Setelah menunggu beberapa saat di depan salah satu lift, pintu kotak baja itu akhirnya terbuka. Debby segera masuk bersama dengan dua orang lainnya. Di dalam lift, Debby menyempatkan diri membalas pesan dari Fanny yang menyatakan kalau ia akan bertemu dengan calon klien potensial dan akan menghubungi Fanny setelah pertemuan selesai.
Sesudah membalas pesan, Debby kembali memasukkan ponselnya ke dalam tas. Netranya kemudian beralih menatap indikator lantai di atas panel tombol angka. Dalam perjalanan menuju lantai sepuluh, beberapa kali pintu lift membuka dan menutup.
Ketika pintu lift terbuka di lantai sepuluh, Debby segera melangkah keluar dari kotak baja yang membawanya ke lantai ini hanya dalam hitungan kurang dari dua menit. Mengikuti arahan yang diberikan Sonia tadi, Debby segera menjauhi lift ke sisi kiri. Di depan meja keempat—meja paling ujung, Debby menyapa seorang wanita muda yang tengah duduk membelakanginya.
“Selamat siang.”
Wanita yang tengah menanti kertas keluar dari mesin pencetak itu langsung menolehkan kepalanya dan menyahut, “Selamat siang. Ah, maaf, Anda tentu Ibu Debbora, bukan?” Sebuah senyum ramah menyertai pertanyaan sang sekretaris.
Debby membalas senyum tersebut sambil menganggukkan kepala. “Benar.”
“Kalau begitu, mari ikut saya,” pinta sang sekretaris yang memakai papan nama bertuliskan Astri. “Akan saya tunjukkan ruang pertemuan Anda dengan Bapak Anggoro.” Wanita itu bangkit berdiri dan berjalan mendahului Debby ke sisi lain ruangan.
Sesampainya di depan sebuah pintu kayu yang tertutup, wanita berpakaian modis di depannya membuka pintu tersebut dan melangkah ke dalam. Ia mempersilakan Debby untuk masuk sembari menunjuk salah satu kursi. “Silakan duduk dulu dan mohon tunggu sebentar, saya akan memberi tahu Bapak Anggoro kalau Ibu sudah di sini.”
“Baik, terima kasih.”
Begitu pintu tertutup di belakangnya, Debby menarik kursi yang tadi ditunjuk oleh Astri seraya mengedarkan pandangan sekilas ke seantero ruangan. Sebuah ruang pertemuan kecil yang hanya mampu menampung lima hingga enam orang. Sebuah layar proyektor yang saat ini dalam posisi tergulung tergantung di salah satu dinding terjauh dari pintu. Di ujung meja terdekat dengan layar, berdiam sebuah proyektor dalam keadaan mati. Sementara di salah satu sudut lain, di seberang pintu, berdiri sebuah pot bulat berwarna gelap dengan tanaman hijau artifisial sebagai pemanis ruangan.
Setelah mengedarkan pandangan sekilas, Debby mengeluarkan berkas portofolio yang sudah ia persiapkan sehari sebelumnya dari dalam tas laptop, berikut laptop dan buku catatan serta alat tulis. Sebelum ada kesepakatan bisnis yang jelas, Debby selalu menganggap prospek klien baru sebatas calon yang sewaktu-waktu bisa batal sebelum proyek dimulai. Namun demikian, ia selalu mempersiapkan segala sesuatunya secara mendetail. Ia tetap membuat bahan untuk presentasi yang jelas dan rapi berikut salinannya dalam bentuk cetak.
Ketika Debby tengah membuka-buka portofolionya sambil menunggu, pintu ruangan terbuka diikuti dengan masuknya seorang pria paruh baya berpakaian necis. Di belakangnya, menyusul sang sekretaris yang membawa berkas dan buku catatan sembari menutup pintu. Debby segera meletakkan portofolionya dan bangkit berdiri.
“Selamat siang, Ibu Debbora. Anda benar-benar tepat waktu,” puji pria paruh baya tersebut seraya menghampiri Debby dan mengulurkan tangan. Seulas senyum lebar menghiasi wajahnya yang bulat. “Saya Anggoro.”
