"Kenapa kau membawaku ke sini?" tanya Lova, nada suaranya mulai mengeras.
Caid memarkirkan mobil dengan tenang, mematikan mesin, lalu menoleh ke arah Lova dengan senyum tipis di wajahnya. "Kau bilang tidak ingin dilihat oleh orang lain, bukan? Ini tempat yang paling aman untukmu."
Lova menatap sekeliling, lalu mengangguk “Terimakasih atas tumpangannya, selamat tinggal”
Caid mengerutkan kening mendengar ucapan Lova "Selamat tinggal?" gumamnya dengan nada penuh kekesalan. Saat Lova meraih pintu mobil untuk keluar, Caid dengan cepat mengunci semua pintu menggunakan tombol di dasbor.
Suara "klik" yang keras terdengar, membuat Lova terkejut dan mencoba membuka pintu, namun sia-sia. Pintu terkunci rapat, dan dia tidak bisa keluar.
Lova menoleh ke arah Caid, matanya berbentuk almond bak mata rubah itu memincing menatap Caid “Apalagi sekarang?” tanya Lova
Caid menatap Lova dengan tatapan dingin "Aku belum selesai berbicara de
‘Pulang denganku’Lova mendesah keras dan untuk kesekian kalinya, umpatan keluar dari mulutnya begitu membaca pesan yang Caid kirimkan. Tangannya menggenggam ponsel erat-erat, sementara pikirannya berkecamuk antara marah, kesal dan bingung.Kenapa pria itu selalu saja muncul di hidupku? batinnya, berusaha mencari alasan untuk tidak menuruti perintah itu. Namun, seperti biasa, bagian dari dirinya yang penasaran dengan maksud tersembunyi di balik setiap tindakan Caid membuatnya sulit untuk benar-benar menolaknya.Pesan kedua masuk, kali ini lebih singkat namun dengan tekanan yang terasa jelas.‘Jangan buat aku menunggu.’Lova menghela napas panjang. Di satu sisi, ia sangat ingin mengabaikan pesan itu, membiarkan Caid merasakan apa yang dirasakannya—keberadaan pria itu yang semakin hari semakin mengusik ketenangannya. Tapi di sisi lain, ia tahu betul bahwa mengabaikan Caid hanya akan membuat situasi semakin rumit.Akhirnya, setelah beberapa detik berpikir, Lova menanggapi pesan itu denga
Malam itu, Lova sedang berbaring di sofa di apartemennya, matanya menatap langit-langit sambil memikirkan Ia masih bisa mengingat ekspresi tenang dan tatapan penuh makna dari Caid.Lova terusik oleh keberadaan Caid, seolah semua sindiran mereka sebelumnya tak lebih dari permainan kecil.Teleponnya berdering, dan nama Cosette muncul di layar. Lagi-lagi. Lova mendesah pelan sebelum akhirnya mengangkat telepon itu.“Aku tahu kau tidak sedang sibuk, Angelic” suara Cosette terdengar tegas, tapi ada nada cemas yang tersembunyi di baliknya. “Apa yang sebenarnya terjadi? Kau tidak pernah absen selama ini, tapi sekarang tiba-tiba menghilang.”Lova tersenyum tipis, meskipun Cosette tak bisa melihatnya. “Tidak ada yang terjadi, Cos. Aku hanya butuh istirahat. Lagipula, aku masih punya cukup uang untuk bertahan beberapa waktu lagi.”Cosette terdiam sejenak, lalu berkata dengan nada lebih lembut, “Kau tahu kau bisa bicara padaku, kan? Jika ada masalah…”“Tidak ada masalah, Cosette. Aku baik-baik s
“kukirimkan lokasinya”Caid menatap layar ponselnya yang kini gelap, senyum puas masih menghiasi wajahnya. Dia telah menempuh langkah-langkah panjang untuk bisa sedekat ini dengan Lova. Keputusannya untuk menetap di Boston selama sebulan, meninggalkan tugas utamanya, adalah sesuatu yang tidak biasa bagi pria seperti Caid. Namun, demi mendapatkan sang Angelic, dia rela melakukannya.Sambil besiul pelan, Caid berjalan menuju jendela suite penthouse, menatap pemandangan kota Boston yang berkilauan di bawah cahaya lampu.Di balik tatapan dinginnya, ada obsesi yang semakin menguat setiap hari. Lova adalah sosok yang berbeda dari wanita-wanita lain yang pernah dia kenal—dia adalah tantangan, sesuatu yang tidak mudah didapatkan, dan itu membuat Caid semakin tertarik.Sedangkan di dalam jet pribadi yang melesat menuju Columbia, Enid menatap Dylan yang sedang asyik memeriksa detail transaksi. "Kau yakin kita bisa menyelesaikan ini tanpa kehadiran
Kampus dipenuhi bisikan-bisikan tentang Lova. Rumor bahwa dia masuk ke hotel tempat Caid berada telah menyebar dengan cepat, menjadi topik hangat di antara para mahasiswa. Banyak yang berbisik-bisik saat Lova melintas, menatapnya dengan pandangan penuh curiga dan spekulasi "Dia pasti simpanan seseorang” bisik seorang mahasiswa kepada temannya saat mereka melewati Lova di koridor. “Siapa yang tahu? Tidak ada yang tahu tentang keluarganya, tapi dia hidup dengan nyaman. Apartemennya di pusat kota, dia mendapat pendidikan yang bagus, dan sekarang ini? Masuk ke hotel Wston? Aku rasa semua orang bisa menebak apa yang terjadi” jawab temannya sambil melirik Lova dengan tatapan meremehkan. “Apa mungkin dia menggoda Caid Winston? Kudengar dia mengajukan diri menjadi asisten Caid” Lova bisa mendengar setiap kata yang mereka ucapkan, tapi dia tetap berjalan dengan tenang, seolah-olah tak ada yang terjadi. Dia sudah terbiasa menjadi bahan pembicaraan d
