Seringai jahil sang suami semakin lebar saja. Lelaki itu kemudian bertanya, “Apa kamu sadar, Baby, kalau nanti ada yang kebakaran lagi seperti dulu, sekarang sudah gak perlu bingung-bingung lagi buat cari pemadamnya?”
“Ish! Koko ini, lo!” pekik Debby. Tangannya pun langsung mencubit daging terdekat.
William sontak mengaduh kesakitan dan menggosok-gosok dada kirinya. “Astaga, Baby! Jarimu pedas juga, ya.”
“Hmm! Siapa suruh godain terus?” rajuk Debby. Namun, sesaat kemudian Debby kembali berujar, “Tapi sori, ya, Ko, aku baru bisa kasih semalam.”
“Hush! Kamu ini omong apaan sih! Setelah pemberkatan di gereja dan resepsi dengan segitu banyak tamu, kita kan sama-sama kecapaian, Baby. Kamu jangan omong gitu, ah. Meskipun Koko pengin, Koko juga gak mau ma
“I love you too, Baby. My Love. My Wife. Now and forever,” sahut William dengan senyum mesra terpampang di wajah. Lelaki itu pun balas mencium Debby di beberapa titik di wajah.Setelah mendapatkan ciuman di kening, kedua pipi, dan bibir, Debby lantas menghirup napas dalam-dalam sambil memejamkan mata sejenak. Saat membuka mata, ada kebulatan tekad dan keberanian yang bersemayam di hati.“Aku percaya sama Koko. Kalau sikap Koko kayak gitu, mana mungkin aku tega membuat Koko berharap lama-lama. Aku nggak bakal minta Koko buat nunda kehamilan. Kalau Tuhan kasih kepercayaan itu sama kita sekarang, aku bakal menerima dan menjalaninya.”“Oh, Baby! Kamu serius? Kamu benar gak apa-apa?”Debby mengiyakan dengan mantap. Kepalanya ikut mengangguk untuk meyakinkan suaminya.&ldqu
“Koko kenapa? Masuk angin?” tanya Debby dengan panik. Wanita itu tahu-tahu sudah ada di sampingnya. Satu tangan memijat-mijat tengkuknya sementara tangan yang lain meraba keningnya.Perutnya kembali bergolak. Namun, William mencoba mengabaikannya. Tak berani membuka mulut, lelaki itu hanya bisa menggeleng sembari menghentikan apa pun niat Debby saat ini dengan isyarat tangan.Ketika Debby menyingkir, William sedikit merasa lega. Ia menghirup napas dalam-dalam sambil bertumpu pada dinding. William mengerutkan kening dengan perasaan tak enak.Setelah perutnya berhenti bergolak, William melangkah ke wastafel. Ia menatap sekilas pantulan dirinya di cermin, lalu membasuh wajahnya. Saat menegakkan tubuh, sang istri kembali muncul di sisinya dengan membawa botol minyak kayu putih.“Gak perlu, Baby. Koko gak apa-apa kok,&rdquo
“Happy wedding anniversary, Baby!” ucap William dengan sangat mesra. Lelaki itu mencium punggung tangan sang istri dengan sangat lembut.Mereka baru saja selesai makan malam romantis yang sengaja disiapkan oleh William. Sayangnya, kebahagiaan William bercampur dengan rasa jengkel setiap kali ada pria yang memandang istrinya hingga dua kali. Tak ingin membagi pesona sang istri dengan orang lain, William pun buru-buru mengajak wanita itu untuk kembali ke kamar suite yang khusus dipesan untuk momen istimewa ini.William tak bosan-bosannya memandangi sang istri. Hingga detik ini, ia masih dan selalu saja terpukau dengan sosok sang istri yang tak banyak berubah selain bertambah cantik sejak ia menikahinya, apalagi malam ini. Berbalut busana malam warna merah menyala dengan bahu terbuka dan belahan gaun setinggi setengah paha yang menampilkan lekuk tubuh di tempat-tempat yang tep
