“kukirimkan lokasinya”
Caid menatap layar ponselnya yang kini gelap, senyum puas masih menghiasi wajahnya. Dia telah menempuh langkah-langkah panjang untuk bisa sedekat ini dengan Lova. Keputusannya untuk menetap di Boston selama sebulan, meninggalkan tugas utamanya, adalah sesuatu yang tidak biasa bagi pria seperti Caid. Namun, demi mendapatkan sang Angelic, dia rela melakukannya.
Sambil besiul pelan, Caid berjalan menuju jendela suite penthouse, menatap pemandangan kota Boston yang berkilauan di bawah cahaya lampu.
Di balik tatapan dinginnya, ada obsesi yang semakin menguat setiap hari. Lova adalah sosok yang berbeda dari wanita-wanita lain yang pernah dia kenal—dia adalah tantangan, sesuatu yang tidak mudah didapatkan, dan itu membuat Caid semakin tertarik.
Sedangkan di dalam jet pribadi yang melesat menuju Columbia, Enid menatap Dylan yang sedang asyik memeriksa detail transaksi. "Kau yakin kita bisa menyelesaikan ini tanpa kehadiran
Kampus dipenuhi bisikan-bisikan tentang Lova. Rumor bahwa dia masuk ke hotel tempat Caid berada telah menyebar dengan cepat, menjadi topik hangat di antara para mahasiswa. Banyak yang berbisik-bisik saat Lova melintas, menatapnya dengan pandangan penuh curiga dan spekulasi "Dia pasti simpanan seseorang” bisik seorang mahasiswa kepada temannya saat mereka melewati Lova di koridor. “Siapa yang tahu? Tidak ada yang tahu tentang keluarganya, tapi dia hidup dengan nyaman. Apartemennya di pusat kota, dia mendapat pendidikan yang bagus, dan sekarang ini? Masuk ke hotel Wston? Aku rasa semua orang bisa menebak apa yang terjadi” jawab temannya sambil melirik Lova dengan tatapan meremehkan. “Apa mungkin dia menggoda Caid Winston? Kudengar dia mengajukan diri menjadi asisten Caid” Lova bisa mendengar setiap kata yang mereka ucapkan, tapi dia tetap berjalan dengan tenang, seolah-olah tak ada yang terjadi. Dia sudah terbiasa menjadi bahan pembicaraan d
Suasana di kelas terasa sedikit berbeda. Caid Winston berdiri di depan ruangan, siap untuk mengajar seperti biasa. Namun, ada sesuatu yang aneh. Tatapannya terus menerus terarah pada Lova, seolah-olah dia tidak bisa melepaskan pandangan meskipun dia sedang menjelaskan materi kepada seluruh kelas. Lova merasakan tatapan Caid yang intens, tapi dia tidak membiarkan hal itu mengganggunya. Dia duduk di bangkunya, mencatat dengan tenang, berusaha mengabaikan sensasi aneh yang merayap di bawah kulitnya. Panas dan mengganggu Lova semakin tak nyaman dibuatnya. ditambah, perhatian dari para siswa di kelas tidak luput dari situasi ini. Bisikan-bisikan mulai terdengar di antara mereka, beberapa di antaranya cukup keras hingga dapat didengar oleh Lova. "Kenapa Mr. Winston terus menatap Lova?" bisik seorang siswa kepada temannya. "Apa mungkin dia tertarik pada Lova?" jawab temannya dengan nada penuh spekulasi. "Aku dengar mereka sempat bertemu di luar jam kuliah. Mungkin saja ada sesuatu d
Emily memandang Lova dengan khawatir. Dalam seminggu terakhir, Lova benar-benar menghilang, dan sekarang saat dia akhirnya muncul, penampilannya membuat Emily terkejut. Lova duduk di bar dengan segelas minuman keras di tangannya, matanya kosong, tanpa kehidupan. Seolah-olah semua semangat yang pernah dimilikinya telah hilang. "apa yang terjadi? Setelah seminggu menghilang kau datang dalam keadaan kacau" tanya Emily dengan suara lembut, mencoba meraih perhatian sahabatnya. Namun, Lova hanya menatap kosong ke arah minumannya, mengabaikan kekhawatiran Emily. Setelah beberapa saat, Lova akhirnya mendongak, menatap Emily dengan mata yang sayu dan merah. "Emily... Aku sudah muak dengan semuanya" suaranya serak, hampir seperti bisikan. "Aku muak menjadi Angelic" Emily merasakan ada sesuatu yang sangat salah. Ini bukan Lova yang dia kenal. Biasanya, Lova adalah seseorang yang kuat dan tegar, tetapi sekarang dia tampak hancur, seolah-olah dunianya telah runtuh. "Apa yang terjadi? Kau
