Wanita muda menggigit bibirnya, berjalan mondar mandir di depan pintu ruangan yang tertutup rapat itu, sejenak dia ingin masuk dan mengetuk pintu, tapi di waktu yang sama dia juga mengurungkan niatnya itu. “Masuk nggak, ya? Tapi kalau aku nggak masuk Mbak Dina bakalan ketinggalan berita penting, kalai aku masuk apa dia tidak sibuk?” wanita itu bermonolog sendiri. “Ngapain kamu mondar mandir dari tadi, Yan, kalau mau bicara sama aku masuk saja.” Dina membuka pintu ruangannya dan menegur salah satu staff yang bekerja bersamanya ini. “Eh, Mbak Dina, Mbak kayaknya sibuk banget, ya, makanya aku ragu untuk masuk,” jawabnya cengengesan. Yana ini tipikal wanita seperti Siska yang suka sekali bergosip dan mungkin akan bisulan kalau tidak mendapat update gosip terbaru di sekitarnya. “Nggak terlalu, masuk aja kalau kamu mau ngomong.” Dina kembali masuk ke dalam ruangannya dengan daun pintu yang dia biarkan terbuka supaya Yana dapat masuk. “Tutup lagi pintunya, yan.” “Iya, Mbak.” “Jadi
"Bukankah kamu ingin aku membuat profil orang yang bisa dipercaya dan tidak di sini? Bagaimana kalau wanita itu salah satu yang tidak bisa dipercaya apa kamu terima?” Dina memandang suaminya dengan garang. Bibirnya terkatup rapat, ada rasa khawatir yang terselip di hatinya saat mengajukan pertanyaan itu, apa hatinya siap jika Angga mengatakan kalau Vanya begitu penting untuknya. "Aku akan menjaga jarak darinya jika itu yang kamu inginkan." "Bukan keinginanku tapi itu pendapatku baik secara personal maupun profesional, aku sendiri heran bagaimana kamu yang biasanya pintar memilih lawan dan kawan bisa terjebak dengan wanita seperti itu." "Bisakah kita tinggalkan masa lalu, dan berjalan di masa sekarang?" "Tanyakan pada hatimu, Mas, apa bisa meninggalkan masa lalu di belakang dan benar-benar melupakannya?" Angga terdiam tak bisa menjawab pertanyaan Dina, tapi sepertinya sang istri memang tidak butuh jawaban. "Untuk apa aku dipanggil kemari? Atau hanya ingin memperlihatkan kede
Persoalan uang memang bisa menjadi malapeka yang tidak berkesudahan, jangankan yang berjumlah trilyunan seperti aset yang dimiliki keluarga Wicaksana yang berjumlah ratusan bahkan puluhan ribu saja bisa mengancam nyawa. Dina menyadari betul konsekuensi hal ini. Dina bahkan harus merelakan telinganya mendapat omelan Angga, meski itu dilakukan melalui telepon karena tak ingin menarik perhatian. “Aku baik-baik saja, Mas, aku bisa jaga diri dengan baik lagi pula ini lingkungan kantor, meski di tempat sepi pasti tidak akan ada yang berani macam-macam.” “Jangan menyepelekan mereka, ini memang kantor tapi bukan berarti tidak memiliki cara untuk mencelakakanmu. Aku akan mengusahakan seseorang untuk selalu ada di dekatmu.” “Baiklah terserah kamu saja.” Dina meletakkan ponselnya dan memandang Bara tajam, sedangkan laki-laki yang dipandang bersiul ringan dan tak peduli dengan wanita yang terlihat berang di depannya. “Itu pasti kamu kan yang melaporkan pada Mas Angga,” tuduhnya langsung
Dina melangkah cepat ke arah meja kerjanya memeriksa file-file yang ada di sana. "Berapa lama dia di sini?" tanya Dina pada Yana yang masih berdiri di samping pintu. "Mungkin sepuluh menit," jawab Yana sambil memperhatikan jam tangannya. "Saat dia keluar apa membawa sesuatu?" Dina menoleh pada gadis di belakangnya yang tak segera menjawab pertanyaan. "Aku kurang tahu, Mbak, tapi jaman sekarang meski tidak diambil langsung bisa difoto dengan kamera ponsel," gumam Yana seolah bicara pada dirinya sendiri. Dina langsung menghentikan gerakannya mendengar gumaman Yana, benar sekarang ada benda keren bernama ponsel yang bisa digunakan untuk berbagai keperluan. Dia terduduk dengan lemas di kursinya. "Apa dia tadi juga mengutak-atik komputerku?" tanya Dina lagi. "Nggak tahu, Mbak, nggak kelihatan juga dari luar." Dina menggerakkan kursornya mencoba mencari tanda-tanda apa ada kerusakan, tapi tetap saja dia bukan seorang teknisi dan Om Darma yang sudah lama malang melintang di dunia