“Halo.” Suara ketus bercampur serak meluncur cepat dari bibir mungil Debby ketika menjawab panggilan telepon. Matanya sudah kembali terpejam begitu tadi berhasil menggeser tombol hijau.“Selamat malam. Maaf mengganggu. Apakah saya sedang berbicara dengan Debby, sahabat Fanny?” Terdengar suara maskulin dengan latar suara yang berisik dari seberang ponsel.“Ugh! Siapa sih ini?” gerutu Debby lirih. Ia semakin kesal dengan gangguan tengah malam ini. Dengan ogah-ogahan dan mata setengah terbuka, Debby memeriksa layar ponsel yang sudah dijauhkan dari daun telinganya. Nama My Best Funny tertera pada layar ponsel. Seketika mata sipitnya terbuka lebar dan tubuhnya melenting bangun dari posisi tidurnya. Netra Debby juga melihat sekilas jam digital yang ada pada layar yang memberitahunya kalau sekarang sudah pukul 23.46 WIB.“Astaga! Kenapa suara laki-laki? Jangan-jangan Fanny dalam bahaya!” batin Debby berteriak panik.“Halo … halo ….” Samar-samar kembali terdengar suara maskulin dari seberang
Beberapa waktu berlalu dalam keheningan, hanya terdengar deru napas Debby yang memburu. Matanya masih terpejam erat dan kepalanya masih bersandar pada sandaran kepala. Genggaman kedua tangan pada setir mobil belum juga mengendur, bahkan sekarang semakin erat.Debby berusaha menenangkan diri. “Tarik napas, embuskan. Tarik, embuskan,” gumam Debby berkali-kali. “Oke, kamu nggak apa-apa. Kamu baik-baik aja, Deb. Kamu pasti bisa!”Bagaikan mantra, wanita berparas oriental itu mengulang-ulang kalimat yang sama dalam hati. Ia mencoba memberikan sugesti pada dirinya sendiri. Lama-kelamaan genggaman tangan pada roda kemudi mulai mengendur.Sesudah beberapa saat yang terasa panjang, matanya kini terbuka. Tatapannya kembali terpaku pada pintu masuk kelab malam. Sudah lima menit berlalu sejak ia memarkirkan kendaraannya, tetapi ia belum juga beranjak dari dalam mobil. Akhirnya, setelah membuang napas panjang untuk terakhir kali, Debby membulatkan tekad dan segera keluar dari mobil berlogo tiga ov
Suara maskulin yang cukup keras tertangkap indra pendengaran Debby. Wanita itu menoleh ke arah asal suara. Ia mengeryit heran mendengar pertanyaan itu. Dipandanginya sejenak pria asing itu tanpa menjawab pertanyaannya. Lalu perhatiannya dialihkan kembali pada Fanny.“Saya Niel!” seru pria asing itu dengan cepat seraya mengulurkan tangan kanannya di bawah hidung Debby.“Oh.”‘Si pria penelepon tadi.’Debby sebetulnya enggan berurusan dengan pria asing. Namun, mengingat pria di hadapannya ini mengaku sebagai teman Fanny, setelah bimbang sejenak, dengan berat hati disambutnya juga uluran tangan itu. “Debby.”“Biar saya bantu,” tawar Niel ketika Debby kesusahan mengangkat Fanny.Tanpa memberikan respons apa pun, mereka lalu mengangkat Fanny bersama-sama agar berdiri. Sosok yang berusaha dipapah meracau tidak jelas, tetapi tidak dihiraukan oleh mereka berdua. Lengan kiri Fanny dikalungkan ke leher Debby sementara tangan kanan Debby melingkari pinggang kurus Fanny. Sesudah Debby merasa manta