“jadilah milikku, seperti ucapanmu, biarkan aku memeliharamu” ucap Caid Lova mengangkat satu alis, mempertimbangkan tawaran Caid dengan ekspresi yang sulit terbaca. “Memeliharaku? Kau sungguh pikir aku binatang peliharaan?” jawabnya, suaranya terdengar datar namun penuh tantangan. “Jangan lupa, kau yang pertama kali mengatakannya,” ujar Caid sambil menatap Lova dengan intens, suaranya rendah namun penuh cengkeraman. “Aku hanya mengulang apa yang kau katakan sendiri. Kau yang bilang ingin dipelihara, bukan?” Lova mendengus, menahan senyum sarkastis yang hampir muncul di bibirnya. “Aku tidak serius waktu itu" Caid tersenyum lebar, seolah permainan ini semakin menarik baginya. “Kau harus akui bahwa kita berdua suka bermain-main dengan hal seperti ini. Kau bilang tidak serius, tapi lihat dirimu sekarang, mempertimbangkan penawaranku.” "Darimana kepercayaan dirimu itu? " Tanya Lova datar Caid terkekeh "aku Caid Walton" Ucapnya dengan angkuh, baru kali ini Caid membanggakan naman
Lova tetap memandangi pemandangan di luar dinding kaca besar penthouse milik Caid, meskipun pikirannya tidak benar-benar fokus pada apa yang dilihatnya. Dia merasa kesal, tapi juga sadar bahwa ada kekuatan yang lebih besar dari dirinya yang sedang ia hadapi. Kekayaan dan kekuasaan Caid Walton bukanlah sesuatu yang bisa diabaikan begitu saja. Pria itu memiliki pengaruh yang bisa mengubah hidup seseorang dalam sekejap, dan Lova tahu dia sedang bermain dengan api. Tapi Lova tidak bisa mengabaikanya, dia setuju dengan penawaran Caid untuk mencapai suatu tujuan dan tujuan itu harus dia dapatkan hingga akhir “Apa yang kau lamunkan?” Lova melirik Caid sejenak, pria itu datang dengan bertelanjang dada, otot-ototnya menonjol di bawah cahaya lampu yang lembut, membuatnya terlihat sangat menarik. “Bukan urusanmu” jawab Lova, berusaha menjaga ketenangan. “Rioter, I like it” Gumam Caid “Kupikir kau sudah jinak saat sepakat dengan penawaranku” Lova mendengus pelan, pandangannya masih menata
Caid keluar dari walk in closet dengan setelah kemeja hitam rapi, pria itu nampak tergesa dan tanpa mengatakan apapun dia keluar dari kamar. Lova duduk di tepi ranjang, menatap pintu yang baru saja ditinggalkan Caid dengan penampilan yang agak berantakan. Kekekehan kecilnya terdengar di ruangan kosong itu, mencerminkan rasa frustrasi sekaligus kepuasan aneh. Dia tidak terkejut dengan perubahan mendadak itu. Caid Walton adalah pria yang selalu merasa bisa mengendalikan segalanya, tapi jelas ada batasannya, meski dia mungkin tidak mau mengakuinya. "Entah aku harus sedih atau bahagia" Gumamnya Lova memainkan black card di tangannya, memutar-mutar kartu itu seakan mempertimbangkan langkah berikutnya. Meski suasana momen tadi begitu intens, Lova tahu bahwa di balik setiap tindakan Caid, selalu ada rencana yang lebih besar. Uang, kekuasaan, dan hasrat adalah permainan yang ia kuasai dengan sempurna, tapi Lova tidak berniat menjadi bidak dalam permainan itu. Dia berdiri dan berj
