Beberapa waktu berlalu dalam keheningan, hanya terdengar deru napas Debby yang memburu. Matanya masih terpejam erat dan kepalanya masih bersandar pada sandaran kepala. Genggaman kedua tangan pada setir mobil belum juga mengendur, bahkan sekarang semakin erat.
Debby berusaha menenangkan diri. “Tarik napas, embuskan. Tarik, embuskan,” gumam Debby berkali-kali. “Oke, kamu nggak apa-apa. Kamu baik-baik aja, Deb. Kamu pasti bisa!”
Bagaikan mantra, wanita berparas oriental itu mengulang-ulang kalimat yang sama dalam hati. Ia mencoba memberikan sugesti pada dirinya sendiri. Lama-kelamaan genggaman tangan pada roda kemudi mulai mengendur.
Sesudah beberapa saat yang terasa panjang, matanya kini terbuka. Tatapannya kembali terpaku pada pintu masuk kelab malam. Sudah lima menit berlalu sejak ia memarkirkan kendaraannya, tetapi ia belum juga beranjak dari dalam mobil. Akhirnya, setelah membuang napas panjang untuk terakhir kali, Debby membulatkan tekad dan segera keluar dari mobil berlogo tiga oval yang menumpuk secara horizontal dan vertikal.
Suara musik yang sanggup menggetarkan dinding kaca itu langsung menerpa gendang telinga Debby begitu pintu kelab malam terbuka. Suaranya sungguh bising bagi telinga Debby yang tidak terbiasa. Debby yang seumur-umur baru dua kali ini menginjakkan kakinya ke dalam sebuah kelab malam sempat kebingungan sejenak. Matanya mengerjap-ngerjap menyesuaikan dengan pencahayaan di dalam kelab malam yang temaram.
“Duh! Apa enaknya sih tempat kayak gini? Suaranya mengentak-entak! Gelap pula! Apa yang kamu cari di sini sih, Fan, Fan? Mending tidur deh,” keluh Debby dengan suara lirih. Bibir mungilnya tak henti-hentinya mengomeli sang sahabat.
Setelah matanya terbiasa di dalam keremangan, Debby mengedarkan pandangan mencari sosok Fanny di antara sekian banyak orang. Mata sipitnya lalu melihat meja bar yang ada di bagian kiri ruangan dengan pencahayaan yang lebih terang. Didekatinya meja bar itu perlahan-lahan. Ia tak ingin bersinggungan dengan para pengunjung yang memenuhi kelab malam.
“Duh! Ramai banget lagi!” Bibir Debby kembali menggerutu dengan lirih. Jantungnya mulai berdetak lebih cepat dari biasanya. Sambil menguatkan hati, dicarinya sosok Fanny di sekitar meja bar itu.
Tak lama kemudian, dilihatnya sesosok wanita yang perawakannya mirip dengan Fanny tengah duduk di depan meja bar. Namun, karena wajahnya tertelungkup di atas lipatan kedua lengan dan jarak yang masih cukup jauh, Debby tak yakin apakah sosok itu sahabatnya atau bukan. Seraya terus berjalan menghindari orang-orang, pandangan mata Debby tak lepas dari sosok berambut sebahu itu. Ketika ia melihat profil wajahnya yang tengadah beberapa detik kemudian, Debby menjadi yakin dan mempercepat langkah kakinya, terutama saat matanya menangkap pergerakan seorang pria di samping Fanny yang berusaha menyentuh bahu Fanny.
Langkah Debby yang semakin cepat tidak memedulikan sekelilingnya lagi. Dalam perjalanannya yang terburu-buru itu, Debby bersinggungan cukup keras dengan seseorang. Namun, tak dihiraukan oleh Debby. Wanita itu hanya mengucapkan sepatah kata maaf dengan sambil lalu.
*****
“Hei!” seru seorang pria dengan jas tersampir pada lengan kiri sementara jari jemari tangannya menggenggam gelas kosong. Pria berkemeja biru dongker tersebut mencoba menghentikan wanita yang baru saja bertabrakan dengannya yang terus saja melangkah.
