"Assalamualaikum sayangnya Abang," ucapan salam disertai kecupan mesra kudapatkan tatkala pintu utama rumah telah kubuka lebar.
"Waalaikumsalam sayang," sahutku seraya tersenyum manis."Assalamualaikum dek," pecah suara lain membuat niatku untuk memeluk Bang Tama aku urungkan."Waalaikumsalam mbak. Eh maaf, siapa ya? Apa kita saling kenal?" ujarku bingung. Pasalnya aku belum pernah melihat wanita ini."Sayang, biarkan kami masuk dulu dong. Masak Abang kamu biarkan berdiri di depan pintu begini," ucapan bernada merajuk itu membuatku tersadar jika kamu masih berada di depan pintu utama."Eh Ya Allah, maaf ya Bang, Mbak mari masuk," ucapku mempersilahkan wanita itu untuk ikut masuk bersama kami. Mungkin beliau adalah rekan kerja Bang Tama. Walaupun pada kenyataannya, Bang Tama belum pernah sekalipun mengajak serta rekan kerjanya untuk pulang ke rumah. Tapi mungkin karena Abang baru saja pulang dan harus ada yang mereka bahas, jadi Abang membawanya pulang."Silahkan duduk Mbak, sebentar ya saya buatkan minum dahulu," ujarku mempersilahkan tamu Bang Tama untuk duduk di ruang tamu."Sayang, tunggu sebentar dek!" Cegah Bang Tama saat aku hendak beranjak ke dapur."Ya Bang, ada apa? Adek mau buat teh hangat untuk Abang dan tamu Abang ini, atau Abang mau dibuatkan yang lain?" tanyaku heran, pasalnya aku sudah hafal betul jika Bang Tama hanya ingin minum teh hangat setelah bepergian."Tidak dek, sini duduk dulu bersama Abang dan Naraya," ujarnya sembari menepuk tempat kosong disampingnya. Oh namanya Naraya, cantik seperti orangnya."Ada apa Bang? Nampaknya ada sesuatu hal yang benar-benar penting yang akan Abang sampaikan padaku," ujarku langsung."Sayang, adek percayakan jika Abang amat mencintai istri Abang ini?""Tentu saja Abang, tapi adek rasa tidak sopan membahas masalah pribadi kita dihadapan orang asing," sahutku merasa tak enak jika Mbak Naraya mendengar pembicaraan kami ini"Sayang, dengarkan Abang. Abang mohon maaf jika selama adek jadi istri Abang, adek tidak merasa cukup bahagia," ujarnya berjeda.Aku semakin tak mengerti kemana arah pembicaraan ini, karena aku merasa jika aku sudah cukup bahagia selama bersamanya. Tanpa sengaja aku melirik wanita yang kini duduk tepat dihadapan kami, wajahnya terlihat gusar dan gelisah. Allah, ada apa ini? Perasaanku menjadi kacau."Perkenalkan, wanita di hadapan adek ini adalah Naraya Nurinsani, istri pertama Abang," ujarnya tegas.Kosong, hampa dan entah apa yang aku rasakan saat pengakuan tak terduga itu meluncur begitu saja dari mulut lelaki yang selama ini sangat aku cintai. Istri pertama katanya? Lalu aku ini apa?"Istri pertama Abang? Lalu Zahwa?""Maaf sayang, Maafkan Abang yang tak kuasa untuk jujur padamu juga keluarga kita," sesalnya."Tolong jelaskan," pintaku. Ya aku harus tahu apa yang sebenarnya terjadi. Bagaimana bisa aku menjadi istri kedua jika saat kami menikah semua orang tahu kalau status Bang Tama seorang bujang dan aku masihlah seorang gadis."Adek ingatkan, satu minggu sebelum kita menikah. Abang harus mengunjungi kafe yang ada di Bandung dan Abang terlambat satu hari dari tanggal yang Abang janjikan pada adek?"Ya, aku ingat saat itu. Ketika pernikahan kami tinggal menghitung hari, calon suamiku justru berpamitan untuk keluar kota. Merajuk tentu saja, tapi dengan sangat yakin Bang Tama menjanjikan akan pulang tiga hari sebelum akad tapi harus mundur satu hari dengan alasan ada hal yang tidak bisa