Suara pria yang muncul secara tiba-tiba di belakangnya membuat Debby berjingkat. “Sial!” umpat Debby ketika kunci mobilnya terlepas dari genggaman tangannya. Tubuh Fanny yang memang sudah sempoyongan semakin terdorong ke samping karena gerakan Debby yang tiba-tiba. Buru-buru diposisikan lagi pegangan tangannya pada tubuh Fanny. Ia tak menyangka kalau ada seseorang yang membuntutinya. Bulu-bulu halus di sekujur tubuhnya seketika meremang. Debar jantungnya yang sedari tadi sudah berpacu cepat kini semakin bertalu-talu. Untuk sesaat, ia mengira kalau jantungnya sudah berpindah lokasi karena sekarang tengah berdetak di dekat gendang telinga dan bukannya di rongga dadanya. Kepalanya pun segera ditolehkan dengan cepat ke arah pria penguntit yang menegurnya. “Siapa kamu? Dan mau apa? Kamu menguntit aku, ya?” sergah Debby sengit campur panik. Tubuhnya memutar sedikit, membawa serta Fanny. Kepalanya bergerak ke kanan dan ke kiri menilai situasi. Masih terdapat beberapa orang yang berlalu-lala
Isi kepala Debby sudah memikirkan kemungkinan-kemungkinan yang menyenangkan jika pekerjaan kali ini berhasil. Pundi-pundi uangnya akan semakin menggelembung meskipun itu bukan satu-satunya tujuan ia bekerja. Keluarganya bukannya kurang mampu meski bukan pula keluarga kaya raya yang kekayaannya hingga tujuh turunan tak akan habis-habis.Namun, ada kebanggaan dan kepuasan tersendiri dengan menggeluti pekerjaannya saat ini. Belum lagi jika klien merasa puas dengan hasil kerjanya. Bertemu dengan orang-orang baru juga akan semakin memperluas jaringan relasi yang sudah dimilikinya hingga kini. Daftar portofolionya pun akan semakin panjang dengan beragam hasil dan klien, dari yang skala kecil hingga skala besar.Keberhasilan yang sudah ia raih hingga saat ini memang sedikit banyak telah sukses membungkam protes keras yang dilontarkan sang mami ketika pertama kali ia memutuskan untuk menjadi pekerja lepas. Meskipun demikian, ia tetap tidak bisa bernapas lega. Ia menyadari kalau di waktu-waktu
“Happy wedding anniversary, Baby!” ucap William dengan sangat mesra. Lelaki itu mencium punggung tangan sang istri dengan sangat lembut.Mereka baru saja selesai makan malam romantis yang sengaja disiapkan oleh William. Sayangnya, kebahagiaan William bercampur dengan rasa jengkel setiap kali ada pria yang memandang istrinya hingga dua kali. Tak ingin membagi pesona sang istri dengan orang lain, William pun buru-buru mengajak wanita itu untuk kembali ke kamar suite yang khusus dipesan untuk momen istimewa ini.William tak bosan-bosannya memandangi sang istri. Hingga detik ini, ia masih dan selalu saja terpukau dengan sosok sang istri yang tak banyak berubah selain bertambah cantik sejak ia menikahinya, apalagi malam ini. Berbalut busana malam warna merah menyala dengan bahu terbuka dan belahan gaun setinggi setengah paha yang menampilkan lekuk tubuh di tempat-tempat yang tep
“Koko kenapa? Masuk angin?” tanya Debby dengan panik. Wanita itu tahu-tahu sudah ada di sampingnya. Satu tangan memijat-mijat tengkuknya sementara tangan yang lain meraba keningnya.Perutnya kembali bergolak. Namun, William mencoba mengabaikannya. Tak berani membuka mulut, lelaki itu hanya bisa menggeleng sembari menghentikan apa pun niat Debby saat ini dengan isyarat tangan.Ketika Debby menyingkir, William sedikit merasa lega. Ia menghirup napas dalam-dalam sambil bertumpu pada dinding. William mengerutkan kening dengan perasaan tak enak.Setelah perutnya berhenti bergolak, William melangkah ke wastafel. Ia menatap sekilas pantulan dirinya di cermin, lalu membasuh wajahnya. Saat menegakkan tubuh, sang istri kembali muncul di sisinya dengan membawa botol minyak kayu putih.“Gak perlu, Baby. Koko gak apa-apa kok,&rdquo