“Selamat siang juga, Pak. Saya rasa itu sudah seharusnya, Pak. Janji adalah utang,” timpal Debby seraya memberikan senyum balasan seperlunya, “dan panggil saya Debby saja, Pak.”
Anggoro tertawa puas. “Bagus, bagus! Mari, silakan duduk!”
“Nah, seperti yang sudah saya sampaikan sebelumnya melalui telepon, kami mendapatkan rekomendasi nama Anda dari Pak Widodo dan Ibu Melani. Omong-omong, saya sudah kenal mereka sejak lama. Mereka sangat puas dengan hasil kerja Anda. Menurut penuturan mereka masing-masing, bisnis mereka sekarang maju pesat dengan branding yang Anda buat,” tutur Anggoro seraya kembali tersenyum begitu kami menduduki kursi masing-masing. Anggoro menempati posisi kepala meja, sedangkan Debby dan sang sekretaris menempati kursi di sisi kiri dan kanannya.
“Ah, itu bukan semata-mata karena saya, Pak. Saya hanya membantu sebagian,” sahut Debby sembari tersenyum kecil.
Anggoro spontan tertawa lepas. “Anda sungguh merendah. Baiklah, saya percaya pada mereka. Jadi, bisakah kita memulainya sekarang?” tanya Anggoro lebih lanjut.
“Baik, Pak. Ah, ini portofolio yang sudah saya siapkan, Pak, mungkin Bapak ingin melihat lebih jauh,” ujar Debby seraya mengangsurkan portofolionya.
“Ah, itu tidak perlu! Seperti yang saya bilang tadi, saya percaya sama penilaian Pak Widodo dan Bu Melani,” tolak Anggoro. Namun demikian, diambilnya juga portofolio tersebut dan dibaliknya lembaran demi lembaran dengan perlahan-lahan. Kepalanya mengangguk-angguk sambil tersenyum puas. “Memang mereka tidak salah,” tambahnya kemudian.
Tatapannya kini tertuju pada Debby yang sabar menanti. “Kalau dilihat dari portofolio ini,” ujar Anggoro sambil menunduk sekilas dan mengetuk-ngetuk berkas portofolio yang masih dipegangnya di tangan kiri dengan jari telunjuknya yang lain, “sepertinya jam terbang Anda sudah tinggi, ya?”
Belum sempat Debby menyahut, Anggoro sudah kembali berbicara. “Baiklah. Jadi begini, kami memiliki beberapa produk wewangian baru yang akan dirilis beberapa bulan mendatang. Karena satu dan lain hal, untuk sementara ini kami membutuhkan jasa profesional dari luar dan kami mendapatkan nama Anda. Kami berharap Debby bisa bergabung dengan tim kami untuk menyukseskan acara peluncuran tersebut dengan membuat brand bagi produk-produk tersebut berikut alat-alat promosinya,” tutur Anggoro mulai menjelaskan pekerjaan yang akan dikerjakan oleh Debby nantinya.
Pertemuan berjalan kurang lebih satu setengah jam. Selama pertemuan itu, Debby banyak mendengarkan dan mencatat semua permintaan dan detail-detail pekerjaan di laptop dan sebagian corat-coret gambar di buku catatannya. Beberapa kali, Debby memberikan masukan atau menanyakan sesuatu yang masih belum jelas. Debby diberi waktu dua minggu untuk mempelajari data-data yang ada dan memberikan rancangan kasar seluruh pekerjaan.
“Jika nanti masih ada data yang diperlukan, jangan sungkan hubungi saya. Begitu pula sebaliknya, jika ada tambahan yang diperlukan, saya akan menghubungi Debby. Tapi saya harap data yang ada pada Debby sekarang ini sudah mencakup semuanya,” kata Anggoro mengakhiri pertemuan.
“Baik, Pak,” jawab Debby sambil membereskan berkas-berkas dan laptop yang ada di hadapannya.