ditinggalkan."Ingat sayang? Saat itu Abang sudah akan pulang. Karena terburu-buru Abang menjadi tidak fokus dan akhirnya menabrak seorang pedagang jagung rebus. Abang mau tidak mau harus bertanggung jawab untuk membawanya kerumah sakit. Sayang, Allah berkehendak lain, pria yang Abang tabrak harus meninggal. Bukan karena kecelakaan itu, namun karena serangan jantung. Disaat terakhir hidupnya, beliau menitipkan sang putri kesayangannya pada Abang, dan Abang ...""Mas, biar Raya yang melanjutkan," sela wanita itu. Sungguh aku tidak lagi peduli siapa yang akan menjelaskan, aku hanya ingin tahu semuanya."Dek, Maafkan mbak yang hadir ditengah kebahagiaan pernikahan kalian. Saat Mas Satria menabrak bapak, saat itu pula mbak mendapati kenyataan jika mbak hamil tanpa suami. Dan hal itulah yang menyebabkan bapak terkena serangan jantung. Sebagai orang tua, bapak tak ingin putri yang telah mengecewakannya ini hidup menderita, hingga tanpa pikir panjang beliau meminta Mas Satria untuk menikahi mbak sebagai bentuk tanggung jawabnya terhadap apa yang menimpa bapak," jelasnya tanpa ragu sedikitpun."Beliau tak ingin putrinya menderita, tapi beliau telah menghadirkan duka untuk wanita lain," sahutku ketus."Dek, saat itu bapak tidak tahu jika ...""Ya, saat itu beliau tidak tahu jika lelaki yang beliau minta untuk menikahi putrinya akan menikahi wanita lain. Dan Abang tidak berusaha untuk menjelaskan?" sahutku semakin sinis. Aku tak lagi bisa menyembunyikan amarahku."Sudah, Mas Satria sudah menjelaskan itu pada bapak. Dan awalnya bapak sudah menerima. Tapi, karena saat itu mbak sedang kalut, mbak rasa menikah dengan Mas Satria adalah jalan terbaik untuk masalah Mbak. Maka, dengan penuh kesadaran Mbak memaksa Mas Satria untuk menikahi mbak saat itu juga. Dengan ancaman jika dia menolak maka mbak akan nekat memberi tahu keluarganya apa yang terjadi saat itu. Mbak mengancam akan mengatakan jika janin yang mbak kandung saat itu adalah anak dari Mas Satria. Dengan begitu, pernikahannya dengan wanita yang ia cintai akan batal," jelasnya membuatku tak percaya jika ada wanita sejahat itu. Demi kebahagiaannya, ia tak peduli lagi jika menyakiti hati wanita lain."Dek, maaf jika menyakitimu," ujar Bang Tama sembari mencoba untuk memelukku. Tentu saja aku menolak, untuk menerima kenyataan ini saja aku masih butuh waktu."Lantas, sekarang apa mau kalian? Terutama dirimu Bang, apa maksudmu membawa istri pertamamu ke rumah ini?" tanyaku mencoba untuk tetap berpikir logis. Aku tak ingin cemburu dan amarah menghancurkan semuanya."Mbak ingin tinggal di sini," sahut wanita itu lugas."Tinggal di sini? Sebagai apa?" mungkin pertanyaanku ini terdengar konyol, tapi aku masih ingin mendengar lagi seberapa besar nyalinya untuk meminta ijin tinggal di rumahku ini."Tentu saja sebagai istri sah dari suami kita dek," sahutnya tenang. Luar biasa sekali wanita di hadapanku ini."Jika aku tidak mengijinkan bagaimana?" tantangku tak mau kalah."Harus! Kamu harus mengijinkan aku tinggal di rumah ini. Jangan lupakan jika sebenarnya akulah istri pertama Mas Satria, jadi aku lebih berhak atas semua miliknya,""Begitukah menurutmu mbak? Baiklah, kamu adalah istri pertamanya. Tapi aku adalah istri satu-satunya yang sah di mata hukum dan negara. Bukan begitu Bang?" ujarku membuat Bang Tama terlihat bingung. Aku adalah Azzahwa Salsabila Ramadhan, putri bungsu keluarga Ramadhan yang sudah terbiasa