Langit tampak mendung sejak pagi, tetapi Debby tak terusik dengan cuaca tersebut. Sudah dua jam ini, ia berkutat di depan laptop. Kertas-kertas berisi coretan tangan sedikit berserakan di samping laptop.
Suara dering ponsel membuyarkan konsentrasi Debby yang tengah menatap selembar kertas di tangan. Ia mengerang ketika melihat nama si penelepon, tetapi diraihnya juga benda pipih itu. Jarinya kemudian menggeser tombol hijau.
“Halo, Mi,” sapa Debby. “Ada apa?”
“Kapan kamu pulang?”
Debby menghela napas sambil melepas kacamata yang bertengger di pangkal hidungnya. Setelah meletakkan kacamata di atas laptop, ia mendorong kursinya sedikit ke belakang. Kepalanya menengadah, bersandar di punggung kursi. Sejenak, ia memijit pelan pangkal hidungnya sembari memejamkan mata. Saat membuka mata, pandangannya terarah ke atas, menatap langit yang tampak sedikit dari balik jendela.
Debby menurunkan telapak tangannya. Keningnya sedikit berkerut. Ia memikirkan sesuatu seraya menyeruput lagi cairan cokelat yang tinggal sedikit itu. “Nggak, nggak, nggak!” Kepalanya ikut menggeleng. “Jangan mulai, Deb! Nggak usah berandai-andai dan jangan berpikir ke arah sana! Itu nggak adil buat dia! Lagian kalau kamu melakukan itu, apa bedanya kamu sama … ah, sial!” Debby tiba-tiba menggeram. “Kenapa malah jadi menyangkut ke sana!” Debby kembali menggoyang-goyangkan kepalanya. “Hah! Sudah, ah! Mending pulang dan kerja lagi daripada pikiran ngawur ke mana-mana!” Ia kemudian menatap sebentar ke luar kafe. “Masih hujan, ya?” tanyanya tidak pada siapa-siapa. Wanita itu lantas memutar tubuh dan memanggil pelayan. Ia memesan satu lagi cokelat panas untuk dibawa pulang sebagai teman perjalanan di bawah guyuran hujan. Begitu pesanan di antar, Debby langsung bangkit dan berbalik. “Debby?” panggil seseorang. Debby menoleh ke sumber suara. “Eh? Mbak Intan?” sapa Debby seraya mendekati so
Debby menoleh pada sang mami. Kerutan di antara kedua alisnya belum sirna. “Kita duduk di sini, Mi? Mami nggak salah meja?” tanya Debby dengan berbisik di dekat telinga sang mami. “Gak salah! Sudah, sana!” ucap Liliana sama lirihnya. Debby merasakan sedikit dorongan pada pinggang belakangnya. Sebelum Debby beranjak untuk menempati kursi yang ditunjuk sang mami, wanita itu menatap ke seluruh area restoran. Tatapannya kembali jatuh pada sang mami yang tingginya terpaut sekitar tujuh sentimeter lebih pendek dari Debby. “Tapi di sana masih banyak meja yang kosong, Mi. Kenapa di sini sih?” protes Debby masih dengan berbisik-bisik. “Sudah, turuti saja kata-kata Mami. Ayo, sana!” desak Liliana. Tak ingin membuat keributan di tempat umum, Debby terpaksa menuruti kemauan sang mami. Kursi kayu dengan sandaran tinggi itu sebenarnya memiliki bantalan empuk, tetapi gestur Debby seperti tengah menduduki bantalan paku atau bara api. Ia bergeming dengan wajah datar tanpa ekspresi. Amarah mulai
“Oke! Tapi aku makan bukan karena kamu yang suruh, ya!” timpal Debby pada akhirnya. “Aku cuma nggak mau menyia-nyiakan berkat karena ada orang lain yang mungkin nggak seberuntung aku kalau makanan ini cuma berakhir di tong sampah!”Lelaki dengan rambut tak lebih dari satu sentimeter itu langsung tertawa. “Terserah kamu!”“Lagian kenapa sih pesan makanan sebanyak ini kalau yang makan cuma dua orang? Untung porsinya kecil. Kalau nggak habis, apa nggak sayang?”“Kenapa memangnya? Aku masih sanggup kok kalau cuma beli makanan kayak gini buat kamu. Kamu mau minta apa juga nanti kubelikan. Mobil? Rumah?”“Astaga!” Debby spontan tersenyum mencemooh. “Siapa juga yang mau minta-minta sama kamu?”“Aku tahu kalau kamu nggak senang sama pertemuan ini,” ucap lelaki itu dengan enteng. “Kelihat