“I love you too, Baby. My Love. My Wife. Now and forever,” sahut William dengan senyum mesra terpampang di wajah. Lelaki itu pun balas mencium Debby di beberapa titik di wajah.Setelah mendapatkan ciuman di kening, kedua pipi, dan bibir, Debby lantas menghirup napas dalam-dalam sambil memejamkan mata sejenak. Saat membuka mata, ada kebulatan tekad dan keberanian yang bersemayam di hati.“Aku percaya sama Koko. Kalau sikap Koko kayak gitu, mana mungkin aku tega membuat Koko berharap lama-lama. Aku nggak bakal minta Koko buat nunda kehamilan. Kalau Tuhan kasih kepercayaan itu sama kita sekarang, aku bakal menerima dan menjalaninya.”“Oh, Baby! Kamu serius? Kamu benar gak apa-apa?”Debby mengiyakan dengan mantap. Kepalanya ikut mengangguk untuk meyakinkan suaminya.&ldqu
Seringai jahil sang suami semakin lebar saja. Lelaki itu kemudian bertanya, “Apa kamu sadar, Baby, kalau nanti ada yang kebakaran lagi seperti dulu, sekarang sudah gak perlu bingung-bingung lagi buat cari pemadamnya?”“Ish! Koko ini, lo!” pekik Debby. Tangannya pun langsung mencubit daging terdekat.William sontak mengaduh kesakitan dan menggosok-gosok dada kirinya. “Astaga, Baby! Jarimu pedas juga, ya.”“Hmm! Siapa suruh godain terus?” rajuk Debby. Namun, sesaat kemudian Debby kembali berujar, “Tapi sori, ya, Ko, aku baru bisa kasih semalam.”“Hush! Kamu ini omong apaan sih! Setelah pemberkatan di gereja dan resepsi dengan segitu banyak tamu, kita kan sama-sama kecapaian, Baby. Kamu jangan omong gitu, ah. Meskipun Koko pengin, Koko juga gak mau ma
Warning!!! Episode ini mengandung adegan dewasa yang mungkin tidak cocok atau membuat tidak nyaman bagi sebagian pembaca.Harap kebijakannya dalam membaca episode ini.*****Selagi Debby menerka-nerka siapa sosok yang dengan lancang berani memanggil-manggil nama suaminya, tiba-tiba suara William yang terdengar parau menembus gendang telinga Debby. “Lepaskan, Baby. Lepaskan.”“Ko Billy!” jerit Debby putus asa. ‘Ah! Kenapa suara yang keluar sama dengan yang tadi? Apa tadi itu suaraku sendiri?’“Ya, Baby, ya. Ayo, jangan ditahan lagi. Koko pengin lihat kamu, Baby,” ucap William terus menyemangati.Tak ingin mengecewakan lelaki itu, Debby berusaha menuruti kata-katanya. Dengan sedikit takut, dorongan yang semula ia tahan-tahan kini ia biarkan lepas mengalir begitu sa
Warning!!! Episode ini mengandung adegan dewasa yang mungkin tidak cocok atau membuat tidak nyaman bagi sebagian pembaca.Harap kebijakannya dalam membaca episode ini.*****“Umm!” gumam Debby sambil menggeliat. Namun, jerit tertahan langsung menyusul detik berikutnya. Tubuh wanita itu langsung mematung kaku. Kelopak mata tanpa lipatan yang semula susah dibuka seperti habis diberi lem pun langsung terbuka lebar-lebar.Kerutan halus muncul tak lama kemudian di antara kedua alis hitam melengkungnya. Saat Debby mencoba untuk kembali meregangkan tubuh, suara desisan panjang langsung meluncur dari bibirnya. Otaknya pun langsung menggali ingatan.“Oh, Tuhan!” seru Debby begitu berhasil mengumpulkan semua memori tentang semalam. Ia langsung menarik selimut hingga menutupi seluruh wajahnya yang kini terasa panas.Suara kekehan maskuli
