Debby memejamkan mata sambil menyandarkan kepala di punggung sofa. Kerutan halus yang muncul di antara kedua alisnya sejak tadi belum juga sirna sampai sekarang. Desahan panjang juga lolos berkali-kali dari bibirnya yang mungil. “Kenapa nggak berhenti aja sih, Pak? Aku nggak mau menyakiti siapa pun!” Debby kembali mendesah dan membuka mata sipitnya. Tangannya meraih ponsel yang tergeletak di atas sofa di sisinya. Wanita berparas oriental itu membaca ulang pesan yang dikirim oleh William beberapa saat setelah panggilan telepon ia putus. “Sebenarnya aku masih ingin mengobrol lebih lama, tapi kalau Debby merasa itu sudah cukup untuk saat ini, oke, gak masalah. Aku akan mengikuti kecepatan langkahmu. Aku akan sabar menunggumu membuka hati. Terima kasih banyak sudah bersedia mengobrol malam ini.” Pesan itu lagi-lagi diakhiri dengan emotikon senyum. “Ya ampun, Pak! Kenapa Bapak nggak marah aja sih terus berhenti! Kalau kayak gini kan, aku malah jadi merasa bersalah!” desah Debby. Ponselny
Debby harus menunggu sejenak sebelum Fanny akhirnya menyahut, “Yah … mami kamu kan pengen banget kamu nikah sampai menjodoh-jodohkan segala. Kupikir kalau kamu nggak mau dijodoh-jodohkan, kenapa kamu nggak cari sendiri aja. Coba buka hati buat seseorang. Tapi ternyata ….” Fanny mengangkat bahu. “Jadi, yah, aku nggak bisa kasih saran gitu, ‘kan?”Debby mengangguk-anggukkan kepalanya lagi. Kali ini, giliran tangan Debby yang menutupi tangan Fanny dan menggenggamnya erat. Seulas senyum tulus ia berikan untuk sang sahabat. “Makasih banyak kamu sudah memikirkan aku.”“Makasih buat apa? Aku kan nggak bantu apa-apa.”“Tapi kamu sudah memikirkannya, ‘kan? Itu aja sudah cukup buatku.”“Ya, ya,” timpal Fanny seraya mengangguk-anggukkan kepalanya. “Hmm, padahal waktu aku keluar tadi, aku sempat kepikiran siap
“Ya ampun, kepalaku!” keluh Debby beberapa waktu setelah kepergian sang papi. Debby duduk berselonjor di ujung sofa hanya dengan kepala dan bahu saja yang bersandar di punggung sofa. Dengan ibu jari dan jari tengah yang direntangkan lebar-lebar, Debby memijat-mijat pelan kedua pelipisnya. Kedua netranya juga terpejam rapat-rapat.“Kenapa Papi datang-datang bawa kabar kayak gitu sih?” desah Debby.Rasanya baru sebentar merasakan kelegaan setelah beberapa hari yang lalu mengobrol dengan Fanny, wanita berwajah bulat telur itu kembali dihadapkan pada kenyataan yang selama ini mati-matian ia hindari. Selama tiga hari itu pula—semenjak insiden di kolam renang—Debby menjalani hari-harinya dengan cukup tenang. Meskipun William masih terus menghubunginya, baik melalui pesan percakapan atau panggilan telepon yang sekarang tidak tentu waktunya, Debby sanggup menghadapinya dengan lebih santai sekarang.
Langit tampak mendung sejak pagi, tetapi Debby tak terusik dengan cuaca tersebut. Sudah dua jam ini, ia berkutat di depan laptop. Kertas-kertas berisi coretan tangan sedikit berserakan di samping laptop.Suara dering ponsel membuyarkan konsentrasi Debby yang tengah menatap selembar kertas di tangan. Ia mengerang ketika melihat nama si penelepon, tetapi diraihnya juga benda pipih itu. Jarinya kemudian menggeser tombol hijau.“Halo, Mi,” sapa Debby. “Ada apa?”“Kapan kamu pulang?”Debby menghela napas sambil melepas kacamata yang bertengger di pangkal hidungnya. Setelah meletakkan kacamata di atas laptop, ia mendorong kursinya sedikit ke belakang. Kepalanya menengadah, bersandar di punggung kursi. Sejenak, ia memijit pelan pangkal hidungnya sembari memejamkan mata. Saat membuka mata, pandangannya terarah ke atas, menatap langit yang tampak sedikit dari balik jendela.