Langkah wanita itu baru berhenti ketika si pria berhasil mencekal dan sedikit menyentak lengan kanannya. Namun, sentakannya rupanya terlalu keras karena tubuh wanita itu sampai terhuyung mundur dan setengah berbalik. Lelaki itu merasa tak enak hati. Ia tak bermaksud kasar pada wanita berjaket denim tersebut.
“Maaf, maaf. Apa kamu gak apa-apa?” tanya pria itu yang membuat si wanita menatap keheranan.
“Apa?” Wanita itu malah balik bertanya dengan raut bingung. Sosok di hadapannya hanya mendongak, menatap padanya selama beberapa detik. Wanita itu tak mengatakan apa-apa lagi, tetapi muncul kerutan di antara kedua mata sipitnya. Cahaya lampu disko sekilas menyorot wajah bulat telur milik wanita itu.
‘Wow, mata yang indah! Wajahnya pun tak kalah cantik.’
Atensi pria berkemeja biru dongker itu seketika buyar ketika si wanita memutus kontak mata. Tatapan tajam wanita itu kini beralih ke bawah, tertuju pada lengan kanannya. Mengikuti arah pandang wanita itu, baru disadari oleh si pria jika tangannya masih mencekal lengan si wanita. Buru-buru dilepasnya cekalan tangannya.
Begitu terlepas dari cekalan, wanita itu segera menoleh ke balik bahunya. Tak lama kemudian, kepalanya kembali berputar. Sayang, tatapannya kali ini hanya sekilas saja.
“Maaf, saya terburu-buru.”
“Maaf, aku sepertinya me ….”
Mereka berbicara bersamaan. Namun, wanita itu sepertinya tak mendengar ucapan si pria karena setelah mengucapkan maaf kembali berbalik dan langsung beranjak dari sana. Langkahnya tergesa-gesa.
“… numpahkan minumanku,” lanjut pria itu dengan suara yang semakin lirih sembari melirik sekilas pada gelas kosong di tangan kirinya.
“Hah,” desah pria itu sembari menggeleng tak percaya. Ia masih memandangi kepergian wanita itu seraya memasukkan tangan kanan pada saku celana panjang kainnya. Pandangan matanya terus mengikuti langkah wanita itu hingga sosok langsing itu menghampiri sepasang pria dan wanita di meja bar.
Ketika melihat wanita berjaket denim itu menegur kasar pria yang dihampirinya, matanya melebar. “Wow, seperti singa betina lagi mengamuk! Memergoki pasangan selingkuh, eh?” komentarnya sambil menggelengkan kepala lagi dan tersenyum miring. “Pantas aja sikapnya seperti itu. Untung bukan aku yang harus berhadapan dengan Singa Betina itu!” imbuhnya sambil terkekeh dan beranjak dari sana.
*****
Debby segera bergegas menghampiri Fanny begitu terbebas dari gangguan yang menurutnya telah membuang-buang waktunya saja. Jantungnya sudah kembali berdebar-debar ketika melihat pria tak dikenal itu masih berada di samping Fanny. Pria asing itu kini tengah berbicara dengan Fanny. Fokusnya kembali tertuju pada mereka. Ia langsung melupakan pria yang baru saja bertabrakan dengan dirinya.
“Hei! Siapa kamu? Jangan ganggu sahabatku, ya!” seru Debby sengit begitu berada di belakang mereka. Suaranya cukup keras untuk mengalahkan suara ingar bingar musik. Tangannya pun tak tinggal diam. Ditepisnya tangan pria itu yang bertengger di bahu Fanny. Segera setelah tangan itu tersingkir, tangan kanan Debby menggantikan posisi tangan pria itu di bahu Fanny.
“Ayo, pulang!” cetus Debby, kali ini ditujukan pada sahabatnya. Ia sudah tak menghiraukan lagi pria asing yang masih berdiri di sisi lain Fanny.