Usaha Debby mencari taksi kosong sembari menjauhi restoran ternyata belum membuahkan hasil. Meskipun demikian, Debby akhirnya menghentikan langkah kakinya ketika dirasa sudah cukup jauh dan tak akan terlihat dari arah restoran. Peluh mulai mengaliri pelipis, leher, dan punggungnya. Napasnya pun sudah kembang kempis. Namun, itu semua tak dihiraukan oleh Debby.Dengan perasaan kebat-kebit, akhirnya Debby berhasil menghentikan sebuah taksi tak lama kemudian. Tangannya bahkan masih gemetar ketika Debby membuka pintu penumpang. Secepat kilat, Debby menghilang ke dalam kabin mobil.“Selamat siang, Neng,” sapa sang sopir begitu Debby menutup pintu. “Tujuannya mau ke mana, ya?”“Jalan aja dulu, Pak,” pinta Debby lemah.Sekonyong-konyong kelegaan membanjiri tubuhnya sampai rasanya ingin menangis. Begitu merasa aman di dalam mobil, adrenalin yang sejak tadi memaksanya untuk
William baru saja menelan suapan terakhir dari menu makan siangnya—makan siang yang sedikit terlambat—ketika ponselnya mengeluarkan bunyi notifikasi pesan masuk. Tangan kirinya langsung meraih benda pipih tersebut sementara tangan kanannya tengah menopang gelas air minum tepat di bibir. Sembari minum, netra William melirik ponselnya. Seketika, ia terbatuk-batuk ketika mengetahui siapa pengirim pesan itu.Buru-buru William meletakkan gelas minumnya dan meraih selembar tisu. Perhatiannya kini tertuju sepenuhnya pada layar ponsel. Begitu terpananya William pada fakta bahwa Debby baru saja mengiriminya pesan terlebih dahulu membuat William tidak langsung membalas pesan tersebut. Lelaki itu hanya terpaku pada satu kata yang dikirim oleh Debby.“Hai.”Satu kata itu terus bergema di telinga William, padahal ia hanya membacanya dalam hati. Setelah beberapa saat, barulah William tersadar dan segera membala
Debby bolak-balik mengetik lalu menghapus pesan yang baru saja ia ketik hingga beberapa kali. Ia tidak tahu bagaimana harus mengatakannya sampai akhirnya ia nekat mengirim saja pesan terakhir yang baru saja ia ketik. “Tapi kalau Bapak memang pengin menemani saya … apa tawaran Bapak untuk makan bersama masih berlaku?” Buru-buru, Debby menambahkan satu pesan lagi. “Anggap saja kalau saya lagi nggak mau makan sendirian.” Begitu menekan tombol kirim, Debby langsung mendesah panjang. “Aish! Kamu ini gimana sih? Apa yang ada di otakmu, Deb? Kenapa nekat banget?” Debby sengaja menjauhkan ponselnya. Ia tidak ingin langsung melihat jika ada pesan balasan dari pria itu. “Ah, bodoh amatlah! Sudah telanjur tercemplung, menyelam aja sekalian!” Debby menutupi wajahnya dengan telapak tangan. Ia kembali mengerang, “Ya ampun, Deb! Kamu benar-benar gali kuburan sendiri deh!” Debby mengan
“Nggak apa-apa kok, Om. Biar Ferdi bantu cari lagi sekarang.”Ketika mendengar sahutan dari lelaki berkepala hampir gundul itu, Debby tak bisa mencegah dirinya untuk tidak menggeram sengit. “Dasar gundul nggak tahu diri! Sudah diusir masih aja kepala batu! Sadar nggak sih kalau kamu lagi diusir sama Papi?”“Sudah, gak perlu, Nak Ferdi. Gak apa-apa.” Suara sang papi kembali terdengar dari dalam rumah.Masih dalam keadaan geram, Debby memutuskan untuk menunjukkan batang hidungnya sekarang. “Aku pulang,” sapa Debby di ambang pintu dengan sedikit ketus. Dari tempatnya berdiri, Debby bisa langsung melihat punggung sang papi. Jadi, ia memandang berkeliling hanya untuk menatap sekilas pada Ferdi dan sang mami. Tatapannya kembali jatuh pada sang papi yang sudah berbalik. “Aku pulang, Pi. Maaf sudah menyusahkan,” ucap Debby dengan lebih lembut.&ldqu