mendapatkan apa yang aku inginkan. Jadi, tak akan kubiarkan apa yang sudah aku miliki direbut oleh orang lain."Benar begitu Bang?" ulangku pada Bang Tama yang diam saja."Hanya sementara dek," sahutnya pelan."Kok sementara sih Mas, aku juga istrimu jadi aku berhak untuk tinggal di rumahmu. Dan kamu Zahwa, sebagai istri kedua kamu seharusnya mau berbagi. Aku ini juga istrinya Mas Satria kan, bukan hanya kamu saja. Ingat aku juga punya hak atas rumah ini," ujar istri pertama suamiku dengan ketus.Apa katanya? Dia punya hak? Tentu saja tidak. Rumah ini atas namaku, sebab ini adalah hadiah pernikahan dari kakak tertuaku. Bahkan jika aku mengusir Bang Tama dari rumah ini, aku yakin jika ia tak akan menolak."Sementara Raya, sebab jangankan kamu, akupun tak memiliki hak atas rumah ini," ujar Bang Tama kemudian."Apa maksudmu Mas? Ini rumahmu kan?""Ini rumah milik istriku Raya, bukan milikku. Hartaku tidak sebanyak itu untuk bisa membangun rumah semewah ini," lanjutnya membuatku tersenyum, jenis senyuman hampa.Memang benar kata Bang Tama. Keluargaku jauh diatas keluarganya. Bahkan, kafe dan resto
"Satu lagi dek, aku ingin diperkenalkan dengan keluarga besar kita. Aku ingin mereka tahu jika Mas Satria memiliki istri lain,"DegSeketika aku merasa takut, takut jika keluarga Bang Tama dengan suka rela menerima mbak Naraya. Apalagi sampai saat ini aku masih belum bisa memberikan penerus untuk Bang Tama."Bagaimana dek? Ini permintaan sederhana dariku," ujarnya sembari menggenggam tanganku. "Tolong jangan buat aku seperti istri simpanan," lanjutnya kemudian berlalu meninggalkanku seorang diri.Istri simpanan? Bukankah selama ini statusnya memang hanya seorang istri simpanan? Lalu jika ia mampu bertahan sekian lama, mengapa sekarang ia menuntut status yang jelas? Apa lagi setelah ini?"Sayang, kamu ngapain?" Pecah suara dari orang yang begitu aku kenal memecah lamunanku. "Eh adek nangis?" lanjutnya sembari menyeka air mataku.Menangis? Bahkan aku tak merasa jika air mataku luruh. Apa yang aku tangisi? Nasibku yang di madu? Ah bukan, akulah yang menjadi madu. Atau aku menangis karena
Setelah mengatur degup jantungku agar normal kembali, aku melangkahkan kaki menuju ruang keluarga dimana semua tengah berkumpul. Melihat keluargaku bercanda ria, rasanya tak tega jika harus mengungkapkan kebenaran menyakitkan ini. Ya Allah bantu hambamu agar tetap kuat menjalani takdir yang telah engkau rancang untukku.***"Sayang, kok melamun," teguran dari mama mertua membuatku tersadar. Aku hanya bisa tersenyum, memaksakan senyum lebih tepatnya. Sedari dulu aku memang tak pandai menyembunyikan perasaanku. Kalau kata kak Nando aku ini bagaikan buku cerita yang terbuka, mudah sekali untuk dibaca."Mana suamimu Nak?" tanya Papa yang mungkin saja heran karena biasanya aku dan Bang Tama memang tak bisa berjauhan."Abang ke kamar sebentar Pa, ada urusan pekerjaan yang harus dia selesaikan," sahutku asal."Anak itu gimana sih, kerjaan terus yang diurus. Ini kan hari spesial buat dia sama Zahwa kok bisa-bisanya malah kerja. Lagian apa masih kurang waktu kunjungan keluar kotanya itu," omel
