Debby harus menunggu sejenak sebelum Fanny akhirnya menyahut, “Yah … mami kamu kan pengen banget kamu nikah sampai menjodoh-jodohkan segala. Kupikir kalau kamu nggak mau dijodoh-jodohkan, kenapa kamu nggak cari sendiri aja. Coba buka hati buat seseorang. Tapi ternyata ….” Fanny mengangkat bahu. “Jadi, yah, aku nggak bisa kasih saran gitu, ‘kan?”Debby mengangguk-anggukkan kepalanya lagi. Kali ini, giliran tangan Debby yang menutupi tangan Fanny dan menggenggamnya erat. Seulas senyum tulus ia berikan untuk sang sahabat. “Makasih banyak kamu sudah memikirkan aku.”“Makasih buat apa? Aku kan nggak bantu apa-apa.”“Tapi kamu sudah memikirkannya, ‘kan? Itu aja sudah cukup buatku.”“Ya, ya,” timpal Fanny seraya mengangguk-anggukkan kepalanya. “Hmm, padahal waktu aku keluar tadi, aku sempat kepikiran siap
“Ya ampun, kepalaku!” keluh Debby beberapa waktu setelah kepergian sang papi. Debby duduk berselonjor di ujung sofa hanya dengan kepala dan bahu saja yang bersandar di punggung sofa. Dengan ibu jari dan jari tengah yang direntangkan lebar-lebar, Debby memijat-mijat pelan kedua pelipisnya. Kedua netranya juga terpejam rapat-rapat.“Kenapa Papi datang-datang bawa kabar kayak gitu sih?” desah Debby.Rasanya baru sebentar merasakan kelegaan setelah beberapa hari yang lalu mengobrol dengan Fanny, wanita berwajah bulat telur itu kembali dihadapkan pada kenyataan yang selama ini mati-matian ia hindari. Selama tiga hari itu pula—semenjak insiden di kolam renang—Debby menjalani hari-harinya dengan cukup tenang. Meskipun William masih terus menghubunginya, baik melalui pesan percakapan atau panggilan telepon yang sekarang tidak tentu waktunya, Debby sanggup menghadapinya dengan lebih santai sekarang.
Langit tampak mendung sejak pagi, tetapi Debby tak terusik dengan cuaca tersebut. Sudah dua jam ini, ia berkutat di depan laptop. Kertas-kertas berisi coretan tangan sedikit berserakan di samping laptop.Suara dering ponsel membuyarkan konsentrasi Debby yang tengah menatap selembar kertas di tangan. Ia mengerang ketika melihat nama si penelepon, tetapi diraihnya juga benda pipih itu. Jarinya kemudian menggeser tombol hijau.“Halo, Mi,” sapa Debby. “Ada apa?”“Kapan kamu pulang?”Debby menghela napas sambil melepas kacamata yang bertengger di pangkal hidungnya. Setelah meletakkan kacamata di atas laptop, ia mendorong kursinya sedikit ke belakang. Kepalanya menengadah, bersandar di punggung kursi. Sejenak, ia memijit pelan pangkal hidungnya sembari memejamkan mata. Saat membuka mata, pandangannya terarah ke atas, menatap langit yang tampak sedikit dari balik jendela.