'Nona Angelic sudah pergi' Caid tersenyum tipis membaca pesan singkat yang dikirimkan oleh Damian. Tentu saja, pikirnya. Lova bukan tipe wanita yang bisa dengan mudah diprediksi atau dikendalikan. Dia tahu bahwa kesepakatan di antara mereka lebih seperti permainan kucing dan tikus. Lova jelas tidak akan menjadi tikus yang patuh. Sambil mengabaikan perasaan kesal yang sempat muncul, Caid menutup ponselnya, memasukkan ke dalam saku, dan menatap keluar jendela jet pribadi yang akan lepas landas sebentar lagi. Langit gelap di luar seolah mencerminkan ketenangannya yang baru ditemukan, meski di baliknya, ada badai yang siap pecah kapan saja. "Dia memang tidak pernah akan menjadi penurut" gumam Caid pada dirinya sendiri, dengan seringai yang kembali menghiasi wajahnya. Dia sedang berpikir, hukuman apa yang cocok untuk rubah kecilnya itu Jet pribadi itu melesat ke udara, membawa Caid menuju Kolombia, tempat masalah yang jauh lebih besar menantinya. Pikiran tentang Lova sedikit demi se
Lova kembali ke rutinitasnya, menuju kampus dengan langkah santai. Pikirannya masih terbayang pada Caid, namun anehnya selama dua hari terakhir, Caid tidak menghubunginya sama sekali.Lova bingung, haruskah dia sedih karena Caid tidak mencarinya atau justru bahagia karena dia memiliki kartu Caid"Hi bit*h" Langkah Lova terhenti sejenak. Dia menatap Scarlet yang berdiri dengan tangan terlipat, disebelahnya terdapat tiga wanita lain dari angkatannya di jurusan informatika. Mereka menatapnya dengan penuh sindiran. Lova hanya menarik napas panjang, memutuskan untuk tidak mempedulikan mereka dan melanjutkan langkahnya, berjalan melewati Scarlet dengan santai.Namun, Scarlet tidak membiarkannya pergi begitu saja. "Kau pikir bisa lolos dengan hanya diam?" Scarlet mencibir, menyeringai lebar. "Kau kira dengan Caid di belakangmu, kau bisa bertingkah seolah lebih baik dari kita?"Lova berhenti dan menoleh dengan ekspresi datar "Aku tidak perlu bertingkah lebih baik. Aku memang lebih baik." jaw
Dor!Tembakan menggema di aula, menghentikan musik dan percakapan. Jeritan tamu terdengar bersahut-sahutan, menciptakan kepanikan yang langsung menyebar. Lova terhuyung, tangan kanannya bergerak memegang dadanya yang mulai berwarna merah."Lova!" teriak Caid, menangkap tubuhnya sebelum terjatuh. Dia memeluk istrinya erat-erat, ekspresinya campuran antara keterkejutan dan kemarahan.Calton segera bergerak, berlari ke arah mereka sementara Ophelia dengan sigap mencari perlindungan di balik meja, memandang situasi dengan tatapan penuh ketegangan.Para pengawal dengan badge Walton yang berada di sekitar aula langsung bereaksi. Salah satu dari mereka berhasil melumpuhkan pria bersenjata itu sebelum dia bisa melepaskan tembakan lagi."Lova, tetap bersamaku" bisik Caid panik, menekan luka di dada Lova untuk menghentikan pendarahan. Matanya menatap penuh rasa takut, sesuatu yang jarang terlihat dari seorang pria seperti dia.Lova mencoba tersenyum,
Hari pernikahan yang sangat ditunggu oleh Caid akhirnya tiba dengan segala kemegahannya. Sebuah aula besar di pusat kota New York disulap menjadi tempat yang tampak seperti diambil dari mimpi: lampu kristal bergemerlapan, bunga-bunga eksotis menghiasi setiap sudut, dan lantunan musik klasik mengalun lembut di udara.Lova berdiri di ruangan rias, mengenakan gaun putih yang membalut tubuhnya dengan sempurna. Wajahnya yang cantik terlihat dingin, tapi ada sorot mata yang menunjukkan kegelisahan.Dia... .. ragu"Anda cantik sekali nona" ujar salah satu asisten riasnya.Lova hanya tersenyum tipis, lalu menatap bayangan dirinya di cermin. Dalam hati, ia masih bertanya-tanya apakah keputusan ini adalah langkah yang tepat. Tapi kemudian, bayangan Caid melintas di pikirannya, dan entah kenapa, hal itu memberinya sedikit keberanian.Di luar, Caid berdiri di ujung altar, mengenakan setelan hitam yang membuat auranya semakin mendominasi. Tatapannya terus tertu
