Debby bolak-balik mengetik lalu menghapus pesan yang baru saja ia ketik hingga beberapa kali. Ia tidak tahu bagaimana harus mengatakannya sampai akhirnya ia nekat mengirim saja pesan terakhir yang baru saja ia ketik.
“Tapi kalau Bapak memang pengin menemani saya … apa tawaran Bapak untuk makan bersama masih berlaku?”
Buru-buru, Debby menambahkan satu pesan lagi. “Anggap saja kalau saya lagi nggak mau makan sendirian.”
Begitu menekan tombol kirim, Debby langsung mendesah panjang. “Aish! Kamu ini gimana sih? Apa yang ada di otakmu, Deb? Kenapa nekat banget?” Debby sengaja menjauhkan ponselnya. Ia tidak ingin langsung melihat jika ada pesan balasan dari pria itu. “Ah, bodoh amatlah! Sudah telanjur tercemplung, menyelam aja sekalian!”
Debby menutupi wajahnya dengan telapak tangan. Ia kembali mengerang, “Ya ampun, Deb! Kamu benar-benar gali kuburan sendiri deh!”
Debby mengan
“Nggak apa-apa kok, Om. Biar Ferdi bantu cari lagi sekarang.”Ketika mendengar sahutan dari lelaki berkepala hampir gundul itu, Debby tak bisa mencegah dirinya untuk tidak menggeram sengit. “Dasar gundul nggak tahu diri! Sudah diusir masih aja kepala batu! Sadar nggak sih kalau kamu lagi diusir sama Papi?”“Sudah, gak perlu, Nak Ferdi. Gak apa-apa.” Suara sang papi kembali terdengar dari dalam rumah.Masih dalam keadaan geram, Debby memutuskan untuk menunjukkan batang hidungnya sekarang. “Aku pulang,” sapa Debby di ambang pintu dengan sedikit ketus. Dari tempatnya berdiri, Debby bisa langsung melihat punggung sang papi. Jadi, ia memandang berkeliling hanya untuk menatap sekilas pada Ferdi dan sang mami. Tatapannya kembali jatuh pada sang papi yang sudah berbalik. “Aku pulang, Pi. Maaf sudah menyusahkan,” ucap Debby dengan lebih lembut.&ldqu
Detik berikutnya, Debby mendengar teriakan si wanita di ujung sambungan meski suaranya terdengar jauh dari ponsel. “Koko, ada yang telepon!”Debby tahu kalau ada yang menjawab seruan itu di ujung sana, tetapi ia tidak bisa menangkap dengan jelas jawaban apa yang dilontarkan oleh orang itu. Tak lama kemudian, suara si wanita kembali terdengar di telinga Debby. “Perempuan! Namanya di sini Bebi. Siapa sih, Ko? Pakai gambar hati segala.”Tiba-tiba indra pendengaran Debby menangkap suara yang tidak asing lagi. “Ck! Jangan usil, Chen! Sini ponselnya! Sudah sana!”“Aww!” Debby bisa mendengar dengan jelas teriak kesakitan dari wanita itu. “Ya ampun, Koko! Sakit, tahu!”“Ssst!” Suara maskulin kembali terdengar.Tiba-tiba satu pemikiran muncul di otak Debby. Matanya membeliak. “Oh, astaga!” seru Debby seray
Warning!! Mengandung adegan kekerasan. Bagi yang tidak nyaman dengan adegan tersebut bisa di-skip saja.*****Entah berapa lama Debby tertidur, tetapi ketika terbangun, kamarnya dalam keadaan gelap gulita. “Astaga! Gelap banget!” Debby mengerjap-ngerjapkan matanya. Ia kemudian bangkit duduk. Namun, rasa sakit langsung mendera kepalanya. Debby mengerang dan kembali melemparkan tubuhnya ke belakang. Gerakan Debby yang tiba-tiba membuat kepalanya semakin sakit. Bibir Debby kembali mendesiskan erangan.Sambil memijat-mijat pelipisnya, Debby bergumam, “Apa aku tadi nggak menyalakan lampu tidur, ya? Apa mati lampu?” Dengan tangannya yang lain, Debby mulai meraba-raba sekitarnya. “Mana ponselku, ya? Jam berapa sih sekarang?”Setelah mengumpulkan memori, Debby baru teringat kalau dirinya meletakkan ponsel di atas nakas sebelum tidur. Kepalanya menoleh ke
