Setelah kelas terakhirnya selesai, Lova memutuskan untuk pergi ke salah satu pusat perbelanjaan. Begitu didalam taksi, Lova melepas kacamatanya, menggerakkan rambut dan meloloskan makeup diwajahnya
Kemeja polosnya dibuka dan meninggalkan sebuah croptop hitam yang pas dibadannya "Terima kasih" Ucap Lova setelah membayar. Langkahnya cepat dan fokus, meskipun pikiran di kepalanya berputar-putar. Begitu sampai di toko pakaian anak-anak, Lova langsung memilih pakaian dari berbagai ukuran—mulai dari bayi, balita, hingga anak-anak yang lebih besar. Setiap pakaian dipilih dengan teliti, seolah-olah ia ingin memastikan bahwa anak-anak yang memakainya akan merasa nyaman dan hangat. Tak hanya pakaian, Lova juga menyempatkan diri mampir ke bagian mainan. Ia mengambil beberapa boneka lucu, bola, puzzle, dan set mainan edukatif. Ia tersenyum kecil saat membayangkan wajah-wajah ceria anak-anak di panti asuhan yang selalu menyambutnya dengan antusias.Lova menatap tumpukan tas belanjaan di depannya, perasaan campur aduk menghantui pikirannya. Dia menghela napas pelan, mencoba menenangkan diri di tengah ruang apartemennya yang kini terasa penuh sesak oleh barang-barang mewah yang baru dibelinya. 'Apa aku berlebihan?' pikirnya sambil mengamati satu per satu barang-barang tersebut. Kalung berlian, pakaian desainer, sepatu mahal—semuanya menjeritkan kemewahan yang jauh dari kehidupan aslinya.Tapi ini semua bagian dari rencana. Dia harus memainkan peran wanita matre di depan Caid, agar pria itu memandangnya sama seperti wanita-wanita lain yang mengejar harta.Lova tidak berencana membeli semua ini, tetapi seiring waktu, dia merasa perlu melangkah lebih jauh untuk menjaga citra yang sudah ia bangun. Dia tahu Caid bukan tipe pria yang mudah ditipu, tapi semakin lama dia terjebak dalam permainan ini, semakin sulit baginya untuk membedakan apa yang nyata dan apa yang hanya sandiwara.Dia berjalan menuju jendela, menatap
"Kau tidak menjawab pertanyaanku" Lova akhirnya berkata, kembali menatapnya dengan tegas. "Kenapa kau di sini?" "Aku hanya ingin memastikan peliharaanku tidak terlalu jauh dari kendali, right my kit?" ucap Caid dengan nada rendah, matanya menelusuri wajah Lova dengan tatapan yang sulit diartikan. Lova menelan ludah, berusaha keras menjaga wajahnya tetap tanpa ekspresi meski hatinya bergemuruh. Cengkraman tangannya pada handuk semakin erat "You're Mad" Caid tertawa kecil, mendekatkan wajahnya sedikit, cukup untuk membuat Lova merasa terintimidasi tanpa disentuh. "Aku tidak marah, Relova" bisiknya, suaranya lembut namun dingin. "Aku justru menunggu kapan kau akan meminta lebih." Tatapan mereka bertemu dalam keheningan yang intens, dan Lova tahu, permainan ini masih jauh dari kata selesai. "So, when are you going to pay me?" Jemari Caid semakin turun, menyusuri bahunya dengan perlahan, meninggalkan jejak panas di kulitnya yang masih basah. Lova tetap diam, menahan napas saat jema
Caid berjalan menuju kamar mandi apartemen Lova dengan langkah tenang, tubuh kekarnya masih basah oleh sisa-sisa gairah yang baru saja mereka bagi. Dia membuka keran air, membiarkan air dari shower mengalir deras membasahi tubuhnya yang penuh keringat. Air hangat mengalir di sepanjang tubuh kekar Caid, membasahi setiap lekuk ototnya yang tegang. Suara gemericik air memenuhi kamar mandi, namun pikirannya justru tenggelam dalam bayangan beberapa waktu lalu Bayangan tubuh indah Lova yang telanjang di bawahnya muncul dalam pikirannya, membuatnya kembali merasakan keinginan yang belum sepenuhnya padam. Tubuh Lova yang berliuk sempurna, kulitnya yang halus dan lembut, serta respons tubuhnya yang sangat menggoda terus terngiang-ngiang di pikirannya. Caid tak bisa menghindari perasaan puas yang merayapi dirinya ketika dialah yang pertama menjamah Lova. Caid bangga. Untuk pertama kali dalam hidupnya dia mendapatkan sesuatu yang berbeda dari seorang wanita Tatapan matanya terus mengh