Debby menurunkan telapak tangannya. Keningnya sedikit berkerut. Ia memikirkan sesuatu seraya menyeruput lagi cairan cokelat yang tinggal sedikit itu. “Nggak, nggak, nggak!” Kepalanya ikut menggeleng. “Jangan mulai, Deb! Nggak usah berandai-andai dan jangan berpikir ke arah sana! Itu nggak adil buat dia! Lagian kalau kamu melakukan itu, apa bedanya kamu sama … ah, sial!” Debby tiba-tiba menggeram. “Kenapa malah jadi menyangkut ke sana!” Debby kembali menggoyang-goyangkan kepalanya. “Hah! Sudah, ah! Mending pulang dan kerja lagi daripada pikiran ngawur ke mana-mana!” Ia kemudian menatap sebentar ke luar kafe. “Masih hujan, ya?” tanyanya tidak pada siapa-siapa. Wanita itu lantas memutar tubuh dan memanggil pelayan. Ia memesan satu lagi cokelat panas untuk dibawa pulang sebagai teman perjalanan di bawah guyuran hujan. Begitu pesanan di antar, Debby langsung bangkit dan berbalik. “Debby?” panggil seseorang. Debby menoleh ke sumber suara. “Eh? Mbak Intan?” sapa Debby seraya mendekati so
Debby menoleh pada sang mami. Kerutan di antara kedua alisnya belum sirna. “Kita duduk di sini, Mi? Mami nggak salah meja?” tanya Debby dengan berbisik di dekat telinga sang mami. “Gak salah! Sudah, sana!” ucap Liliana sama lirihnya. Debby merasakan sedikit dorongan pada pinggang belakangnya. Sebelum Debby beranjak untuk menempati kursi yang ditunjuk sang mami, wanita itu menatap ke seluruh area restoran. Tatapannya kembali jatuh pada sang mami yang tingginya terpaut sekitar tujuh sentimeter lebih pendek dari Debby. “Tapi di sana masih banyak meja yang kosong, Mi. Kenapa di sini sih?” protes Debby masih dengan berbisik-bisik. “Sudah, turuti saja kata-kata Mami. Ayo, sana!” desak Liliana. Tak ingin membuat keributan di tempat umum, Debby terpaksa menuruti kemauan sang mami. Kursi kayu dengan sandaran tinggi itu sebenarnya memiliki bantalan empuk, tetapi gestur Debby seperti tengah menduduki bantalan paku atau bara api. Ia bergeming dengan wajah datar tanpa ekspresi. Amarah mulai
“Oke! Tapi aku makan bukan karena kamu yang suruh, ya!” timpal Debby pada akhirnya. “Aku cuma nggak mau menyia-nyiakan berkat karena ada orang lain yang mungkin nggak seberuntung aku kalau makanan ini cuma berakhir di tong sampah!”Lelaki dengan rambut tak lebih dari satu sentimeter itu langsung tertawa. “Terserah kamu!”“Lagian kenapa sih pesan makanan sebanyak ini kalau yang makan cuma dua orang? Untung porsinya kecil. Kalau nggak habis, apa nggak sayang?”“Kenapa memangnya? Aku masih sanggup kok kalau cuma beli makanan kayak gini buat kamu. Kamu mau minta apa juga nanti kubelikan. Mobil? Rumah?”“Astaga!” Debby spontan tersenyum mencemooh. “Siapa juga yang mau minta-minta sama kamu?”“Aku tahu kalau kamu nggak senang sama pertemuan ini,” ucap lelaki itu dengan enteng. “Kelihat
Usaha Debby mencari taksi kosong sembari menjauhi restoran ternyata belum membuahkan hasil. Meskipun demikian, Debby akhirnya menghentikan langkah kakinya ketika dirasa sudah cukup jauh dan tak akan terlihat dari arah restoran. Peluh mulai mengaliri pelipis, leher, dan punggungnya. Napasnya pun sudah kembang kempis. Namun, itu semua tak dihiraukan oleh Debby.Dengan perasaan kebat-kebit, akhirnya Debby berhasil menghentikan sebuah taksi tak lama kemudian. Tangannya bahkan masih gemetar ketika Debby membuka pintu penumpang. Secepat kilat, Debby menghilang ke dalam kabin mobil.“Selamat siang, Neng,” sapa sang sopir begitu Debby menutup pintu. “Tujuannya mau ke mana, ya?”“Jalan aja dulu, Pak,” pinta Debby lemah.Sekonyong-konyong kelegaan membanjiri tubuhnya sampai rasanya ingin menangis. Begitu merasa aman di dalam mobil, adrenalin yang sejak tadi memaksanya untuk