“Astaga! Debby!” seru Fanny begitu melewati pintu pagar dan melihat sahabatnya menggelongsor ke lantai. Beruntung Fanny berhasil menangkap tubuh Debby yang lunglai sebelum kepalanya menyentuh lantai, hanya saja berat tubuh Debby dan gravitasi bumi membuat Fanny juga ikut jatuh berlutut.“Aduh!” pekik Fanny kesakitan. Lututnya menghantam lantai berbatu koral sikat dengan cukup keras.Sambil meringis kesakitan, Fanny berusaha memosisikan tubuhnya supaya lebih nyaman menopang Debby meski ia harus duduk di lantai. Beruntung mobil Debby berada di sisi sebelah sana sehingga masih ada area kosong. Fanny segera memeriksa keadaan Debby. Ia terkesiap ketika tangannya meraba wajah bulat telur di hadapannya.“Ya ampun, Deb! Kamu panas banget! Duh, gimana ini?” seru Fanny dengan panik.Fanny menepuk-nepuk pelan wajah Debby supaya tersadar. Namun, Debby tetap bergeming. “D
William langsung mengambil alih baskom dari tangan Fanny dan meletakkannya di atas meja tamu. Tangannya dengan cekatan memeras handuk kecil yang langsung ditempelkan di kening Debby.“Dikompres dulu, ya, Deb, sambil nunggu dokter.” Debby yang sudah memejamkan mata lagi hanya mengerang sebagai jawaban. William kembali bertanya sembari tangannya mengusap-usap rambut Debby. “Apa yang kamu rasakan sekarang?”“Engh ... dingin,” bisik Debby di sela-sela rintihannya.“Dingin?” ulang William. Lelaki itu langsung menoleh ke arah Fanny. “Apa Debby mau dipindah ke kamar aja?”“Aduh! Sebentar, Ko, sepreinya aku ganti dulu deh. Tadi kayaknya basah waktu aku rapikan.”“Ya, sudah. Kalau gitu, tolong ambilkan selimut dulu aja. Yang tipis aja gak apa-apa, Fan.”Dalam sekejap, Fanny menghilang
Suara langkah kaki setengah berlari terdengar hingga ke dalam rumah. Sesaat kemudian, Leon muncul di ambang pintu. Kedua tangannya menenteng tas belanjaan yang langsung diambil alih oleh Fanny dengan sigap.“Trims, Bro!” ucap William ikut bangkit dari sofa. Langkah kakinya dengan cepat membawanya ke dalam kamar Debby.William mengguncang pelan bahu Debby. Saat tidak ada reaksi, William mencondongkan tubuhnya ke dekat telinga Debby. “Baby, bangun dulu,” bujuk William dengan suara lirih.William mengguncang Debby sekali lagi dengan lebih keras. Kali ini, Debby memberikan reaksi dengan melenguh sebelum akhirnya menggerakkan kelopak matanya pelan-pelan. “Bangun dulu, Baby,” ucap William lagi seraya mengangkat kepala wanita itu dan menumpuk dua bantal sekaligus di kepala ranjang dengan posisi berdiri.“Ayo, isi perutmu dulu, habis itu minum obat. Oke?” William berbicara sembari mengangkat tubuh Debby agar bisa duduk bersandar di kepala ranjang.Lagi-lagi Debby hanya mengerang lirih sebagai
