Beberapa waktu berlalu dalam keheningan, hanya terdengar deru napas Debby yang memburu. Matanya masih terpejam erat dan kepalanya masih bersandar pada sandaran kepala. Genggaman kedua tangan pada setir mobil belum juga mengendur, bahkan sekarang semakin erat.
Debby berusaha menenangkan diri. “Tarik napas, embuskan. Tarik, embuskan,” gumam Debby berkali-kali. “Oke, kamu nggak apa-apa. Kamu baik-baik aja, Deb. Kamu pasti bisa!”
Bagaikan mantra, wanita berparas oriental itu mengulang-ulang kalimat yang sama dalam hati. Ia mencoba memberikan sugesti pada dirinya sendiri. Lama-kelamaan genggaman tangan pada roda kemudi mulai mengendur.
Sesudah beberapa saat yang terasa panjang, matanya kini terbuka. Tatapannya kembali terpaku pada pintu masuk kelab malam. Sudah lima menit berlalu sejak ia memarkirkan kendaraannya, tetapi ia belum juga beranjak dari dalam mobil. Akhirnya, setelah membuang napas panjang untuk terakhir kali, Debby membulatkan tekad dan segera keluar dari mobil berlogo tiga oval yang menumpuk secara horizontal dan vertikal.
Suara musik yang sanggup menggetarkan dinding kaca itu langsung menerpa gendang telinga Debby begitu pintu kelab malam terbuka. Suaranya sungguh bising bagi telinga Debby yang tidak terbiasa. Debby yang seumur-umur baru dua kali ini menginjakkan kakinya ke dalam sebuah kelab malam sempat kebingungan sejenak. Matanya mengerjap-ngerjap menyesuaikan dengan pencahayaan di dalam kelab malam yang temaram.
“Duh! Apa enaknya sih tempat kayak gini? Suaranya mengentak-entak! Gelap pula! Apa yang kamu cari di sini sih, Fan, Fan? Mending tidur deh,” keluh Debby dengan suara lirih. Bibir mungilnya tak henti-hentinya mengomeli sang sahabat.
Setelah matanya terbiasa di dalam keremangan, Debby mengedarkan pandangan mencari sosok Fanny di antara sekian banyak orang. Mata sipitnya lalu melihat meja bar yang ada di bagian kiri ruangan dengan pencahayaan yang lebih terang. Didekatinya meja bar itu perlahan-lahan. Ia tak ingin bersinggungan dengan para pengunjung yang memenuhi kelab malam.
“Duh! Ramai banget lagi!” Bibir Debby kembali menggerutu dengan lirih. Jantungnya mulai berdetak lebih cepat dari biasanya. Sambil menguatkan hati, dicarinya sosok Fanny di sekitar meja bar itu.
Tak lama kemudian, dilihatnya sesosok wanita yang perawakannya mirip dengan Fanny tengah duduk di depan meja bar. Namun, karena wajahnya tertelungkup di atas lipatan kedua lengan dan jarak yang masih cukup jauh, Debby tak yakin apakah sosok itu sahabatnya atau bukan. Seraya terus berjalan menghindari orang-orang, pandangan mata Debby tak lepas dari sosok berambut sebahu itu. Ketika ia melihat profil wajahnya yang tengadah beberapa detik kemudian, Debby menjadi yakin dan mempercepat langkah kakinya, terutama saat matanya menangkap pergerakan seorang pria di samping Fanny yang berusaha menyentuh bahu Fanny.
Langkah Debby yang semakin cepat tidak memedulikan sekelilingnya lagi. Dalam perjalanannya yang terburu-buru itu, Debby bersinggungan cukup keras dengan seseorang. Namun, tak dihiraukan oleh Debby. Wanita itu hanya mengucapkan sepatah kata maaf dengan sambil lalu.
*****
“Hei!” seru seorang pria dengan jas tersampir pada lengan kiri sementara jari jemari tangannya menggenggam gelas kosong. Pria berkemeja biru dongker tersebut mencoba menghentikan wanita yang baru saja bertabrakan dengannya yang terus saja melangkah.
