“Anak-anak di culik.” Hanya itu kata yang mampu didengar Dina. Tubuhnya sudah lemas badannya bergetar hebat. Apa yang dia takutkan menjadi kenyataan. “Ada apa, Mbak?” Bara yang melihat wajah Dina langsung pucat setelah menerima telepon langsung mengambil ponsel Dina dan berbicara dengan seseorang di ujung sana. Sigap Bara segera menghubungi nomer kantor Angga dan memberi tahu untuk secepatnya menyusul. “Yuk, Mbak kita ke sekolah anak-anak sekarang.” Dina yang masih shock hanya mampu menurut otaknya sudah tak mau diajak berpikir lagi, yang ada diotaknya hanya ketakutan mengenai nasib anak-anaknya. Angga berlari menuju tempat parkir begitu mendapat informasi dari sekretarisnya, di sana sudah ada Dina yang terlihat masih shock dan Bara yang sibuk menghubungi entah siapa. Pak Joko yang membawa mobil dengan kecepatan tinggi, laki-laki yang sudah berpengalaman puluhan tahun menjadi sopir itu membuktikan kemampuannya. Tak berapa lama mereka sudah sampai di sekolah Aksa dan Arsyi. Kepa
Dina tidak bisa terus seperti ini, dia tak bisa hanya diam saja tanpa melakukan apa pun. Dia bisa gila menunggu dalam ketidakpastian ini. Dina memang hanya wanita lemah yang tak bisa melakukan apapun tapi dia bukan wanita tak berotak yang hanya bisa pasrah. Dia biasa melakukan profiler pada para pelamar dan juga pegawai, kenapa dia tidak memanfaatkan itu mungkin saja bisa membantu. Yang pertama harus dia lakukan adalah harus tenang agar dapat berpikir jernih. Dia menarik napas dalam dan menghembuskannya pelan. Pertama yang akan dia lakukan adalah menggeledah ruang kerja suaminya, kasus ini terjadi saat perusahaan sedang memanas, berdasarkan cerita Angga tentang beberapa koleganya, cukup memberikan referensi. Memang ada beberapa orang yang dia curigai dan bisa dijadikan acuan.Berkali-kali CCTV yang memperlihatkan kejadian hari ini dia putar, dia analisis dari berbagai sisi. Dina bergerak mengambil ponselnya dan men
Dina mondar mandir di depan rumahnya sebentar dia akan duduk, sebentar kemudian berdiri. Tangannya saling menggenggam satu sama lain, mulutnya tak henti-hentinya komat kamit seperti membaca mantra. Hatinya benar-benar gelisah tak tahu lagi apa yang harus dia lakukan. Ponsel di genggamnya pun dari tadi diam saja, padahal dia sudah berkali-kali menengoknya. Jam dinding sudah menunjukkan pukul sepuluh malam, tapi belum ada tanda-tanda mereka akan datang, bahkan Angga juga tidak berkabar sejak telepon yang mengatakan mereka sudah menemukan lokasi tempat anak-anak disekap. Berkali-kali Dina menghubungi nomer Angga maupun Bara yang ikut ke sana tapi tidak ada jawaban, yang membuat Dina makin cemas. Kepalanya pusing saat Oma dan Opa kedua anak itu datang bersamaan dengan kedatangan mama mertuanya, yang membuatnya makin pusing saat mereka terus saja berdebat saling menyalahkan. Dan tentu saja dia yang mengasuh anak-anak itu juga tidak lepas dari kemar
Dina memandangi wajah-wajah lelah dua anak itu, setelah mandi mereka akhirnya tertidur di atas ranjang kamar Dina. Mereka terlalu takut untuk tidur di kamarnya sendiri. Dalam tidurpun mereka sesekali berjingkat ketakutan. Bahkan harta kekayaan orang tuanya yang melimpah tak mampu menolong mereka dari ketakutan itu, justru karena perebutan harta itu mereka menjadi korban dan harus hidup dalam ketakutan, Dina tak tahu sampai kapan ini akan berlangsung. Mengingat keadaan perusahaan yang semakin hari kian memanas, belum lagi ancaman yang pernah ditujukan padanya. Dina memang belum mengatakan pada Angga, tapi dia yakin kalau orang yang menerornya itu karena dia adalah istri Angga. “Kenapa mereka tidur di sini?” tanya Angga saat memasuki kamarnya dan mendapat kedua anaknya sudah tertidur lelap di kamarnya. “Mereka tidak berani tidur sendiri,” jawab Dina singkat. “lalu aku tidur di mana?” gumam Angga pelan tapi masih bisa didengar Dina.
