Ruang keluarga yang biasanya terasa hangat, malam ini begitu dingin. Tak ada canda tawa, yang terlihat hanya gurat marah dan kecewa.
"Panggil wanita itu!" perintah Papa."Untuk apa Pa?" pertanyaan aneh itu terlontar dari mulut Bang Tama."Panggil saja, tak usah banyak tanya!" sahut Papa tegas, terlihat jelas jika beliau tak ingin dibantah.Bang Tama pun ke kamar untuk memanggil Mbak Raya. Kini aku tengah menyiapkan hati. Apapun yang terjadi nanti, aku akan mempertahankan apa yang sudah aku miliki. Bagiku, sedari awal dia adalah milikku. Wanita itulah yang merebut suamiku."Assalamualaikum ..." salam dari Mbak Raya membuyarkan lamunanku. Kulihat dengan sopan ia berusaha untuk mencium tangan mama dan papa yang sayangnya ditolak secara halus oleh mertuaku itu. Wajah sendu tak dapat disembunyikan olehnya, tapi hal itu justru membuatku bahagia. Jahat? Biarlah."Duduk kamu!" perintah mama ketus.Setelah semuanya duduk, seperti biasa aku menyuguhkan teh sebagai teman mengobrol. Sayangnya malam ini tak akan ada obrolan hangat penuh cinta diantara kami."Katakan siapa namamu!" masih dengan suara ketus mama memerintah mbak Raya."Naraya, Ma. Mama bisa panggil aku Raya," sahutnya sembari tersenyum manis."Jangan panggil saya mama! Kamu bukan anak saya." sahut Mama ketus. Tak sedikitpun mama berusaha untuk menyembunyikan rasa tidak sukanya pada mbak Raya."Ma ...""Diam kamu Tama! Mama tidak sedang berbicara denganmu!" sela Mama cepat sebelum Bang Tama menyelesaikan kalimatnya itu. "Katakan pada kami, sejak kapan kamu menjadi istri dari putraku!" lanjutnya."Sebelum Mas Satria menikah dengan Zahwa, ia terlebih dahulu menikahiku secara agama.""Apa kalian saling mencintai?" kali ini bukan mama, tapi ayahlah yang bertanya. Dengan suara lembut khas milik ayah, beliau bertanya pada mbak Raya."Tidak!" bukan mbak Raya yang menjawab melainkan Bang Tama. Kulihat, istri pertama suamiku itu mendengus. Mungkin ia tak menyangka jika suaminya akan menjawab demikian."Lalu kenapa kalian bisa menikah?""Amanah ayah. Ayahnya Naraya mengamanahkan putrinya kepadaku," sahut Bang Tama."Bagiamana bisa? Apa orang tuanya mengenalmu?""Ayahnya adalah korban kecelakaan yang disebabkan oleh kelalaianku ayah. Sebelum beliau meninggal, beliau memintaku untuk menikahi putrinya!""Kapan kejadian itu terjadi?" kali ini Papalah yang bertanya.Kemudian mengalirlah cerita dari Bang Tama. Cerita yang sama dengan apa yang ia katakan padaku tadi. Kecuali bagian dimana Mbak Raya yang memaksa untuk menerima permintaan ayahnya. Entahlah, mungkin Bang Tama tak ingin membuat keluarga kami semakin membenci istri pertamanya itu."Kamu bisa menolak permintaan itu. Tapi kenyataannya kamu memilih untuk menerima. Kamu membohongi kami semua." ujaran penuh kekecewaan itu terlontar dari cinta pertamaku."Maafkan Tama ayah. Sungguh saat itu yang ada dalam pikiran Tama adalah menyelesaikan masalah itu tanpa harus menyakiti Zahwa. Tama yakin sekali jika saat itu saya jujur, maka saat itu juga pernikahan kami akan batal. Tama sangat mencintai Zahwa ayah, maka dari itu pilihan yang tepat adalah dengan menyembunyikan semuanya," jelas Bang Tama."Tak ingin menyakiti adikku katamu? Kamu pikir dengan menjadikan adikku sebagai istri kedua, hal itu tak akan menyakitinya? Kamu pikir, jika semua orang tahu adikku adalah istri kedua tak akan ada yang menghujatnya begitu?" cecar Kak Nando."Jika begitu, lebih baik sekarang selesaikan saja semuanya!" Tiba-tiba saja mbak Raya mengambil alih