaskan diri untuk memandang wajah itu. “Apa ada sesuatu yang salah di wajahku?” Dina terkejut mendapati Angga membuka matanya dan menatapnya dengan mata yang masih mengantuk. Segera dia palingkan muka saat rona merah perlahan naik merambat ke pipinya, dia seperti perawan lugu yang baru saja berdekatan dengan pria. “Syukurlah, Mas sudah bangun jadi aku tidak perlu repot-repot membangunkanmu.” Dina yang salah tingkah langsung melangkah ke kamar mandi dan membersihkan dirinya. Angga tersenyum kecil dan menggeleng pelan melihat tin
Dina menatap cermin di depannya, untuk meneliti wajahnya, selama ini dia jarang sekali untuk berdandan hanya pelembab wajah, bedak dan lipstik sebagai senjatanya, itupun kalau dia tidak lupa memakainya. Beberapa kali Dina memang pergi ke salon bersama dengan mertuanya, dan mencoba berbagai rekomendasi krim wajah yang diberikan mbak-mbak penjaganya di sana, tapi dasar Dina yang memang malas untuk melalui keruwetan itu, akhirnya krim-krim itu hanya digunakan seingatnya saja. “Kamu itu sebenarnya sudah cantik, Din, cuma males dandan saja, coba kamu lebih sering dandan kayak ibu-ibu sosialita teman-temanmu itu.” “Aku nggak punya teman ibu-ibu sosialita, males banget temanan sama mereka, paling kalau ada acara amal saja aku datang kalau untuk ngumpul-ngumpul nggak jelas, mending aku tidur di rumah.” Sasa hanya geleng kepala, Dina dan segala pemikiran sederhananya, mungkin memang dia tidak cocok menjadi orang kaya, batin Sasa gemas.
“Itu yang namanya Vanya?” tanya Dina pada Angga yang sudah kembali menekuni laptopnya saat empat orang itu keluar dari ruangan Angga. Angga menatap istrinya yang masih duduk di tempatnya semula. “Kukira kamu ikut mereka ke ruang rapat.” “Jadi aku tidak boleh ada di sini sebentar?” tanya Dina sambil berjalan mendekati meja kerja suaminya, mengintip sejenak apa yang ada pada layar laptop itu, benarkah suaminya sibuk bekerja atau mungkin sekedar nonton film, batin Dina geli. “Aku tidak berkata begitu.” Dina hanya mengangkat bahu menelusuri meja kerja suaminya yang begitu elegan dengan jari tangannya. “Aku hanya ingin tahu saja, benarkah dia wanita yang menyebabkan Aksa sakit? Ternyata dia sedekat ini denganmu.” Angga menghentikan pekerjaannya. “Bukankah aku sudah mengatakan kalau dia baru pulang dari luar negeri dan meminta pekerjaan di sini.” “Benar, kamu sudah engatakan itu memang tapi kamu tidak mengatakan kalau k