Usaha Debby mencari taksi kosong sembari menjauhi restoran ternyata belum membuahkan hasil. Meskipun demikian, Debby akhirnya menghentikan langkah kakinya ketika dirasa sudah cukup jauh dan tak akan terlihat dari arah restoran. Peluh mulai mengaliri pelipis, leher, dan punggungnya. Napasnya pun sudah kembang kempis. Namun, itu semua tak dihiraukan oleh Debby.
Dengan perasaan kebat-kebit, akhirnya Debby berhasil menghentikan sebuah taksi tak lama kemudian. Tangannya bahkan masih gemetar ketika Debby membuka pintu penumpang. Secepat kilat, Debby menghilang ke dalam kabin mobil.
“Selamat siang, Neng,” sapa sang sopir begitu Debby menutup pintu. “Tujuannya mau ke mana, ya?”
“Jalan aja dulu, Pak,” pinta Debby lemah.
Sekonyong-konyong kelegaan membanjiri tubuhnya sampai rasanya ingin menangis. Begitu merasa aman di dalam mobil, adrenalin yang sejak tadi memaksanya untuk
William baru saja menelan suapan terakhir dari menu makan siangnya—makan siang yang sedikit terlambat—ketika ponselnya mengeluarkan bunyi notifikasi pesan masuk. Tangan kirinya langsung meraih benda pipih tersebut sementara tangan kanannya tengah menopang gelas air minum tepat di bibir. Sembari minum, netra William melirik ponselnya. Seketika, ia terbatuk-batuk ketika mengetahui siapa pengirim pesan itu.Buru-buru William meletakkan gelas minumnya dan meraih selembar tisu. Perhatiannya kini tertuju sepenuhnya pada layar ponsel. Begitu terpananya William pada fakta bahwa Debby baru saja mengiriminya pesan terlebih dahulu membuat William tidak langsung membalas pesan tersebut. Lelaki itu hanya terpaku pada satu kata yang dikirim oleh Debby.“Hai.”Satu kata itu terus bergema di telinga William, padahal ia hanya membacanya dalam hati. Setelah beberapa saat, barulah William tersadar dan segera membala
Debby bolak-balik mengetik lalu menghapus pesan yang baru saja ia ketik hingga beberapa kali. Ia tidak tahu bagaimana harus mengatakannya sampai akhirnya ia nekat mengirim saja pesan terakhir yang baru saja ia ketik. “Tapi kalau Bapak memang pengin menemani saya … apa tawaran Bapak untuk makan bersama masih berlaku?” Buru-buru, Debby menambahkan satu pesan lagi. “Anggap saja kalau saya lagi nggak mau makan sendirian.” Begitu menekan tombol kirim, Debby langsung mendesah panjang. “Aish! Kamu ini gimana sih? Apa yang ada di otakmu, Deb? Kenapa nekat banget?” Debby sengaja menjauhkan ponselnya. Ia tidak ingin langsung melihat jika ada pesan balasan dari pria itu. “Ah, bodoh amatlah! Sudah telanjur tercemplung, menyelam aja sekalian!” Debby menutupi wajahnya dengan telapak tangan. Ia kembali mengerang, “Ya ampun, Deb! Kamu benar-benar gali kuburan sendiri deh!” Debby mengan
“Nggak apa-apa kok, Om. Biar Ferdi bantu cari lagi sekarang.”Ketika mendengar sahutan dari lelaki berkepala hampir gundul itu, Debby tak bisa mencegah dirinya untuk tidak menggeram sengit. “Dasar gundul nggak tahu diri! Sudah diusir masih aja kepala batu! Sadar nggak sih kalau kamu lagi diusir sama Papi?”“Sudah, gak perlu, Nak Ferdi. Gak apa-apa.” Suara sang papi kembali terdengar dari dalam rumah.Masih dalam keadaan geram, Debby memutuskan untuk menunjukkan batang hidungnya sekarang. “Aku pulang,” sapa Debby di ambang pintu dengan sedikit ketus. Dari tempatnya berdiri, Debby bisa langsung melihat punggung sang papi. Jadi, ia memandang berkeliling hanya untuk menatap sekilas pada Ferdi dan sang mami. Tatapannya kembali jatuh pada sang papi yang sudah berbalik. “Aku pulang, Pi. Maaf sudah menyusahkan,” ucap Debby dengan lebih lembut.&ldqu