Wanita yang tengah mabuk itu menoleh ke arah Debby. Sesudah tiga detik berlalu, ia menyunggingkan cengiran lebar seraya berkata, “Eh, kamu ….” Ucapannya terpotong oleh bunyi cegukan yang cukup keras. Tangannya yang bebas menempel ringan di bibir tipisnya. “Ups, sori! Kamu, Deb?”
“Hmm!” Hanya itu jawaban yang dilontarkan Debby. “Bagus kamu masih mengenaliku!” imbuhnya beberapa detik kemudian. Kedua tangannya berusaha mengangkat Fanny agar berdiri.
“Ayo, sekarang pulang,” ajak Debby lagi, kali ini suaranya lebih lembut, tetapi masih tegas.
“Kamu Debby?”
Suara maskulin yang cukup keras tertangkap indra pendengaran Debby. Wanita itu menoleh ke arah asal suara. Ia mengeryit heran mendengar pertanyaan itu. Dipandanginya sejenak pria asing itu tanpa menjawab pertanyaannya. Lalu perhatiannya dialihkan kembali pada Fanny.“Saya Niel!” seru pria asing itu dengan cepat seraya mengulurkan tangan kanannya di bawah hidung Debby.“Oh.”‘Si pria penelepon tadi.’Debby sebetulnya enggan berurusan dengan pria asing. Namun, mengingat pria di hadapannya ini mengaku sebagai teman Fanny, setelah bimbang sejenak, dengan berat hati disambutnya juga uluran tangan itu. “Debby.”“Biar saya bantu,” tawar Niel ketika Debby kesusahan mengangkat Fanny.Tanpa memberikan respons apa pun, mereka lalu mengangkat Fanny bersama-sama agar berdiri. Sosok yang berusaha dipapah meracau tidak jelas, tetapi tidak dihiraukan oleh mereka berdua. Lengan kiri Fanny dikalungkan ke leher Debby sementara tangan kanan Debby melingkari pinggang kurus Fanny. Sesudah Debby merasa manta
Suara pria yang muncul secara tiba-tiba di belakangnya membuat Debby berjingkat. “Sial!” umpat Debby ketika kunci mobilnya terlepas dari genggaman tangannya. Tubuh Fanny yang memang sudah sempoyongan semakin terdorong ke samping karena gerakan Debby yang tiba-tiba. Buru-buru diposisikan lagi pegangan tangannya pada tubuh Fanny. Ia tak menyangka kalau ada seseorang yang membuntutinya. Bulu-bulu halus di sekujur tubuhnya seketika meremang. Debar jantungnya yang sedari tadi sudah berpacu cepat kini semakin bertalu-talu. Untuk sesaat, ia mengira kalau jantungnya sudah berpindah lokasi karena sekarang tengah berdetak di dekat gendang telinga dan bukannya di rongga dadanya. Kepalanya pun segera ditolehkan dengan cepat ke arah pria penguntit yang menegurnya. “Siapa kamu? Dan mau apa? Kamu menguntit aku, ya?” sergah Debby sengit campur panik. Tubuhnya memutar sedikit, membawa serta Fanny. Kepalanya bergerak ke kanan dan ke kiri menilai situasi. Masih terdapat beberapa orang yang berlalu-lala
Isi kepala Debby sudah memikirkan kemungkinan-kemungkinan yang menyenangkan jika pekerjaan kali ini berhasil. Pundi-pundi uangnya akan semakin menggelembung meskipun itu bukan satu-satunya tujuan ia bekerja. Keluarganya bukannya kurang mampu meski bukan pula keluarga kaya raya yang kekayaannya hingga tujuh turunan tak akan habis-habis.Namun, ada kebanggaan dan kepuasan tersendiri dengan menggeluti pekerjaannya saat ini. Belum lagi jika klien merasa puas dengan hasil kerjanya. Bertemu dengan orang-orang baru juga akan semakin memperluas jaringan relasi yang sudah dimilikinya hingga kini. Daftar portofolionya pun akan semakin panjang dengan beragam hasil dan klien, dari yang skala kecil hingga skala besar.Keberhasilan yang sudah ia raih hingga saat ini memang sedikit banyak telah sukses membungkam protes keras yang dilontarkan sang mami ketika pertama kali ia memutuskan untuk menjadi pekerja lepas. Meskipun demikian, ia tetap tidak bisa bernapas lega. Ia menyadari kalau di waktu-waktu