Lova terbangun dengan tubuh pegal, setiap ototnya terasa kaku dan nyeri. Pikirannya masih kusut, mencoba memproses apa yang terjadi semalam. Dia mengusap wajahnya perlahan, mendapati dirinya masih di kamarnya, tetapi Caid sudah tidak ada di sana Bayangan tentang malam sebelumnya merayap masuk, membuat dadanya sesak. Rasanya seperti mimpi buruk yang nyata, dan dia benci bahwa bagian dari dirinya justru menikmati tantangan itu. Selangkangannya terasa sakit, nyeri yang menusuk hingga membuatnya tak nyaman bergerak. Lova menarik napas panjang, mencoba menenangkan diri, tetapi rasa perih di tubuhnya mengingatkan pada apa yang telah terjadi. Seolah setiap gerakan kecil adalah pengingat bahwa dia baru saja melewati malam yang tidak seharusnya terjadi. “Apa yang sebenarnya aku lakukan?” batinnya bertanya, berusaha mencari jawaban yang rasanya tak pernah akan ia temukan. Caid telah memanipulasi situasi hingga Lova tak mampu lagi menolak. Namun, yan
Caid menghembuskan asap rokoknya perlahan, matanya menatap tajam ke arah jendela besar di hadapannya. Langit di luar mulai nampak berwarna, mengusir kehelapan malam kesukaannya Seorang pria dengan jas hitam masuk ke ruangan dengan langkah tenang, tanpa suara, seperti sudah terbiasa. "Bos" katanya dengan nada serius, berdiri di depan meja Caid. "Semua bukti sudah terkumpul. Ferdinand tak bisa lagi mengelak. Kami menemukan transaksi ilegalnya dengan beberapa pejabat dan penggelapan dana besar-besaran." Caid menoleh perlahan, ekspresi wajahnya tak menunjukkan kejutan. Dia hanya menegakkan duduknya sedikit, menghembuskan asap terakhir dari rokoknya sebelum mematikan puntungnya di asbak yang berada di meja. "Bagus" jawab Caid singkat, nadanya datar tapi dingin. "Wanita itu seharusnya berpikir dua kali sebelum mengganggu wanitaku" Sang bawahan diam, benaknya bertanya-tanya wanita seperti apa yang akhirnya Caid akui sebagai wanitanya
Lova meraih kemejanya yang tergeletak di lantai, robek di bagian atas akibat tangan Caid yang terlalu agresif beberapa saat lalu. Dia memandang kain itu sejenak, selain robek beberapa kancing kemejanya juga menjadi korban. Bibir Lova membentuk senyum sinis sebelum melemparkan pandangannya ke arah Caid yang masih bersandar pada kepala ranjang, memandangi dirinya dengan ekspresi penuh kepuasan.“Kau tahu, ini baju favoritku” sindir Lova sambil mencoba memperbaiki sisa-sisa kain yang sudah tidak mungkin dikenakan lagi. “Tapi sepertinya kau tidak peduli dengan hal-hal kecil seperti itu, ya?”Caid hanya tersenyum, tidak terlihat menyesal sedikit pun. Dia mengangkat bahu dengan santai, memperlihatkan betapa sedikitnya ia peduli soal baju yang robek itu. “Aku akan membelikanmu yang baru” jawabnya dengan nada ringan, seperti tak ada masalah sama sekali. "Yang lebih bagus."Lova mendesah, lalu mulai mencari-cari baju lain yang tersisa di kamar, dia menemukan tanktop putihnya yang juga rusak u
