7

Malam semakin larut, masih dengan hati yang remuk aku mencoba untuk memejamkan mata. Sekedar mengistirahatkan badan, walaupun kantuk tak kunjung menghampiri.

Tak lama setelah aku memejamkan mata, pintu kamarku terbuka. Dapat aku pastikan jika itu adalah Bang Tama. Sengaja tidak mengunci pintu kamar, aku membiarkan lelaki yang masih menyandang status sebagai suamiku itu untuk masuk.

"Sayang, sudah tidur?" tanyanya setelah duduk di tepi ranjang kami. Dengan malas aku membuka mata, memandang wajah yang sedari dulu mampu membuatku terpesona.

"Menurut Abang, dalam kondisi saat ini bisakah aku tidur secepat itu?" sarkasku tak menyembunyikan sedikitpun amarahku padanya.

"Sayang, bisa kita bicara?" pintanya lirih.

"Apa yang akan kita bicarakan Bang? Tentang istri pertamamu atau tentang kehamilannya? Ah atau justru tentang hubungan kita?"

"Semua dek. Banyak hal yang ingin Abang bicarakan denganmu." sahutnya mantap.

"Untuk apa bang? Untuk apa bicara jika tak akan ada jalan keluarnya?"

"Menurut adek ini sebuah masalah benar?"

"Jadi buat Abang ini bukan masalah?" balikku padanya. Aku tahu ini tidak sopan, tapi yang benar saja dia bertanya seperti itu.

"Bagi Abang ini adalah takdir sayang,"

"Abang benar, ini takdir. Jadi biarkan aku mencoba untuk menerima takdir yang bagiku amat menyakitkan ini. Beri aku waktu untuk menerima semuanya Bang. Jangan paksa aku mendengarkan apa yang akan Abang jelaskan! Bagiku ada atau tidaknya penjelasan dari Abang tak akan merubah semua. Kenyataannya saat ini, aku adalah istri kedua Abang, dan istri pertama yang katanya tidak Abang cintai itu tengah hamil. Hamil anak Abang tentunya kan?"

"Sayang, dengarkan Abang. Walau bagaimanapun Naraya itu istri Abang juga. Dia memiliki hak yang sama denganmu atas diri Abang ini. Akan sangat berdosa jika Abang melalaikan kewajiban terhadapnya!"

"Bukankah Abang bilang hubungan kalian hanya sebatas saling menolong? Lantas?"

"Pernikahan tidak sesederhana itu kan dek? Ada hak dan kewajiban yang harus sama-sama diselesaikan. Mengertilah sayang, hanya sebatas kewajiban saja Abang menggaulinya. Sampai saat ini hati Abang masih terisi penuh dengan namamu,"

Perih sekali rasanya. Apa yang ia katakan benar. Oh hati, mampukah menerima semuanya?

"Sayang tolong jangan menangis," pintanya lembut seraya menghapus air mataku.

"Bagaimana tidak menangis Bang? Selama ini aku pikir kita baik-baik saja,"

"Kita memang baik-baik saja sayang!" tegasnya.

"Tidak! Bagiku kita tidak pernah baik-baik saja Bang. Nyatanya hubungan kita ini dilandasi dengan kebohongan. Entah sudah berapa banyak kebohongan Abang yang aku telan mentah-mentah."

"Maaf sayang ... maafkan Abang,"

Tanpa malu, aku masuk ke dalam pelukan Bang Tama. Pelukan yang selalu terasa nyaman. Oh Allah, akankah pelukan ini tetap menjadi milikku seorang? Aku tahu mustahil sebab ada wanita lain diantara kami, tapi tolong biarkan aku merasakan jika ia hanya milikku saat kami tengah berdua begini.

"Bang, apa kita akan tetap begini?"

"Tentu sayang. Abang hanya milikmu."

"Tapi mbak Raya?"

"Saat kita hanya berdua begini, jangan sebut orang lain. Raya istri Abang, tapi sekarang Abang milikmu,"

"Apa boleh jika Abang hanya bermalam denganku?"

"Hey, tadi siapa yang memaksa Abang membagi malam?" tanyanya dengan nada menggoda.

"Rasanya tak sanggup Abang. Membayangkan Abang melaksanakan kewajiban Abang pada wanita lain itu sangat menyakiti hatiku!"

"Sayang ... tolong jangan begini!"

"Tapi Abang, aku tidak bisa egoiskan?"

"Istri Abang ini wanita berhati lembut. Abang yakin adek tak akan tega menyakiti hati wanita lain," ujarnya lembut.

Aku hanya tersenyum. Benarkah seperti itu aku di matanya?

"Abang rindu adek. Bisakah malam ini Abang tuntaskan rindu itu?" bisiknya mesra.

"Abang ingin?" tanyaku yang mengerti apa maunya.

"Boleh?"

"Tentu saja. Sebelumnya tolong tutup rapat pintu kamar kita Bang. Jangan lupa dikunci!" ujarku padanya yang langsung ia laksanakan.

***

Pagi hari di rumah ini terasa sedikit berbeda. Biasanya hanya ada aku di dapur, kali ini ada wanita lain yang berstatus sama denganku tengah membuat sarapan.