Sama dengan anak ayam yang tak mau pisah dengan induknya, mungkin itu kata yang tepat untuk dua orang anak yang menolak mentah-mentah permintaan oma dan opanya. Bagi mereka Dina adalah ibu yang mengasuh mereka sejak kecil mengajarkan mereka kasih sayang dan arti kehidupan, meski Dina hanya ibu tiri mereka. “Kamu juga bisa ikut kami, jika kamu mau, bukankah Angga sudah ada istri lain yang mengurusnya,” sindir Nyonya Aryobimo, Dina hanya diam, ingin tahu sampai dimana drama ini akan berlangsung. “Apa hak Mama sebenarnya berkata begitu, mungkin aku pernah menjadi menantu kalian tapi kehidupanku sekarang bukan urusan kalian,” jawab Angga dingin. “Aku memberi ijin anak-anak ke rumah oma opanya itu karena mereka mau dan masih menghormati kalian sebagai orang tua Laras, ibu dari anak-anakku, tapi bukan berarti kalian bisa mengatur hidupku.” “Karena kamu yang telah membunuh Laras.” Teriak Nyonya Aryobimo keras, syukurlah perdebatan pagi ini dilakukan
Pepatah jawa mengatakan kalau cinta itu lama-kelamaan datang karena terbiasa, Dina hanya sebagian percaya akan hal itu, kenapa sebagian karena dia sendiri mengalaminya. Hidup bersama Angga sekian lama , bahkan tak bisa merebut seluruh hatinya. Wanita-wanita lain dalam hidup laki-laki itu datang silih berganti, membuatnya harus bisa menahan diri untuk berbalik badan tanpa menoleh lagi. “Apa waktu lima tahun kebersamaan kita belum cukup untuk melupakannya?” Dina bertanya dengan nada rendah. “Berapa lagi waktu yang kamu butuhkan?” Angga bungkam, Dina benar, tidak ada yang tahu berapa lama waktu yang dia butuhkan untuk menjadikan hanya Dina dan anak-anaknya sebagai pusat dunia. Angga meraih tangan Dina dan berkata lirih. “Bantu aku, aku sudah berusaha menjauhinya, aku melarangnya membuat laporan keuangan langsung padaku, aku juga tidak pernah makan siang lagi dengannya.” Dina bahkan tak tahu kalau selama ini dia selalu saja makan siang
"Ada apa, Mbak, kenapa dengan Mas Angga?" Bara yang mendapat telepon dari Angga untuk mengamankan beberapa dokumen penting di kantornya sedangkan laki-laki itu sendiri pergi entah ke mana. "Aku juga tidak terlalu jelas dengan rencana Mas Angga, dia hanya berpesan begitu." Dina yang ingin menemani anak-anak seharian ini, harus rela untuk kembali ke kantor lagi, entah apa yang dibicarakan Angga dan pamannya berdua tadi, setelah mereka hampir adu jotos. Syukurlah Mama mertuanya masih di rumah mereka, Dina bisa menitipkan anak-anak padanya, dan jangan lupakan pengawal yang bertugas untuk memastikan keselamatan mereka juga telah siaga."Mbak Dina ke sini hanya dengan satu pengawal?" tanya Bara melirik pengawal Wanita yang dengan setia mengikuti Dina."Hera sudah cukup, jangan khawatir," jawab Dina yang mengerti kekhawatiran Bara. Bara mengamati pengawal Dina itu sejenak, lalu memutuskan menyimpan pendapatnya sendiri, dan berjalan