percakapan. "Mas Satria bisa tetap berpoligami, atau dia harus menceraikan Zahwa!' ujarnya kembali membuatku terkejut."Kenapa harus Zahwa? Bukankah di sini posisimu yang paling rawan? Aku sangat yakin jika pernikahan kalian baru sah secara agama saja," sahut Kak Nando ketus."Kenapa harus Zahwa ya? Jawabannya adalah karena saat ini aku tengah mengandung anak Mas Satria," sahut Mbak Raya.Hampa ... satu kata yang meluncur dari mulut mbak Raya baru saja membuat duniaku seakan hancur. Mengikis habis rasa percaya diriku.Apa yang aku takutkan benar terjadi. Selain menjadi istri pertama, kini dialah yang lebih dulu berhasil mengandung penerus Bang Tama. Lantas bagaimana denganku?"Sayang, dengarkan Abang..." tiba-tiba saja suamiku itu telah berdiri di hadapanku, mencoba untuk memeluk tubuh ini."Cukup, aku rasa cukup Bang. Tak usah lagi diteruskan karena itu hanya akan semakin menyakiti hatiku. Baiklah jika memang harus memilih, aku bukan wanita jahat yang akan menjadikan seorang anak tak memiliki ayah bahkan sebelum ia lahir. Abang bisa ceraikan aku sekarang juga!" putusku yang mungkin saja akan aku sesali seumur hidup."Tidak akan ada perceraian antara Zahwa dan Tama. Demi Allah mama tak akan ridho jika jalan itu yang kalian ambil!" teriak Mama."Dek, Abang tidak akan pernah menceraikanmu!" sahut Bang Tama yang membuatku sedikit merasa lega. Oh hati, sebenarnya apa yang kamu mau?"Jadi kamu akan tetap berpoligami Mas?""Raya, saya mohon jangan memperkeruh suasana. Kamu tahu pasti jika saya tidak akan pernah menceraikan Zahwa!" sahut Bang Tama yang sama sekali tidak membuatku merasa bahagia."Kalau aku sih gak masalah ya Mas!" ucapan bernada santai dari wanita itu membuatku ingin sekali menamparnya. "Tapi kalau Zahwa keberatan ya kamu harus segera menceraikannya! Ingat janjimu pada almarhum ayahku!" lanjutnya lalu pergi meninggalkan ruang keluarga."Wanita seperti itukah yang akan menjadi ibu dari cucuku? Ya Allah, apa salahku sehingga cucuku harus lahir dari wanita tak tahu diri sepertinya?" ratap mama mertuaku."Tama, ayah harap kamu bisa ambil keputusan bijak. Menyatukan keduanya jelas tidak mungkin. Untuk melepaskan salah satunya ayah rasa kamu tak akan pernah bisa. Ayah tahu pasti jika kamu juga mencintai istri pertamamu itu. Terbukti jika saat ini dialah yang mengandung anakmu." ucap ayah lembut. Ayah, andai aku bisa dapat lelaki seperti dirimu yang bahkan saat marah tetap bisa berbicara selembut itu."Ayah, Tama akan tetap menjadi suami Zahwa. Tidak akan ada perceraian diantara kami. Tapi ayah, maafkan Tama jika saat ini tidak bisa melepaskan Raya. Ayah jelas tahu apa sebabnya!" sahut Bang Tama membuat hatiku mencelos. Ah hati, mulai saat ini kamu harus terbiasa menerima rasa sakit."Bagaimana dek?" tanya ayah padaku. Bagaimana ya? entahlah aku sendiri tak bisa menjelaskan apa mauku. Saat ini tak ada pilihan terbaik menurutku. Berpisah dengannya itu berarti aku kalah dan aku benci dengan itu. Jika tetap bersamanya, itu artinya aku harus siap menerima semua kesakitan yang pasti akan aku rasakan nanti."Sayang, dengarkan Papa nak. Sholatlah, minta jawaban dari Allah. Apapun keputusanmu nanti, kami semua akan bersama denganmu. Bertahan atau berpisah, papa jamin tidak akan ada yang mencoba untuk mempengaruhi hatimu saat mengambil keputusan nanti. Baik itu mama atau Tama. Keputusan itu mutlak dari hatimu," ujar Papa."Terima kasih banyak Pa. Insyaallah apapun yang terjadi nanti akan menjadi keputusan terbaik