Emily memandang Lova dengan khawatir. Dalam seminggu terakhir, Lova benar-benar menghilang, dan sekarang saat dia akhirnya muncul, penampilannya membuat Emily terkejut. Lova duduk di bar dengan segelas minuman keras di tangannya, matanya kosong, tanpa kehidupan. Seolah-olah semua semangat yang pernah dimilikinya telah hilang. "apa yang terjadi? Setelah seminggu menghilang kau datang dalam keadaan kacau" tanya Emily dengan suara lembut, mencoba meraih perhatian sahabatnya. Namun, Lova hanya menatap kosong ke arah minumannya, mengabaikan kekhawatiran Emily. Setelah beberapa saat, Lova akhirnya mendongak, menatap Emily dengan mata yang sayu dan merah. "Emily... Aku sudah muak dengan semuanya" suaranya serak, hampir seperti bisikan. "Aku muak menjadi Angelic" Emily merasakan ada sesuatu yang sangat salah. Ini bukan Lova yang dia kenal. Biasanya, Lova adalah seseorang yang kuat dan tegar, tetapi sekarang dia tampak hancur, seolah-olah dunianya telah runtuh. "Apa yang terjadi? Kau
“jadilah milikku, seperti ucapanmu, biarkan aku memeliharamu” ucap Caid Lova mengangkat satu alis, mempertimbangkan tawaran Caid dengan ekspresi yang sulit terbaca. “Memeliharaku? Kau sungguh pikir aku binatang peliharaan?” jawabnya, suaranya terdengar datar namun penuh tantangan. “Jangan lupa, kau yang pertama kali mengatakannya,” ujar Caid sambil menatap Lova dengan intens, suaranya rendah namun penuh cengkeraman. “Aku hanya mengulang apa yang kau katakan sendiri. Kau yang bilang ingin dipelihara, bukan?” Lova mendengus, menahan senyum sarkastis yang hampir muncul di bibirnya. “Aku tidak serius waktu itu" Caid tersenyum lebar, seolah permainan ini semakin menarik baginya. “Kau harus akui bahwa kita berdua suka bermain-main dengan hal seperti ini. Kau bilang tidak serius, tapi lihat dirimu sekarang, mempertimbangkan penawaranku.” "Darimana kepercayaan dirimu itu? " Tanya Lova datar Caid terkekeh "aku Caid Walton" Ucapnya dengan angkuh, baru kali ini Caid membanggakan naman
Lova tetap memandangi pemandangan di luar dinding kaca besar penthouse milik Caid, meskipun pikirannya tidak benar-benar fokus pada apa yang dilihatnya. Dia merasa kesal, tapi juga sadar bahwa ada kekuatan yang lebih besar dari dirinya yang sedang ia hadapi. Kekayaan dan kekuasaan Caid Walton bukanlah sesuatu yang bisa diabaikan begitu saja. Pria itu memiliki pengaruh yang bisa mengubah hidup seseorang dalam sekejap, dan Lova tahu dia sedang bermain dengan api. Tapi Lova tidak bisa mengabaikanya, dia setuju dengan penawaran Caid untuk mencapai suatu tujuan dan tujuan itu harus dia dapatkan hingga akhir “Apa yang kau lamunkan?” Lova melirik Caid sejenak, pria itu datang dengan bertelanjang dada, otot-ototnya menonjol di bawah cahaya lampu yang lembut, membuatnya terlihat sangat menarik. “Bukan urusanmu” jawab Lova, berusaha menjaga ketenangan. “Rioter, I like it” Gumam Caid “Kupikir kau sudah jinak saat sepakat dengan penawaranku” Lova mendengus pelan, pandangannya masih menata
Caid keluar dari walk in closet dengan setelah kemeja hitam rapi, pria itu nampak tergesa dan tanpa mengatakan apapun dia keluar dari kamar. Lova duduk di tepi ranjang, menatap pintu yang baru saja ditinggalkan Caid dengan penampilan yang agak berantakan. Kekekehan kecilnya terdengar di ruangan kosong itu, mencerminkan rasa frustrasi sekaligus kepuasan aneh. Dia tidak terkejut dengan perubahan mendadak itu. Caid Walton adalah pria yang selalu merasa bisa mengendalikan segalanya, tapi jelas ada batasannya, meski dia mungkin tidak mau mengakuinya. "Entah aku harus sedih atau bahagia" Gumamnya Lova memainkan black card di tangannya, memutar-mutar kartu itu seakan mempertimbangkan langkah berikutnya. Meski suasana momen tadi begitu intens, Lova tahu bahwa di balik setiap tindakan Caid, selalu ada rencana yang lebih besar. Uang, kekuasaan, dan hasrat adalah permainan yang ia kuasai dengan sempurna, tapi Lova tidak berniat menjadi bidak dalam permainan itu. Dia berdiri dan berj