Detik berikutnya, Debby mendengar teriakan si wanita di ujung sambungan meski suaranya terdengar jauh dari ponsel. “Koko, ada yang telepon!”Debby tahu kalau ada yang menjawab seruan itu di ujung sana, tetapi ia tidak bisa menangkap dengan jelas jawaban apa yang dilontarkan oleh orang itu. Tak lama kemudian, suara si wanita kembali terdengar di telinga Debby. “Perempuan! Namanya di sini Bebi. Siapa sih, Ko? Pakai gambar hati segala.”Tiba-tiba indra pendengaran Debby menangkap suara yang tidak asing lagi. “Ck! Jangan usil, Chen! Sini ponselnya! Sudah sana!”“Aww!” Debby bisa mendengar dengan jelas teriak kesakitan dari wanita itu. “Ya ampun, Koko! Sakit, tahu!”“Ssst!” Suara maskulin kembali terdengar.Tiba-tiba satu pemikiran muncul di otak Debby. Matanya membeliak. “Oh, astaga!” seru Debby seray
“Apa maksudmu, Baby?!” tuntut William yang kaget setengah mati.Jantungnya langsung menggila mendengar keputusan sepihak yang meluncur dari bibir mungil sang kekasih. Hati William menolak keras untuk mencerna maksud yang terkandung di dalamnya. Namun, otaknya jelas-jelas menerima pesan tersebut dengan sangat gamblang. Seketika, otaknya dipenuhi dengan kata-kata keramat yang sangat dihindari oleh lelaki itu.William pun langsung menyambar tangan Debby yang keburu membelakanginya. Namun, sebelum tubuh kekasihnya berbalik sepenuhnya, William masih sempat melihat kekasihnya menutup mulut dan mendengar suara isakan lirih. William langsung mengernyit. Hatinya sedikit terusik dengan sikap dan omongan Debby yang lagi-lagi saling bertolak belakang di saat bersamaan.“Baby?” panggil William dengan lebih lembut saat wanita itu tetap me
William berusaha keras untuk tidak menyentuh wanita yang duduk di sampingnya—meski tak sedekat biasanya, apalagi saat wanita itu mengangguk tak mantap sambil menggigit bibir bawahnya.“Kurang lebih,” jawab Debby. “Aku sadar kalau aku selalu menghindar tiap kali Koko memintaku buat melangkah ke jenjang yang lebih serius. Kupikir aku bisa kayak gitu dulu buat sementara waktu. Tapi ternyata yang terakhir kemarin itu ....”Debby mengangkat bahu sambil tersenyum sendu sementara William agak terusik dengan sesuatu yang diucapkan kekasihnya. Ia pun menautkan kedua alisnya meski berusaha untuk tak menyela.“Aku nggak tahu apa yang terakhir itu yang paling parah,” lanjut Debby, “atau justru saking banyaknya Koko nimbun kekesalan jadi bikin Koko jaga jarak sama aku. Tapi apa pun itu, yang jelas aku mau minta maaf sama Koko soal ini. Bolak-balik aku selalu mengecewakan Koko. M
“Wow!” seru Debby yang masih takjub dengan kabar bahagia yang dibawa oleh sahabatnya. Ujung-ujung bibir Debby sudah terangkat sejak tadi.“Jadi, benar ini dari Ko Niel?” tanya Debby lagi sembari mencermati sebentuk cincin bermata berlian tunggal yang tersemat pada jari manis tangan Fanny.Wanita berambut sebahu itu sekarang sudah duduk di hadapannya. Namun, Debby belum melepas genggaman tangannya sejak dirinya melihat kilau sebuah cincin baru yang ia tahu belum pernah dikenakan oleh Fanny sebelumnya.Debby ikut berbahagia untuk Fanny yang senyumnya juga tak pernah lekang dari wajah perseginya sejak muncul di hadapan Debby. “Aku benar-benar ikut senang, Fan. Ya ampun. Selamat, ya, Say. Selamat. Omong-omong, kapan Ko Niel melamar?”“Uhm ... baru hari Sabtu kemarin sih,” ucap Fanny dengan pipi merona.