Suasana di kelas terasa sedikit berbeda. Caid Winston berdiri di depan ruangan, siap untuk mengajar seperti biasa. Namun, ada sesuatu yang aneh. Tatapannya terus menerus terarah pada Lova, seolah-olah dia tidak bisa melepaskan pandangan meskipun dia sedang menjelaskan materi kepada seluruh kelas. Lova merasakan tatapan Caid yang intens, tapi dia tidak membiarkan hal itu mengganggunya. Dia duduk di bangkunya, mencatat dengan tenang, berusaha mengabaikan sensasi aneh yang merayap di bawah kulitnya. Panas dan mengganggu Lova semakin tak nyaman dibuatnya. ditambah, perhatian dari para siswa di kelas tidak luput dari situasi ini. Bisikan-bisikan mulai terdengar di antara mereka, beberapa di antaranya cukup keras hingga dapat didengar oleh Lova. "Kenapa Mr. Winston terus menatap Lova?" bisik seorang siswa kepada temannya. "Apa mungkin dia tertarik pada Lova?" jawab temannya dengan nada penuh spekulasi. "Aku dengar mereka sempat bertemu di luar jam kuliah. Mungkin saja ada sesuatu d
Emily memandang Lova dengan khawatir. Dalam seminggu terakhir, Lova benar-benar menghilang, dan sekarang saat dia akhirnya muncul, penampilannya membuat Emily terkejut. Lova duduk di bar dengan segelas minuman keras di tangannya, matanya kosong, tanpa kehidupan. Seolah-olah semua semangat yang pernah dimilikinya telah hilang. "apa yang terjadi? Setelah seminggu menghilang kau datang dalam keadaan kacau" tanya Emily dengan suara lembut, mencoba meraih perhatian sahabatnya. Namun, Lova hanya menatap kosong ke arah minumannya, mengabaikan kekhawatiran Emily. Setelah beberapa saat, Lova akhirnya mendongak, menatap Emily dengan mata yang sayu dan merah. "Emily... Aku sudah muak dengan semuanya" suaranya serak, hampir seperti bisikan. "Aku muak menjadi Angelic" Emily merasakan ada sesuatu yang sangat salah. Ini bukan Lova yang dia kenal. Biasanya, Lova adalah seseorang yang kuat dan tegar, tetapi sekarang dia tampak hancur, seolah-olah dunianya telah runtuh. "Apa yang terjadi? Kau
“jadilah milikku, seperti ucapanmu, biarkan aku memeliharamu” ucap Caid Lova mengangkat satu alis, mempertimbangkan tawaran Caid dengan ekspresi yang sulit terbaca. “Memeliharaku? Kau sungguh pikir aku binatang peliharaan?” jawabnya, suaranya terdengar datar namun penuh tantangan. “Jangan lupa, kau yang pertama kali mengatakannya,” ujar Caid sambil menatap Lova dengan intens, suaranya rendah namun penuh cengkeraman. “Aku hanya mengulang apa yang kau katakan sendiri. Kau yang bilang ingin dipelihara, bukan?” Lova mendengus, menahan senyum sarkastis yang hampir muncul di bibirnya. “Aku tidak serius waktu itu" Caid tersenyum lebar, seolah permainan ini semakin menarik baginya. “Kau harus akui bahwa kita berdua suka bermain-main dengan hal seperti ini. Kau bilang tidak serius, tapi lihat dirimu sekarang, mempertimbangkan penawaranku.” "Darimana kepercayaan dirimu itu? " Tanya Lova datar Caid terkekeh "aku Caid Walton" Ucapnya dengan angkuh, baru kali ini Caid membanggakan naman
Lova tetap memandangi pemandangan di luar dinding kaca besar penthouse milik Caid, meskipun pikirannya tidak benar-benar fokus pada apa yang dilihatnya. Dia merasa kesal, tapi juga sadar bahwa ada kekuatan yang lebih besar dari dirinya yang sedang ia hadapi. Kekayaan dan kekuasaan Caid Walton bukanlah sesuatu yang bisa diabaikan begitu saja. Pria itu memiliki pengaruh yang bisa mengubah hidup seseorang dalam sekejap, dan Lova tahu dia sedang bermain dengan api. Tapi Lova tidak bisa mengabaikanya, dia setuju dengan penawaran Caid untuk mencapai suatu tujuan dan tujuan itu harus dia dapatkan hingga akhir “Apa yang kau lamunkan?” Lova melirik Caid sejenak, pria itu datang dengan bertelanjang dada, otot-ototnya menonjol di bawah cahaya lampu yang lembut, membuatnya terlihat sangat menarik. “Bukan urusanmu” jawab Lova, berusaha menjaga ketenangan. “Rioter, I like it” Gumam Caid “Kupikir kau sudah jinak saat sepakat dengan penawaranku” Lova mendengus pelan, pandangannya masih menata