Detik berikutnya, Debby mendengar teriakan si wanita di ujung sambungan meski suaranya terdengar jauh dari ponsel. “Koko, ada yang telepon!”Debby tahu kalau ada yang menjawab seruan itu di ujung sana, tetapi ia tidak bisa menangkap dengan jelas jawaban apa yang dilontarkan oleh orang itu. Tak lama kemudian, suara si wanita kembali terdengar di telinga Debby. “Perempuan! Namanya di sini Bebi. Siapa sih, Ko? Pakai gambar hati segala.”Tiba-tiba indra pendengaran Debby menangkap suara yang tidak asing lagi. “Ck! Jangan usil, Chen! Sini ponselnya! Sudah sana!”“Aww!” Debby bisa mendengar dengan jelas teriak kesakitan dari wanita itu. “Ya ampun, Koko! Sakit, tahu!”“Ssst!” Suara maskulin kembali terdengar.Tiba-tiba satu pemikiran muncul di otak Debby. Matanya membeliak. “Oh, astaga!” seru Debby seray
Warning!! Mengandung adegan kekerasan. Bagi yang tidak nyaman dengan adegan tersebut bisa di-skip saja.*****Entah berapa lama Debby tertidur, tetapi ketika terbangun, kamarnya dalam keadaan gelap gulita. “Astaga! Gelap banget!” Debby mengerjap-ngerjapkan matanya. Ia kemudian bangkit duduk. Namun, rasa sakit langsung mendera kepalanya. Debby mengerang dan kembali melemparkan tubuhnya ke belakang. Gerakan Debby yang tiba-tiba membuat kepalanya semakin sakit. Bibir Debby kembali mendesiskan erangan.Sambil memijat-mijat pelipisnya, Debby bergumam, “Apa aku tadi nggak menyalakan lampu tidur, ya? Apa mati lampu?” Dengan tangannya yang lain, Debby mulai meraba-raba sekitarnya. “Mana ponselku, ya? Jam berapa sih sekarang?”Setelah mengumpulkan memori, Debby baru teringat kalau dirinya meletakkan ponsel di atas nakas sebelum tidur. Kepalanya menoleh ke
“Astaga! Debby!” seru Fanny begitu melewati pintu pagar dan melihat sahabatnya menggelongsor ke lantai. Beruntung Fanny berhasil menangkap tubuh Debby yang lunglai sebelum kepalanya menyentuh lantai, hanya saja berat tubuh Debby dan gravitasi bumi membuat Fanny juga ikut jatuh berlutut.“Aduh!” pekik Fanny kesakitan. Lututnya menghantam lantai berbatu koral sikat dengan cukup keras.Sambil meringis kesakitan, Fanny berusaha memosisikan tubuhnya supaya lebih nyaman menopang Debby meski ia harus duduk di lantai. Beruntung mobil Debby berada di sisi sebelah sana sehingga masih ada area kosong. Fanny segera memeriksa keadaan Debby. Ia terkesiap ketika tangannya meraba wajah bulat telur di hadapannya.“Ya ampun, Deb! Kamu panas banget! Duh, gimana ini?” seru Fanny dengan panik.Fanny menepuk-nepuk pelan wajah Debby supaya tersadar. Namun, Debby tetap bergeming. “D
William langsung mengambil alih baskom dari tangan Fanny dan meletakkannya di atas meja tamu. Tangannya dengan cekatan memeras handuk kecil yang langsung ditempelkan di kening Debby.“Dikompres dulu, ya, Deb, sambil nunggu dokter.” Debby yang sudah memejamkan mata lagi hanya mengerang sebagai jawaban. William kembali bertanya sembari tangannya mengusap-usap rambut Debby. “Apa yang kamu rasakan sekarang?”“Engh ... dingin,” bisik Debby di sela-sela rintihannya.“Dingin?” ulang William. Lelaki itu langsung menoleh ke arah Fanny. “Apa Debby mau dipindah ke kamar aja?”“Aduh! Sebentar, Ko, sepreinya aku ganti dulu deh. Tadi kayaknya basah waktu aku rapikan.”“Ya, sudah. Kalau gitu, tolong ambilkan selimut dulu aja. Yang tipis aja gak apa-apa, Fan.”Dalam sekejap, Fanny menghilang
Suara langkah kaki setengah berlari terdengar hingga ke dalam rumah. Sesaat kemudian, Leon muncul di ambang pintu. Kedua tangannya menenteng tas belanjaan yang langsung diambil alih oleh Fanny dengan sigap.“Trims, Bro!” ucap William ikut bangkit dari sofa. Langkah kakinya dengan cepat membawanya ke dalam kamar Debby.William mengguncang pelan bahu Debby. Saat tidak ada reaksi, William mencondongkan tubuhnya ke dekat telinga Debby. “Baby, bangun dulu,” bujuk William dengan suara lirih.William mengguncang Debby sekali lagi dengan lebih keras. Kali ini, Debby memberikan reaksi dengan melenguh sebelum akhirnya menggerakkan kelopak matanya pelan-pelan. “Bangun dulu, Baby,” ucap William lagi seraya mengangkat kepala wanita itu dan menumpuk dua bantal sekaligus di kepala ranjang dengan posisi berdiri.“Ayo, isi perutmu dulu, habis itu minum obat. Oke?” William berbicara sembari mengangkat tubuh Debby agar bisa duduk bersandar di kepala ranjang.Lagi-lagi Debby hanya mengerang lirih sebagai
