Mobil meluncur meninggalkan pelataran parkir yang sudah sepi, hanya ada beberapa mobil yang masih tersisa, mungkin itu mobil salah satu petinggi di sana, Dina tak tahu. Yang dia inginkan sekarang adalah segera sampai di rumah dan memeluk anak-anaknya, mencari kenyamanan pada malaikat mungil miliknya. Hatinya belum bisa tenang kalau belum bisa melihat sendiri anak-anaknya dalam keadaan aman dan sehat walafiat. “Tenangkan dirimu dulu, anak-anak akan ikut ketakutan kalau kamu juga takut.” Yah. Suaminya benar, anak-anak begitu sensitif terhadap suasana hatinya, jangan sampai mereka turut serta ketakutan yang tidak diperlukan, anak-anak harus hidup dalam keceriaan. Ara langsung meloncat dalam gendongan papanya begitu sang papa keluar dari mobil. Anak itu terlihat begitu ceria tak ada lagi sisa mendung yang hinggap di wajahnya, padahal pagi tadi anak itu masih merengek meminta diijinkan main hingga taman seperti biasa. Ara yang kreatif pasti sudah menemukan permainan unik untuk menghi
Pagi ini kembali Dina berangkat kerja dengan seorang pengawal yang menemaninya. Ada rasa risih tapi juga tenang di hatinya, bagaimanapun dia seorang wanita yang lemah, dia tidak ingin setiap hari ketakutan hanya karena kata-kata seseorang. Dina memang jago untuk membuat profil seseorang, tapi kalimat persuasif yang mengundang sama sekali bukan gayanya. Pekerjaanlah yang mampu untuk mengalihkan Dina dari beratnya beban hidup yang harus dia tanggung. Setelah nama-nama yang ia lakukan profiler kemarin, Pak Bambang memberikan nama yang akan langsung mereka temui untuk interview kerja. Dan di sinilah Dina sekarang memperhatikan satu persatu orang-orang yang dia buat profilnya secara langsung. "Mereka terlihat seperti orang yang sangat kompeten, dan gaji yang mereka minta juga tidak main-main," komentar Pak Bambang setelah mereka selesai melakukan wawancara. "Iya selalu ada harga yang lebih untuk mereka yang berkemampuan lebih," Dina menimpali. "Semoga saja kemampuan yang mereka bi
“Anak-anak di culik.” Hanya itu kata yang mampu didengar Dina. Tubuhnya sudah lemas badannya bergetar hebat. Apa yang dia takutkan menjadi kenyataan. “Ada apa, Mbak?” Bara yang melihat wajah Dina langsung pucat setelah menerima telepon langsung mengambil ponsel Dina dan berbicara dengan seseorang di ujung sana. Sigap Bara segera menghubungi nomer kantor Angga dan memberi tahu untuk secepatnya menyusul. “Yuk, Mbak kita ke sekolah anak-anak sekarang.” Dina yang masih shock hanya mampu menurut otaknya sudah tak mau diajak berpikir lagi, yang ada diotaknya hanya ketakutan mengenai nasib anak-anaknya. Angga berlari menuju tempat parkir begitu mendapat informasi dari sekretarisnya, di sana sudah ada Dina yang terlihat masih shock dan Bara yang sibuk menghubungi entah siapa. Pak Joko yang membawa mobil dengan kecepatan tinggi, laki-laki yang sudah berpengalaman puluhan tahun menjadi sopir itu membuktikan kemampuannya. Tak berapa lama mereka sudah sampai di sekolah Aksa dan Arsyi. Kepa
Dina tidak bisa terus seperti ini, dia tak bisa hanya diam saja tanpa melakukan apa pun. Dia bisa gila menunggu dalam ketidakpastian ini. Dina memang hanya wanita lemah yang tak bisa melakukan apapun tapi dia bukan wanita tak berotak yang hanya bisa pasrah. Dia biasa melakukan profiler pada para pelamar dan juga pegawai, kenapa dia tidak memanfaatkan itu mungkin saja bisa membantu. Yang pertama harus dia lakukan adalah harus tenang agar dapat berpikir jernih. Dia menarik napas dalam dan menghembuskannya pelan. Pertama yang akan dia lakukan adalah menggeledah ruang kerja suaminya, kasus ini terjadi saat perusahaan sedang memanas, berdasarkan cerita Angga tentang beberapa koleganya, cukup memberikan referensi. Memang ada beberapa orang yang dia curigai dan bisa dijadikan acuan.Berkali-kali CCTV yang memperlihatkan kejadian hari ini dia putar, dia analisis dari berbagai sisi. Dina bergerak mengambil ponselnya dan men