“Oke.” Anggoro bangkit dari kursinya yang langsung diikuti oleh Debby. Sekretaris Anggoro yang selama pertemuan ikut mencatat dan membantu memberikan data-data yang dibutuhkan pun ikut bangkit.
“Saya rasa pertemuan siang ini cukup sekian dulu. Terima kasih untuk waktunya, ya.” Anggoro mengulurkan tangan kanannya sambil tersenyum ramah.
Debby membalas senyum tersebut dan menyambut uluran tangan Anggoro. “Baik, Pak. Kalau begitu, saya pamit undur diri dulu. Terima kasih untuk kerja samanya, Pak.” Tak lupa Debby juga menyalami sekretaris Anggoro.
“Silakan,” sahut Anggoro sambil menunjuk pintu dengan telapak tangan kanan menghadap ke atas.
Debby meninggalkan lantai sepuluh dengan hati ringan. Ia senang bisa mendapatkan klien baru dan akan terlibat dalam persiapan peluncuran produk baru. Otaknya sudah membayangkan apa saja yang akan ia buat setibanya di rumah nanti.
Dengan tak sabar, Debby menukar kartu tanda pengenal tamu yang tadi dikenakannya dengan kartu tanda pengenalnya sendiri. Ketika hendak menyimpan kartu identitasnya ke dalam dompet, dari ekor matanya, Debby sempat menangkap pergerakan seseorang. Ia lantas melirik sekilas pada sosok yang tengah melangkah ke arahnya itu.
William baru saja keluar dari lift khusus direksi yang berada di lorong sebelah kiri lobi ketika matanya menangkap sosok wanita yang terasa tidak asing. Wanita itu tengah berjalan menuju meja resepsionis. Mata William terus mengamati gerak-gerik si wanita sementara telinganya sudah tak mendengarkan lagi obrolan sekretaris di sampingnya yang sekaligus juga merupakan sahabat dekatnya itu. “Eh, kamu duluan aja, Leon. Nanti aku menyusul,” ucap William tanpa memandang Leon, sang sekretaris. “Ha? Apa? Memangnya ada apa?” tanya Leon dengan raut bingung. “Sudah sana! Tunggu aja di mobil. Nih, kuncinya. Aku ada urusan sebentar,” usir William dengan enteng sembari mengulurkan kunci mobil di hadapan Leon. “Astaga! Kamu ini!” Leon meninju bahu William sebelum menyambar kunci itu. “Mentang-mentang aku ini bawahan sekaligus sahabat baikmu, kamu main usir aku gitu aja?” “Ck,” decak William tak sabar sambil melirik Leon dengan tajam. Mereka sudah hampir mencapai meja resepsionis. “Baiklah, baik
Lamunan William sedikit buyar ketika panggilan Leon sampai ke gendang telinganya. “Hmm?” Meskipun demikian, William masih belum fokus menanggapi sahabatnya. ‘Sepertinya aku harus mengeceknya nanti.’ “Barusan kamu ngomong apa sih? Apa ada masalah?” tanya Leon. “Sudah kuperhatikan dari tadi, kamu itu kayak lagi nggak di sini pikirannya. Melamun terus dari tadi, bahkan dari mobil mulai bergerak, lo. Ada apa sih?” William mendesah sebelum menjawab, “Gak ada apa-apa.” “Nggak ada apa-apa, tapi kenapa mendesah gitu? Kayak yang lagi berbeban berat aja,” seloroh Leon. “Yang harusnya berbeban berat tuh aku. Kamu kasih kerjaan nggak tanggung-tanggung,” imbuhnya kemudian disusul dengan kekehan pelan. “Ck! Apa kamu mau makan gaji buta? Kalau gitu, bulan ini potong gaji, oke?” “Buset! Calm down, Bos! Aku cuma bercanda,” dalih Leon. Setelah jeda sesaat, suara Leon kembali mengisi kabin mobil di tengah-tengah alunan instrumen yang masih diputar. “Hari ini kamu kenapa sih? Benar-benar di luar k