"Assalamualaikum ... selamat malam,"Oh Allah ...Suara itu milik istri pertama suamiku. Ya Allah kenapa sekarang? Kulihat wajah Bang Tama semakin merah. Aku yakin saat ini ia tengah emosi. Jadi permintaanku tidak dituruti oleh kakak maduku ini rupanya. Niat sekali ia menghancurkan hari istimewaku. Baiklah Zahwa, suka tidak suka kamu harus mengenalkannya malam ini."Waalaikumsalam, eh ada tamu rupanya. Tapi kok dari kamar?" sahut dan tanya Mama membuatku menelan ludah. Hey kemana keberanianku tadi. Ayolah Zahwa cukup kenalkan namanya dan statusnya di rumah ini. Untuk selanjutnya biarkan takdir yang berbicara."Emh ... Mama ... Papa ... Ayah ... dan kedua kakak tampanku. Perkenalkan dia ... " oh Allah lidahku kelu untuk menyebut nama dan statusnya. Hatiku perih untuk mengakuinya. Aku menunduk untuk menyembunyikan setetes air mata yang tiba-tiba saja luruh."Saya Naraya ... istri pertama Mas Satria," ucapnya lugas memotong perkataanku.Takut-takut kuangkat kepala, dan kini terlihat eksp
Ruang keluarga yang biasanya terasa hangat, malam ini begitu dingin. Tak ada canda tawa, yang terlihat hanya gurat marah dan kecewa."Panggil wanita itu!" perintah Papa."Untuk apa Pa?" pertanyaan aneh itu terlontar dari mulut Bang Tama."Panggil saja, tak usah banyak tanya!" sahut Papa tegas, terlihat jelas jika beliau tak ingin dibantah.Bang Tama pun ke kamar untuk memanggil Mbak Raya. Kini aku tengah menyiapkan hati. Apapun yang terjadi nanti, aku akan mempertahankan apa yang sudah aku miliki. Bagiku, sedari awal dia adalah milikku. Wanita itulah yang merebut suamiku."Assalamualaikum ..." salam dari Mbak Raya membuyarkan lamunanku. Kulihat dengan sopan ia berusaha untuk mencium tangan mama dan papa yang sayangnya ditolak secara halus oleh mertuaku itu. Wajah sendu tak dapat disembunyikan olehnya, tapi hal itu justru membuatku bahagia. Jahat? Biarlah."Duduk kamu!" perintah mama ketus.Setelah semuanya duduk, seperti biasa aku menyuguhkan teh sebagai teman mengobrol. Sayangnya mal
Malam semakin larut, masih dengan hati yang remuk aku mencoba untuk memejamkan mata. Sekedar mengistirahatkan badan, walaupun kantuk tak kunjung menghampiri.Tak lama setelah aku memejamkan mata, pintu kamarku terbuka. Dapat aku pastikan jika itu adalah Bang Tama. Sengaja tidak mengunci pintu kamar, aku membiarkan lelaki yang masih menyandang status sebagai suamiku itu untuk masuk."Sayang, sudah tidur?" tanyanya setelah duduk di tepi ranjang kami. Dengan malas aku membuka mata, memandang wajah yang sedari dulu mampu membuatku terpesona."Menurut Abang, dalam kondisi saat ini bisakah aku tidur secepat itu?" sarkasku tak menyembunyikan sedikitpun amarahku padanya."Sayang, bisa kita bicara?" pintanya lirih."Apa yang akan kita bicarakan Bang? Tentang istri pertamamu atau tentang kehamilannya? Ah atau justru tentang hubungan kita?""Semua dek. Banyak hal yang ingin Abang bicarakan denganmu." sahutnya mantap."Untuk apa bang? Untuk apa bicara jika tak akan ada jalan keluarnya?""Menurut
"Emh jadi bagaimana Mas? Dasinya aku yang ambil atau dek Zahwa saja?" pertanyaan yang meluncur dari mbak Raya membuat Bang Tama menjauh sedikit dariku. Tak mengapa, aku sudah cukup puas untuk saat ini."Ah itu, biar saya yang ambil. Tadi adek sudah jelaskan dimana letaknya. Ya sudah saya ambil dasi dulu ke kamar," pamit Bang Tama.Sekilas kulihat raut tak suka di wajah mbak Raya. Apa peduliku? Biarkan saja dia. Kembali sibuk dengan menu sarapan pagi ini, lagi lagi aku dikejutkan dengan perkataan kakak maduku itu."Dia juga suamiku kan dek, lantas kenapa hanya kamu yang mendapatkan kecupan itu?""Lah mana aku tahu mbak! Harusnya tadi mbak Raya bilang juga kalau mau dicium! Kalau aku sih, ya mau gimana ya mbak ... itu sudah jadi kebiasaan kami. Rasanya itu ada yang kurang kalau gak kecup keningku. Ah mbak nanti bakal tau kok kebiasaan kami jika berada di rumah. Aku harap mbak tidak kaget sih," sahutku tak peduli jika itu semakin membuatnya sakit hati.Tak lama kemudian, Bang Tama kembal
