Dina memandang anak-anak yang begitu antusias menceritakan menu makan malam yang tersaji di meja makan, padahal sekali lihat saja Brian pasti bisa mengetahui apa nama masakan itu, apalagi ibunya yang memang hobi memasak dan memiliki sebuah restoran.
"Ini menu gurame bakar kesukaan Ara dan Bunda, Om, kalau itu cumi asam manis kesukaan Papa dan Mas Aksa.""Lalu untuk Arsyi?" tanya Brian penasaran dan menoleh pada gadis kecil yang duduk di sebelah kirinya."Arsyi suka semua makanan yang dimasak Bunda, jadi tidak ada makanan khusus untuk Arsyi.""Kamu memang banyak makan pasti sebentar lagi akan menggelembung seperti balon," ejek Aksa."Enak saja, meski makanku banyak aku juga banyak olahraga," jawab Arsyi tak terima."Olah raga apa? Tiap hari cuma main boneka kok olah raga.""Ok, cukup-cukup, anak baik itu tidak boleh bertengkar." Mereka langsung diam saat Brian menegurnya.Dina tidak pernah merasa seputus asa ini dalam menjalani hidupnya, sejak kecil dia memang sudah akrab berteman dengan penderitaan, tanpa adanya seseorang yang bisa dijadikan sandaran. Tapi kali ini dia benar-benar lelah dan pasrah, dia tak tahu apa alasan Angga menolak perceraian dengannya, padahal Dina sudah berbesar hati mau melepaskan semua dan juga masih mau mengurus anak-anaknya, terlepas dari mereka anak kandungnya atau bukan.Dina ingin sekali bercerita, sekedar melegakan hatinya, tapi kemudian dia sadar selama ini terlalu sibuk dengan dirinya sendiri tanpa memiliki teman akrab untuk tempatnya berbagi.Dina tak mungkin menelepon Bu Rahmi, wanita yang sudah membesarkannya itu memang sangat baik, tapi Dina juga tahu Bu Rahmi memiliki banyak urusan yang harus beliau selesaikan, apalagi di usianya yang semakin senja tidak akan baik memberinya banyak beban pikiran.Dina memang tipe orang yang tidak terlalu suka mengumbar per
Dina bangun dengan kepala yang berat sedikit banyak pembicaraannya dengan mama mertuanya, jadi beban pikiran tersendiri untuknya. Mungkin bakat main kucing-kucingan yang Angga lakukan keturunan dari Mamanya, karena sampai detik ini Dina berlum tahu siapa wanita yang dicintai Angga sebelum dengan Laras. Sebenarnya Dina juga tak tahu apa yang harus dia lakukan jika bertemu dengan wanita itu, mama mertuanya meyakinkan Dina bahwa wanita itu sudah bahagia dengan suaminya dan tak akan lagi mengganggu rumah tangganya dengan Angga, mungkinkah Dina salah? Apa mungkin wanita itu yang dimaksud Aksa bukan wanita yang dicintai Angga sebelum bersama Laras, tapi wanita yang dulu adalah selingkuhan Angga. Tapi yang Dina tak mengerti sebesar apapun pengaruh wanita itu pada Angga, laki-laki itu tetap memilih Laras sebagai istri sahnya, meski dengan terpaksa. Kenapa Laras tidak melawannya dan malah hanya menangis dan menyebabkan anaknya trauma, dan Angga diam sa
Pak Brian datang tepat pukul sepuluh pagi, syukurlah semua makanan telah dihabiskan dan meja kembali bersih seperti sedia kala. Dia membawa kabar tentang beberapa donatur yang akan memberikan sumbangan dana untuk anak-anak yang kurang mampu di sekolah yang berada di bawah naungan yayasan. Dina senang tentu saja dengan begitu makin banyak anak yang akan mendapat bantuan, tapi donatur baru berarti kami juga harus bekerja lebih keras untuk menyiapkan semua dokumen yang diperlukan, karena orang-orang seperti mereka yang mau menghambur-hamburkan uang banyak untuk orang lain tentu memiliki tujuan tersendiri salah satunya adalah untuk mempromosikan perusahaan mereka atau untuk membangun nama mereka di hati masyarakat.“Hah alamat lembur ini,” keluh Sasa pada Dina saat wanita itu mendatangi meja kerjanya untuk memberikan sebuah dokumen.“Apa Tata di rumah sendiri, Mbak?” tanya Dina yang tahu kalau Sasa hanya hidup hanya dengan putrinya saja sejak suaminya meninggal. “Enggak syukur deh ta
Sabtu pagi Dina sudah bersiap akan pergi bersama anak-anak, tapi ada satu masalah yang tidak dia prediksi akan terjadi. Angga, suaminya. Entah rencana apa yang akan dilakukan suaminya itu, sejak pertengkaran mereka waktu itu, Angga jadi sering di rumah ini, bahkan dia yang pulang kerja di atas tengah malam, berbarengan dengan maling yang akan beroperasi kini bahkan sudah di rumah sebelum makan malam tiba dan pagi harinya dia akan berkeliling terlebih dahulu mengantar Dina dan anak-anak. Rekor yang luar biasa selama pernikahannya dengan Dina.Dan dia sekarang harus memilikirkan suatu cara, supaya bisa membawa anak-anak ke rumah keluarga Aryobimo tanpa Angga ikut dengannya. “Ara nggak pingin jalan-jalan sama Papa?” tanya Dina saat dia memasuki kamar putrinya itu.“Memang Papa ngajak Ara jalan-jalan, Bun?” tanya anak itu dengan antusias. “Kalau Ara yang minta Papa pasti mau temani jalan-jalan,” kata Dina meyakinkan putri kecilnya.