“Ko Niel?” celetuk Fanny ketika melihat siapa yang menghampiri meja mereka. Sedetik kemudian senyum lebar tersungging di bibirnya. “Sendirian aja, Ko?” tanya Fanny lebih lanjut. Debby hanya melirik sekilas dari samping. Merasa tidak mengenal sosok yang baru saja menghampiri mereka, Debby tak memedulikan lagi pria tersebut. Tak ingin mengganggu interaksi antara sahabatnya dengan pria itu, Debby memutuskan untuk membuka ponselnya. Ia sempat melirik sekilas pada sahabatnya yang masih tersenyum ceria. “Enggak. Tuh, sama mereka.” Indra pendengaran Debby menangkap suara berat pria itu yang menjawab pertanyaan Fanny. “Halo, Debby.” Tiba-tiba suara berat itu beralih padanya. “Kita ketemu lagi nih.” Debby yang tengah menunduk menekuri layar ponselnya, terperanjat. “Eh, iya,” sahut Debby tergagap. Dirinya tak menyangka akan disapa. ‘Dari mana dia tahu namaku? Apa kami pernah ketemu sebelumnya?’ Benak Debby diliputi keheranan. Melalui tatapan mata sipitnya, Debby bertanya pada Fanny, tetapi
“Aku kayaknya nggak asing sama salah satu dari mereka,” cetus Leon kemudian. “Pernah lihat di mana, ya? Oh iya, di lobi tadi, ya? Benar, ‘kan?” William hanya melirik sekilas ke arah sahabatnya tanpa menghiraukan reaksi maupun pertanyaan pria itu. Pandangannya kembali terarah pada si Wanita Es. William yang tak sempat memperhatikan wanita itu dengan saksama saat di lobi tadi, kali ini bisa memuaskan mata memandangi si Wanita Es. Sekarang ia bisa memperhatikan dari ujung kepala hingga ujung kaki meski bukan dari jarak yang sangat dekat. Tubuhnya tinggi semampai. Cara berjalannya tegap dan penuh percaya diri, bukan berlenggak-lenggok bak kucing berjalan. Langkah kakinya kecil dengan sedikit goyangan pada pinggul. Busana yang dikenakan pun tak seperti kulit kedua yang menempel ketat di tubuhnya. Namun, hal itu justru menambah daya tarik tersendiri bagi William. Ia jadi bisa berimajinasi dan menerka-nerka apa yang ada di balik busana itu. Bahkan hingga saat ini, William masih bisa mengin
“Siapa sih mereka sebetulnya? Kalian kenal di mana? Sudah berapa lama kalian saling kenal? Bukankah yang bernama Debby itu yang tadi ada di meja resepsionis? Yang membuatku terusir? Yang kamu pandangi terus tadi? Apa kamu tertarik padanya? Wah, wah, wah … ini benar-benar pemandangan langka. Aku belum pernah lihat kamu kayak gini sebelumnya. Ck, ck, ck ….” Rasa ingin tahu Leon yang menggunung berubah menjadi rasa geli ketika mengingat tingkah sahabatnya itu beberapa saat yang lalu. Senyum miring tercetak di bibir merah muda milik pria berwajah oriental itu. Kepalanya pun tak mau ketinggalan ikut menggeleng-geleng kecil, menegaskan kalau pernyataan terakhirnya tadi benar-benar di luar kebiasaan William. “Astaga, mulutmu itu!” Mata William membeliak. “Kamu ini laki-laki apa perempuan sih? Cerewetnya melebihi Mami,” keluh William tanpa menjawab satu pun pertanyaan dari Leon. Bukannya tersinggung, Leon justru tergelak mendengar keluhan William. “Aku ini kan sahabatmu, Will. Masa kamu ngg