Debby menurunkan telapak tangannya. Keningnya sedikit berkerut. Ia memikirkan sesuatu seraya menyeruput lagi cairan cokelat yang tinggal sedikit itu. “Nggak, nggak, nggak!” Kepalanya ikut menggeleng. “Jangan mulai, Deb! Nggak usah berandai-andai dan jangan berpikir ke arah sana! Itu nggak adil buat dia! Lagian kalau kamu melakukan itu, apa bedanya kamu sama … ah, sial!” Debby tiba-tiba menggeram. “Kenapa malah jadi menyangkut ke sana!” Debby kembali menggoyang-goyangkan kepalanya. “Hah! Sudah, ah! Mending pulang dan kerja lagi daripada pikiran ngawur ke mana-mana!” Ia kemudian menatap sebentar ke luar kafe. “Masih hujan, ya?” tanyanya tidak pada siapa-siapa. Wanita itu lantas memutar tubuh dan memanggil pelayan. Ia memesan satu lagi cokelat panas untuk dibawa pulang sebagai teman perjalanan di bawah guyuran hujan. Begitu pesanan di antar, Debby langsung bangkit dan berbalik. “Debby?” panggil seseorang. Debby menoleh ke sumber suara. “Eh? Mbak Intan?” sapa Debby seraya mendekati so
Debby menoleh pada sang mami. Kerutan di antara kedua alisnya belum sirna. “Kita duduk di sini, Mi? Mami nggak salah meja?” tanya Debby dengan berbisik di dekat telinga sang mami. “Gak salah! Sudah, sana!” ucap Liliana sama lirihnya. Debby merasakan sedikit dorongan pada pinggang belakangnya. Sebelum Debby beranjak untuk menempati kursi yang ditunjuk sang mami, wanita itu menatap ke seluruh area restoran. Tatapannya kembali jatuh pada sang mami yang tingginya terpaut sekitar tujuh sentimeter lebih pendek dari Debby. “Tapi di sana masih banyak meja yang kosong, Mi. Kenapa di sini sih?” protes Debby masih dengan berbisik-bisik. “Sudah, turuti saja kata-kata Mami. Ayo, sana!” desak Liliana. Tak ingin membuat keributan di tempat umum, Debby terpaksa menuruti kemauan sang mami. Kursi kayu dengan sandaran tinggi itu sebenarnya memiliki bantalan empuk, tetapi gestur Debby seperti tengah menduduki bantalan paku atau bara api. Ia bergeming dengan wajah datar tanpa ekspresi. Amarah mulai
“Oke! Tapi aku makan bukan karena kamu yang suruh, ya!” timpal Debby pada akhirnya. “Aku cuma nggak mau menyia-nyiakan berkat karena ada orang lain yang mungkin nggak seberuntung aku kalau makanan ini cuma berakhir di tong sampah!”Lelaki dengan rambut tak lebih dari satu sentimeter itu langsung tertawa. “Terserah kamu!”“Lagian kenapa sih pesan makanan sebanyak ini kalau yang makan cuma dua orang? Untung porsinya kecil. Kalau nggak habis, apa nggak sayang?”“Kenapa memangnya? Aku masih sanggup kok kalau cuma beli makanan kayak gini buat kamu. Kamu mau minta apa juga nanti kubelikan. Mobil? Rumah?”“Astaga!” Debby spontan tersenyum mencemooh. “Siapa juga yang mau minta-minta sama kamu?”“Aku tahu kalau kamu nggak senang sama pertemuan ini,” ucap lelaki itu dengan enteng. “Kelihat
Usaha Debby mencari taksi kosong sembari menjauhi restoran ternyata belum membuahkan hasil. Meskipun demikian, Debby akhirnya menghentikan langkah kakinya ketika dirasa sudah cukup jauh dan tak akan terlihat dari arah restoran. Peluh mulai mengaliri pelipis, leher, dan punggungnya. Napasnya pun sudah kembang kempis. Namun, itu semua tak dihiraukan oleh Debby.Dengan perasaan kebat-kebit, akhirnya Debby berhasil menghentikan sebuah taksi tak lama kemudian. Tangannya bahkan masih gemetar ketika Debby membuka pintu penumpang. Secepat kilat, Debby menghilang ke dalam kabin mobil.“Selamat siang, Neng,” sapa sang sopir begitu Debby menutup pintu. “Tujuannya mau ke mana, ya?”“Jalan aja dulu, Pak,” pinta Debby lemah.Sekonyong-konyong kelegaan membanjiri tubuhnya sampai rasanya ingin menangis. Begitu merasa aman di dalam mobil, adrenalin yang sejak tadi memaksanya untuk