Di hadapan William, kini tersaji semangkuk bubur ayam tanpa kuah bumbu. Hanya ada bubur nasi yang sudah bercampur dengan potongan daging ayam dengan pugasan kulit pangsit goreng, irisan seledri, tongcai, dan cakwe. Kekasihnya bahkan juga menyediakan kecap asin di mangkuk terpisah yang ukurannya jauh lebih kecil.William kembali termangu sambil menatap sajian itu. Hatinya benar-benar terbelah dua. Ia merasa sangat bahagia sekaligus frustrasi. Baru kali ini, ia dilayani untuk sarapan sampai sedemikian rupa, apalagi oleh wanita yang sangat dicintai dan diinginkannya. Selain sosok sang mami tentu saja.“Kenapa cuma dilihat aja, Ko? Oh, astaga! Apa Koko nggak suka bubur ayam?”Suara merdu sang kekasih menyentak angan William. Ia gelagapan sesaat sebelum menimpali, “Oh, gak apa-apa kok, Baby. Siapa bilang Koko gak suka bubur ayam? Koko cuma lagi
William memang memutuskan untuk bersikap biasa saja sebelum mengetahui dengan pasti apa keinginan kekasihnya dari hubungan mereka ini. Namun, tetap saja lelaki itu tak bisa menahan ujung-ujung bibirnya yang mulai terangkat setelah mendengar pesan suara dari Debby. Ia pun melempar tubuhnya ke matras sambil terkekeh kecil.“Ya, Tuhan. Seperti ini nih yang bikin Koko gak bisa berpaling dari kamu, Baby. Bagaimana kelak Koko bisa hidup tanpamu?”Tiba-tiba ponselnya kembali berbunyi. Ada satu lagi pesan suara yang masuk dari kekasihnya.“Ko Billy? Koko baik-baik aja? Kenapa nggak ada respons, Ko? Aku tahu Koko sudah buka pesan suaraku. Jangan nakut-nakutin aku, Ko. Aku mencemaskan Koko. Kalau Koko butuh aku, bilang aja. Aku bakal menemani Koko. Aku sayang sama Koko.”Lagi-lagi William tak bisa menahan senyum. Namun, se
William terjun ke dalam air dan langsung menghilang di bawah permukaan air yang seketika bergolak seakan baru saja terjadi gempa bumi. Setelah satu-dua menit, tiba-tiba William kembali muncul ke permukaan dengan gerakan yang kembali mengentak keras. Permukaan air pun kembali berguncang sementara air memercik ke mana-mana saat kepala William menengadah ke langit malam dengan gerakan cepat.Bibir William langsung terbuka lebar dengan suara tarikan napas yang terdengar sangat jelas. Sejurus kemudian, dadanya bergerak naik turun dengan sangat cepat. Ia sengaja menahan napas selama berada di dalam air. Egonya tengah tertantang untuk menguji batas kemampuan dirinya.Tanpa mengambil jeda untuk menetralkan debar jantungnya yang masih menggila, William kembali masuk ke dalam air setelah menghirup napas dalam-dalam. Kali ini, ia meluncur dengan cepat seperti ikan di bawah permukaan air yang langs
Debby menatap sosok laki-laki yang pada suatu waktu dahulu sangat dikaguminya, tetapi juga sekaligus sosok yang menorehkan luka yang dalam di hatinya. Debby menghela napas sambil menautkan tangan pada jari jemari William.“Ko Yuyun,” panggil Debby dengan penuh kesabaran, “aku benar-benar sudah memaafkan Koko. Tapi tolong jangan buat aku menyesali keputusanku ini. Berhentilah meminta sesuatu yang sudah nggak bisa kuberikan lagi. Aku berusaha buat menghormati Koko lagi sekarang.“Tapi kalau Koko terus-terusan memaksa, jangan salahkan aku kalau aku akhirnya benar-benar kehilangan respek sama Koko. Hal yang bisa kuberi saat ini cuma maaf buat Koko, nggak lebih. Jadi, tolong mengertilah, Ko. Aku nggak mungkin balik lagi sama Koko.”Untuk sesaat, Yunan hanya menatap Debby lurus-lurus dengan bibir membentuk garis lurus. Lelaki berambut gondrong itu diam seribu bahasa, hany
Warning!!! Mengandung adegan kekerasan! Mohon bijak dalam menyikapi!*****Urat kendali diri William benar-benar sudah super tegang. Rasanya hanya butuh sentuhan ringan saja untuk memutus tali tak kasatmata itu. Ia bisa meledak kapan saja. William sampai ketakutan dengan dirinya sendiri. Ia seperti tak mengenali lagi sosoknya sendiri.Sebelum mengenal Debby, ia tak pernah lepas kendali. Namun, sekarang ini rasa-rasanya ia sanggup dan bersedia menghancurkan seseorang demi orang yang dikasihinya. Ia siap bertarung habis-habisan dengan siapa pun tanpa peduli risikonya!William benar-benar tak terima kekasihnya hendak diserobot dengan terang-terangan di bawah hidungnya!“Lebih baik diselesaikan sekarang aja, Ko, biar nggak berlarut-larut. Aku juga nggak mau terus-terusan kayak gini. Tolong percaya sama aku, Ko,&rd
“Wah, ada angin apa Koko ke sini? Sendirian aja, Ko? Mana Fanny?” Debby tampak mencari-cari ke arah pintu pagar yang masih terbuka.Untuk sesaat, hati William kembali merasa terusik gara-gara sambutan hangat yang diberikan kekasihnya pada tamu tak diundang itu, apalagi melihat senyum manis yang menyertainya. William harus berjuang keras untuk meredam perasaan cemburu yang lagi-lagi menyeruak ke permukaan.“Astaga, Will! Kamu kenapa sih? Kenapa akhir-akhir ini kamu jadi sensitif gini? Ayo, kendalikan dirimu!” tegur William dalam hati.“Fanny enggak ikut,” sahut Niel. “Koko baru mau ke tempat Fanny nanti, setelah dari sini.”“Oh.”“Tamunya disuruh masuk dulu, Baby,” ucap William setelah berhasil mengendalikan perasaannya. Satu tangan