Setelah menunggu beberapa saat di depan salah satu lift, pintu kotak baja itu akhirnya terbuka. Debby segera masuk bersama dengan dua orang lainnya. Di dalam lift, Debby menyempatkan diri membalas pesan dari Fanny yang menyatakan kalau ia akan bertemu dengan calon klien potensial dan akan menghubungi Fanny setelah pertemuan selesai. Sesudah membalas pesan, Debby kembali memasukkan ponselnya ke dalam tas. Netranya kemudian beralih menatap indikator lantai di atas panel tombol angka. Dalam perjalanan menuju lantai sepuluh, beberapa kali pintu lift membuka dan menutup. Ketika pintu lift terbuka di lantai sepuluh, Debby segera melangkah keluar dari kotak baja yang membawanya ke lantai ini hanya dalam hitungan kurang dari dua menit. Mengikuti arahan yang diberikan Sonia tadi, Debby segera menjauhi lift ke sisi kiri. Di depan meja keempat—meja paling ujung, Debby menyapa seorang wanita muda yang tengah duduk membelakanginya. “Selamat siang.” Wanita yang tengah menanti kertas keluar dari
William baru saja keluar dari lift khusus direksi yang berada di lorong sebelah kiri lobi ketika matanya menangkap sosok wanita yang terasa tidak asing. Wanita itu tengah berjalan menuju meja resepsionis. Mata William terus mengamati gerak-gerik si wanita sementara telinganya sudah tak mendengarkan lagi obrolan sekretaris di sampingnya yang sekaligus juga merupakan sahabat dekatnya itu. “Eh, kamu duluan aja, Leon. Nanti aku menyusul,” ucap William tanpa memandang Leon, sang sekretaris. “Ha? Apa? Memangnya ada apa?” tanya Leon dengan raut bingung. “Sudah sana! Tunggu aja di mobil. Nih, kuncinya. Aku ada urusan sebentar,” usir William dengan enteng sembari mengulurkan kunci mobil di hadapan Leon. “Astaga! Kamu ini!” Leon meninju bahu William sebelum menyambar kunci itu. “Mentang-mentang aku ini bawahan sekaligus sahabat baikmu, kamu main usir aku gitu aja?” “Ck,” decak William tak sabar sambil melirik Leon dengan tajam. Mereka sudah hampir mencapai meja resepsionis. “Baiklah, baik
Lamunan William sedikit buyar ketika panggilan Leon sampai ke gendang telinganya. “Hmm?” Meskipun demikian, William masih belum fokus menanggapi sahabatnya. ‘Sepertinya aku harus mengeceknya nanti.’ “Barusan kamu ngomong apa sih? Apa ada masalah?” tanya Leon. “Sudah kuperhatikan dari tadi, kamu itu kayak lagi nggak di sini pikirannya. Melamun terus dari tadi, bahkan dari mobil mulai bergerak, lo. Ada apa sih?” William mendesah sebelum menjawab, “Gak ada apa-apa.” “Nggak ada apa-apa, tapi kenapa mendesah gitu? Kayak yang lagi berbeban berat aja,” seloroh Leon. “Yang harusnya berbeban berat tuh aku. Kamu kasih kerjaan nggak tanggung-tanggung,” imbuhnya kemudian disusul dengan kekehan pelan. “Ck! Apa kamu mau makan gaji buta? Kalau gitu, bulan ini potong gaji, oke?” “Buset! Calm down, Bos! Aku cuma bercanda,” dalih Leon. Setelah jeda sesaat, suara Leon kembali mengisi kabin mobil di tengah-tengah alunan instrumen yang masih diputar. “Hari ini kamu kenapa sih? Benar-benar di luar k