Hera membuka pintu dengan pelan sangat pelan, sampai orang yang ada di dalam tak menyadari bahwa dia telah menjadi tontonan. Dina bersandar dengan melipat kedua tangannya di dada, wanita itu masih diam memperhatikan orang yang membolak-balik semua dokumen di atas meja kerjanya."Adakah yang bisa aku bantu? Sepertinya kamu sibuk sekali?" tanya Dina dengan tenang. Semua orang yang ada dalam ruangan besar itu menghentikan kegiatannya mereka menatap dengan penasaran drama apa yang akan terjadi.Dina mensyukuri instingnya kemarin yang merapikan semua dokumen penting dan menaruhnya pada tempat yang tak terduga, kedatangan paman suaminya waktu itu sudah menjadi peringatan tersendiri untuknya. Dina bisa melihat wajah wanita itu yang terbelalak, tak menyangka aksinya akan ketahuan."Oh Mbak Dina aku hanya mencari file yang diminta Mas Angga, tapi sepertinya memang tidak ada di sini," katanya tenang. Dina sangat kagum dibuatny
"Bu Dina dilarikan ke rumah sakit."Pesan salah satu anak buahnya, membuat Angga langsung meninggalkan semua pekerjaannya.Dia melangkah terburu-buru, ingin rasanya dia terbang supaya cepat sampai, dia merutuki dirinya sendiri kenapa harus ada masalah di kantor saat seperti ini, padahal dia sudah berusaha membereskan pekerjaannya dan menemani Dina yang sedang hamil tua. Syukurlah Bara sangat bisa diandalkan di saat seperti ini, dia juga meminjamkan sang istri, Hera untuk menjaga Dina."Bagaimana keadaan Dina?" tanya Angga tak sabar saat melihat Hera terduduk di kursi tunggu."Masih ditangani dokter."Tanpa membuang waktu Angga menuju ruangan yang ditunjuk Hera."Eh pak kita tunggu di sini saja nggak boleh masuk!" Tapi Angga tampaknya tak peduli."Sus, dimana istri saya?" tanyanya pada seorang perawat."Istri Bapak siapa?" tanya sang perawat bingung."Dina, Sus, istri saya yang akan melahirkan."Untunglah sang perawat punya kesabaran lebih
“Ciee mbak Dina... sebentar lagi akan jadi mertuanya Pak Brian.” Dina bahkan baru saja menginjakkan kakinya di lobi kantor, terdengar suara membahana Siska yang membuatnya melongo tak mengerti. Dia akan jadi mertuanya Pak Brian, seingatnya dia memang punya dua orang putri cantik Arsyi dan Ara dan usia keduanyapun masih anak-anak. Tak mungkinkan Brian mau menikahi salah satu dari dua bocilnya itu. Jadi anak yang mana yang dimaksud Siska?“Kamu belum sarapan ya, Sis, sana ke kantin dulu atau ke cafe depan, biar kamu lebih fokus ngomongnya,” kata dina sedikit jengkel. “Gratis, Mbak?” “Apanya?’ “Makannyalah katanya tadi suruh makan.” “Makannya gratis, tapi setelah itu kamu harus cuci piring.” “Mbak Dina kayak ibu tiri saja. kejam.” “Bahkan anak tiriku bilang aku baik hati.” “Ups aku lupa kalau memang mbak Dina ibu tiri.” Dina segera meneruskan langkahnya , ngobrol dengan Siska tak akan ada habisnya. “Eh, Mbak tunggu, tapi aku serius soal Pak Brian yang akan menikah dan jadi m
Brian memasuki kamarnya dengan hati bercabang, dia sebenarnya juga terkejut dengan keputusannya sendiri yang mengatakan kalau Sinta adalah calon istrinya. Dan lebih buruknya lagi dia mengatakannya di depan sang mama, wanita yang sangat dia sayangi dan tidak ingin dia kecewakan. Sekarang apa yang akan dia lakukan? Tetap menikahi Sinta seperti perkataannya tadi atau menjelaskan semuanya dengan resiko membuat mamanya kecewa. “Apa kamu yakin mau menjadikannya istri dan atas dasar apa keinginanmu itu?”Pertanyaan sang mama seolah terus terngiang di dalam otaknya membuatnya pusing luar biasa, dia bahkan tak bisa menjawab pertanyaan itu dan dengan pengecut, dia malah mengalihkan pembicaraan pada hal lain. Syukurlah sang mama cukup bijak untuk tak terus mendesaknya dan memberikan waktu untuknya menelaah rasa yang ada di hati.Tapi sekarang dia bingung sendiri apa yang harus dia katakan pada Sinta, gadis itu pasti juga membuatuhkan penjelasan darinya. Mulutnya kadang-