Langkah wanita itu baru berhenti ketika si pria berhasil mencekal dan sedikit menyentak lengan kanannya. Namun, sentakannya rupanya terlalu keras karena tubuh wanita itu sampai terhuyung mundur dan setengah berbalik. Lelaki itu merasa tak enak hati. Ia tak bermaksud kasar pada wanita berjaket denim tersebut.
“Maaf, maaf. Apa kamu gak apa-apa?” tanya pria itu yang membuat si wanita menatap keheranan.
“Apa?” Wanita itu malah balik bertanya dengan raut bingung. Sosok di hadapannya hanya mendongak, menatap padanya selama beberapa detik. Wanita itu tak mengatakan apa-apa lagi, tetapi muncul kerutan di antara kedua mata sipitnya. Cahaya lampu disko sekilas menyorot wajah bulat telur milik wanita itu.
‘Wow, mata yang indah! Wajahnya pun tak kalah cantik.’
Atensi pria berkemeja biru dongker itu seketika buyar ketika si wanita memutus kontak mata. Tatapan tajam wanita itu kini beralih ke bawah, tertuju pada lengan kanannya. Mengikuti arah pandang wanita itu, baru disadari oleh si pria jika tangannya masih mencekal lengan si wanita. Buru-buru dilepasnya cekalan tangannya.
Begitu terlepas dari cekalan, wanita itu segera menoleh ke balik bahunya. Tak lama kemudian, kepalanya kembali berputar. Sayang, tatapannya kali ini hanya sekilas saja.
“Maaf, saya terburu-buru.”
“Maaf, aku sepertinya me ….”
Mereka berbicara bersamaan. Namun, wanita itu sepertinya tak mendengar ucapan si pria karena setelah mengucapkan maaf kembali berbalik dan langsung beranjak dari sana. Langkahnya tergesa-gesa.
“… numpahkan minumanku,” lanjut pria itu dengan suara yang semakin lirih sembari melirik sekilas pada gelas kosong di tangan kirinya.
“Hah,” desah pria itu sembari menggeleng tak percaya. Ia masih memandangi kepergian wanita itu seraya memasukkan tangan kanan pada saku celana panjang kainnya. Pandangan matanya terus mengikuti langkah wanita itu hingga sosok langsing itu menghampiri sepasang pria dan wanita di meja bar.
Ketika melihat wanita berjaket denim itu menegur kasar pria yang dihampirinya, matanya melebar. “Wow, seperti singa betina lagi mengamuk! Memergoki pasangan selingkuh, eh?” komentarnya sambil menggelengkan kepala lagi dan tersenyum miring. “Pantas aja sikapnya seperti itu. Untung bukan aku yang harus berhadapan dengan Singa Betina itu!” imbuhnya sambil terkekeh dan beranjak dari sana.
*****
Debby segera bergegas menghampiri Fanny begitu terbebas dari gangguan yang menurutnya telah membuang-buang waktunya saja. Jantungnya sudah kembali berdebar-debar ketika melihat pria tak dikenal itu masih berada di samping Fanny. Pria asing itu kini tengah berbicara dengan Fanny. Fokusnya kembali tertuju pada mereka. Ia langsung melupakan pria yang baru saja bertabrakan dengan dirinya.
“Hei! Siapa kamu? Jangan ganggu sahabatku, ya!” seru Debby sengit begitu berada di belakang mereka. Suaranya cukup keras untuk mengalahkan suara ingar bingar musik. Tangannya pun tak tinggal diam. Ditepisnya tangan pria itu yang bertengger di bahu Fanny. Segera setelah tangan itu tersingkir, tangan kanan Debby menggantikan posisi tangan pria itu di bahu Fanny.
“Ayo, pulang!” cetus Debby, kali ini ditujukan pada sahabatnya. Ia sudah tak menghiraukan lagi pria asing yang masih berdiri di sisi lain Fanny.