“Ko Niel?” celetuk Fanny ketika melihat siapa yang menghampiri meja mereka. Sedetik kemudian senyum lebar tersungging di bibirnya. “Sendirian aja, Ko?” tanya Fanny lebih lanjut. Debby hanya melirik sekilas dari samping. Merasa tidak mengenal sosok yang baru saja menghampiri mereka, Debby tak memedulikan lagi pria tersebut. Tak ingin mengganggu interaksi antara sahabatnya dengan pria itu, Debby memutuskan untuk membuka ponselnya. Ia sempat melirik sekilas pada sahabatnya yang masih tersenyum ceria. “Enggak. Tuh, sama mereka.” Indra pendengaran Debby menangkap suara berat pria itu yang menjawab pertanyaan Fanny. “Halo, Debby.” Tiba-tiba suara berat itu beralih padanya. “Kita ketemu lagi nih.” Debby yang tengah menunduk menekuri layar ponselnya, terperanjat. “Eh, iya,” sahut Debby tergagap. Dirinya tak menyangka akan disapa. ‘Dari mana dia tahu namaku? Apa kami pernah ketemu sebelumnya?’ Benak Debby diliputi keheranan. Melalui tatapan mata sipitnya, Debby bertanya pada Fanny, tetapi
“Aku kayaknya nggak asing sama salah satu dari mereka,” cetus Leon kemudian. “Pernah lihat di mana, ya? Oh iya, di lobi tadi, ya? Benar, ‘kan?” William hanya melirik sekilas ke arah sahabatnya tanpa menghiraukan reaksi maupun pertanyaan pria itu. Pandangannya kembali terarah pada si Wanita Es. William yang tak sempat memperhatikan wanita itu dengan saksama saat di lobi tadi, kali ini bisa memuaskan mata memandangi si Wanita Es. Sekarang ia bisa memperhatikan dari ujung kepala hingga ujung kaki meski bukan dari jarak yang sangat dekat. Tubuhnya tinggi semampai. Cara berjalannya tegap dan penuh percaya diri, bukan berlenggak-lenggok bak kucing berjalan. Langkah kakinya kecil dengan sedikit goyangan pada pinggul. Busana yang dikenakan pun tak seperti kulit kedua yang menempel ketat di tubuhnya. Namun, hal itu justru menambah daya tarik tersendiri bagi William. Ia jadi bisa berimajinasi dan menerka-nerka apa yang ada di balik busana itu. Bahkan hingga saat ini, William masih bisa mengin
“Apa maksudmu, Baby?!” tuntut William yang kaget setengah mati.Jantungnya langsung menggila mendengar keputusan sepihak yang meluncur dari bibir mungil sang kekasih. Hati William menolak keras untuk mencerna maksud yang terkandung di dalamnya. Namun, otaknya jelas-jelas menerima pesan tersebut dengan sangat gamblang. Seketika, otaknya dipenuhi dengan kata-kata keramat yang sangat dihindari oleh lelaki itu.William pun langsung menyambar tangan Debby yang keburu membelakanginya. Namun, sebelum tubuh kekasihnya berbalik sepenuhnya, William masih sempat melihat kekasihnya menutup mulut dan mendengar suara isakan lirih. William langsung mengernyit. Hatinya sedikit terusik dengan sikap dan omongan Debby yang lagi-lagi saling bertolak belakang di saat bersamaan.“Baby?” panggil William dengan lebih lembut saat wanita itu tetap me