Setelah drama di ruang makan tadi pagi, kini aku sudah bersiap untuk pergi menemui teman-temanku. Dengan langkah santai, aku meninggalkan kamar, tak lupa sebelumnya aku kunci pintu kamarku itu.Di ruang keluarga tampak Mbak Raya tengah bersantai. Menikmati peran sebagai nyonya rumah rupanya. Rasanya ingin sekali mengganggu ketenangannya lagi, tapi ah sudahlah lebih baik aku segera pergi saja."Seharusnya wanita yang sudah menikah itu tidak nongkrong bersama teman-temannya. Harusnya wanita yang sudah menikah itu lebih banyak duduk diam menunggu suami pulang kerja. Katanya gak mau dimadu ...tapi ini, suami pergi kerja malah ikutan pergi juga. Giliran suami punya istri lain eh berlagak tersakiti," celetukan ringan dari Mbak Raya mengehentikan langkah kakiku. Oh rupanya dia mau berdebat lagi denganku. Gak bosen apa? Semenjak dia ada di rumah ini, hampir tak pernah kami lewatkan waktu tanpa perdebatan."Sorry, mbak Raya ngomong sama saya?" tanyaku pura-pura tak mengerti."Harusnya sih sada
Sesampainya di rumah, aku langsung turun tanpa perlu berterima kasih pada Nazril. Kulihat mobil milik Bang Tama sudah berada di garasi. Tumben sekali, biasanya ia akan pulang setelah magrib."Assalamualaikum," salamku sebelum masuk rumah.Sepi sekali, kenapa tidak ada yang menjawab salamku? Ah, mungkin Abang sedang mandi. Kulanjutkan langkah menuju kamar utama. Eh tunggu, suara apa itu di dapur? Tanpa pikir panjang, kuarahkan kaki menuju dapur. Astaghfirullah ..."Abang!" teriakku, menghentikan adegan dewasa antara Mbak Raya dan suamiku itu."Adek, Dek ini ...." ujarnya tergagap."Jangan marah, bukan hanya kamu istrinya. Apa yang kamu lihat tadi bukankah hal yang biasa dilakukan sepasang suami istri?" sahut Mbak Raya yang aku tahu jika tujuannya adalah untuk menyakitiku."Marah? Tentu tidak. Hanya saja jangan lupakan adab. Benar jika kalian ini suami istri, tapi apakah pantas melakukan hal seperti itu di tempat terbuka begini?" sahutku santai. "Sayang dengar Abang. Tadi tidak sepert
BYUUURTiba-tiba saja, Nia sudah ada di sampingku dan menyiram mbak Raya dengan minuman milik Andre yang memang belum tersentuh sama sekali."Hey, siapa kamu beraninya menyiramku?" tanya Mbak Raya ketus."Kamu yang siapa ... datang-datang kok bikin kacau!" sahut Nia tak kalah ketus."Kamu lihat wanita yang duduk di hadapanmu, dia itu istri kedua suamiku. Di rumah saja berlagak sebagai istri baik dan setia, ternyata dia tak lebih dari wanita murahan yang hobi selingkuh!" maki mbak Raya sembari menudingku."Oh jadi ini adalah wanita yang memaksa calon suami orang lain untuk menikahinya ... padahal dia tahu kalau lelaki yang ia paksa untuk menjadi suaminya akan menikah esok hari dengan wanita lain. Pantas sih, kelihatan sekali murahannya!" balas Nia membuat mbak Raya terdiam, entah karena marah atau malu."Nia, sudah. Tidak baik dilihat orang," ujarku mencoba melerai."Diam Wa, biarkan aku menyadarkan wanita tak tahu diri ini. Orang gak tau apa-apa tapi asal tuduh. Dengar ya mbak, apa ya