'Nona Angelic sudah pergi' Caid tersenyum tipis membaca pesan singkat yang dikirimkan oleh Damian. Tentu saja, pikirnya. Lova bukan tipe wanita yang bisa dengan mudah diprediksi atau dikendalikan. Dia tahu bahwa kesepakatan di antara mereka lebih seperti permainan kucing dan tikus. Lova jelas tidak akan menjadi tikus yang patuh. Sambil mengabaikan perasaan kesal yang sempat muncul, Caid menutup ponselnya, memasukkan ke dalam saku, dan menatap keluar jendela jet pribadi yang akan lepas landas sebentar lagi. Langit gelap di luar seolah mencerminkan ketenangannya yang baru ditemukan, meski di baliknya, ada badai yang siap pecah kapan saja. "Dia memang tidak pernah akan menjadi penurut" gumam Caid pada dirinya sendiri, dengan seringai yang kembali menghiasi wajahnya. Dia sedang berpikir, hukuman apa yang cocok untuk rubah kecilnya itu Jet pribadi itu melesat ke udara, membawa Caid menuju Kolombia, tempat masalah yang jauh lebih besar menantinya. Pikiran tentang Lova sedikit demi se
Lova kembali ke rutinitasnya, menuju kampus dengan langkah santai. Pikirannya masih terbayang pada Caid, namun anehnya selama dua hari terakhir, Caid tidak menghubunginya sama sekali.Lova bingung, haruskah dia sedih karena Caid tidak mencarinya atau justru bahagia karena dia memiliki kartu Caid"Hi bit*h" Langkah Lova terhenti sejenak. Dia menatap Scarlet yang berdiri dengan tangan terlipat, disebelahnya terdapat tiga wanita lain dari angkatannya di jurusan informatika. Mereka menatapnya dengan penuh sindiran. Lova hanya menarik napas panjang, memutuskan untuk tidak mempedulikan mereka dan melanjutkan langkahnya, berjalan melewati Scarlet dengan santai.Namun, Scarlet tidak membiarkannya pergi begitu saja. "Kau pikir bisa lolos dengan hanya diam?" Scarlet mencibir, menyeringai lebar. "Kau kira dengan Caid di belakangmu, kau bisa bertingkah seolah lebih baik dari kita?"Lova berhenti dan menoleh dengan ekspresi datar "Aku tidak perlu bertingkah lebih baik. Aku memang lebih baik." jaw
Setelah kelas terakhirnya selesai, Lova memutuskan untuk pergi ke salah satu pusat perbelanjaan. Begitu didalam taksi, Lova melepas kacamatanya, menggerakkan rambut dan meloloskan makeup diwajahnya Kemeja polosnya dibuka dan meninggalkan sebuah croptop hitam yang pas dibadannya "Terima kasih" Ucap Lova setelah membayar. Langkahnya cepat dan fokus, meskipun pikiran di kepalanya berputar-putar. Begitu sampai di toko pakaian anak-anak, Lova langsung memilih pakaian dari berbagai ukuran—mulai dari bayi, balita, hingga anak-anak yang lebih besar. Setiap pakaian dipilih dengan teliti, seolah-olah ia ingin memastikan bahwa anak-anak yang memakainya akan merasa nyaman dan hangat. Tak hanya pakaian, Lova juga menyempatkan diri mampir ke bagian mainan. Ia mengambil beberapa boneka lucu, bola, puzzle, dan set mainan edukatif. Ia tersenyum kecil saat membayangkan wajah-wajah ceria anak-anak di panti asuhan yang selalu menyambutnya dengan antusias.
Lova menatap tumpukan tas belanjaan di depannya, perasaan campur aduk menghantui pikirannya. Dia menghela napas pelan, mencoba menenangkan diri di tengah ruang apartemennya yang kini terasa penuh sesak oleh barang-barang mewah yang baru dibelinya. 'Apa aku berlebihan?' pikirnya sambil mengamati satu per satu barang-barang tersebut. Kalung berlian, pakaian desainer, sepatu mahal—semuanya menjeritkan kemewahan yang jauh dari kehidupan aslinya.Tapi ini semua bagian dari rencana. Dia harus memainkan peran wanita matre di depan Caid, agar pria itu memandangnya sama seperti wanita-wanita lain yang mengejar harta.Lova tidak berencana membeli semua ini, tetapi seiring waktu, dia merasa perlu melangkah lebih jauh untuk menjaga citra yang sudah ia bangun. Dia tahu Caid bukan tipe pria yang mudah ditipu, tapi semakin lama dia terjebak dalam permainan ini, semakin sulit baginya untuk membedakan apa yang nyata dan apa yang hanya sandiwara.Dia berjalan menuju jendela, menatap