Di ruang tamu, Chen-Chen sudah bersiap untuk pulang. Saat melihat Leon, William langsung berkata, “Tolong antar Chen-Chen pulang, ya. Gak apa-apa, ‘kan?”“Nggak apa-apalah! Lagian aku juga mau pamit pulang. Keadaan sudah aman terkendali, ‘kan? Oh, ya. Nih!”William mengangguk-angguk seraya menerima black card-nya kembali. Tangannya lantas menepuk-nepuk bahu Leon. “Sekali lagi, trims, Bro. Aku utang banyak sama kamu hari ini.”“Nggak usah ngomong kayak gitu. Tersinggung aku nanti. Kayak sama orang lain aja.” Leon balas menepuk punggung William sebelum beranjak menuju pintu. Namun, lelaki itu kembali berbalik setelah dua langkah. “Eh, aku belum pamit sama Debby.”“Sudah, gak usah. Nanti biar aku aja yang pamitkan gak apa-apa. Tuh, Chen-Chen sudah menunggu.”Leon langsung memicingkan mata. Kepalanya menggeleng-geleng sedetik kemudian. “Dasar! Kamu ini! Oke, oke. Koko pulang dulu, ya, Fan.” Kalimat terakhir ditujukan pada Fanny yang berdiri diam sedari tadi.“Iya. Makasih banyak, ya, Ko. M
Belum sempat Debby menyahut, terdengar ketukan di pintu. William menoleh dan melihat Fanny tengah berdiri di ambang pintu dengan senyum kecil menghias wajahnya. “Ada apa, Fan?” tanya William tak merasa terganggu. Fanny melangkah ke dalam kamar. “Obrolan kalian kayaknya seru banget ….” “Nggak usah ikut nimbrung yang bikin tambah panas, Fan!” Debby memotong perkataan Fanny dengan cepat. Wajahnya masih ditekuk. “Ya ampun, Deb! Aku itu mau belain kamu malah kena semprot. Gimana sih?” Bibir Fanny ikutan mengerucut maju saat berbicara dengan Debby. Namun, saat menghadap William, seulas senyum kembali muncul di wajah perseginya. “Maaf, Ko, bukannya mau mengganggu obrolan kalian, ehm, tapi … mungkin lebih baik dilanjutkan besok lagi kali, ya? Biar Debby bisa istirahat. Nggak apa-apa ‘kan, Ko?” Ketika William tengah menunduk untuk melihat jam tangannya, indra pendengarannya kembali menangkap suara Debby yang dongkol. “Baguslah, Fan! Usir aja laki-laki ini.” William tak bisa menghentikan
“Apa maksudmu, Baby?!” tuntut William yang kaget setengah mati.Jantungnya langsung menggila mendengar keputusan sepihak yang meluncur dari bibir mungil sang kekasih. Hati William menolak keras untuk mencerna maksud yang terkandung di dalamnya. Namun, otaknya jelas-jelas menerima pesan tersebut dengan sangat gamblang. Seketika, otaknya dipenuhi dengan kata-kata keramat yang sangat dihindari oleh lelaki itu.William pun langsung menyambar tangan Debby yang keburu membelakanginya. Namun, sebelum tubuh kekasihnya berbalik sepenuhnya, William masih sempat melihat kekasihnya menutup mulut dan mendengar suara isakan lirih. William langsung mengernyit. Hatinya sedikit terusik dengan sikap dan omongan Debby yang lagi-lagi saling bertolak belakang di saat bersamaan.“Baby?” panggil William dengan lebih lembut saat wanita itu tetap me
William berusaha keras untuk tidak menyentuh wanita yang duduk di sampingnya—meski tak sedekat biasanya, apalagi saat wanita itu mengangguk tak mantap sambil menggigit bibir bawahnya.“Kurang lebih,” jawab Debby. “Aku sadar kalau aku selalu menghindar tiap kali Koko memintaku buat melangkah ke jenjang yang lebih serius. Kupikir aku bisa kayak gitu dulu buat sementara waktu. Tapi ternyata yang terakhir kemarin itu ....”Debby mengangkat bahu sambil tersenyum sendu sementara William agak terusik dengan sesuatu yang diucapkan kekasihnya. Ia pun menautkan kedua alisnya meski berusaha untuk tak menyela.“Aku nggak tahu apa yang terakhir itu yang paling parah,” lanjut Debby, “atau justru saking banyaknya Koko nimbun kekesalan jadi bikin Koko jaga jarak sama aku. Tapi apa pun itu, yang jelas aku mau minta maaf sama Koko soal ini. Bolak-balik aku selalu mengecewakan Koko. M