BRAAK"Astaghfirullah ... Astaghfirullah,""Sorry, kaget!" ucap Nia."Kaget sih kaget, tapi ya gak gebrak meja juga kali ah," gerutu Rani."Ya maaf! Reflek aja gitu tadi. Oke balik lagi ke adek tercinta kita ini. Bagaimana bisa suami yang bucin abis sama istrinya itu menikah lagi?" tanya Nia."Aku adalah istri kedua Bang Tama," ucapku memulai cerita."Tunggu ... ini semua cuma kebohongan kamu aja kan Wa? Kira-kira dong kalau mau bohong! Istri kedua gimana coba ... jelas-jelas kita semua tau kalau saat kalian menikah statusnya adalah bujangan," sela Dani.Kutarik nafas sebelum melanjutkan cerita, aku pandangi satu persatu wajah sahabatku ini."Aku adalah istri kedua suamiku. Itu kenyataannya. Bukan aku yang dimadu melainkan aku yang menjadi madu. Hebat bukan? Selama ini aku hanya tahu jika akulah istri satu-satunya Bang Tama, nyatanya sebelum menikahiku ia telah menikahi wanita lain. Saat ini istri pertama suamiku tinggal bersama denganku," ceritaku pada mereka."Aku masih gak habis pi
Setelah drama di ruang makan tadi pagi, kini aku sudah bersiap untuk pergi menemui teman-temanku. Dengan langkah santai, aku meninggalkan kamar, tak lupa sebelumnya aku kunci pintu kamarku itu.Di ruang keluarga tampak Mbak Raya tengah bersantai. Menikmati peran sebagai nyonya rumah rupanya. Rasanya ingin sekali mengganggu ketenangannya lagi, tapi ah sudahlah lebih baik aku segera pergi saja."Seharusnya wanita yang sudah menikah itu tidak nongkrong bersama teman-temannya. Harusnya wanita yang sudah menikah itu lebih banyak duduk diam menunggu suami pulang kerja. Katanya gak mau dimadu ...tapi ini, suami pergi kerja malah ikutan pergi juga. Giliran suami punya istri lain eh berlagak tersakiti," celetukan ringan dari Mbak Raya mengehentikan langkah kakiku. Oh rupanya dia mau berdebat lagi denganku. Gak bosen apa? Semenjak dia ada di rumah ini, hampir tak pernah kami lewatkan waktu tanpa perdebatan."Sorry, mbak Raya ngomong sama saya?" tanyaku pura-pura tak mengerti."Harusnya sih sada
"Emh jadi bagaimana Mas? Dasinya aku yang ambil atau dek Zahwa saja?" pertanyaan yang meluncur dari mbak Raya membuat Bang Tama menjauh sedikit dariku. Tak mengapa, aku sudah cukup puas untuk saat ini."Ah itu, biar saya yang ambil. Tadi adek sudah jelaskan dimana letaknya. Ya sudah saya ambil dasi dulu ke kamar," pamit Bang Tama.Sekilas kulihat raut tak suka di wajah mbak Raya. Apa peduliku? Biarkan saja dia. Kembali sibuk dengan menu sarapan pagi ini, lagi lagi aku dikejutkan dengan perkataan kakak maduku itu."Dia juga suamiku kan dek, lantas kenapa hanya kamu yang mendapatkan kecupan itu?""Lah mana aku tahu mbak! Harusnya tadi mbak Raya bilang juga kalau mau dicium! Kalau aku sih, ya mau gimana ya mbak ... itu sudah jadi kebiasaan kami. Rasanya itu ada yang kurang kalau gak kecup keningku. Ah mbak nanti bakal tau kok kebiasaan kami jika berada di rumah. Aku harap mbak tidak kaget sih," sahutku tak peduli jika itu semakin membuatnya sakit hati.Tak lama kemudian, Bang Tama kembal
Malam semakin larut, masih dengan hati yang remuk aku mencoba untuk memejamkan mata. Sekedar mengistirahatkan badan, walaupun kantuk tak kunjung menghampiri.Tak lama setelah aku memejamkan mata, pintu kamarku terbuka. Dapat aku pastikan jika itu adalah Bang Tama. Sengaja tidak mengunci pintu kamar, aku membiarkan lelaki yang masih menyandang status sebagai suamiku itu untuk masuk."Sayang, sudah tidur?" tanyanya setelah duduk di tepi ranjang kami. Dengan malas aku membuka mata, memandang wajah yang sedari dulu mampu membuatku terpesona."Menurut Abang, dalam kondisi saat ini bisakah aku tidur secepat itu?" sarkasku tak menyembunyikan sedikitpun amarahku padanya."Sayang, bisa kita bicara?" pintanya lirih."Apa yang akan kita bicarakan Bang? Tentang istri pertamamu atau tentang kehamilannya? Ah atau justru tentang hubungan kita?""Semua dek. Banyak hal yang ingin Abang bicarakan denganmu." sahutnya mantap."Untuk apa bang? Untuk apa bicara jika tak akan ada jalan keluarnya?""Menurut