Dari ekor matanya, Fanny melihat Niel membungkuk ke arah meja rendah di tengah ruang duduk. Ia hanya tertawa keras tanpa mengomentari. Perhatiannya sudah kembali beralih pada isi lemari pendingin di hadapannya. “Mau jus buah apa minuman soda, Ko?” “Jus buah aja.” “Oke,” sahut Fanny yang langsung mengeluarkan kotak karton berisi sari buah jeruk dari dalam lemari pendingin. Ia kemudian mengambil dua buah gelas tinggi dan menuang sebagian isi kotak ke dalam gelas. Selagi menuang cairan berwarna kuning tersebut, tiba-tiba Niel muncul di sampingnya. “Kamu masih punya ini, Fan?” tanya lelaki itu sembari menunjukkan bungkus kosong crackers asin ke hadapannya. Lengan kanannya yang terulur memperlihatkan tato harimau tengah berjalan dan mengaum di antara pergelangan tangan bagian dalam hingga beberapa sentimeter sebelum lipatan siku. Setelah melirik sekilas crackers yang dimaksud oleh Niel, Fanny yang tingginya terpaut lima belas sentimeter dengan lelaki itu harus mendongak saat menatap wa
Indra pendengaran Fanny tiba-tiba menangkap suara gelas kaca membentur meja kayu yang datangnya seperti dari kejauhan. Wanita itu hanya diam membeku menatap nanar ke arah Niel. Lelaki itu menoleh ke belakang dengan cepat, lalu memelesat ke arah Fanny. “Ya ampun, Fan! Kok bisa jatuh sih? Awas! Gelasnya menggelinding!” seru Niel. Fanny yang sesaat merasa bagai tersihir akhirnya gelagapan dan menunduk ke arah meja makan. “Eh, ini terlepas gitu aja dari tanganku. Gelasnya licin, Ko.” Dengan sigap, pria bermata sipit itu berhasil menangkap gelas kaca yang baru saja terjun bebas sebelum mencapai lantai. Namun, tumpahan sari buah jeruk di atas meja sudah mengucur dan menetes-netes ke permukaan granit di sekitar kaki Fanny. Niel pun meletakkan gelas itu kembali ke atas meja. Lelaki itu bahkan sempat berseru kepada Fanny untuk berhati-hati, tetapi terlambat. Fanny yang berputar dengan cepat dan hendak berlalu untuk mengambil tongkat pel justru hilang keseimbangan ketika salah satu kakin
Begitu pintu menutup di belakangnya, Niel berbalik sebentar untuk menatap lurus-lurus ke arah pintu. Dengan menghela napas panjang, Niel mengacak-acak rambutnya sendiri dan berbalik dengan cepat menuju mobilnya terparkir. Sesampainya di dalam mobil SUV warna hitam, Niel tak kunjung menyalakan mesin, hanya duduk berdiam diri. Beberapa detik kemudian, keningnya diletakkan di atas kedua punggung tangan yang tengah memegang kemudi mobil di bagian atas. Sesekali, keningnya dibentur-benturkan dengan pelan ke punggung tangan yang berada di bawahnya. “Apa yang ada di dalam otakmu, Niel?” geramnya pada diri sendiri. “Fanny itu sudah kayak adikmu sendiri!” kecamnya lagi beberapa saat kemudian. Bayangan mereka berdua yang setengah berpelukan kembali muncul dalam kepalanya. Sejak tadi, bayangan tersebut tak mau menghilang dari isi kepalanya, selalu kembali setiap kali pikirannya kehilangan fokus. Selama ini, tak tebersit satu kali pun dalam otaknya kalau Fanny sekarang telah menjelma menjadi w
Warning!!! Episode ini mengandung adegan dewasa yang mungkin tidak cocok atau membuat tidak nyaman bagi sebagian pembaca.Harap kebijakannya dalam membaca episode ini.*****Bukannya berhenti, sang istri justru berpindah ke titik sensitif lainnya.“Baby, please,” desis William lagi dengan gelisah.Tangannya kini mencengkeram pergelangan sang istri. “Koko gak mau sampai lepas kendali.”“Ssst! Kalau gitu, jangan ditahan-tahan, Ko. Aku sengaja kok mau kasih kompensasi buat Koko,” terang Debby sambil tangannya memainkan salah satu kepik tak bersayap milik William. “Jadi, Koko rileks aja. Serahkan semuanya sama aku. Aku bakal kasih servis yang memuaskan malam ini.”“Tunggu, tunggu! Kompensasi buat apa?” tanya William di antara giginya yang kembali bera