“Wow!” seru Debby yang masih takjub dengan kabar bahagia yang dibawa oleh sahabatnya. Ujung-ujung bibir Debby sudah terangkat sejak tadi.“Jadi, benar ini dari Ko Niel?” tanya Debby lagi sembari mencermati sebentuk cincin bermata berlian tunggal yang tersemat pada jari manis tangan Fanny.Wanita berambut sebahu itu sekarang sudah duduk di hadapannya. Namun, Debby belum melepas genggaman tangannya sejak dirinya melihat kilau sebuah cincin baru yang ia tahu belum pernah dikenakan oleh Fanny sebelumnya.Debby ikut berbahagia untuk Fanny yang senyumnya juga tak pernah lekang dari wajah perseginya sejak muncul di hadapan Debby. “Aku benar-benar ikut senang, Fan. Ya ampun. Selamat, ya, Say. Selamat. Omong-omong, kapan Ko Niel melamar?”“Uhm ... baru hari Sabtu kemarin sih,” ucap Fanny dengan pipi merona.
Di hadapan William, kini tersaji semangkuk bubur ayam tanpa kuah bumbu. Hanya ada bubur nasi yang sudah bercampur dengan potongan daging ayam dengan pugasan kulit pangsit goreng, irisan seledri, tongcai, dan cakwe. Kekasihnya bahkan juga menyediakan kecap asin di mangkuk terpisah yang ukurannya jauh lebih kecil.William kembali termangu sambil menatap sajian itu. Hatinya benar-benar terbelah dua. Ia merasa sangat bahagia sekaligus frustrasi. Baru kali ini, ia dilayani untuk sarapan sampai sedemikian rupa, apalagi oleh wanita yang sangat dicintai dan diinginkannya. Selain sosok sang mami tentu saja.“Kenapa cuma dilihat aja, Ko? Oh, astaga! Apa Koko nggak suka bubur ayam?”Suara merdu sang kekasih menyentak angan William. Ia gelagapan sesaat sebelum menimpali, “Oh, gak apa-apa kok, Baby. Siapa bilang Koko gak suka bubur ayam? Koko cuma lagi
William memang memutuskan untuk bersikap biasa saja sebelum mengetahui dengan pasti apa keinginan kekasihnya dari hubungan mereka ini. Namun, tetap saja lelaki itu tak bisa menahan ujung-ujung bibirnya yang mulai terangkat setelah mendengar pesan suara dari Debby. Ia pun melempar tubuhnya ke matras sambil terkekeh kecil.“Ya, Tuhan. Seperti ini nih yang bikin Koko gak bisa berpaling dari kamu, Baby. Bagaimana kelak Koko bisa hidup tanpamu?”Tiba-tiba ponselnya kembali berbunyi. Ada satu lagi pesan suara yang masuk dari kekasihnya.“Ko Billy? Koko baik-baik aja? Kenapa nggak ada respons, Ko? Aku tahu Koko sudah buka pesan suaraku. Jangan nakut-nakutin aku, Ko. Aku mencemaskan Koko. Kalau Koko butuh aku, bilang aja. Aku bakal menemani Koko. Aku sayang sama Koko.”Lagi-lagi William tak bisa menahan senyum. Namun, se