Lova perlahan membuka matanya, kebingungannya terlihat jelas di wajahnya. Cahaya lampu ruangan rumah sakit terasa terlalu terang untuk matanya yang baru saja terbuka. Dia mencoba menggerakkan tangannya, tetapi merasakan genggaman kuat di tangannya."Love..." suara Caid terdengar lembut, namun penuh dengan nada emosional yang jarang ia tunjukkan. Matanya yang biasanya tajam kini dipenuhi rasa khawatir yang sulit disembunyikan. "Kau sadar."Lova mencoba tersenyum tipis, meskipun wajahnya terlihat lelah. "Apa yang terjadi?" tanyanya pelan, suaranya hampir seperti bisikan."Kau pingsan" jawab Caid sambil menatapnya dengan penuh perhatian.Lova terdiam sejenak, mengingat kilasan terakhir yang ia lihat sebelum kehilangan kesadaran. Gambar tubuh Robertino yang tergeletak di lantai kembali menghantui pikirannya. Ia memejamkan mata sejenak, mencoba menenangkan diri."Maaf" gumamnya pelan. "Aku tidak tahu apa yang terjadi... semuanya terlalu berat."C
“Jika ku katakan sekarang semuanya ada dalam kendali Caid Walton, apa kau akan percaya, Relova?”Lova merasa hatinya bergetar. Robertino menyebutkan nama Caid dengan cara yang jauh lebih dalam dan penuh makna. Ada kebenaran di balik kata-kata pria ini, meskipun dia tahu bahwa Robertino adalah seorang yang berbahaya dan manipulatif. Namun, semakin banyak yang diungkap, semakin banyak pertanyaan yang muncul dalam benaknya."Apa yang ingin kau katakan?" suara Lova menjadi lebih tegas, meski masih ada kekhawatiran yang mendera. "Kau mengungkapkan hal-hal yang tidak mudah dipercaya begitu saja.""Percayalah, Relova." Robertino menatapnya dengan mata yang penuh perasaan. "Caid Walton sudah memiliki kendali penuh atas semua permainan ini. Dia bukan hanya kepala kudeta, dia adalah otak di balik semuanya. Semua yang terjadi di sekitar kita... Ada dua sisi dari koin, dan kau baru saja terjebak di salah satunya. Pikirkan baik-baik, dia tidak mungkin bisa menggu
Lova sudah pernah mengatakan jika dia diterlantarkan oleh orang tuanya, kan? Hal itu benar, meskipun alasan dibalik penelantaran itu adalah karena ayahnya menjadi buronan CIATak mengherankan Lova bisa masuk CIA disaat usianya masih 16 tahun dan masuk unit khusus diusia 19 tahun, hal itu karena dirinya adalah putri agen terbaik, kemampuan ayahnya secara tidak langsung menurun pada Lova. Sayangnya, Logan tidak hanya mewariskan kemampuannya tapi juga pengkhinatan ayahnya“Aku ingat sekali dulu dia mengajak bekerja sama dengan Walton dan Kingston untuk mengulingkanku” kekehnya bernostalgia "Dan kau tahu apa yang terjadi pada mereka, bukan?Robertino kembali terkekeh sebelum menjawab “Walton kacau karena Calton dan Kingston dalam masalah karena bisnis narkobanya tercium keamanan dan kau jelas tahu apa yang terjadi pada ayahmu kan? Relova?”Lova menatap tajam Robertino, seakan kata-katanya menyentuh sisi yang dalam, yang hampir tak ingi