untuk masalah rumah tangga kami," sahutku. Oh ayolah Zahwa, tadi dengan gampangnya kamu meminta cerai tapi sekarang? Hatiku benar-benar bimbang. Bertahan atau melepaskan?Kulihat mama kembali menangis. Maafkan anakmu ini Ma ..."Zahwa adalah putri mama. Sampai kapanpun Zahwa tetaplah putri mama," ujar Mama lalu memelukku erat."Maafkan Zahwa Ma, maaf telah membuat mama menangis!" bisikku.Malam semakin larut, masih dengan hati yang remuk aku mencoba untuk memejamkan mata. Sekedar mengistirahatkan badan, walaupun kantuk tak kunjung menghampiri.Tak lama setelah aku memejamkan mata, pintu kamarku terbuka. Dapat aku pastikan jika itu adalah Bang Tama. Sengaja tidak mengunci pintu kamar, aku membiarkan lelaki yang masih menyandang status sebagai suamiku itu untuk masuk."Sayang, sudah tidur?" tanyanya setelah duduk di tepi ranjang kami. Dengan malas aku membuka mata, memandang wajah yang sedari dulu mampu membuatku terpesona."Menurut Abang, dalam kondisi saat ini bisakah aku tidur secepat itu?" sarkasku tak menyembunyikan sedikitpun amarahku padanya."Sayang, bisa kita bicara?" pintanya lirih."Apa yang akan kita bicarakan Bang? Tentang istri pertamamu atau tentang kehamilannya? Ah atau justru tentang hubungan kita?""Semua dek. Banyak hal yang ingin Abang bicarakan denganmu." sahutnya mantap."Untuk apa bang? Untuk apa bicara jika tak akan ada jalan keluarnya?""Menurut
"Emh jadi bagaimana Mas? Dasinya aku yang ambil atau dek Zahwa saja?" pertanyaan yang meluncur dari mbak Raya membuat Bang Tama menjauh sedikit dariku. Tak mengapa, aku sudah cukup puas untuk saat ini."Ah itu, biar saya yang ambil. Tadi adek sudah jelaskan dimana letaknya. Ya sudah saya ambil dasi dulu ke kamar," pamit Bang Tama.Sekilas kulihat raut tak suka di wajah mbak Raya. Apa peduliku? Biarkan saja dia. Kembali sibuk dengan menu sarapan pagi ini, lagi lagi aku dikejutkan dengan perkataan kakak maduku itu."Dia juga suamiku kan dek, lantas kenapa hanya kamu yang mendapatkan kecupan itu?""Lah mana aku tahu mbak! Harusnya tadi mbak Raya bilang juga kalau mau dicium! Kalau aku sih, ya mau gimana ya mbak ... itu sudah jadi kebiasaan kami. Rasanya itu ada yang kurang kalau gak kecup keningku. Ah mbak nanti bakal tau kok kebiasaan kami jika berada di rumah. Aku harap mbak tidak kaget sih," sahutku tak peduli jika itu semakin membuatnya sakit hati.Tak lama kemudian, Bang Tama kembal
Setelah drama di ruang makan tadi pagi, kini aku sudah bersiap untuk pergi menemui teman-temanku. Dengan langkah santai, aku meninggalkan kamar, tak lupa sebelumnya aku kunci pintu kamarku itu.Di ruang keluarga tampak Mbak Raya tengah bersantai. Menikmati peran sebagai nyonya rumah rupanya. Rasanya ingin sekali mengganggu ketenangannya lagi, tapi ah sudahlah lebih baik aku segera pergi saja."Seharusnya wanita yang sudah menikah itu tidak nongkrong bersama teman-temannya. Harusnya wanita yang sudah menikah itu lebih banyak duduk diam menunggu suami pulang kerja. Katanya gak mau dimadu ...tapi ini, suami pergi kerja malah ikutan pergi juga. Giliran suami punya istri lain eh berlagak tersakiti," celetukan ringan dari Mbak Raya mengehentikan langkah kakiku. Oh rupanya dia mau berdebat lagi denganku. Gak bosen apa? Semenjak dia ada di rumah ini, hampir tak pernah kami lewatkan waktu tanpa perdebatan."Sorry, mbak Raya ngomong sama saya?" tanyaku pura-pura tak mengerti."Harusnya sih sada
