Caid berjalan menuju kamar mandi apartemen Lova dengan langkah tenang, tubuh kekarnya masih basah oleh sisa-sisa gairah yang baru saja mereka bagi. Dia membuka keran air, membiarkan air dari shower mengalir deras membasahi tubuhnya yang penuh keringat. Air hangat mengalir di sepanjang tubuh kekar Caid, membasahi setiap lekuk ototnya yang tegang. Suara gemericik air memenuhi kamar mandi, namun pikirannya justru tenggelam dalam bayangan beberapa waktu lalu Bayangan tubuh indah Lova yang telanjang di bawahnya muncul dalam pikirannya, membuatnya kembali merasakan keinginan yang belum sepenuhnya padam. Tubuh Lova yang berliuk sempurna, kulitnya yang halus dan lembut, serta respons tubuhnya yang sangat menggoda terus terngiang-ngiang di pikirannya. Caid tak bisa menghindari perasaan puas yang merayapi dirinya ketika dialah yang pertama menjamah Lova. Caid bangga. Untuk pertama kali dalam hidupnya dia mendapatkan sesuatu yang berbeda dari seorang wanita Tatapan matanya terus mengh
Lova terbangun dengan tubuh pegal, setiap ototnya terasa kaku dan nyeri. Pikirannya masih kusut, mencoba memproses apa yang terjadi semalam. Dia mengusap wajahnya perlahan, mendapati dirinya masih di kamarnya, tetapi Caid sudah tidak ada di sana Bayangan tentang malam sebelumnya merayap masuk, membuat dadanya sesak. Rasanya seperti mimpi buruk yang nyata, dan dia benci bahwa bagian dari dirinya justru menikmati tantangan itu. Selangkangannya terasa sakit, nyeri yang menusuk hingga membuatnya tak nyaman bergerak. Lova menarik napas panjang, mencoba menenangkan diri, tetapi rasa perih di tubuhnya mengingatkan pada apa yang telah terjadi. Seolah setiap gerakan kecil adalah pengingat bahwa dia baru saja melewati malam yang tidak seharusnya terjadi. “Apa yang sebenarnya aku lakukan?” batinnya bertanya, berusaha mencari jawaban yang rasanya tak pernah akan ia temukan. Caid telah memanipulasi situasi hingga Lova tak mampu lagi menolak. Namun, yan
Caid menghembuskan asap rokoknya perlahan, matanya menatap tajam ke arah jendela besar di hadapannya. Langit di luar mulai nampak berwarna, mengusir kehelapan malam kesukaannya Seorang pria dengan jas hitam masuk ke ruangan dengan langkah tenang, tanpa suara, seperti sudah terbiasa. "Bos" katanya dengan nada serius, berdiri di depan meja Caid. "Semua bukti sudah terkumpul. Ferdinand tak bisa lagi mengelak. Kami menemukan transaksi ilegalnya dengan beberapa pejabat dan penggelapan dana besar-besaran." Caid menoleh perlahan, ekspresi wajahnya tak menunjukkan kejutan. Dia hanya menegakkan duduknya sedikit, menghembuskan asap terakhir dari rokoknya sebelum mematikan puntungnya di asbak yang berada di meja. "Bagus" jawab Caid singkat, nadanya datar tapi dingin. "Wanita itu seharusnya berpikir dua kali sebelum mengganggu wanitaku" Sang bawahan diam, benaknya bertanya-tanya wanita seperti apa yang akhirnya Caid akui sebagai wanitanya
Lova meraih kemejanya yang tergeletak di lantai, robek di bagian atas akibat tangan Caid yang terlalu agresif beberapa saat lalu. Dia memandang kain itu sejenak, selain robek beberapa kancing kemejanya juga menjadi korban. Bibir Lova membentuk senyum sinis sebelum melemparkan pandangannya ke arah Caid yang masih bersandar pada kepala ranjang, memandangi dirinya dengan ekspresi penuh kepuasan.“Kau tahu, ini baju favoritku” sindir Lova sambil mencoba memperbaiki sisa-sisa kain yang sudah tidak mungkin dikenakan lagi. “Tapi sepertinya kau tidak peduli dengan hal-hal kecil seperti itu, ya?”Caid hanya tersenyum, tidak terlihat menyesal sedikit pun. Dia mengangkat bahu dengan santai, memperlihatkan betapa sedikitnya ia peduli soal baju yang robek itu. “Aku akan membelikanmu yang baru” jawabnya dengan nada ringan, seperti tak ada masalah sama sekali. "Yang lebih bagus."Lova mendesah, lalu mulai mencari-cari baju lain yang tersisa di kamar, dia menemukan tanktop putihnya yang juga rusak u