Lova menatapnya tanpa ragu, tatapannya tetap tenang dan tidak menunjukkan tanda-tanda kegugupan. “Tidak ada, aku menunggumu bersiap” jawabnya singkat, dengan senyum tipis yang sama sekali tidak memberi petunjuk.Caid mendekat, langkahnya pelan tapi mantap, seperti pemangsa yang sudah tahu bahwa mangsanya tatapannya tertuju pada laptop di atas nakas dan beberapa dokumennya"Apa yang kau butuhkan? " Tanya Caid"Apa?" Lova memasang ekspresi bingungnya"Lupakan, ayo pergi" Ucap Caid mengalihkan pembicaraan Caid menuntun Lova keluar dari penthouse menuju mobilnya. Saat mereka duduk di dalam, Caid langsung menyalakan mesin dan mulai mengemudi. Suasana di dalam mobil terasa hening, meskipun ketegangan yang ada di antara mereka tidak hilang.Lova membuka ponselnya, berniat untuk memeriksa pesan-pesan yang belum sempat ia balas. Namun, pandangannya terpaku pada sebuah notifikasi berita yang muncul di layar. Judulnya mencolok "Pernikahan CEO Aleandro Broker dan Tunang
Lova menjatuhkan tubuhnya ke atas ranjang apartemennya, merasakan dinginnya seprei yang seolah menjadi cerminan perasaannya saat ini. Pikirannya berputar-putar, menolak untuk diam meski tubuhnya sudah menyerah pada kelelahan.Bayangan pernikahan Aleandro terus mengganggunya, seperti hantu yang menolak pergi. Dia tak bisa lagi menyangkal bahwa Aleandro telah memilih jalan hidupnya sendiri, dan Lova bukan bagian dari itu.Dan kemudian ada Caid.Lova menghela napas panjang, pikirannya teralihkan pada sosok pria itu.Cukup mudah bagi Lova mengartikan jika Caid cemburu pada Aleandro namun Lova jelas tidak menginginkan hal seperti itu dari seorang Caid“Kau menginginkan sesuatu yang tidak akan pernah kau dapatkan, Caid.”Lova tidak bisa menepis perasaan aneh yang muncul setiap kali dia berada di dekat Caid. Bukan cinta—itu terlalu berbahaya untuk diakui. Mungkin hanya dorongan fisik, atau mungkin sekadar tantangan antara dua orang yang sama-sama keras kepala dan be
Kediaman Hilton yang luas dan elegan terlihat semakin hidup hari itu. Di ruang tengah yang mewah, suara tawa dan obrolan lembut bercampur dengan tangisan kecil bayi yang sesekali terdengar.“Akhirnya kalian datang juga. Lumia sudah menunggu” kata Dylan sambil mengarahkan pandangannya ke Matthias. “Dan siapa ini? Calon kakak besar yang gagah, ya?”Matthias tersenyum lebar, jelas sekali jika dia senang mendapat perhatian dan menjadi pusat perhatian “Uncle Dylan! Mana bayinya?” tanyanya tanpa basa-basi.Dylan tertawa kecil dan mengangguk. “Di sana, dengan Aunty. Tapi hati-hati, ya. Dia masih sangat kecil.”Matthias mengangguk penuh semangat. Dengan panduan Lova, ia berjalan ke arah sofa besar tempat Lumia duduk. Wanita muda itu terlihat anggun meskipun kelelahan, mengenakan gaun sederhana yang nyaman. Di pelukannya, seorang bayi mungil dengan kulit kemerahan sedang tidur nyenyak.“Lova, terima kasih sudah datang” sapa Lumia dengan senyum lembut. Matanya berbinar saat melihat Matthias mend
Matahari bersinar hangat di atas taman hijau yang luas. Angin lembut menerpa rambut Lova yang tergerai, membuatnya merasa lebih damai dari biasanya. Dia duduk di atas tikar piknik yang empuk, mengenakan gaun longgar yang menonjolkan perut besarnya. Di sebelahnya, Matthias tertidur pulas dengan kepala di pangkuannya, tangannya kecilnya masih menyentuh perut Lova seolah sedang mencoba merasakan gerakan adik kecilnya.Lova tersenyum lembut, mengusap rambut Matthias dengan penuh kasih. Pandangannya lalu beralih ke Caid, yang duduk di sebelahnya, tangan kekarnya melingkar di pinggangnya dengan erat. Matanya yang gelap tampak lebih lembut hari itu, penuh perhatian saat menatap istri dan anaknya."Dia sudah tidak sabar, ya," gumam Caid sambil menyentuh tangan Matthias yang masih berada di perut Lova. "Setiap hari dia bertanya kapan adiknya keluar."Lova terkekeh pelan, matanya bersinar bahagia. "Dia memang sangat antusias. Tapi aku juga tidak kalah senangnya. Akhirnya,