Mobil yang mereka tumpangi memasuki kawasan sebuah perumahan elit yang sangat khas dengan nuansa jawa, Dina memang pernah mendengar bahwa kawasan ini memang dihuni oleh kaum bangsawan yang masih memiliki hubungan saudara. Dari bagian depan perumahan sudah terlihat penjaga yang akan mengecek identitas tamu yang akan berkunjung ke kawasan ini, dulu Dina hanya bisa membayangkan bagaimana bagian dalam perumahan ini jika dilihat dari luar saja sudah begitu mewah, bagaikan sebuah istana kerajaan. Seorang wanita tua yang memakai jarit menyambut mereka di depan pintu, mempersilahkan mereka masuk dan segara permisi untuk memanggil nyonya rumah. Perlakuan yang andap asor itu membuat Dina meringis tak enak hati karena diperlakukan begitu oleh wanita yang jauh lebih tua olehnya. Meski Dina tak tahu namanya tapi dia pasti tahu siapa Dina apalagi ada anak-anak yang datang bersamanya. Dina duduk di sebuah kursi yang berada di pendopo rumah itu, meski kawasa
Suasana yang indah pagi itu terasa tidak nyata untuk Dina, bahkan burung-burung yang telah bangun dan memperdengarkan kicaunya yang merdu terasa mengejek di telinganya. Meski sudah banyak menduga hal itu tapi ada orang yang dengan jelas mengatakannya membuat Dina diliputi kegelisahan, Dina bahkan tak bisa mendefinisikan dengan jelas apa bentuk kegelisahan itu, ketakutankah? Atau kecemburuan yang sudah berakar?Dina tahu kalau cinta sang suami memang tak pernah untuk dirinya, tapi bukan berarti dia ingin menggali lebih dalam tentang wanita itu. Dina ingin bersembunyi dalam kubangan ketidaktahuan yang dia ciptakan, tapi saat semua misteri bersumber dari masa lalu, maka Dina tak bisa lagi menutup mata. Dia harus tahu dan menyelesaikan semua ini, paling tidak dia bisa membenahi apa yang telah rusak ataupun memotong bagian yang busuk agar tidak menjalar ke tempat lain.“Jadi siapa wanita itu, Nyonya?” Wanita tua itu mendesah pasrah dan memandang Dina dengan tatapan mata yang sulit dia
Keheningan itu terasa seperti lubang hitam yang akan menelan setiap manusia ke dalam pusaran kegelapan yang pekat, sepi, dingin dan mencekam. Mereka tenggelam dalam pemikiran masing-masing, berusaha menyelami apa yang baru saja menjadi bahan pembicaraan mereka berdua. Mereka masih diliputi keheningan saat ponsel Dina berdering mengagetkan keduanya. Dina memperhatikan nama suaminya yang muncul di layar, Dina mendesah lelah dia sangat tidak ingin bicara dengan suaminya terlebih dahulu, cerita mama Laras membuatnya masih shock dia tidak mau keceplosan mengucapkan apa pun yang akan dia sesali nantinya, tapi saat mengingat Ara bersama suaminya itu membuat Dina tak tenang, dia tahu kombinasi antara suami dan anak-anaknya saja bukan komposisi yang bagus. “Maaf saya terima telepon dulu.” Dina langsung berdiri tanpa menunggu jawaban Nyonya Aryobimo. “Ya?” “Kamu masih di rumah omanya anak-anak?” tanya Angga di uju
“Bunda!” Ara tersenyum lebar saat melihat Bundanya mendekat, anak itu sedang menaiki komidi putar dan tertawa lebar melambaikan tangan padanya. Wajahnya ceria meski tampak lelah. Dina membalas lambaian tangan putrinya, dia gemas sekali dengan kuncir dua Ara yang sudah berantakan. “Kukira kamu pergi sama Mbak pengasuh,” kata Dina saat dia berdiri dekat suaminya yang menumpukan tubuh di pagar pembatas komidi putar. “Aku memang pergi dengannya, tapi aku minta dia pergi membeli es krim untuk Ara.” Dina hanya mengangguk mendengar jawaban suaminya, dia ikut menumpukan tubuhnya di pagar pembatas. “Apa Ara merepotkanmu?” tanya Dina. Angga tersenyum memandang istrinya. “Aku tahu maksud pertanyaanmu, ini memang kali pertama aku pergi dengan Ara tanpa kamu, tapi semuanya baik-baik saja, Ara bukan anak yang sulit didekati, bagaimanapun aku papanya ada sebagaian darahku yang mengalir di tubuhnya. Tentu