William menunggu sejenak hingga anak perempuannya memusatkan perhatian padanya.“Ya, Pi,” sahut Grace.“Cici bantuin Papi sama Mami jagain Dedek Ello sementara waktu, ya.”“Siap, Pi,” sahut Grace dengan antusias. Kepalanya manggut-manggut dengan cepat.“Anak pintar,” puji William sambil mengacungkan ibu jari. “Ya sudah, kalian bobo sekarang. Papi sama Mami sayang kalian. Peluk cium buat kalian berdua. Selamat bobo dan mimpi indah, malaikat-malaikat kecil kesayangannya Papi sama Mami.”“Oh, Tuhan! Aku sudah kangen sama anak-anak, Ko,” ucap Debby begitu panggilan video terputus.“Bukan cuma kamu aja, Baby,” timpal William. Sesaat, ia jadi teringat ketika siang tadi, ia dan sang istri mengantar anak-anak ke rumah ka
“Happy wedding anniversary, Baby!” ucap William dengan sangat mesra. Lelaki itu mencium punggung tangan sang istri dengan sangat lembut.Mereka baru saja selesai makan malam romantis yang sengaja disiapkan oleh William. Sayangnya, kebahagiaan William bercampur dengan rasa jengkel setiap kali ada pria yang memandang istrinya hingga dua kali. Tak ingin membagi pesona sang istri dengan orang lain, William pun buru-buru mengajak wanita itu untuk kembali ke kamar suite yang khusus dipesan untuk momen istimewa ini.William tak bosan-bosannya memandangi sang istri. Hingga detik ini, ia masih dan selalu saja terpukau dengan sosok sang istri yang tak banyak berubah selain bertambah cantik sejak ia menikahinya, apalagi malam ini. Berbalut busana malam warna merah menyala dengan bahu terbuka dan belahan gaun setinggi setengah paha yang menampilkan lekuk tubuh di tempat-tempat yang tep
“Koko kenapa? Masuk angin?” tanya Debby dengan panik. Wanita itu tahu-tahu sudah ada di sampingnya. Satu tangan memijat-mijat tengkuknya sementara tangan yang lain meraba keningnya.Perutnya kembali bergolak. Namun, William mencoba mengabaikannya. Tak berani membuka mulut, lelaki itu hanya bisa menggeleng sembari menghentikan apa pun niat Debby saat ini dengan isyarat tangan.Ketika Debby menyingkir, William sedikit merasa lega. Ia menghirup napas dalam-dalam sambil bertumpu pada dinding. William mengerutkan kening dengan perasaan tak enak.Setelah perutnya berhenti bergolak, William melangkah ke wastafel. Ia menatap sekilas pantulan dirinya di cermin, lalu membasuh wajahnya. Saat menegakkan tubuh, sang istri kembali muncul di sisinya dengan membawa botol minyak kayu putih.“Gak perlu, Baby. Koko gak apa-apa kok,&rdquo
“I love you too, Baby. My Love. My Wife. Now and forever,” sahut William dengan senyum mesra terpampang di wajah. Lelaki itu pun balas mencium Debby di beberapa titik di wajah.Setelah mendapatkan ciuman di kening, kedua pipi, dan bibir, Debby lantas menghirup napas dalam-dalam sambil memejamkan mata sejenak. Saat membuka mata, ada kebulatan tekad dan keberanian yang bersemayam di hati.“Aku percaya sama Koko. Kalau sikap Koko kayak gitu, mana mungkin aku tega membuat Koko berharap lama-lama. Aku nggak bakal minta Koko buat nunda kehamilan. Kalau Tuhan kasih kepercayaan itu sama kita sekarang, aku bakal menerima dan menjalaninya.”“Oh, Baby! Kamu serius? Kamu benar gak apa-apa?”Debby mengiyakan dengan mantap. Kepalanya ikut mengangguk untuk meyakinkan suaminya.&ldqu