Jantung William tak bisa berhenti berdebar kencang. Meskipun ia sudah mengatur napas sedemikian rupa, tetap saja jantungnya masih bertingkah dengan brutal. Keempat jari tangan kanannya pun tak berhenti berderap di atas meja. Sebentar-sebentar netra sipitnya melirik arlojinya.“Ya, Tuhan! Kenapa kamu belum sampai juga, Baby?” desah William untuk ke sekian kalinya sejak lima menit yang lalu.Selain melirik arloji, lelaki itu juga berkali-kali menatap ke arah pintu. Pemandangan 360 derajat di sekelilingnya yang menampilkan gemerlap lampu ibu kota dari atap gedung tak mampu mengalihkan perhatian William.“Ya, Tuhan! Kalau tahu akan seperti ini, Koko gak akan mau menuruti permintaanmu tadi, Baby. Argh! Kenapa kamu gak mau Koko jemput aja sih?” gerutu William.Setelah gelisah hingga lima menit kemudian, akhirnya sosok yang dinanti-nanti tiba juga. William buru-buru bangkit berdiri sambil tersenyum semringah meski langsung berusaha ia redam. Ia masih tak tahu pasti apa yang akan terjadi malam
“Eh, Papi!” seru William dan Debby berbarengan.Keduanya sama-sama terkejut. William langsung menghentikan gerakan tangannya yang tengah menjepit dan memainkan bibir bawah kekasihnya. Tangan itu pun sontak menjauh dari bibir menggemaskan putri semata wayang Gunawan.“Maaf, Pi,” ucap William sambil sedikit menundukkan kepala sekaligus merutuki kelancangan tangannya dalam hati.“Hmm,” timpal Gunawan dengan suara sekaligus ekspresi datar. Lelaki paruh baya itu pun mendekat dan duduk di sofa.William melirik kekasihnya saat wanita itu menggeser duduknya sedikit menjauh. Wajahnya sudah seperti kepiting rebus saja. William kembali menyesali tangannya yang tak bisa diam hingga membuat wanita itu harus menanggung malu di hadapan orang tuanya sendiri.“Sori,” bisik William tatkala Gunawan tak memperhatikan mereka.“Princess,” panggil Gunawan setelah menyamankan diri di sofa yang sebelumnya didudukinya.“Ya, Pi.”Ayah dan anak itu saling bertatapan sejenak sebelum Gunawan menggeleng-gelengkan ke
William sangat terkejut mendengar penuturan Debby. Ia sama sekali tak mengira jika kekasihnya memiliki ketakutan sampai seperti itu. William mengulurkan tangan hendak menenangkan sang kekasih yang kembali berderai air mata. Ia terenyuh melihat wanita itu bahkan bernapas dengan tersengal-sengal.Namun, belum sempat merengkuh sang kekasih, William kembali dikejutkan dengan suara jeritan histeris yang terdengar tiba-tiba. William dan Debby yang masih menangis sontak menoleh berbarengan ke sumber suara.“Jangan lagi, ya, Tuhan! Jangan lagi!” desis seseorang yang baru saja tiba hingga berkali-kali.Dalam sekejap, suara tangis di sisi William pun lenyap, berganti dengan kesiap tajam. Lelaki itu pun tak kalah terperanjat saat menatap kedua sosok yang tiba-tiba sudah berdiri di ambang pintu. Satu orang memapah yang lainnya yang tampak tak baik-baik saja. Buru-buru William ban