BRAAK"Astaghfirullah ... Astaghfirullah,""Sorry, kaget!" ucap Nia."Kaget sih kaget, tapi ya gak gebrak meja juga kali ah," gerutu Rani."Ya maaf! Reflek aja gitu tadi. Oke balik lagi ke adek tercinta kita ini. Bagaimana bisa suami yang bucin abis sama istrinya itu menikah lagi?" tanya Nia."Aku adalah istri kedua Bang Tama," ucapku memulai cerita."Tunggu ... ini semua cuma kebohongan kamu aja kan Wa? Kira-kira dong kalau mau bohong! Istri kedua gimana coba ... jelas-jelas kita semua tau kalau saat kalian menikah statusnya adalah bujangan," sela Dani.Kutarik nafas sebelum melanjutkan cerita, aku pandangi satu persatu wajah sahabatku ini."Aku adalah istri kedua suamiku. Itu kenyataannya. Bukan aku yang dimadu melainkan aku yang menjadi madu. Hebat bukan? Selama ini aku hanya tahu jika akulah istri satu-satunya Bang Tama, nyatanya sebelum menikahiku ia telah menikahi wanita lain. Saat ini istri pertama suamiku tinggal bersama denganku," ceritaku pada mereka."Aku masih gak habis pi
BYUUURTiba-tiba saja, Nia sudah ada di sampingku dan menyiram mbak Raya dengan minuman milik Andre yang memang belum tersentuh sama sekali."Hey, siapa kamu beraninya menyiramku?" tanya Mbak Raya ketus."Kamu yang siapa ... datang-datang kok bikin kacau!" sahut Nia tak kalah ketus."Kamu lihat wanita yang duduk di hadapanmu, dia itu istri kedua suamiku. Di rumah saja berlagak sebagai istri baik dan setia, ternyata dia tak lebih dari wanita murahan yang hobi selingkuh!" maki mbak Raya sembari menudingku."Oh jadi ini adalah wanita yang memaksa calon suami orang lain untuk menikahinya ... padahal dia tahu kalau lelaki yang ia paksa untuk menjadi suaminya akan menikah esok hari dengan wanita lain. Pantas sih, kelihatan sekali murahannya!" balas Nia membuat mbak Raya terdiam, entah karena marah atau malu."Nia, sudah. Tidak baik dilihat orang," ujarku mencoba melerai."Diam Wa, biarkan aku menyadarkan wanita tak tahu diri ini. Orang gak tau apa-apa tapi asal tuduh. Dengar ya mbak, apa ya
Sesampainya di rumah, aku langsung turun tanpa perlu berterima kasih pada Nazril. Kulihat mobil milik Bang Tama sudah berada di garasi. Tumben sekali, biasanya ia akan pulang setelah magrib."Assalamualaikum," salamku sebelum masuk rumah.Sepi sekali, kenapa tidak ada yang menjawab salamku? Ah, mungkin Abang sedang mandi. Kulanjutkan langkah menuju kamar utama. Eh tunggu, suara apa itu di dapur? Tanpa pikir panjang, kuarahkan kaki menuju dapur. Astaghfirullah ..."Abang!" teriakku, menghentikan adegan dewasa antara Mbak Raya dan suamiku itu."Adek, Dek ini ...." ujarnya tergagap."Jangan marah, bukan hanya kamu istrinya. Apa yang kamu lihat tadi bukankah hal yang biasa dilakukan sepasang suami istri?" sahut Mbak Raya yang aku tahu jika tujuannya adalah untuk menyakitiku."Marah? Tentu tidak. Hanya saja jangan lupakan adab. Benar jika kalian ini suami istri, tapi apakah pantas melakukan hal seperti itu di tempat terbuka begini?" sahutku santai. "Sayang dengar Abang. Tadi tidak sepert
"Assalamualaikum sayangnya Abang," ucapan salam disertai kecupan mesra kudapatkan tatkala pintu utama rumah telah kubuka lebar."Waalaikumsalam sayang," sahutku seraya tersenyum manis."Assalamualaikum dek," pecah suara lain membuat niatku untuk memeluk Bang Tama aku urungkan."Waalaikumsalam mbak. Eh maaf, siapa ya? Apa kita saling kenal?" ujarku bingung. Pasalnya aku belum pernah melihat wanita ini."Sayang, biarkan kami masuk dulu dong. Masak Abang kamu biarkan berdiri di depan pintu begini," ucapan bernada merajuk itu membuatku tersadar jika kamu masih berada di depan pintu utama."Eh Ya Allah, maaf ya Bang, Mbak mari masuk," ucapku mempersilahkan wanita itu untuk ikut masuk bersama kami. Mungkin beliau adalah rekan kerja Bang Tama. Walaupun pada kenyataannya, Bang Tama belum pernah sekalipun mengajak serta rekan kerjanya untuk pulang ke rumah. Tapi mungkin karena Abang baru saja pulang dan harus ada yang mereka bahas, jadi Abang membawanya pulang."Silahkan duduk Mbak, sebentar y