"Mbak Raya terlihat lelah. Apa semalam tidak tidur dengan nyenyak?" tanya ku berbasa-basi.

"Menurutmu?"

"Ah apakah kegiatan kami mengganggu istirahatmu mbak?"

"Apa maksudmu dek?"

"Tak usah berpura-pura tidak paham mbak! Jangan mbak kira aku tidak mengetahui jika saat aku dan suamiku tengah berbincang, mbak Raya dengan tak tahu malunya menguping pembicaraan kami!"

"Lantas jika kau tahu, mengapa tidak menegurku langsung?"

"Sengaja!" sahutku ketus.

"Sengaja?"

"Biar mbak Raya tahu apa yang akan kami lakukan setelah perbincangan itu selesai, dan tepat sekali sesuai dugaanku jika Bang Tama akan meminta haknya," jelasku tanpa menoleh padanya.

"Jadi kamu ...."

"Ya aku sengaja membiarkan mu tahu semuanya mbak! Bagaimana rasanya hah? Apakah itu sakit?"

"Aku sudah terbiasa menahan rasa cemburu dek! Selama ini Mas Satria lebih banyak menghabiskan waktunya denganmu." sahutnya seraya meneruskan kegiatannya yang tertunda tadi.

"Benarkah? Tapi baru kali ini bukan Mbak Raya mendengar langsung keinginan suami kita pada diriku? Dengar Mbak! Cemburumu semalam tak ada sedikitpun bandingannya dengan kebohongan kalian padaku. Sakit hati yang menyebabkan dirimu tak bisa tidur nyenyak belum cukup untuk membayar sakit hatiku saat mengetahui jika akulah istri kedua padahal akulah yang seharusnya menjadi istri pertama dan satu-satunya. Sikap egoismu saat memaksa suamiku untuk menikahimu dulu akan aku balas seribu kali lebih egois. Aku tak akan membagi apa yang menjadi milikku. Aku ini bisa menjadi wanita lembut, tapi aku juga bisa menjadi wanita jahat mbak. Aku anggap saat ini aku tengah meminjamkan suamiku padamu!" cecarku padanya. Lalu tanpa menoleh lagi, kulanjutkan kegiatanku menyiapkan sarapan untuk Bang Tama.

"Jika itu maumu, maka aku pun bisa melakukan hal yang sama!" tiba-tiba saja mbak Raya sudah ada di belakangku.

"Baiklah kita lihat. Jikapun akhirnya aku harus melepaskan Bang Tama. Aku pastikan saat aku melepas maka saat itu pula mbak Raya kehilangan segalanya. Sama seperti aku saat ini!" sahutku tak takut sama sekali.

"Sayang ...dasi Abang dimana?" pecah suara dari Bang Tama mengalihkan fokus kami. Mbak Raya pun langsung menuju sumber suara.

"Dasi Mas ada ..."

"Sebentar Raya. Saya bertanya pada Zahwa." potong Bang Tama cepat. Ah rasanya bahagia melihat wajah cemberutnya itu.

"Kalau Mbak Raya tahu biarkan dia yang memberi tahu Abang!" ucapku sengaja.

"Tapi dek, ada sesuatu yang belum adek lakukan pagi ini," bisiknya padaku. Ah aku tahu pasti apa yang dimaksud olehnya.

"Abang bisa bagi hari untuk kami. Misal hari ini adek yang siapkan besok gantian mbak Raya." sahutku berbisik pula, sehingga Bang Tama merapatkan posisi berdirinya denganku.

"Tapi dek, Raya tidak tahu bagaimana selera pakaian kantor Abang!" sahutnya kembali masih dengan berbisik didekat telingaku.

Aku tahu maksud Bang Tama berbisik agar istri pertamanya itu tidak tersinggung, tapi aku punya tujuan lain. Jika dilihat dari posisi mbak Raya saat ini, Bang Tama terlihat tengah memelukku. Aku yakin jika kakak maduku itu kini menahan cemburu.

"Dasi Abang ada di laci nomor dua baris ke tiga. Hari ini pakai warna abu ya Abang." sahutku kemudian.

"Tak mau pakaikan sekalian?"

"Masakan adek belum matang. Abang bawa saja dasinya kemari. Nanti biar adek bantu pakai," ujarku seraya mendorong pelan bahunya. Tanpa kuduga, Bang Tama memberikan kecupan di dahiku seperti kebiasaannya di pagi hari.

"Abang ... ada Mbak Raya!" ucapku tak enak hati ah lebih tepatnya berpura-pura tak enak hati. Sedari awal, hal inilah yang aku tunggu. Kecupan selamat pagi dari suamiku yang sudah pasti akan membuat maduku itu cemburu. Aku pikir kali ini ia tak akan melakukannya demi menjaga perasaan istri pertamanya itu.

Ini baru sedikit pertunjukan dariku mbak, persiapkan hatimu untuk melihat yang jauh lebih manis lagi. Walau untuk itu aku juga harus merelakan hatiku tersakiti lebih lama lagi.