Mobil yang dikendarai Brian tiba di halaman rumah yang ditunjukkan Sinta. Dengan senyum terima kasih atas semua kebaikan Brian, gadis itu mengangguk dan turun dari dalam mobil.“Sin, tunggu.” Gadis itu menoleh dan terlihat Brian sudah turun dari mobil mewahnya. “Telepon aku jika kamu butuh tumpangan untuk pulang.” Sinta sudah akan membuka mulutnya menjawab tawaran Brian, tapi tubuhnya langsung tersentak saat sebuah gagang sapu memukul punggungnya dengan keras, sakit sekali. “Dasar anak tak tahu diuntung, sudah numpang bikin malu saja, berikan gajimu padaku.”Rasa sakit di punggungnya bahkan jadi tak terasa saat dia bersitatap dengan mata Brian yang memandang semua ini dengan tatapan tak percaya. “Iya, Bi, kita masuk dulu.... terima kasih sudah mengantar saya, Pak.” Sang Bibi memandang Brian dari atas sampai bawah, penampilan Brian yang sangat tampan dan juga semua benda yang melekat dalam tubuhnya meneriakkan kata mahal... dan jangan lupakan mobil me
Dalam kegelapan, Brian terduduk diam dalam mobilnya yang sewarna malam, matanya begitu tajam mengawasi seorang gadis yang terlihat tersenyum bersama teman-temannya di seberang sana. Sampai satu persatu gadis-gadis itu pergi dari sana, tinggallah Sinta, gadis mungil dengan kuncir ekor kuda yang sesekali melihat arloji di pergelangan tangannya. Brian terus mengamati dalam diam, bahkan sampai setengah jam, yang ditunggu gadis itu tak juga datang, tapi gadis itu tetap menunggu di sana. Malam yang kian beranjak membuat suasana menjadi sepi, bahkan semua toko yang tadi masih ramai dengan pembeli sudah membenahi barang dagangannya. “Apa dia tak takut semakam ini pulang sendiri,” gumam Brian tak senang. Dia sudah akan membuka pintu mobilnya, saat sebuah motor menghampirinya dan terlihat gadis itu menerima uluran helm dari si pengendara dan bergegas naik keboncengannya. Brian cepat-cepat menstater mobilnya untuk mengikuti motor itu sambil terus menjaga jarak ama
Setelah dengan penuh perjuangan mengantar Winda ke rumahnya, akhirnya Brian bisa bernapas lega dia bisa terbebas dari wanita itu, dia bahkan tak habis pikir bagaimana mamanya yang biasanya sangat kalem dan anggun itu bisa menyukai wanita agresif seperti itu untuk dikenalkan padanya. Apa dia terlihat setak laku itu, usianya baru tiga puluh dua tahun, usia yang belum terlalu tua untuk laki-laki sepertinya. Dan yang lebih menyebalkan lagi, wanita itu dengan tak tahu malunya mengambil hadiah yang akan dia berikan pada Sinta. Brian menghela napas dalam berusaha menetralkan perasaannya, dia ingin menemui Sinta, tapi tentu saja tidak dengan tangan kosong. “Ah! Dasar sialan,” maki Brian kesal. Dia harus memikirkan hadiah apa yang bisa dia bawa untuk Sinta, memang bukan keharusan, Sinta juga tidak sedang berulang tahun, tapi tetap saja, Brian merasa tak nyaman.Dengan tergesa dia meminggirkan mobilnya, sejenak dia menimbang apakah akan menghubungi Dina atau S