Wanita yang tengah mabuk itu menoleh ke arah Debby. Sesudah tiga detik berlalu, ia menyunggingkan cengiran lebar seraya berkata, “Eh, kamu ….” Ucapannya terpotong oleh bunyi cegukan yang cukup keras. Tangannya yang bebas menempel ringan di bibir tipisnya. “Ups, sori! Kamu, Deb?”
“Hmm!” Hanya itu jawaban yang dilontarkan Debby. “Bagus kamu masih mengenaliku!” imbuhnya beberapa detik kemudian. Kedua tangannya berusaha mengangkat Fanny agar berdiri.
“Ayo, sekarang pulang,” ajak Debby lagi, kali ini suaranya lebih lembut, tetapi masih tegas.
“Kamu Debby?”
Suara maskulin yang cukup keras tertangkap indra pendengaran Debby. Wanita itu menoleh ke arah asal suara. Ia mengeryit heran mendengar pertanyaan itu. Dipandanginya sejenak pria asing itu tanpa menjawab pertanyaannya. Lalu perhatiannya dialihkan kembali pada Fanny.“Saya Niel!” seru pria asing itu dengan cepat seraya mengulurkan tangan kanannya di bawah hidung Debby.“Oh.”‘Si pria penelepon tadi.’Debby sebetulnya enggan berurusan dengan pria asing. Namun, mengingat pria di hadapannya ini mengaku sebagai teman Fanny, setelah bimbang sejenak, dengan berat hati disambutnya juga uluran tangan itu. “Debby.”“Biar saya bantu,” tawar Niel ketika Debby kesusahan mengangkat Fanny.Tanpa memberikan respons apa pun, mereka lalu mengangkat Fanny bersama-sama agar berdiri. Sosok yang berusaha dipapah meracau tidak jelas, tetapi tidak dihiraukan oleh mereka berdua. Lengan kiri Fanny dikalungkan ke leher Debby sementara tangan kanan Debby melingkari pinggang kurus Fanny. Sesudah Debby merasa manta
Suara pria yang muncul secara tiba-tiba di belakangnya membuat Debby berjingkat. “Sial!” umpat Debby ketika kunci mobilnya terlepas dari genggaman tangannya. Tubuh Fanny yang memang sudah sempoyongan semakin terdorong ke samping karena gerakan Debby yang tiba-tiba. Buru-buru diposisikan lagi pegangan tangannya pada tubuh Fanny. Ia tak menyangka kalau ada seseorang yang membuntutinya. Bulu-bulu halus di sekujur tubuhnya seketika meremang. Debar jantungnya yang sedari tadi sudah berpacu cepat kini semakin bertalu-talu. Untuk sesaat, ia mengira kalau jantungnya sudah berpindah lokasi karena sekarang tengah berdetak di dekat gendang telinga dan bukannya di rongga dadanya. Kepalanya pun segera ditolehkan dengan cepat ke arah pria penguntit yang menegurnya. “Siapa kamu? Dan mau apa? Kamu menguntit aku, ya?” sergah Debby sengit campur panik. Tubuhnya memutar sedikit, membawa serta Fanny. Kepalanya bergerak ke kanan dan ke kiri menilai situasi. Masih terdapat beberapa orang yang berlalu-lala
Isi kepala Debby sudah memikirkan kemungkinan-kemungkinan yang menyenangkan jika pekerjaan kali ini berhasil. Pundi-pundi uangnya akan semakin menggelembung meskipun itu bukan satu-satunya tujuan ia bekerja. Keluarganya bukannya kurang mampu meski bukan pula keluarga kaya raya yang kekayaannya hingga tujuh turunan tak akan habis-habis.Namun, ada kebanggaan dan kepuasan tersendiri dengan menggeluti pekerjaannya saat ini. Belum lagi jika klien merasa puas dengan hasil kerjanya. Bertemu dengan orang-orang baru juga akan semakin memperluas jaringan relasi yang sudah dimilikinya hingga kini. Daftar portofolionya pun akan semakin panjang dengan beragam hasil dan klien, dari yang skala kecil hingga skala besar.Keberhasilan yang sudah ia raih hingga saat ini memang sedikit banyak telah sukses membungkam protes keras yang dilontarkan sang mami ketika pertama kali ia memutuskan untuk menjadi pekerja lepas. Meskipun demikian, ia tetap tidak bisa bernapas lega. Ia menyadari kalau di waktu-waktu