"Benar begitu Bang?" ulangku pada Bang Tama yang diam saja."Hanya sementara dek," sahutnya pelan."Kok sementara sih Mas, aku juga istrimu jadi aku berhak untuk tinggal di rumahmu. Dan kamu Zahwa, sebagai istri kedua kamu seharusnya mau berbagi. Aku ini juga istrinya Mas Satria kan, bukan hanya kamu saja. Ingat aku juga punya hak atas rumah ini," ujar istri pertama suamiku dengan ketus.Apa katanya? Dia punya hak? Tentu saja tidak. Rumah ini atas namaku, sebab ini adalah hadiah pernikahan dari kakak tertuaku. Bahkan jika aku mengusir Bang Tama dari rumah ini, aku yakin jika ia tak akan menolak."Sementara Raya, sebab jangankan kamu, akupun tak memiliki hak atas rumah ini," ujar Bang Tama kemudian."Apa maksudmu Mas? Ini rumahmu kan?""Ini rumah milik istriku Raya, bukan milikku. Hartaku tidak sebanyak itu untuk bisa membangun rumah semewah ini," lanjutnya membuatku tersenyum, jenis senyuman hampa.Memang benar kata Bang Tama. Keluargaku jauh diatas keluarganya. Bahkan, kafe dan resto
Sesampainya di rumah, aku langsung turun tanpa perlu berterima kasih pada Nazril. Kulihat mobil milik Bang Tama sudah berada di garasi. Tumben sekali, biasanya ia akan pulang setelah magrib."Assalamualaikum," salamku sebelum masuk rumah.Sepi sekali, kenapa tidak ada yang menjawab salamku? Ah, mungkin Abang sedang mandi. Kulanjutkan langkah menuju kamar utama. Eh tunggu, suara apa itu di dapur? Tanpa pikir panjang, kuarahkan kaki menuju dapur. Astaghfirullah ..."Abang!" teriakku, menghentikan adegan dewasa antara Mbak Raya dan suamiku itu."Adek, Dek ini ...." ujarnya tergagap."Jangan marah, bukan hanya kamu istrinya. Apa yang kamu lihat tadi bukankah hal yang biasa dilakukan sepasang suami istri?" sahut Mbak Raya yang aku tahu jika tujuannya adalah untuk menyakitiku."Marah? Tentu tidak. Hanya saja jangan lupakan adab. Benar jika kalian ini suami istri, tapi apakah pantas melakukan hal seperti itu di tempat terbuka begini?" sahutku santai. "Sayang dengar Abang. Tadi tidak sepert
BYUUURTiba-tiba saja, Nia sudah ada di sampingku dan menyiram mbak Raya dengan minuman milik Andre yang memang belum tersentuh sama sekali."Hey, siapa kamu beraninya menyiramku?" tanya Mbak Raya ketus."Kamu yang siapa ... datang-datang kok bikin kacau!" sahut Nia tak kalah ketus."Kamu lihat wanita yang duduk di hadapanmu, dia itu istri kedua suamiku. Di rumah saja berlagak sebagai istri baik dan setia, ternyata dia tak lebih dari wanita murahan yang hobi selingkuh!" maki mbak Raya sembari menudingku."Oh jadi ini adalah wanita yang memaksa calon suami orang lain untuk menikahinya ... padahal dia tahu kalau lelaki yang ia paksa untuk menjadi suaminya akan menikah esok hari dengan wanita lain. Pantas sih, kelihatan sekali murahannya!" balas Nia membuat mbak Raya terdiam, entah karena marah atau malu."Nia, sudah. Tidak baik dilihat orang," ujarku mencoba melerai."Diam Wa, biarkan aku menyadarkan wanita tak tahu diri ini. Orang gak tau apa-apa tapi asal tuduh. Dengar ya mbak, apa ya