Jantung William tak bisa berhenti berdebar kencang. Meskipun ia sudah mengatur napas sedemikian rupa, tetap saja jantungnya masih bertingkah dengan brutal. Keempat jari tangan kanannya pun tak berhenti berderap di atas meja. Sebentar-sebentar netra sipitnya melirik arlojinya.“Ya, Tuhan! Kenapa kamu belum sampai juga, Baby?” desah William untuk ke sekian kalinya sejak lima menit yang lalu.Selain melirik arloji, lelaki itu juga berkali-kali menatap ke arah pintu. Pemandangan 360 derajat di sekelilingnya yang menampilkan gemerlap lampu ibu kota dari atap gedung tak mampu mengalihkan perhatian William.“Ya, Tuhan! Kalau tahu akan seperti ini, Koko gak akan mau menuruti permintaanmu tadi, Baby. Argh! Kenapa kamu gak mau Koko jemput aja sih?” gerutu William.Setelah gelisah hingga lima menit kemudian, akhirn
“Eh, Papi!” seru William dan Debby berbarengan.Keduanya sama-sama terkejut. William langsung menghentikan gerakan tangannya yang tengah menjepit dan memainkan bibir bawah kekasihnya. Tangan itu pun sontak menjauh dari bibir menggemaskan putri semata wayang Gunawan.“Maaf, Pi,” ucap William sambil sedikit menundukkan kepala sekaligus merutuki kelancangan tangannya dalam hati.“Hmm,” timpal Gunawan dengan suara sekaligus ekspresi datar. Lelaki paruh baya itu pun mendekat dan duduk di sofa.William melirik kekasihnya saat wanita itu menggeser duduknya sedikit menjauh. Wajahnya sudah seperti kepiting rebus saja. William kembali menyesali tangannya yang tak bisa diam hingga membuat wanita itu harus menanggung malu di hadapan orang tuanya sendiri.“Sori,” bisik William tatkala Gunawan tak memperh
William sangat terkejut mendengar penuturan Debby. Ia sama sekali tak mengira jika kekasihnya memiliki ketakutan sampai seperti itu. William mengulurkan tangan hendak menenangkan sang kekasih yang kembali berderai air mata. Ia terenyuh melihat wanita itu bahkan bernapas dengan tersengal-sengal.Namun, belum sempat merengkuh sang kekasih, William kembali dikejutkan dengan suara jeritan histeris yang terdengar tiba-tiba. William dan Debby yang masih menangis sontak menoleh berbarengan ke sumber suara.“Jangan lagi, ya, Tuhan! Jangan lagi!” desis seseorang yang baru saja tiba hingga berkali-kali.Dalam sekejap, suara tangis di sisi William pun lenyap, berganti dengan kesiap tajam. Lelaki itu pun tak kalah terperanjat saat menatap kedua sosok yang tiba-tiba sudah berdiri di ambang pintu. Satu orang memapah yang lainnya yang tampak tak baik-baik saja. Buru-buru William ban
“Apa maksudmu, Baby?!” tuntut William yang kaget setengah mati.Jantungnya langsung menggila mendengar keputusan sepihak yang meluncur dari bibir mungil sang kekasih. Hati William menolak keras untuk mencerna maksud yang terkandung di dalamnya. Namun, otaknya jelas-jelas menerima pesan tersebut dengan sangat gamblang. Seketika, otaknya dipenuhi dengan kata-kata keramat yang sangat dihindari oleh lelaki itu.William pun langsung menyambar tangan Debby yang keburu membelakanginya. Namun, sebelum tubuh kekasihnya berbalik sepenuhnya, William masih sempat melihat kekasihnya menutup mulut dan mendengar suara isakan lirih. William langsung mengernyit. Hatinya sedikit terusik dengan sikap dan omongan Debby yang lagi-lagi saling bertolak belakang di saat bersamaan.“Baby?” panggil William dengan lebih lembut saat wanita itu tetap me
William berusaha keras untuk tidak menyentuh wanita yang duduk di sampingnya—meski tak sedekat biasanya, apalagi saat wanita itu mengangguk tak mantap sambil menggigit bibir bawahnya.“Kurang lebih,” jawab Debby. “Aku sadar kalau aku selalu menghindar tiap kali Koko memintaku buat melangkah ke jenjang yang lebih serius. Kupikir aku bisa kayak gitu dulu buat sementara waktu. Tapi ternyata yang terakhir kemarin itu ....”Debby mengangkat bahu sambil tersenyum sendu sementara William agak terusik dengan sesuatu yang diucapkan kekasihnya. Ia pun menautkan kedua alisnya meski berusaha untuk tak menyela.“Aku nggak tahu apa yang terakhir itu yang paling parah,” lanjut Debby, “atau justru saking banyaknya Koko nimbun kekesalan jadi bikin Koko jaga jarak sama aku. Tapi apa pun itu, yang jelas aku mau minta maaf sama Koko soal ini. Bolak-balik aku selalu mengecewakan Koko. M