William baru saja menelan suapan terakhir dari menu makan siangnya—makan siang yang sedikit terlambat—ketika ponselnya mengeluarkan bunyi notifikasi pesan masuk. Tangan kirinya langsung meraih benda pipih tersebut sementara tangan kanannya tengah menopang gelas air minum tepat di bibir. Sembari minum, netra William melirik ponselnya. Seketika, ia terbatuk-batuk ketika mengetahui siapa pengirim pesan itu.Buru-buru William meletakkan gelas minumnya dan meraih selembar tisu. Perhatiannya kini tertuju sepenuhnya pada layar ponsel. Begitu terpananya William pada fakta bahwa Debby baru saja mengiriminya pesan terlebih dahulu membuat William tidak langsung membalas pesan tersebut. Lelaki itu hanya terpaku pada satu kata yang dikirim oleh Debby.“Hai.”Satu kata itu terus bergema di telinga William, padahal ia hanya membacanya dalam hati. Setelah beberapa saat, barulah William tersadar dan segera membala
Warning!!! Episode ini mengandung adegan dewasa yang mungkin tidak cocok atau membuat tidak nyaman bagi sebagian pembaca.Harap kebijakannya dalam membaca episode ini.*****Bukannya berhenti, sang istri justru berpindah ke titik sensitif lainnya.“Baby, please,” desis William lagi dengan gelisah.Tangannya kini mencengkeram pergelangan sang istri. “Koko gak mau sampai lepas kendali.”“Ssst! Kalau gitu, jangan ditahan-tahan, Ko. Aku sengaja kok mau kasih kompensasi buat Koko,” terang Debby sambil tangannya memainkan salah satu kepik tak bersayap milik William. “Jadi, Koko rileks aja. Serahkan semuanya sama aku. Aku bakal kasih servis yang memuaskan malam ini.”“Tunggu, tunggu! Kompensasi buat apa?” tanya William di antara giginya yang kembali bera
William menunggu sejenak hingga anak perempuannya memusatkan perhatian padanya.“Ya, Pi,” sahut Grace.“Cici bantuin Papi sama Mami jagain Dedek Ello sementara waktu, ya.”“Siap, Pi,” sahut Grace dengan antusias. Kepalanya manggut-manggut dengan cepat.“Anak pintar,” puji William sambil mengacungkan ibu jari. “Ya sudah, kalian bobo sekarang. Papi sama Mami sayang kalian. Peluk cium buat kalian berdua. Selamat bobo dan mimpi indah, malaikat-malaikat kecil kesayangannya Papi sama Mami.”“Oh, Tuhan! Aku sudah kangen sama anak-anak, Ko,” ucap Debby begitu panggilan video terputus.“Bukan cuma kamu aja, Baby,” timpal William. Sesaat, ia jadi teringat ketika siang tadi, ia dan sang istri mengantar anak-anak ke rumah ka
“Happy wedding anniversary, Baby!” ucap William dengan sangat mesra. Lelaki itu mencium punggung tangan sang istri dengan sangat lembut.Mereka baru saja selesai makan malam romantis yang sengaja disiapkan oleh William. Sayangnya, kebahagiaan William bercampur dengan rasa jengkel setiap kali ada pria yang memandang istrinya hingga dua kali. Tak ingin membagi pesona sang istri dengan orang lain, William pun buru-buru mengajak wanita itu untuk kembali ke kamar suite yang khusus dipesan untuk momen istimewa ini.William tak bosan-bosannya memandangi sang istri. Hingga detik ini, ia masih dan selalu saja terpukau dengan sosok sang istri yang tak banyak berubah selain bertambah cantik sejak ia menikahinya, apalagi malam ini. Berbalut busana malam warna merah menyala dengan bahu terbuka dan belahan gaun setinggi setengah paha yang menampilkan lekuk tubuh di tempat-tempat yang tep
“Koko kenapa? Masuk angin?” tanya Debby dengan panik. Wanita itu tahu-tahu sudah ada di sampingnya. Satu tangan memijat-mijat tengkuknya sementara tangan yang lain meraba keningnya.Perutnya kembali bergolak. Namun, William mencoba mengabaikannya. Tak berani membuka mulut, lelaki itu hanya bisa menggeleng sembari menghentikan apa pun niat Debby saat ini dengan isyarat tangan.Ketika Debby menyingkir, William sedikit merasa lega. Ia menghirup napas dalam-dalam sambil bertumpu pada dinding. William mengerutkan kening dengan perasaan tak enak.Setelah perutnya berhenti bergolak, William melangkah ke wastafel. Ia menatap sekilas pantulan dirinya di cermin, lalu membasuh wajahnya. Saat menegakkan tubuh, sang istri kembali muncul di sisinya dengan membawa botol minyak kayu putih.“Gak perlu, Baby. Koko gak apa-apa kok,&rdquo