Warning!!! Episode ini mengandung adegan dewasa yang mungkin tidak cocok atau membuat tidak nyaman bagi sebagian pembaca.Harap kebijakannya dalam membaca episode ini.*****Bukannya berhenti, sang istri justru berpindah ke titik sensitif lainnya.“Baby, please,” desis William lagi dengan gelisah.Tangannya kini mencengkeram pergelangan sang istri. “Koko gak mau sampai lepas kendali.”“Ssst! Kalau gitu, jangan ditahan-tahan, Ko. Aku sengaja kok mau kasih kompensasi buat Koko,” terang Debby sambil tangannya memainkan salah satu kepik tak bersayap milik William. “Jadi, Koko rileks aja. Serahkan semuanya sama aku. Aku bakal kasih servis yang memuaskan malam ini.”“Tunggu, tunggu! Kompensasi buat apa?” tanya William di antara giginya yang kembali bera
William menunggu sejenak hingga anak perempuannya memusatkan perhatian padanya.“Ya, Pi,” sahut Grace.“Cici bantuin Papi sama Mami jagain Dedek Ello sementara waktu, ya.”“Siap, Pi,” sahut Grace dengan antusias. Kepalanya manggut-manggut dengan cepat.“Anak pintar,” puji William sambil mengacungkan ibu jari. “Ya sudah, kalian bobo sekarang. Papi sama Mami sayang kalian. Peluk cium buat kalian berdua. Selamat bobo dan mimpi indah, malaikat-malaikat kecil kesayangannya Papi sama Mami.”“Oh, Tuhan! Aku sudah kangen sama anak-anak, Ko,” ucap Debby begitu panggilan video terputus.“Bukan cuma kamu aja, Baby,” timpal William. Sesaat, ia jadi teringat ketika siang tadi, ia dan sang istri mengantar anak-anak ke rumah ka
“Happy wedding anniversary, Baby!” ucap William dengan sangat mesra. Lelaki itu mencium punggung tangan sang istri dengan sangat lembut.Mereka baru saja selesai makan malam romantis yang sengaja disiapkan oleh William. Sayangnya, kebahagiaan William bercampur dengan rasa jengkel setiap kali ada pria yang memandang istrinya hingga dua kali. Tak ingin membagi pesona sang istri dengan orang lain, William pun buru-buru mengajak wanita itu untuk kembali ke kamar suite yang khusus dipesan untuk momen istimewa ini.William tak bosan-bosannya memandangi sang istri. Hingga detik ini, ia masih dan selalu saja terpukau dengan sosok sang istri yang tak banyak berubah selain bertambah cantik sejak ia menikahinya, apalagi malam ini. Berbalut busana malam warna merah menyala dengan bahu terbuka dan belahan gaun setinggi setengah paha yang menampilkan lekuk tubuh di tempat-tempat yang tep
“Koko kenapa? Masuk angin?” tanya Debby dengan panik. Wanita itu tahu-tahu sudah ada di sampingnya. Satu tangan memijat-mijat tengkuknya sementara tangan yang lain meraba keningnya.Perutnya kembali bergolak. Namun, William mencoba mengabaikannya. Tak berani membuka mulut, lelaki itu hanya bisa menggeleng sembari menghentikan apa pun niat Debby saat ini dengan isyarat tangan.Ketika Debby menyingkir, William sedikit merasa lega. Ia menghirup napas dalam-dalam sambil bertumpu pada dinding. William mengerutkan kening dengan perasaan tak enak.Setelah perutnya berhenti bergolak, William melangkah ke wastafel. Ia menatap sekilas pantulan dirinya di cermin, lalu membasuh wajahnya. Saat menegakkan tubuh, sang istri kembali muncul di sisinya dengan membawa botol minyak kayu putih.“Gak perlu, Baby. Koko gak apa-apa kok,&rdquo