William berusaha keras untuk tidak menyentuh wanita yang duduk di sampingnya—meski tak sedekat biasanya, apalagi saat wanita itu mengangguk tak mantap sambil menggigit bibir bawahnya.“Kurang lebih,” jawab Debby. “Aku sadar kalau aku selalu menghindar tiap kali Koko memintaku buat melangkah ke jenjang yang lebih serius. Kupikir aku bisa kayak gitu dulu buat sementara waktu. Tapi ternyata yang terakhir kemarin itu ....”Debby mengangkat bahu sambil tersenyum sendu sementara William agak terusik dengan sesuatu yang diucapkan kekasihnya. Ia pun menautkan kedua alisnya meski berusaha untuk tak menyela.“Aku nggak tahu apa yang terakhir itu yang paling parah,” lanjut Debby, “atau justru saking banyaknya Koko nimbun kekesalan jadi bikin Koko jaga jarak sama aku. Tapi apa pun itu, yang jelas aku mau minta maaf sama Koko soal ini. Bolak-balik aku selalu mengecewakan Koko. M
“Wow!” seru Debby yang masih takjub dengan kabar bahagia yang dibawa oleh sahabatnya. Ujung-ujung bibir Debby sudah terangkat sejak tadi.“Jadi, benar ini dari Ko Niel?” tanya Debby lagi sembari mencermati sebentuk cincin bermata berlian tunggal yang tersemat pada jari manis tangan Fanny.Wanita berambut sebahu itu sekarang sudah duduk di hadapannya. Namun, Debby belum melepas genggaman tangannya sejak dirinya melihat kilau sebuah cincin baru yang ia tahu belum pernah dikenakan oleh Fanny sebelumnya.Debby ikut berbahagia untuk Fanny yang senyumnya juga tak pernah lekang dari wajah perseginya sejak muncul di hadapan Debby. “Aku benar-benar ikut senang, Fan. Ya ampun. Selamat, ya, Say. Selamat. Omong-omong, kapan Ko Niel melamar?”“Uhm ... baru hari Sabtu kemarin sih,” ucap Fanny dengan pipi merona.
Di hadapan William, kini tersaji semangkuk bubur ayam tanpa kuah bumbu. Hanya ada bubur nasi yang sudah bercampur dengan potongan daging ayam dengan pugasan kulit pangsit goreng, irisan seledri, tongcai, dan cakwe. Kekasihnya bahkan juga menyediakan kecap asin di mangkuk terpisah yang ukurannya jauh lebih kecil.William kembali termangu sambil menatap sajian itu. Hatinya benar-benar terbelah dua. Ia merasa sangat bahagia sekaligus frustrasi. Baru kali ini, ia dilayani untuk sarapan sampai sedemikian rupa, apalagi oleh wanita yang sangat dicintai dan diinginkannya. Selain sosok sang mami tentu saja.“Kenapa cuma dilihat aja, Ko? Oh, astaga! Apa Koko nggak suka bubur ayam?”Suara merdu sang kekasih menyentak angan William. Ia gelagapan sesaat sebelum menimpali, “Oh, gak apa-apa kok, Baby. Siapa bilang Koko gak suka bubur ayam? Koko cuma lagi
William memang memutuskan untuk bersikap biasa saja sebelum mengetahui dengan pasti apa keinginan kekasihnya dari hubungan mereka ini. Namun, tetap saja lelaki itu tak bisa menahan ujung-ujung bibirnya yang mulai terangkat setelah mendengar pesan suara dari Debby. Ia pun melempar tubuhnya ke matras sambil terkekeh kecil.“Ya, Tuhan. Seperti ini nih yang bikin Koko gak bisa berpaling dari kamu, Baby. Bagaimana kelak Koko bisa hidup tanpamu?”Tiba-tiba ponselnya kembali berbunyi. Ada satu lagi pesan suara yang masuk dari kekasihnya.“Ko Billy? Koko baik-baik aja? Kenapa nggak ada respons, Ko? Aku tahu Koko sudah buka pesan suaraku. Jangan nakut-nakutin aku, Ko. Aku mencemaskan Koko. Kalau Koko butuh aku, bilang aja. Aku bakal menemani Koko. Aku sayang sama Koko.”Lagi-lagi William tak bisa menahan senyum. Namun, se