Setelah menunggu beberapa saat di depan salah satu lift, pintu kotak baja itu akhirnya terbuka. Debby segera masuk bersama dengan dua orang lainnya. Di dalam lift, Debby menyempatkan diri membalas pesan dari Fanny yang menyatakan kalau ia akan bertemu dengan calon klien potensial dan akan menghubungi Fanny setelah pertemuan selesai. Sesudah membalas pesan, Debby kembali memasukkan ponselnya ke dalam tas. Netranya kemudian beralih menatap indikator lantai di atas panel tombol angka. Dalam perjalanan menuju lantai sepuluh, beberapa kali pintu lift membuka dan menutup. Ketika pintu lift terbuka di lantai sepuluh, Debby segera melangkah keluar dari kotak baja yang membawanya ke lantai ini hanya dalam hitungan kurang dari dua menit. Mengikuti arahan yang diberikan Sonia tadi, Debby segera menjauhi lift ke sisi kiri. Di depan meja keempat—meja paling ujung, Debby menyapa seorang wanita muda yang tengah duduk membelakanginya. “Selamat siang.” Wanita yang tengah menanti kertas keluar dari
William baru saja keluar dari lift khusus direksi yang berada di lorong sebelah kiri lobi ketika matanya menangkap sosok wanita yang terasa tidak asing. Wanita itu tengah berjalan menuju meja resepsionis. Mata William terus mengamati gerak-gerik si wanita sementara telinganya sudah tak mendengarkan lagi obrolan sekretaris di sampingnya yang sekaligus juga merupakan sahabat dekatnya itu. “Eh, kamu duluan aja, Leon. Nanti aku menyusul,” ucap William tanpa memandang Leon, sang sekretaris. “Ha? Apa? Memangnya ada apa?” tanya Leon dengan raut bingung. “Sudah sana! Tunggu aja di mobil. Nih, kuncinya. Aku ada urusan sebentar,” usir William dengan enteng sembari mengulurkan kunci mobil di hadapan Leon. “Astaga! Kamu ini!” Leon meninju bahu William sebelum menyambar kunci itu. “Mentang-mentang aku ini bawahan sekaligus sahabat baikmu, kamu main usir aku gitu aja?” “Ck,” decak William tak sabar sambil melirik Leon dengan tajam. Mereka sudah hampir mencapai meja resepsionis. “Baiklah, baik
Lamunan William sedikit buyar ketika panggilan Leon sampai ke gendang telinganya. “Hmm?” Meskipun demikian, William masih belum fokus menanggapi sahabatnya. ‘Sepertinya aku harus mengeceknya nanti.’ “Barusan kamu ngomong apa sih? Apa ada masalah?” tanya Leon. “Sudah kuperhatikan dari tadi, kamu itu kayak lagi nggak di sini pikirannya. Melamun terus dari tadi, bahkan dari mobil mulai bergerak, lo. Ada apa sih?” William mendesah sebelum menjawab, “Gak ada apa-apa.” “Nggak ada apa-apa, tapi kenapa mendesah gitu? Kayak yang lagi berbeban berat aja,” seloroh Leon. “Yang harusnya berbeban berat tuh aku. Kamu kasih kerjaan nggak tanggung-tanggung,” imbuhnya kemudian disusul dengan kekehan pelan. “Ck! Apa kamu mau makan gaji buta? Kalau gitu, bulan ini potong gaji, oke?” “Buset! Calm down, Bos! Aku cuma bercanda,” dalih Leon. Setelah jeda sesaat, suara Leon kembali mengisi kabin mobil di tengah-tengah alunan instrumen yang masih diputar. “Hari ini kamu kenapa sih? Benar-benar di luar k