Ruang keluarga yang biasanya terasa hangat, malam ini begitu dingin. Tak ada canda tawa, yang terlihat hanya gurat marah dan kecewa."Panggil wanita itu!" perintah Papa."Untuk apa Pa?" pertanyaan aneh itu terlontar dari mulut Bang Tama."Panggil saja, tak usah banyak tanya!" sahut Papa tegas, terlihat jelas jika beliau tak ingin dibantah.Bang Tama pun ke kamar untuk memanggil Mbak Raya. Kini aku tengah menyiapkan hati. Apapun yang terjadi nanti, aku akan mempertahankan apa yang sudah aku miliki. Bagiku, sedari awal dia adalah milikku. Wanita itulah yang merebut suamiku."Assalamualaikum ..." salam dari Mbak Raya membuyarkan lamunanku. Kulihat dengan sopan ia berusaha untuk mencium tangan mama dan papa yang sayangnya ditolak secara halus oleh mertuaku itu. Wajah sendu tak dapat disembunyikan olehnya, tapi hal itu justru membuatku bahagia. Jahat? Biarlah."Duduk kamu!" perintah mama ketus.Setelah semuanya duduk, seperti biasa aku menyuguhkan teh sebagai teman mengobrol. Sayangnya mal
"Assalamualaikum ... selamat malam,"Oh Allah ...Suara itu milik istri pertama suamiku. Ya Allah kenapa sekarang? Kulihat wajah Bang Tama semakin merah. Aku yakin saat ini ia tengah emosi. Jadi permintaanku tidak dituruti oleh kakak maduku ini rupanya. Niat sekali ia menghancurkan hari istimewaku. Baiklah Zahwa, suka tidak suka kamu harus mengenalkannya malam ini."Waalaikumsalam, eh ada tamu rupanya. Tapi kok dari kamar?" sahut dan tanya Mama membuatku menelan ludah. Hey kemana keberanianku tadi. Ayolah Zahwa cukup kenalkan namanya dan statusnya di rumah ini. Untuk selanjutnya biarkan takdir yang berbicara."Emh ... Mama ... Papa ... Ayah ... dan kedua kakak tampanku. Perkenalkan dia ... " oh Allah lidahku kelu untuk menyebut nama dan statusnya. Hatiku perih untuk mengakuinya. Aku menunduk untuk menyembunyikan setetes air mata yang tiba-tiba saja luruh."Saya Naraya ... istri pertama Mas Satria," ucapnya lugas memotong perkataanku.Takut-takut kuangkat kepala, dan kini terlihat eksp
Setelah mengatur degup jantungku agar normal kembali, aku melangkahkan kaki menuju ruang keluarga dimana semua tengah berkumpul. Melihat keluargaku bercanda ria, rasanya tak tega jika harus mengungkapkan kebenaran menyakitkan ini. Ya Allah bantu hambamu agar tetap kuat menjalani takdir yang telah engkau rancang untukku.***"Sayang, kok melamun," teguran dari mama mertua membuatku tersadar. Aku hanya bisa tersenyum, memaksakan senyum lebih tepatnya. Sedari dulu aku memang tak pandai menyembunyikan perasaanku. Kalau kata kak Nando aku ini bagaikan buku cerita yang terbuka, mudah sekali untuk dibaca."Mana suamimu Nak?" tanya Papa yang mungkin saja heran karena biasanya aku dan Bang Tama memang tak bisa berjauhan."Abang ke kamar sebentar Pa, ada urusan pekerjaan yang harus dia selesaikan," sahutku asal."Anak itu gimana sih, kerjaan terus yang diurus. Ini kan hari spesial buat dia sama Zahwa kok bisa-bisanya malah kerja. Lagian apa masih kurang waktu kunjungan keluar kotanya itu," omel