William terjun ke dalam air dan langsung menghilang di bawah permukaan air yang seketika bergolak seakan baru saja terjadi gempa bumi. Setelah satu-dua menit, tiba-tiba William kembali muncul ke permukaan dengan gerakan yang kembali mengentak keras. Permukaan air pun kembali berguncang sementara air memercik ke mana-mana saat kepala William menengadah ke langit malam dengan gerakan cepat.Bibir William langsung terbuka lebar dengan suara tarikan napas yang terdengar sangat jelas. Sejurus kemudian, dadanya bergerak naik turun dengan sangat cepat. Ia sengaja menahan napas selama berada di dalam air. Egonya tengah tertantang untuk menguji batas kemampuan dirinya.Tanpa mengambil jeda untuk menetralkan debar jantungnya yang masih menggila, William kembali masuk ke dalam air setelah menghirup napas dalam-dalam. Kali ini, ia meluncur dengan cepat seperti ikan di bawah permukaan air yang langs
Debby menatap sosok laki-laki yang pada suatu waktu dahulu sangat dikaguminya, tetapi juga sekaligus sosok yang menorehkan luka yang dalam di hatinya. Debby menghela napas sambil menautkan tangan pada jari jemari William.“Ko Yuyun,” panggil Debby dengan penuh kesabaran, “aku benar-benar sudah memaafkan Koko. Tapi tolong jangan buat aku menyesali keputusanku ini. Berhentilah meminta sesuatu yang sudah nggak bisa kuberikan lagi. Aku berusaha buat menghormati Koko lagi sekarang.“Tapi kalau Koko terus-terusan memaksa, jangan salahkan aku kalau aku akhirnya benar-benar kehilangan respek sama Koko. Hal yang bisa kuberi saat ini cuma maaf buat Koko, nggak lebih. Jadi, tolong mengertilah, Ko. Aku nggak mungkin balik lagi sama Koko.”Untuk sesaat, Yunan hanya menatap Debby lurus-lurus dengan bibir membentuk garis lurus. Lelaki berambut gondrong itu diam seribu bahasa, hany
Warning!!! Mengandung adegan kekerasan! Mohon bijak dalam menyikapi!*****Urat kendali diri William benar-benar sudah super tegang. Rasanya hanya butuh sentuhan ringan saja untuk memutus tali tak kasatmata itu. Ia bisa meledak kapan saja. William sampai ketakutan dengan dirinya sendiri. Ia seperti tak mengenali lagi sosoknya sendiri.Sebelum mengenal Debby, ia tak pernah lepas kendali. Namun, sekarang ini rasa-rasanya ia sanggup dan bersedia menghancurkan seseorang demi orang yang dikasihinya. Ia siap bertarung habis-habisan dengan siapa pun tanpa peduli risikonya!William benar-benar tak terima kekasihnya hendak diserobot dengan terang-terangan di bawah hidungnya!“Lebih baik diselesaikan sekarang aja, Ko, biar nggak berlarut-larut. Aku juga nggak mau terus-terusan kayak gini. Tolong percaya sama aku, Ko,&rd
“Wah, ada angin apa Koko ke sini? Sendirian aja, Ko? Mana Fanny?” Debby tampak mencari-cari ke arah pintu pagar yang masih terbuka.Untuk sesaat, hati William kembali merasa terusik gara-gara sambutan hangat yang diberikan kekasihnya pada tamu tak diundang itu, apalagi melihat senyum manis yang menyertainya. William harus berjuang keras untuk meredam perasaan cemburu yang lagi-lagi menyeruak ke permukaan.“Astaga, Will! Kamu kenapa sih? Kenapa akhir-akhir ini kamu jadi sensitif gini? Ayo, kendalikan dirimu!” tegur William dalam hati.“Fanny enggak ikut,” sahut Niel. “Koko baru mau ke tempat Fanny nanti, setelah dari sini.”“Oh.”“Tamunya disuruh masuk dulu, Baby,” ucap William setelah berhasil mengendalikan perasaannya. Satu tangan