“Ko Niel?” celetuk Fanny ketika melihat siapa yang menghampiri meja mereka. Sedetik kemudian senyum lebar tersungging di bibirnya. “Sendirian aja, Ko?” tanya Fanny lebih lanjut. Debby hanya melirik sekilas dari samping. Merasa tidak mengenal sosok yang baru saja menghampiri mereka, Debby tak memedulikan lagi pria tersebut. Tak ingin mengganggu interaksi antara sahabatnya dengan pria itu, Debby memutuskan untuk membuka ponselnya. Ia sempat melirik sekilas pada sahabatnya yang masih tersenyum ceria. “Enggak. Tuh, sama mereka.” Indra pendengaran Debby menangkap suara berat pria itu yang menjawab pertanyaan Fanny. “Halo, Debby.” Tiba-tiba suara berat itu beralih padanya. “Kita ketemu lagi nih.” Debby yang tengah menunduk menekuri layar ponselnya, terperanjat. “Eh, iya,” sahut Debby tergagap. Dirinya tak menyangka akan disapa. ‘Dari mana dia tahu namaku? Apa kami pernah ketemu sebelumnya?’ Benak Debby diliputi keheranan. Melalui tatapan mata sipitnya, Debby bertanya pada Fanny, tetapi
“Aku kayaknya nggak asing sama salah satu dari mereka,” cetus Leon kemudian. “Pernah lihat di mana, ya? Oh iya, di lobi tadi, ya? Benar, ‘kan?” William hanya melirik sekilas ke arah sahabatnya tanpa menghiraukan reaksi maupun pertanyaan pria itu. Pandangannya kembali terarah pada si Wanita Es. William yang tak sempat memperhatikan wanita itu dengan saksama saat di lobi tadi, kali ini bisa memuaskan mata memandangi si Wanita Es. Sekarang ia bisa memperhatikan dari ujung kepala hingga ujung kaki meski bukan dari jarak yang sangat dekat. Tubuhnya tinggi semampai. Cara berjalannya tegap dan penuh percaya diri, bukan berlenggak-lenggok bak kucing berjalan. Langkah kakinya kecil dengan sedikit goyangan pada pinggul. Busana yang dikenakan pun tak seperti kulit kedua yang menempel ketat di tubuhnya. Namun, hal itu justru menambah daya tarik tersendiri bagi William. Ia jadi bisa berimajinasi dan menerka-nerka apa yang ada di balik busana itu. Bahkan hingga saat ini, William masih bisa mengin
Yeay!!! 🎉🎉Cerita “Wanita Incaran CEO Arogan” akhirnya sampai di penghujung juga. Ini merupakan cerita pertama saya dalam bentuk novel. Gak nyangka bakal bisa sepanjang ini, bahkan sampai dua season. Biasanya pendek-pendek. 😄Perjalanan yang panjang dan gak selalu mulus, tapi menyenangkan 😄. Sudah sama aja kayak lika-liku kisah cintanya William dan Debby yang gak selalu mulus tapi happy ending ... eaakkk ....Saya pribadi sangat menikmati proses penulisan kisah cinta William dan Debby ini. Meskipun sudah dibuat outline-nya, beberapa kali muncul ide secara tiba-tiba di tengah-tengah saya tengah mengetik yang belum terpikirkan sebelumnya saat membuat outline. Adegan-adegan tersebut memang diperlukan, tapi waktu bikin outline masih belum ada bayangan nanti adegannya bakal seperti apa. Ups, buka kartu deh! 🤭😁Tak lupa saya ucapkan terima kasih buat para pembaca yang baik hati, yang sudah bersedia mampir ke lapak saya, dan terutama yang sudah memberikan gem buat William dan Debby. Ter
“Sssh! Jangan nangis, Sayang.” William buru-buru menenangkan si sulung. Ini bukan kali pertama si sulung merengek minta adik bayi di perut maminya perempuan. “Laki-laki apa perempuan sama aja, Sayang. Di mata Papi sama Mami, kalian semua anak-anak kesayangan Papi sama Mami. Gak ada yang dibeda-bedain.” William juga meminta anak lelakinya untuk mendekat.“Cici juga harus sayang sama dedek bayi yang masih ada di perut Mami, sama seperti Cici sayang sama Dedek Ello. Cici sayang ‘kan sama Dedek Ello?”“Sayang, Pi.”“Nah, kalau gitu, jangan bilang kayak tadi lagi, ya. Kalau gak, Dedek bayinya nanti sedih, lo. Apa Cici senang kalau Shelin bilang gak suka atau gak mau temanan lagi sama Cici di sekolah?”“Nggak senang. Tapi kalau dedek bayinya kayak Dedek Ello, nanti aku nggak punya teman di rumah, Pi,” rengek Grace lagi dengan bibir mungilnya maju beberapa senti.