Dina mondar mandir di depan rumahnya sebentar dia akan duduk, sebentar kemudian berdiri. Tangannya saling menggenggam satu sama lain, mulutnya tak henti-hentinya komat kamit seperti membaca mantra. Hatinya benar-benar gelisah tak tahu lagi apa yang harus dia lakukan. Ponsel di genggamnya pun dari tadi diam saja, padahal dia sudah berkali-kali menengoknya. Jam dinding sudah menunjukkan pukul sepuluh malam, tapi belum ada tanda-tanda mereka akan datang, bahkan Angga juga tidak berkabar sejak telepon yang mengatakan mereka sudah menemukan lokasi tempat anak-anak disekap. Berkali-kali Dina menghubungi nomer Angga maupun Bara yang ikut ke sana tapi tidak ada jawaban, yang membuat Dina makin cemas. Kepalanya pusing saat Oma dan Opa kedua anak itu datang bersamaan dengan kedatangan mama mertuanya, yang membuatnya makin pusing saat mereka terus saja berdebat saling menyalahkan. Dan tentu saja dia yang mengasuh anak-anak itu juga tidak lepas dari kemar
Dina memandangi wajah-wajah lelah dua anak itu, setelah mandi mereka akhirnya tertidur di atas ranjang kamar Dina. Mereka terlalu takut untuk tidur di kamarnya sendiri. Dalam tidurpun mereka sesekali berjingkat ketakutan. Bahkan harta kekayaan orang tuanya yang melimpah tak mampu menolong mereka dari ketakutan itu, justru karena perebutan harta itu mereka menjadi korban dan harus hidup dalam ketakutan, Dina tak tahu sampai kapan ini akan berlangsung. Mengingat keadaan perusahaan yang semakin hari kian memanas, belum lagi ancaman yang pernah ditujukan padanya. Dina memang belum mengatakan pada Angga, tapi dia yakin kalau orang yang menerornya itu karena dia adalah istri Angga. “Kenapa mereka tidur di sini?” tanya Angga saat memasuki kamarnya dan mendapat kedua anaknya sudah tertidur lelap di kamarnya. “Mereka tidak berani tidur sendiri,” jawab Dina singkat. “lalu aku tidur di mana?” gumam Angga pelan tapi masih bisa didengar Dina.
Sama dengan anak ayam yang tak mau pisah dengan induknya, mungkin itu kata yang tepat untuk dua orang anak yang menolak mentah-mentah permintaan oma dan opanya. Bagi mereka Dina adalah ibu yang mengasuh mereka sejak kecil mengajarkan mereka kasih sayang dan arti kehidupan, meski Dina hanya ibu tiri mereka. “Kamu juga bisa ikut kami, jika kamu mau, bukankah Angga sudah ada istri lain yang mengurusnya,” sindir Nyonya Aryobimo, Dina hanya diam, ingin tahu sampai dimana drama ini akan berlangsung. “Apa hak Mama sebenarnya berkata begitu, mungkin aku pernah menjadi menantu kalian tapi kehidupanku sekarang bukan urusan kalian,” jawab Angga dingin. “Aku memberi ijin anak-anak ke rumah oma opanya itu karena mereka mau dan masih menghormati kalian sebagai orang tua Laras, ibu dari anak-anakku, tapi bukan berarti kalian bisa mengatur hidupku.” “Karena kamu yang telah membunuh Laras.” Teriak Nyonya Aryobimo keras, syukurlah perdebatan pagi ini dilakukan
Pepatah jawa mengatakan kalau cinta itu lama-kelamaan datang karena terbiasa, Dina hanya sebagian percaya akan hal itu, kenapa sebagian karena dia sendiri mengalaminya. Hidup bersama Angga sekian lama , bahkan tak bisa merebut seluruh hatinya. Wanita-wanita lain dalam hidup laki-laki itu datang silih berganti, membuatnya harus bisa menahan diri untuk berbalik badan tanpa menoleh lagi. “Apa waktu lima tahun kebersamaan kita belum cukup untuk melupakannya?” Dina bertanya dengan nada rendah. “Berapa lagi waktu yang kamu butuhkan?” Angga bungkam, Dina benar, tidak ada yang tahu berapa lama waktu yang dia butuhkan untuk menjadikan hanya Dina dan anak-anaknya sebagai pusat dunia. Angga meraih tangan Dina dan berkata lirih. “Bantu aku, aku sudah berusaha menjauhinya, aku melarangnya membuat laporan keuangan langsung padaku, aku juga tidak pernah makan siang lagi dengannya.” Dina bahkan tak tahu kalau selama ini dia selalu saja makan siang