BRAAK"Astaghfirullah ... Astaghfirullah,""Sorry, kaget!" ucap Nia."Kaget sih kaget, tapi ya gak gebrak meja juga kali ah," gerutu Rani."Ya maaf! Reflek aja gitu tadi. Oke balik lagi ke adek tercinta kita ini. Bagaimana bisa suami yang bucin abis sama istrinya itu menikah lagi?" tanya Nia."Aku adalah istri kedua Bang Tama," ucapku memulai cerita."Tunggu ... ini semua cuma kebohongan kamu aja kan Wa? Kira-kira dong kalau mau bohong! Istri kedua gimana coba ... jelas-jelas kita semua tau kalau saat kalian menikah statusnya adalah bujangan," sela Dani.Kutarik nafas sebelum melanjutkan cerita, aku pandangi satu persatu wajah sahabatku ini."Aku adalah istri kedua suamiku. Itu kenyataannya. Bukan aku yang dimadu melainkan aku yang menjadi madu. Hebat bukan? Selama ini aku hanya tahu jika akulah istri satu-satunya Bang Tama, nyatanya sebelum menikahiku ia telah menikahi wanita lain. Saat ini istri pertama suamiku tinggal bersama denganku," ceritaku pada mereka."Aku masih gak habis pi
Setelah drama di ruang makan tadi pagi, kini aku sudah bersiap untuk pergi menemui teman-temanku. Dengan langkah santai, aku meninggalkan kamar, tak lupa sebelumnya aku kunci pintu kamarku itu.Di ruang keluarga tampak Mbak Raya tengah bersantai. Menikmati peran sebagai nyonya rumah rupanya. Rasanya ingin sekali mengganggu ketenangannya lagi, tapi ah sudahlah lebih baik aku segera pergi saja."Seharusnya wanita yang sudah menikah itu tidak nongkrong bersama teman-temannya. Harusnya wanita yang sudah menikah itu lebih banyak duduk diam menunggu suami pulang kerja. Katanya gak mau dimadu ...tapi ini, suami pergi kerja malah ikutan pergi juga. Giliran suami punya istri lain eh berlagak tersakiti," celetukan ringan dari Mbak Raya mengehentikan langkah kakiku. Oh rupanya dia mau berdebat lagi denganku. Gak bosen apa? Semenjak dia ada di rumah ini, hampir tak pernah kami lewatkan waktu tanpa perdebatan."Sorry, mbak Raya ngomong sama saya?" tanyaku pura-pura tak mengerti."Harusnya sih sada
"Emh jadi bagaimana Mas? Dasinya aku yang ambil atau dek Zahwa saja?" pertanyaan yang meluncur dari mbak Raya membuat Bang Tama menjauh sedikit dariku. Tak mengapa, aku sudah cukup puas untuk saat ini."Ah itu, biar saya yang ambil. Tadi adek sudah jelaskan dimana letaknya. Ya sudah saya ambil dasi dulu ke kamar," pamit Bang Tama.Sekilas kulihat raut tak suka di wajah mbak Raya. Apa peduliku? Biarkan saja dia. Kembali sibuk dengan menu sarapan pagi ini, lagi lagi aku dikejutkan dengan perkataan kakak maduku itu."Dia juga suamiku kan dek, lantas kenapa hanya kamu yang mendapatkan kecupan itu?""Lah mana aku tahu mbak! Harusnya tadi mbak Raya bilang juga kalau mau dicium! Kalau aku sih, ya mau gimana ya mbak ... itu sudah jadi kebiasaan kami. Rasanya itu ada yang kurang kalau gak kecup keningku. Ah mbak nanti bakal tau kok kebiasaan kami jika berada di rumah. Aku harap mbak tidak kaget sih," sahutku tak peduli jika itu semakin membuatnya sakit hati.Tak lama kemudian, Bang Tama kembal
Malam semakin larut, masih dengan hati yang remuk aku mencoba untuk memejamkan mata. Sekedar mengistirahatkan badan, walaupun kantuk tak kunjung menghampiri.Tak lama setelah aku memejamkan mata, pintu kamarku terbuka. Dapat aku pastikan jika itu adalah Bang Tama. Sengaja tidak mengunci pintu kamar, aku membiarkan lelaki yang masih menyandang status sebagai suamiku itu untuk masuk."Sayang, sudah tidur?" tanyanya setelah duduk di tepi ranjang kami. Dengan malas aku membuka mata, memandang wajah yang sedari dulu mampu membuatku terpesona."Menurut Abang, dalam kondisi saat ini bisakah aku tidur secepat itu?" sarkasku tak menyembunyikan sedikitpun amarahku padanya."Sayang, bisa kita bicara?" pintanya lirih."Apa yang akan kita bicarakan Bang? Tentang istri pertamamu atau tentang kehamilannya? Ah atau justru tentang hubungan kita?""Semua dek. Banyak hal yang ingin Abang bicarakan denganmu." sahutnya mantap."Untuk apa bang? Untuk apa bicara jika tak akan ada jalan keluarnya?""Menurut