Brian menatap pita rambut itu dengan senyum terselit di bibirnya, dia bisa membayangkan Sinta pasti akan terlihat sangat manis mengenakan ini. Satu minggu sudah Brian ada di Bali, berlibur sekaligus bekerja, karena meski dia mengajukan cuti kerja, nyatanya pikirannya malah melayang kemana-mana. Bahkan saat mengikuti Arga melakukan pemotretan ke berbagai tempat dan melihat pemandangan yang sangat indah termasuk wanita-wanita cantik yang bertebaran tak membuatnya bisa melupakan bayangan wajah belia yang selalu menghantui pikirannya. Jadi dia memutuskan tetap bekerja di hari kedua cutinya, yang membuat sang paman yang menerima laporan entah dari siapa menghubunginya hanya untuk menertawakan keputusan anehnya. “Kamu memang tak pantas untuk cuti, sudahlah bekerja saja, sedekahkan cutimu untuk yang membutuhkan.”Brian hanya bisa tersenyum kecut, meski pamannya di seberang sana pasti tak bisa melihatnya, mau apalagi, tidak mungkinkan dia mengomel pada pamannya yang
Sebuah proyek pembangunan sekolah luar biasa di Bali. Brian memandang informasi yang baru saja masuk ke ponselnya dengan penuh pertimbangan. Ini memang bukan tugasnya untuk meninjau secara langsung, tapi dia bisa mengajukan diri untuk ikut meninjau ke sana, memastikan sarana dan prasarana apa yang dibutuhkan di sana. “Saya akan ikut ke sana.” Brian mengirimkan pesan balasan pada direktur utama yayasan tempatnya bekerja, yang tak lain adalah pamannya sendiri. “Kamu yakin, kamu sebenarnya hanya perlu mengirim salah seorang staffmu, lagipula pembangunan di sana juga belum selesai.” Sebuah pesan balasan masuk tak lama kemudian. “Aku sedang ada urusan di Bali jadi sekalian saja.” “Baiklah, lusa mereka akan berangkat, persiapkan dirimu.” Brian masih memandang ponselnya. Meski tak ada lagi pesan yang masuk. Tangannya tergoda untuk mengirim pesan pada Sinta, tapi dia kembali ragu, Kemarin setelah dia datang ke cafe Dina dan menemui Sinta di sana sikap
Bahkan saat bekerjapun bayangan Sinta memenuhi kepalanya. Membuatnya sulit untuk berkonsentrasi. “Kenapa kopi buatanmu rasanya jadi tidak karuan seperti ini, Sa?” gerutu Brian.Bahkan kopi yang biasa dibuatkan oleh Sasa, sekretarisnya terasa aneh dan tidak seperti biasanya. Suasana hati Brian benar-benar mengerikan sepagi ini bahkan sudah ada dua anak buahnya yang kena semprot. “Tapi saya buat dengan takaran yang biasa pak, satu sendok makan kopi hitam dan satu sendok teh gula, bapak biasanya tidak suka kopi manis jadi saya hanya memberi sedikit gula,” Sasa tentu saja tak terima dengan tuduhan Brian orang dia membuat kopi seperti biasa tak ada yang dikurangi ataupun ditambah. “Airnya belum matang mungkin atau ini bukan bubuk kopi yang biasanya.” Sasa membelalak tak percaya. “Saya merebusnya langsung di atas kompor bapak kan tidak mau air dispenser, dan saya sudah lebih dari tiga puluh tahun berpengalaman untuk masak air, dan tahu benar bagaimana air yang suda