Mobil meluncur meninggalkan pelataran parkir yang sudah sepi, hanya ada beberapa mobil yang masih tersisa, mungkin itu mobil salah satu petinggi di sana, Dina tak tahu. Yang dia inginkan sekarang adalah segera sampai di rumah dan memeluk anak-anaknya, mencari kenyamanan pada malaikat mungil miliknya. Hatinya belum bisa tenang kalau belum bisa melihat sendiri anak-anaknya dalam keadaan aman dan sehat walafiat. “Tenangkan dirimu dulu, anak-anak akan ikut ketakutan kalau kamu juga takut.” Yah. Suaminya benar, anak-anak begitu sensitif terhadap suasana hatinya, jangan sampai mereka turut serta ketakutan yang tidak diperlukan, anak-anak harus hidup dalam keceriaan. Ara langsung meloncat dalam gendongan papanya begitu sang papa keluar dari mobil. Anak itu terlihat begitu ceria tak ada lagi sisa mendung yang hinggap di wajahnya, padahal pagi tadi anak itu masih merengek meminta diijinkan main hingga taman seperti biasa. Ara yang kreatif pasti sudah menemukan permainan unik untuk menghi
Pagi ini kembali Dina berangkat kerja dengan seorang pengawal yang menemaninya. Ada rasa risih tapi juga tenang di hatinya, bagaimanapun dia seorang wanita yang lemah, dia tidak ingin setiap hari ketakutan hanya karena kata-kata seseorang. Dina memang jago untuk membuat profil seseorang, tapi kalimat persuasif yang mengundang sama sekali bukan gayanya. Pekerjaanlah yang mampu untuk mengalihkan Dina dari beratnya beban hidup yang harus dia tanggung. Setelah nama-nama yang ia lakukan profiler kemarin, Pak Bambang memberikan nama yang akan langsung mereka temui untuk interview kerja. Dan di sinilah Dina sekarang memperhatikan satu persatu orang-orang yang dia buat profilnya secara langsung. "Mereka terlihat seperti orang yang sangat kompeten, dan gaji yang mereka minta juga tidak main-main," komentar Pak Bambang setelah mereka selesai melakukan wawancara. "Iya selalu ada harga yang lebih untuk mereka yang berkemampuan lebih," Dina menimpali. "Semoga saja kemampuan yang mereka bi
“Anak-anak di culik.” Hanya itu kata yang mampu didengar Dina. Tubuhnya sudah lemas badannya bergetar hebat. Apa yang dia takutkan menjadi kenyataan. “Ada apa, Mbak?” Bara yang melihat wajah Dina langsung pucat setelah menerima telepon langsung mengambil ponsel Dina dan berbicara dengan seseorang di ujung sana. Sigap Bara segera menghubungi nomer kantor Angga dan memberi tahu untuk secepatnya menyusul. “Yuk, Mbak kita ke sekolah anak-anak sekarang.” Dina yang masih shock hanya mampu menurut otaknya sudah tak mau diajak berpikir lagi, yang ada diotaknya hanya ketakutan mengenai nasib anak-anaknya. Angga berlari menuju tempat parkir begitu mendapat informasi dari sekretarisnya, di sana sudah ada Dina yang terlihat masih shock dan Bara yang sibuk menghubungi entah siapa. Pak Joko yang membawa mobil dengan kecepatan tinggi, laki-laki yang sudah berpengalaman puluhan tahun menjadi sopir itu membuktikan kemampuannya. Tak berapa lama mereka sudah sampai di sekolah Aksa dan Arsyi. Kepa
Dina tidak bisa terus seperti ini, dia tak bisa hanya diam saja tanpa melakukan apa pun. Dia bisa gila menunggu dalam ketidakpastian ini. Dina memang hanya wanita lemah yang tak bisa melakukan apapun tapi dia bukan wanita tak berotak yang hanya bisa pasrah. Dia biasa melakukan profiler pada para pelamar dan juga pegawai, kenapa dia tidak memanfaatkan itu mungkin saja bisa membantu. Yang pertama harus dia lakukan adalah harus tenang agar dapat berpikir jernih. Dia menarik napas dalam dan menghembuskannya pelan. Pertama yang akan dia lakukan adalah menggeledah ruang kerja suaminya, kasus ini terjadi saat perusahaan sedang memanas, berdasarkan cerita Angga tentang beberapa koleganya, cukup memberikan referensi. Memang ada beberapa orang yang dia curigai dan bisa dijadikan acuan.Berkali-kali CCTV yang memperlihatkan kejadian hari ini dia putar, dia analisis dari berbagai sisi. Dina bergerak mengambil ponselnya dan men