Lova duduk di kursi makan dengan ekspresi tenang, tetapi jantungnya berdebar kencang. Dia telah menyiapkan sarapan untuk Matthias, yang sedang menggambar sesuatu di buku kecilnya. Caid duduk di seberangnya, membaca laporan di tablet, terlihat seperti biasa: tenang, mendominasi, dan mengendalikan segalanya."Aku hamil" kata Lova tiba-tiba, memecah keheningan dengan suaranya yang terdengar datar tapi penuh tekad.Caid menghentikan gerakan tangannya yang hendak mengambil secangkir kopi. Mata gelapnya beralih dari tablet ke wajah Lova, terpaku pada ucapan yang baru saja keluar dari bibirnya. Sekilas, ia tampak bingung, seolah otaknya membutuhkan waktu untuk mencerna informasi itu.“Aku hamil” Lova mengulang lagiKeheningan yang terjadi setelah kata-kata itu terasa berat, seperti udara di sekitar mereka mendadak berubah. Caid menatap Lova lekat-lekat, ekspresi wajahnya sulit ditebak. Jari-jarinya yang masih menggenggam tablet perlahan melonggar, hi
Caid menghentakan miliknya, memompa inti Lova hingga sampai pada klimaksnya. Dihentakannya dalam-dalam pinggangnya sekali lagi, tubuh mereka bergetar dalam gelombang gairah yang saling memenuhi.Ditariknya benda panjang nan berurat itu kemudian melepaskan pengaman yang berisi cairan putih kental miliknya.Keringat menetes di pelipis keduanya, namun hanya satu yang terlihat puas. Lova mendengus keras, matanya menyipit tajam saat menatap pria di atasnya.“Kenapa kau selalu main aman?” Lova bertanya dengan nada kesal, napasnya masih memburu. “Aku ingin anak lagi, Caid. Apa kau bahkan memikirkannya?”Caid menundukkan kepala, menyentuh wajah Lova dengan lembut, tetapi senyumnya yang santai hanya membuat Lova semakin frustrasi. “Matthias baru tiga tahun, Love. Kau serius ingin anak lagi sekarang?”“Ya! Aku serius” tegas Lova, menyingkirkan tangan Caid dari wajahnya.Caid tertawa kecil mendengar
3 tahun kemudian..."Di mana Matthias?" Lova memutar tubuhnya, mencari putranya yang seharusnya berada di kamar bermain.Seorang pelayan mendekat dengan ekspresi cemas. "Nyonya, saya baru saja melihat tuan muda keluar melalui pintu belakang."Jantung Lova berdebar keras. Matthias jarang sekali pergi tanpa memberitahu. Ia tahu putranya yang berusia empat tahun itu pintar dan penuh rasa ingin tahu, tapi naluri keibuannya langsung membuatnya khawatir.Lova melangkah keluar dengan tergesa, sepatu haknya membuat suara berirama di lantai. Ketika ia mencapai taman belakang, ia mendengar suara sesuatu yang mencurigakan.Bang!Lova terhenti. Suara itu adalah tembakan—dan itu berasal dari arah taman yang lebih dalam. Jantungnya seolah berhenti sejenak. Tanpa berpikir panjang, ia berlari ke arah suara itu.Di sana, Matthias berdiri dengan sebuah pistol kecil di tangannya. Tubuh mungilnya berdiri tegak, matanya yan