Seringai jahil sang suami semakin lebar saja. Lelaki itu kemudian bertanya, “Apa kamu sadar, Baby, kalau nanti ada yang kebakaran lagi seperti dulu, sekarang sudah gak perlu bingung-bingung lagi buat cari pemadamnya?”“Ish! Koko ini, lo!” pekik Debby. Tangannya pun langsung mencubit daging terdekat.William sontak mengaduh kesakitan dan menggosok-gosok dada kirinya. “Astaga, Baby! Jarimu pedas juga, ya.”“Hmm! Siapa suruh godain terus?” rajuk Debby. Namun, sesaat kemudian Debby kembali berujar, “Tapi sori, ya, Ko, aku baru bisa kasih semalam.”“Hush! Kamu ini omong apaan sih! Setelah pemberkatan di gereja dan resepsi dengan segitu banyak tamu, kita kan sama-sama kecapaian, Baby. Kamu jangan omong gitu, ah. Meskipun Koko pengin, Koko juga gak mau ma
Warning!!! Episode ini mengandung adegan dewasa yang mungkin tidak cocok atau membuat tidak nyaman bagi sebagian pembaca.Harap kebijakannya dalam membaca episode ini.*****Selagi Debby menerka-nerka siapa sosok yang dengan lancang berani memanggil-manggil nama suaminya, tiba-tiba suara William yang terdengar parau menembus gendang telinga Debby. “Lepaskan, Baby. Lepaskan.”“Ko Billy!” jerit Debby putus asa. ‘Ah! Kenapa suara yang keluar sama dengan yang tadi? Apa tadi itu suaraku sendiri?’“Ya, Baby, ya. Ayo, jangan ditahan lagi. Koko pengin lihat kamu, Baby,” ucap William terus menyemangati.Tak ingin mengecewakan lelaki itu, Debby berusaha menuruti kata-katanya. Dengan sedikit takut, dorongan yang semula ia tahan-tahan kini ia biarkan lepas mengalir begitu sa
Warning!!! Episode ini mengandung adegan dewasa yang mungkin tidak cocok atau membuat tidak nyaman bagi sebagian pembaca.Harap kebijakannya dalam membaca episode ini.*****“Umm!” gumam Debby sambil menggeliat. Namun, jerit tertahan langsung menyusul detik berikutnya. Tubuh wanita itu langsung mematung kaku. Kelopak mata tanpa lipatan yang semula susah dibuka seperti habis diberi lem pun langsung terbuka lebar-lebar.Kerutan halus muncul tak lama kemudian di antara kedua alis hitam melengkungnya. Saat Debby mencoba untuk kembali meregangkan tubuh, suara desisan panjang langsung meluncur dari bibirnya. Otaknya pun langsung menggali ingatan.“Oh, Tuhan!” seru Debby begitu berhasil mengumpulkan semua memori tentang semalam. Ia langsung menarik selimut hingga menutupi seluruh wajahnya yang kini terasa panas.Suara kekehan maskuli
Jantung William tak bisa berhenti berdebar kencang. Meskipun ia sudah mengatur napas sedemikian rupa, tetap saja jantungnya masih bertingkah dengan brutal. Keempat jari tangan kanannya pun tak berhenti berderap di atas meja. Sebentar-sebentar netra sipitnya melirik arlojinya.“Ya, Tuhan! Kenapa kamu belum sampai juga, Baby?” desah William untuk ke sekian kalinya sejak lima menit yang lalu.Selain melirik arloji, lelaki itu juga berkali-kali menatap ke arah pintu. Pemandangan 360 derajat di sekelilingnya yang menampilkan gemerlap lampu ibu kota dari atap gedung tak mampu mengalihkan perhatian William.“Ya, Tuhan! Kalau tahu akan seperti ini, Koko gak akan mau menuruti permintaanmu tadi, Baby. Argh! Kenapa kamu gak mau Koko jemput aja sih?” gerutu William.Setelah gelisah hingga lima menit kemudian, akhirnya sosok yang dinanti-nanti tiba juga. William buru-buru bangkit berdiri sambil tersenyum semringah meski langsung berusaha ia redam. Ia masih tak tahu pasti apa yang akan terjadi malam