“Wow!” seru Debby yang masih takjub dengan kabar bahagia yang dibawa oleh sahabatnya. Ujung-ujung bibir Debby sudah terangkat sejak tadi.“Jadi, benar ini dari Ko Niel?” tanya Debby lagi sembari mencermati sebentuk cincin bermata berlian tunggal yang tersemat pada jari manis tangan Fanny.Wanita berambut sebahu itu sekarang sudah duduk di hadapannya. Namun, Debby belum melepas genggaman tangannya sejak dirinya melihat kilau sebuah cincin baru yang ia tahu belum pernah dikenakan oleh Fanny sebelumnya.Debby ikut berbahagia untuk Fanny yang senyumnya juga tak pernah lekang dari wajah perseginya sejak muncul di hadapan Debby. “Aku benar-benar ikut senang, Fan. Ya ampun. Selamat, ya, Say. Selamat. Omong-omong, kapan Ko Niel melamar?”“Uhm ... baru hari Sabtu kemarin sih,” ucap Fanny dengan pipi merona.
Di hadapan William, kini tersaji semangkuk bubur ayam tanpa kuah bumbu. Hanya ada bubur nasi yang sudah bercampur dengan potongan daging ayam dengan pugasan kulit pangsit goreng, irisan seledri, tongcai, dan cakwe. Kekasihnya bahkan juga menyediakan kecap asin di mangkuk terpisah yang ukurannya jauh lebih kecil.William kembali termangu sambil menatap sajian itu. Hatinya benar-benar terbelah dua. Ia merasa sangat bahagia sekaligus frustrasi. Baru kali ini, ia dilayani untuk sarapan sampai sedemikian rupa, apalagi oleh wanita yang sangat dicintai dan diinginkannya. Selain sosok sang mami tentu saja.“Kenapa cuma dilihat aja, Ko? Oh, astaga! Apa Koko nggak suka bubur ayam?”Suara merdu sang kekasih menyentak angan William. Ia gelagapan sesaat sebelum menimpali, “Oh, gak apa-apa kok, Baby. Siapa bilang Koko gak suka bubur ayam? Koko cuma lagi
William memang memutuskan untuk bersikap biasa saja sebelum mengetahui dengan pasti apa keinginan kekasihnya dari hubungan mereka ini. Namun, tetap saja lelaki itu tak bisa menahan ujung-ujung bibirnya yang mulai terangkat setelah mendengar pesan suara dari Debby. Ia pun melempar tubuhnya ke matras sambil terkekeh kecil.“Ya, Tuhan. Seperti ini nih yang bikin Koko gak bisa berpaling dari kamu, Baby. Bagaimana kelak Koko bisa hidup tanpamu?”Tiba-tiba ponselnya kembali berbunyi. Ada satu lagi pesan suara yang masuk dari kekasihnya.“Ko Billy? Koko baik-baik aja? Kenapa nggak ada respons, Ko? Aku tahu Koko sudah buka pesan suaraku. Jangan nakut-nakutin aku, Ko. Aku mencemaskan Koko. Kalau Koko butuh aku, bilang aja. Aku bakal menemani Koko. Aku sayang sama Koko.”Lagi-lagi William tak bisa menahan senyum. Namun, se
William terjun ke dalam air dan langsung menghilang di bawah permukaan air yang seketika bergolak seakan baru saja terjadi gempa bumi. Setelah satu-dua menit, tiba-tiba William kembali muncul ke permukaan dengan gerakan yang kembali mengentak keras. Permukaan air pun kembali berguncang sementara air memercik ke mana-mana saat kepala William menengadah ke langit malam dengan gerakan cepat.Bibir William langsung terbuka lebar dengan suara tarikan napas yang terdengar sangat jelas. Sejurus kemudian, dadanya bergerak naik turun dengan sangat cepat. Ia sengaja menahan napas selama berada di dalam air. Egonya tengah tertantang untuk menguji batas kemampuan dirinya.Tanpa mengambil jeda untuk menetralkan debar jantungnya yang masih menggila, William kembali masuk ke dalam air setelah menghirup napas dalam-dalam. Kali ini, ia meluncur dengan cepat seperti ikan di bawah permukaan air yang langs