Lova menatapnya tanpa ragu, tatapannya tetap tenang dan tidak menunjukkan tanda-tanda kegugupan. “Tidak ada, aku menunggumu bersiap” jawabnya singkat, dengan senyum tipis yang sama sekali tidak memberi petunjuk.Caid mendekat, langkahnya pelan tapi mantap, seperti pemangsa yang sudah tahu bahwa mangsanya tatapannya tertuju pada laptop di atas nakas dan beberapa dokumennya"Apa yang kau butuhkan? " Tanya Caid"Apa?" Lova memasang ekspresi bingungnya"Lupakan, ayo pergi" Ucap Caid mengalihkan pembicaraan Caid menuntun Lova keluar dari penthouse menuju mobilnya. Saat mereka duduk di dalam, Caid langsung menyalakan mesin dan mulai mengemudi. Suasana di dalam mobil terasa hening, meskipun ketegangan yang ada di antara mereka tidak hilang.Lova membuka ponselnya, berniat untuk memeriksa pesan-pesan yang belum sempat ia balas. Namun, pandangannya terpaku pada sebuah notifikasi berita yang muncul di layar. Judulnya mencolok "Pernikahan CEO Aleandro Broker dan Tunang
Lova menjatuhkan tubuhnya ke atas ranjang apartemennya, merasakan dinginnya seprei yang seolah menjadi cerminan perasaannya saat ini. Pikirannya berputar-putar, menolak untuk diam meski tubuhnya sudah menyerah pada kelelahan.Bayangan pernikahan Aleandro terus mengganggunya, seperti hantu yang menolak pergi. Dia tak bisa lagi menyangkal bahwa Aleandro telah memilih jalan hidupnya sendiri, dan Lova bukan bagian dari itu.Dan kemudian ada Caid.Lova menghela napas panjang, pikirannya teralihkan pada sosok pria itu.Cukup mudah bagi Lova mengartikan jika Caid cemburu pada Aleandro namun Lova jelas tidak menginginkan hal seperti itu dari seorang Caid“Kau menginginkan sesuatu yang tidak akan pernah kau dapatkan, Caid.”Lova tidak bisa menepis perasaan aneh yang muncul setiap kali dia berada di dekat Caid. Bukan cinta—itu terlalu berbahaya untuk diakui. Mungkin hanya dorongan fisik, atau mungkin sekadar tantangan antara dua orang yang sama-sama keras kepala dan be
Lova berbaring di kamar bilik pesawat, tubuhnya terasa lelah dan pikirannya terus berkecamuk. Pesawat melaju mulus di ketinggian ribuan kaki, tapi di dalam ruangan itu, suasananya terasa menyesakkan. Lova tidak tahu apa yang membuatnya lebih tertekan. Faka bahwa Caid menculiknya atau bahwa sebagian dirinya merasakan godaan yang tak terelakkan. Lova menghela napas panjang, pandangannya terarah ke langit-langit kabin. Bercinta di atas pesawat dengan ketinggian seperti ini seharusnya menjadi hal yang romantis bagi pasangan yang saling mencintai, tetapi bagi Lova, situasi ini lebih menyerupai jebakan. Sebuah permainan kekuasaan yang dipaksakan oleh Caid. Saat pintu kabin terbuka perlahan, Caid masuk tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Dia menatap Lova yang masih berbaring di ranjang, dengan tatapan yang penuh kendali, dan senyum tipis di bibirnya. Tanpa ragu, dia berjalan mendekat, tubuhnya yang besar dan dominan membuat ruangan itu terasa semakin kecil. "Kau tidak tidur?" tanya
Lova tercekat, matanya membelalak mendengar pertanyaan wanita itu. "Menikah?" pikirnya, jantungnya berdegup kencang seolah hendak melompat keluar dari dadanya. Ia menatap Caid dengan tajam, mencari jawaban di wajah pria itu, tetapi Caid hanya tersenyum tipis, seolah pertanyaan itu hal biasa yang tidak perlu dijelaskan.Mereka bahkan bukan apa-apa—tidak ada hubungan yang jelas di antara mereka, kecuali serangkaian situasi aneh dan memaksa yang terus melibatkan mereka. "Jadi.. ?" Ophelia, Ibu Caid bertanya dengan nada menggantung seperti menunggu jawaban"Itu Nyonya.." Lova akhirnya bersuara, terdengar lebih kaget dari yang ia maksudkan. "Kami tidak… maksudku, aku dan Caid bukan-" "Ibu terlalu terburu-buru, kami masih membicarakannya" Caid memotong dengan tenang, suaranya tetap dingin namun tegas, seolah itu adalah hal yang sudah didiskusikan sebelumnya.Lova memutar matanya, tak bisa menahan diri. "Membicarakannya?" batinnya, hampir ingin tertawa di tengah situa