Setelah pernikahan yang menguras emosi, Dylan membawa Lumia ke sebuah tempat yang sejak awal ia siapkan dengan hati-hati. Sebuah mobil meluncur melewati jalan kecil yang diapit oleh pepohonan, sebelum akhirnya berhenti di depan sebuah rumah yang megah namun terasa hangat.Lumia turun dari mobil dengan perlahan, matanya terfokus pada rumah di depannya. Ia berdiri diam beberapa saat, mencoba mencerna perasaannya. Rumah itu terasa aneh baginya—familiar namun seperti mimpi yang lama terkubur.“Dylan...” panggilnya pelan, suaranya hampir bergetar. “Ini...?”Dylan mendekatinya, menyelipkan tangan ke pinggangnya dengan lembut. “Masuklah. Lihatlah lebih dekat.”Lumia mengikuti Dylan memasuki rumah itu, langkahnya terasa berat karena perasaan gugup yang membuncah. Begitu pintu utama terbuka, ia langsung disambut oleh interior yang begitu detail, hingga membuat dadanya berdebar kencang. Setiap sudut rumah itu terasa seperti
Kamar Lumia dipenuhi aroma bunga segar dan suara gemerisik sutra. Lumia berdiri di depan cermin besar, mengenakan gaun putih sederhana namun elegan, dengan renda yang menjuntai hingga lantai. Cahaya matahari pagi menyinari rambutnya yang dibiarkan tergerai, memberikan kilauan keemasan yang membuatnya tampak memukau."Kau terlihat seperti malaikat, sangat cantik" ujar seorang wanita yang membantu menyempurnakan veil pengantinnya.Lumia hanya tersenyum kecil, tetapi ada kilatan gugup di matanya.Pintu terbuka, ayahnya, Petrus, muncul dengan setelan kemeja putih rapi yang dipadukan dengan jas abu-abu tua. Wajahnya tampak serius, tetapi sorot matanya menyiratkan kebanggaan yang sulit disembunyikan.“Lumia” panggilnya lembut, suaranya sedikit serak. Ia berjalan mendekat, memperhatikan putrinya yang kini terlihat begitu dewasa dan cantik“Papa..” Lumia berseru lirih. Rasanya dia hendak menangis namun dia tak enak dengan perias yan
Lumia menatap cincin di jari manisnya dengan campuran perasaan yang sulit dijelaskan. Cincin itu tidak berkilau mewah, tetapi desainnya elegan, seolah-olah Dylan tahu bahwa ia tidak menyukai sesuatu yang berlebihan.Namun, yang lebih membuatnya gelisah adalah momen ketika cincin itu dipakaikan ke jarinya—begitu mendadak, tanpa persiapan, tanpa janji, dan di depan ayahnya yang sakit.Ia menghela napas panjang, pikirannya melayang ke detik-detik itu.Dylan berdiri di hadapannya dengan raut serius, sementara Petrus mengangguk kecil, memberikan persetujuannya tanpa banyak bicara. Lumia bahkan tidak sempat memproses semuanya sebelum Dylan berlutut, mengeluarkan cincin dari sakunya, dan menatap matanya dengan intens.Lumia bahkan belum mengenal siapa pun dari keluarga Dylan. Orang tua pria itu, saudara, bahkan masa lalunya yang lebih dalam—semuanya adalah misteri baginya. Lumia mengerti bahwa Dylan bukan tipe orang yang suka membuka diri, tetapi jik
Lumia tak bisa tenang selama disekolah, karena itu baru 10 menit sejak kelas pertama, dia langsung izin untuk pulang untuk menemani papa-nya. Namun apa yang didengarnya setelah sampai dirumah sungguh membuat dunia terasa hampaPapanya sakit dan Lumia tak tahu sama sekali“Mia...”“Apa yang sebenarnya terjadi, Pa?” tanyanya akhirnya, suaranya serak, hampir berbisik. Air mata yang ia tahan mulai memburamkan pandangannya. “Kenapa Papa tidak bilang apa-apa padaku?”Petrus menghela napas panjang, menyandarkan tubuhnya ke kursi dengan lelah. “Papa tidak ingin kau khawatir, sayang. Kau masih muda, masih punya banyak hal yang harus kau pikirkan. Papa tidak ingin menjadi beban untukmu.”“Beban?” suara Lumia meninggi, nada protes yang bercampur kesedihan. “Papa bukan beban! Aku ini anak Papa, aku berhak tahu! Aku bisa membantu! Kenapa Papa malah menyembunyikan ini dariku? Apa papa akan pergi t