Ruang keluarga yang biasanya terasa hangat, malam ini begitu dingin. Tak ada canda tawa, yang terlihat hanya gurat marah dan kecewa."Panggil wanita itu!" perintah Papa."Untuk apa Pa?" pertanyaan aneh itu terlontar dari mulut Bang Tama."Panggil saja, tak usah banyak tanya!" sahut Papa tegas, terlihat jelas jika beliau tak ingin dibantah.Bang Tama pun ke kamar untuk memanggil Mbak Raya. Kini aku tengah menyiapkan hati. Apapun yang terjadi nanti, aku akan mempertahankan apa yang sudah aku miliki. Bagiku, sedari awal dia adalah milikku. Wanita itulah yang merebut suamiku."Assalamualaikum ..." salam dari Mbak Raya membuyarkan lamunanku. Kulihat dengan sopan ia berusaha untuk mencium tangan mama dan papa yang sayangnya ditolak secara halus oleh mertuaku itu. Wajah sendu tak dapat disembunyikan olehnya, tapi hal itu justru membuatku bahagia. Jahat? Biarlah."Duduk kamu!" perintah mama ketus.Setelah semuanya duduk, seperti biasa aku menyuguhkan teh sebagai teman mengobrol. Sayangnya mal
"Assalamualaikum ... selamat malam,"Oh Allah ...Suara itu milik istri pertama suamiku. Ya Allah kenapa sekarang? Kulihat wajah Bang Tama semakin merah. Aku yakin saat ini ia tengah emosi. Jadi permintaanku tidak dituruti oleh kakak maduku ini rupanya. Niat sekali ia menghancurkan hari istimewaku. Baiklah Zahwa, suka tidak suka kamu harus mengenalkannya malam ini."Waalaikumsalam, eh ada tamu rupanya. Tapi kok dari kamar?" sahut dan tanya Mama membuatku menelan ludah. Hey kemana keberanianku tadi. Ayolah Zahwa cukup kenalkan namanya dan statusnya di rumah ini. Untuk selanjutnya biarkan takdir yang berbicara."Emh ... Mama ... Papa ... Ayah ... dan kedua kakak tampanku. Perkenalkan dia ... " oh Allah lidahku kelu untuk menyebut nama dan statusnya. Hatiku perih untuk mengakuinya. Aku menunduk untuk menyembunyikan setetes air mata yang tiba-tiba saja luruh."Saya Naraya ... istri pertama Mas Satria," ucapnya lugas memotong perkataanku.Takut-takut kuangkat kepala, dan kini terlihat eksp
Setelah mengatur degup jantungku agar normal kembali, aku melangkahkan kaki menuju ruang keluarga dimana semua tengah berkumpul. Melihat keluargaku bercanda ria, rasanya tak tega jika harus mengungkapkan kebenaran menyakitkan ini. Ya Allah bantu hambamu agar tetap kuat menjalani takdir yang telah engkau rancang untukku.***"Sayang, kok melamun," teguran dari mama mertua membuatku tersadar. Aku hanya bisa tersenyum, memaksakan senyum lebih tepatnya. Sedari dulu aku memang tak pandai menyembunyikan perasaanku. Kalau kata kak Nando aku ini bagaikan buku cerita yang terbuka, mudah sekali untuk dibaca."Mana suamimu Nak?" tanya Papa yang mungkin saja heran karena biasanya aku dan Bang Tama memang tak bisa berjauhan."Abang ke kamar sebentar Pa, ada urusan pekerjaan yang harus dia selesaikan," sahutku asal."Anak itu gimana sih, kerjaan terus yang diurus. Ini kan hari spesial buat dia sama Zahwa kok bisa-bisanya malah kerja. Lagian apa masih kurang waktu kunjungan keluar kotanya itu," omel