Warning!!! Episode ini mengandung adegan dewasa yang mungkin tidak cocok atau membuat tidak nyaman bagi sebagian pembaca.Harap kebijakannya dalam membaca episode ini.*****Bukannya berhenti, sang istri justru berpindah ke titik sensitif lainnya.“Baby, please,” desis William lagi dengan gelisah.Tangannya kini mencengkeram pergelangan sang istri. “Koko gak mau sampai lepas kendali.”“Ssst! Kalau gitu, jangan ditahan-tahan, Ko. Aku sengaja kok mau kasih kompensasi buat Koko,” terang Debby sambil tangannya memainkan salah satu kepik tak bersayap milik William. “Jadi, Koko rileks aja. Serahkan semuanya sama aku. Aku bakal kasih servis yang memuaskan malam ini.”“Tunggu, tunggu! Kompensasi buat apa?” tanya William di antara giginya yang kembali bera
William menunggu sejenak hingga anak perempuannya memusatkan perhatian padanya.“Ya, Pi,” sahut Grace.“Cici bantuin Papi sama Mami jagain Dedek Ello sementara waktu, ya.”“Siap, Pi,” sahut Grace dengan antusias. Kepalanya manggut-manggut dengan cepat.“Anak pintar,” puji William sambil mengacungkan ibu jari. “Ya sudah, kalian bobo sekarang. Papi sama Mami sayang kalian. Peluk cium buat kalian berdua. Selamat bobo dan mimpi indah, malaikat-malaikat kecil kesayangannya Papi sama Mami.”“Oh, Tuhan! Aku sudah kangen sama anak-anak, Ko,” ucap Debby begitu panggilan video terputus.“Bukan cuma kamu aja, Baby,” timpal William. Sesaat, ia jadi teringat ketika siang tadi, ia dan sang istri mengantar anak-anak ke rumah ka
“Happy wedding anniversary, Baby!” ucap William dengan sangat mesra. Lelaki itu mencium punggung tangan sang istri dengan sangat lembut.Mereka baru saja selesai makan malam romantis yang sengaja disiapkan oleh William. Sayangnya, kebahagiaan William bercampur dengan rasa jengkel setiap kali ada pria yang memandang istrinya hingga dua kali. Tak ingin membagi pesona sang istri dengan orang lain, William pun buru-buru mengajak wanita itu untuk kembali ke kamar suite yang khusus dipesan untuk momen istimewa ini.William tak bosan-bosannya memandangi sang istri. Hingga detik ini, ia masih dan selalu saja terpukau dengan sosok sang istri yang tak banyak berubah selain bertambah cantik sejak ia menikahinya, apalagi malam ini. Berbalut busana malam warna merah menyala dengan bahu terbuka dan belahan gaun setinggi setengah paha yang menampilkan lekuk tubuh di tempat-tempat yang tep