“I love you too, Baby. My Love. My Wife. Now and forever,” sahut William dengan senyum mesra terpampang di wajah. Lelaki itu pun balas mencium Debby di beberapa titik di wajah.Setelah mendapatkan ciuman di kening, kedua pipi, dan bibir, Debby lantas menghirup napas dalam-dalam sambil memejamkan mata sejenak. Saat membuka mata, ada kebulatan tekad dan keberanian yang bersemayam di hati.“Aku percaya sama Koko. Kalau sikap Koko kayak gitu, mana mungkin aku tega membuat Koko berharap lama-lama. Aku nggak bakal minta Koko buat nunda kehamilan. Kalau Tuhan kasih kepercayaan itu sama kita sekarang, aku bakal menerima dan menjalaninya.”“Oh, Baby! Kamu serius? Kamu benar gak apa-apa?”Debby mengiyakan dengan mantap. Kepalanya ikut mengangguk untuk meyakinkan suaminya.&ldqu
Seringai jahil sang suami semakin lebar saja. Lelaki itu kemudian bertanya, “Apa kamu sadar, Baby, kalau nanti ada yang kebakaran lagi seperti dulu, sekarang sudah gak perlu bingung-bingung lagi buat cari pemadamnya?”“Ish! Koko ini, lo!” pekik Debby. Tangannya pun langsung mencubit daging terdekat.William sontak mengaduh kesakitan dan menggosok-gosok dada kirinya. “Astaga, Baby! Jarimu pedas juga, ya.”“Hmm! Siapa suruh godain terus?” rajuk Debby. Namun, sesaat kemudian Debby kembali berujar, “Tapi sori, ya, Ko, aku baru bisa kasih semalam.”“Hush! Kamu ini omong apaan sih! Setelah pemberkatan di gereja dan resepsi dengan segitu banyak tamu, kita kan sama-sama kecapaian, Baby. Kamu jangan omong gitu, ah. Meskipun Koko pengin, Koko juga gak mau ma
Warning!!! Episode ini mengandung adegan dewasa yang mungkin tidak cocok atau membuat tidak nyaman bagi sebagian pembaca.Harap kebijakannya dalam membaca episode ini.*****Selagi Debby menerka-nerka siapa sosok yang dengan lancang berani memanggil-manggil nama suaminya, tiba-tiba suara William yang terdengar parau menembus gendang telinga Debby. “Lepaskan, Baby. Lepaskan.”“Ko Billy!” jerit Debby putus asa. ‘Ah! Kenapa suara yang keluar sama dengan yang tadi? Apa tadi itu suaraku sendiri?’“Ya, Baby, ya. Ayo, jangan ditahan lagi. Koko pengin lihat kamu, Baby,” ucap William terus menyemangati.Tak ingin mengecewakan lelaki itu, Debby berusaha menuruti kata-katanya. Dengan sedikit takut, dorongan yang semula ia tahan-tahan kini ia biarkan lepas mengalir begitu sa
Warning!!! Episode ini mengandung adegan dewasa yang mungkin tidak cocok atau membuat tidak nyaman bagi sebagian pembaca.Harap kebijakannya dalam membaca episode ini.*****“Umm!” gumam Debby sambil menggeliat. Namun, jerit tertahan langsung menyusul detik berikutnya. Tubuh wanita itu langsung mematung kaku. Kelopak mata tanpa lipatan yang semula susah dibuka seperti habis diberi lem pun langsung terbuka lebar-lebar.Kerutan halus muncul tak lama kemudian di antara kedua alis hitam melengkungnya. Saat Debby mencoba untuk kembali meregangkan tubuh, suara desisan panjang langsung meluncur dari bibirnya. Otaknya pun langsung menggali ingatan.“Oh, Tuhan!” seru Debby begitu berhasil mengumpulkan semua memori tentang semalam. Ia langsung menarik selimut hingga menutupi seluruh wajahnya yang kini terasa panas.Suara kekehan maskuli
Jantung William tak bisa berhenti berdebar kencang. Meskipun ia sudah mengatur napas sedemikian rupa, tetap saja jantungnya masih bertingkah dengan brutal. Keempat jari tangan kanannya pun tak berhenti berderap di atas meja. Sebentar-sebentar netra sipitnya melirik arlojinya.“Ya, Tuhan! Kenapa kamu belum sampai juga, Baby?” desah William untuk ke sekian kalinya sejak lima menit yang lalu.Selain melirik arloji, lelaki itu juga berkali-kali menatap ke arah pintu. Pemandangan 360 derajat di sekelilingnya yang menampilkan gemerlap lampu ibu kota dari atap gedung tak mampu mengalihkan perhatian William.“Ya, Tuhan! Kalau tahu akan seperti ini, Koko gak akan mau menuruti permintaanmu tadi, Baby. Argh! Kenapa kamu gak mau Koko jemput aja sih?” gerutu William.Setelah gelisah hingga lima menit kemudian, akhirnya sosok yang dinanti-nanti tiba juga. William buru-buru bangkit berdiri sambil tersenyum semringah meski langsung berusaha ia redam. Ia masih tak tahu pasti apa yang akan terjadi malam