Montrouge, Paris, PerancisCaid mengemudikan mobil dengan kecepatan tinggi. Kali ini tujuan mereka bukanlah sebuah klub seperti dulu, melainkan pada sebuah villa terpencil di pinggiran kota Montrouge“Kau memindahkannya?” Lova bertanya pelan“Hmm, aku tak mau kau datang ke klub itu” Jawab CaidLova melirik Caid dari sudut matanya, alisnya sedikit terangkat. "Oh? Kenapa? Takut aku menggoda pelangganmu lagi?" tanyanya dengan nada penuh sindiran.Caid hanya tersenyum samar, matanya tetap fokus ketika gerbang dibuka oleh seorang penjaga. "Aku hanya tidak ingin kau berada di tempat seperti itu. Bukan tempat yang tepat untuk seseorang sepertimu" jawabnya dengan nada tenang tetapi tegas.“Tumben? Sebelumnya kau tidak bicara begini saat membawaku kesana tanpa pikir panjang”Caid memarkir mobil di depan villa, mesinnya dimatikan dengan gerakan santai tetapi penuh kontrol. Dia menatap Lova sejenak, senyum tipis di wajahnya. "Setelah melihatmu ditatap oleh para bajingan itu. Aku berubah pikiran"
“I’ll burn the world for you” ikrar caidLova terkekeh pelan “Ngomong-ngomong aku belum selesai bicara tadi” ucapnya membuat Caid menarik diri. Dia menatap Lova dengan alis yang sedikit terangkat."Belum selesai bicara? Apa lagi yang kau tuntut dariku, Love?" Lova menghela napas, mencoba menenangkan dirinya sebelum mengutarakan apa yang ia pikirkan. "Aku akan menikah denganmu, nanti" katanya pelan namun tegas. "Tapi ada syaratnya" lanjut Lova, tatapannya tajam seperti pisau. Caid melipat tangannya di dada, wajahnya tenang namun sedikit waspada. "Katakan saja. Apa pun itu, aku bisa mengatasinya.”Lova mengambil langkah mendekat, hanya beberapa inci dari wajah Caid. "Bawa aku menemui Robertino." Tatapan Caid langsung berubah, dingin dan tajam seperti baja. "Robertino?" gumamnya, suaranya hampir tak terdengar. "Untuk apa kau ingin bertemu dengan pemimpin monarki yang sudah dilengserkan itu?" “Aku ingin bertanya padanya” Jawab Lova, baru sekarang dia bisa memikirkan hal itu, sebelum
Lova tercengang, dia tak menyangka jika seorang Meredith adalah selingkuhan Calton WaltonSosok wanita yang selama ini ia anggap tegas, profesional, dan tak tersentuh ternyata memiliki hubungan kelam dengan ayah dari pria yang kini memonopoli pikirannya.“Dia tampak sangat… berbeda dari apa yang kuduga” gumam Lova, hampir berbicara kepada dirinya sendiri. Meredith seperti sosok ibu baginya, sejak awal bergabung dengan CIA, Meredith tak pernah terlibat dengan pria manapun, dia bahkan selalu menggunakan logika dalam menentukan pilihanTunggu...Ada beberapa momen saat Meredith tak bisa ditemui atau menghilang sesaat"Kau harus melihat wajahmu" Calton tertawa kecil melihat reaksi Lova yang tampak kaget sekaligus bingung. Dia berucap santai dengan senyum menyiratkan bahwa dia menikmati kekacauan kecil yang baru saja ia ciptakan.Caid, di sisi lain, memijat pelipisnya dengan ekspresi kesal. "Dad, serius? Haruskah kau selalu membuat semuanya terasa seperti lelucon murahan?"Calton melirik pu
“Goodboy, huh?" suaranya rendah namun berbahaya, hampir seperti geraman.Lova terkekeh, dia mendongak menatap mata abu itu yang menyorotnya tajam.“Apa aku boleh memutar lagu Animal-Marron 5?”Caid mengangkat alis, sedikit terkejut oleh respons tak terduga Lova. Bibirnya menyunggingkan senyum tipis, tapi tatapan tajamnya tidak berubah. "Kau ingin menambah suasana?”Lova mengangkat bahu santai “Aku hanya merasa lagu itu cocok untuk kita”“Siapa pemburunya?”“Kau. Tapi sayangnya sang pemburu terlena pada tangkapannya”Caid tertawa kecil, suara rendahnya bergema di ruangan. Terkadang Lova bersikap dewasa, terkadang nampak seperti anak kecil yang polos dan terkadang menjadi sangat liar. Kombinasi itu membuat Caid tak pernah bosan, selalu terpesona sekaligus tertantang oleh wanita di depannya.Mungkin inilah yang membuat Caid tak bisa melepaskannya bahkan setelah 3 bulan be