“I love you too, Baby. My Love. My Wife. Now and forever,” sahut William dengan senyum mesra terpampang di wajah. Lelaki itu pun balas mencium Debby di beberapa titik di wajah.Setelah mendapatkan ciuman di kening, kedua pipi, dan bibir, Debby lantas menghirup napas dalam-dalam sambil memejamkan mata sejenak. Saat membuka mata, ada kebulatan tekad dan keberanian yang bersemayam di hati.“Aku percaya sama Koko. Kalau sikap Koko kayak gitu, mana mungkin aku tega membuat Koko berharap lama-lama. Aku nggak bakal minta Koko buat nunda kehamilan. Kalau Tuhan kasih kepercayaan itu sama kita sekarang, aku bakal menerima dan menjalaninya.”“Oh, Baby! Kamu serius? Kamu benar gak apa-apa?”Debby mengiyakan dengan mantap. Kepalanya ikut mengangguk untuk meyakinkan suaminya.&ldqu
Seringai jahil sang suami semakin lebar saja. Lelaki itu kemudian bertanya, “Apa kamu sadar, Baby, kalau nanti ada yang kebakaran lagi seperti dulu, sekarang sudah gak perlu bingung-bingung lagi buat cari pemadamnya?”“Ish! Koko ini, lo!” pekik Debby. Tangannya pun langsung mencubit daging terdekat.William sontak mengaduh kesakitan dan menggosok-gosok dada kirinya. “Astaga, Baby! Jarimu pedas juga, ya.”“Hmm! Siapa suruh godain terus?” rajuk Debby. Namun, sesaat kemudian Debby kembali berujar, “Tapi sori, ya, Ko, aku baru bisa kasih semalam.”“Hush! Kamu ini omong apaan sih! Setelah pemberkatan di gereja dan resepsi dengan segitu banyak tamu, kita kan sama-sama kecapaian, Baby. Kamu jangan omong gitu, ah. Meskipun Koko pengin, Koko juga gak mau ma
Warning!!! Episode ini mengandung adegan dewasa yang mungkin tidak cocok atau membuat tidak nyaman bagi sebagian pembaca.Harap kebijakannya dalam membaca episode ini.*****Selagi Debby menerka-nerka siapa sosok yang dengan lancang berani memanggil-manggil nama suaminya, tiba-tiba suara William yang terdengar parau menembus gendang telinga Debby. “Lepaskan, Baby. Lepaskan.”“Ko Billy!” jerit Debby putus asa. ‘Ah! Kenapa suara yang keluar sama dengan yang tadi? Apa tadi itu suaraku sendiri?’“Ya, Baby, ya. Ayo, jangan ditahan lagi. Koko pengin lihat kamu, Baby,” ucap William terus menyemangati.Tak ingin mengecewakan lelaki itu, Debby berusaha menuruti kata-katanya. Dengan sedikit takut, dorongan yang semula ia tahan-tahan kini ia biarkan lepas mengalir begitu sa
Warning!!! Episode ini mengandung adegan dewasa yang mungkin tidak cocok atau membuat tidak nyaman bagi sebagian pembaca.Harap kebijakannya dalam membaca episode ini.*****“Umm!” gumam Debby sambil menggeliat. Namun, jerit tertahan langsung menyusul detik berikutnya. Tubuh wanita itu langsung mematung kaku. Kelopak mata tanpa lipatan yang semula susah dibuka seperti habis diberi lem pun langsung terbuka lebar-lebar.Kerutan halus muncul tak lama kemudian di antara kedua alis hitam melengkungnya. Saat Debby mencoba untuk kembali meregangkan tubuh, suara desisan panjang langsung meluncur dari bibirnya. Otaknya pun langsung menggali ingatan.“Oh, Tuhan!” seru Debby begitu berhasil mengumpulkan semua memori tentang semalam. Ia langsung menarik selimut hingga menutupi seluruh wajahnya yang kini terasa panas.Suara kekehan maskuli
Jantung William tak bisa berhenti berdebar kencang. Meskipun ia sudah mengatur napas sedemikian rupa, tetap saja jantungnya masih bertingkah dengan brutal. Keempat jari tangan kanannya pun tak berhenti berderap di atas meja. Sebentar-sebentar netra sipitnya melirik arlojinya.“Ya, Tuhan! Kenapa kamu belum sampai juga, Baby?” desah William untuk ke sekian kalinya sejak lima menit yang lalu.Selain melirik arloji, lelaki itu juga berkali-kali menatap ke arah pintu. Pemandangan 360 derajat di sekelilingnya yang menampilkan gemerlap lampu ibu kota dari atap gedung tak mampu mengalihkan perhatian William.“Ya, Tuhan! Kalau tahu akan seperti ini, Koko gak akan mau menuruti permintaanmu tadi, Baby. Argh! Kenapa kamu gak mau Koko jemput aja sih?” gerutu William.Setelah gelisah hingga lima menit kemudian, akhirnya sosok yang dinanti-nanti tiba juga. William buru-buru bangkit berdiri sambil tersenyum semringah meski langsung berusaha ia redam. Ia masih tak tahu pasti apa yang akan terjadi malam