William terjun ke dalam air dan langsung menghilang di bawah permukaan air yang seketika bergolak seakan baru saja terjadi gempa bumi. Setelah satu-dua menit, tiba-tiba William kembali muncul ke permukaan dengan gerakan yang kembali mengentak keras. Permukaan air pun kembali berguncang sementara air memercik ke mana-mana saat kepala William menengadah ke langit malam dengan gerakan cepat.Bibir William langsung terbuka lebar dengan suara tarikan napas yang terdengar sangat jelas. Sejurus kemudian, dadanya bergerak naik turun dengan sangat cepat. Ia sengaja menahan napas selama berada di dalam air. Egonya tengah tertantang untuk menguji batas kemampuan dirinya.Tanpa mengambil jeda untuk menetralkan debar jantungnya yang masih menggila, William kembali masuk ke dalam air setelah menghirup napas dalam-dalam. Kali ini, ia meluncur dengan cepat seperti ikan di bawah permukaan air yang langs
Debby menatap sosok laki-laki yang pada suatu waktu dahulu sangat dikaguminya, tetapi juga sekaligus sosok yang menorehkan luka yang dalam di hatinya. Debby menghela napas sambil menautkan tangan pada jari jemari William.“Ko Yuyun,” panggil Debby dengan penuh kesabaran, “aku benar-benar sudah memaafkan Koko. Tapi tolong jangan buat aku menyesali keputusanku ini. Berhentilah meminta sesuatu yang sudah nggak bisa kuberikan lagi. Aku berusaha buat menghormati Koko lagi sekarang.“Tapi kalau Koko terus-terusan memaksa, jangan salahkan aku kalau aku akhirnya benar-benar kehilangan respek sama Koko. Hal yang bisa kuberi saat ini cuma maaf buat Koko, nggak lebih. Jadi, tolong mengertilah, Ko. Aku nggak mungkin balik lagi sama Koko.”Untuk sesaat, Yunan hanya menatap Debby lurus-lurus dengan bibir membentuk garis lurus. Lelaki berambut gondrong itu diam seribu bahasa, hany
Warning!!! Mengandung adegan kekerasan! Mohon bijak dalam menyikapi!*****Urat kendali diri William benar-benar sudah super tegang. Rasanya hanya butuh sentuhan ringan saja untuk memutus tali tak kasatmata itu. Ia bisa meledak kapan saja. William sampai ketakutan dengan dirinya sendiri. Ia seperti tak mengenali lagi sosoknya sendiri.Sebelum mengenal Debby, ia tak pernah lepas kendali. Namun, sekarang ini rasa-rasanya ia sanggup dan bersedia menghancurkan seseorang demi orang yang dikasihinya. Ia siap bertarung habis-habisan dengan siapa pun tanpa peduli risikonya!William benar-benar tak terima kekasihnya hendak diserobot dengan terang-terangan di bawah hidungnya!“Lebih baik diselesaikan sekarang aja, Ko, biar nggak berlarut-larut. Aku juga nggak mau terus-terusan kayak gini. Tolong percaya sama aku, Ko,&rd
“Wah, ada angin apa Koko ke sini? Sendirian aja, Ko? Mana Fanny?” Debby tampak mencari-cari ke arah pintu pagar yang masih terbuka.Untuk sesaat, hati William kembali merasa terusik gara-gara sambutan hangat yang diberikan kekasihnya pada tamu tak diundang itu, apalagi melihat senyum manis yang menyertainya. William harus berjuang keras untuk meredam perasaan cemburu yang lagi-lagi menyeruak ke permukaan.“Astaga, Will! Kamu kenapa sih? Kenapa akhir-akhir ini kamu jadi sensitif gini? Ayo, kendalikan dirimu!” tegur William dalam hati.“Fanny enggak ikut,” sahut Niel. “Koko baru mau ke tempat Fanny nanti, setelah dari sini.”“Oh.”“Tamunya disuruh masuk dulu, Baby,” ucap William setelah berhasil mengendalikan perasaannya. Satu tangan