“Koko kenapa? Masuk angin?” tanya Debby dengan panik. Wanita itu tahu-tahu sudah ada di sampingnya. Satu tangan memijat-mijat tengkuknya sementara tangan yang lain meraba keningnya.Perutnya kembali bergolak. Namun, William mencoba mengabaikannya. Tak berani membuka mulut, lelaki itu hanya bisa menggeleng sembari menghentikan apa pun niat Debby saat ini dengan isyarat tangan.Ketika Debby menyingkir, William sedikit merasa lega. Ia menghirup napas dalam-dalam sambil bertumpu pada dinding. William mengerutkan kening dengan perasaan tak enak.Setelah perutnya berhenti bergolak, William melangkah ke wastafel. Ia menatap sekilas pantulan dirinya di cermin, lalu membasuh wajahnya. Saat menegakkan tubuh, sang istri kembali muncul di sisinya dengan membawa botol minyak kayu putih.“Gak perlu, Baby. Koko gak apa-apa kok,&rdquo
“I love you too, Baby. My Love. My Wife. Now and forever,” sahut William dengan senyum mesra terpampang di wajah. Lelaki itu pun balas mencium Debby di beberapa titik di wajah.Setelah mendapatkan ciuman di kening, kedua pipi, dan bibir, Debby lantas menghirup napas dalam-dalam sambil memejamkan mata sejenak. Saat membuka mata, ada kebulatan tekad dan keberanian yang bersemayam di hati.“Aku percaya sama Koko. Kalau sikap Koko kayak gitu, mana mungkin aku tega membuat Koko berharap lama-lama. Aku nggak bakal minta Koko buat nunda kehamilan. Kalau Tuhan kasih kepercayaan itu sama kita sekarang, aku bakal menerima dan menjalaninya.”“Oh, Baby! Kamu serius? Kamu benar gak apa-apa?”Debby mengiyakan dengan mantap. Kepalanya ikut mengangguk untuk meyakinkan suaminya.&ldqu
Seringai jahil sang suami semakin lebar saja. Lelaki itu kemudian bertanya, “Apa kamu sadar, Baby, kalau nanti ada yang kebakaran lagi seperti dulu, sekarang sudah gak perlu bingung-bingung lagi buat cari pemadamnya?”“Ish! Koko ini, lo!” pekik Debby. Tangannya pun langsung mencubit daging terdekat.William sontak mengaduh kesakitan dan menggosok-gosok dada kirinya. “Astaga, Baby! Jarimu pedas juga, ya.”“Hmm! Siapa suruh godain terus?” rajuk Debby. Namun, sesaat kemudian Debby kembali berujar, “Tapi sori, ya, Ko, aku baru bisa kasih semalam.”“Hush! Kamu ini omong apaan sih! Setelah pemberkatan di gereja dan resepsi dengan segitu banyak tamu, kita kan sama-sama kecapaian, Baby. Kamu jangan omong gitu, ah. Meskipun Koko pengin, Koko juga gak mau ma
Warning!!! Episode ini mengandung adegan dewasa yang mungkin tidak cocok atau membuat tidak nyaman bagi sebagian pembaca.Harap kebijakannya dalam membaca episode ini.*****Selagi Debby menerka-nerka siapa sosok yang dengan lancang berani memanggil-manggil nama suaminya, tiba-tiba suara William yang terdengar parau menembus gendang telinga Debby. “Lepaskan, Baby. Lepaskan.”“Ko Billy!” jerit Debby putus asa. ‘Ah! Kenapa suara yang keluar sama dengan yang tadi? Apa tadi itu suaraku sendiri?’“Ya, Baby, ya. Ayo, jangan ditahan lagi. Koko pengin lihat kamu, Baby,” ucap William terus menyemangati.Tak ingin mengecewakan lelaki itu, Debby berusaha menuruti kata-katanya. Dengan sedikit takut, dorongan yang semula ia tahan-tahan kini ia biarkan lepas mengalir begitu sa