Dari ekor matanya, Fanny melihat Niel membungkuk ke arah meja rendah di tengah ruang duduk. Ia hanya tertawa keras tanpa mengomentari. Perhatiannya sudah kembali beralih pada isi lemari pendingin di hadapannya. “Mau jus buah apa minuman soda, Ko?” “Jus buah aja.” “Oke,” sahut Fanny yang langsung mengeluarkan kotak karton berisi sari buah jeruk dari dalam lemari pendingin. Ia kemudian mengambil dua buah gelas tinggi dan menuang sebagian isi kotak ke dalam gelas. Selagi menuang cairan berwarna kuning tersebut, tiba-tiba Niel muncul di sampingnya. “Kamu masih punya ini, Fan?” tanya lelaki itu sembari menunjukkan bungkus kosong crackers asin ke hadapannya. Lengan kanannya yang terulur memperlihatkan tato harimau tengah berjalan dan mengaum di antara pergelangan tangan bagian dalam hingga beberapa sentimeter sebelum lipatan siku. Setelah melirik sekilas crackers yang dimaksud oleh Niel, Fanny yang tingginya terpaut lima belas sentimeter dengan lelaki itu harus mendongak saat menatap wa
Indra pendengaran Fanny tiba-tiba menangkap suara gelas kaca membentur meja kayu yang datangnya seperti dari kejauhan. Wanita itu hanya diam membeku menatap nanar ke arah Niel. Lelaki itu menoleh ke belakang dengan cepat, lalu memelesat ke arah Fanny. “Ya ampun, Fan! Kok bisa jatuh sih? Awas! Gelasnya menggelinding!” seru Niel. Fanny yang sesaat merasa bagai tersihir akhirnya gelagapan dan menunduk ke arah meja makan. “Eh, ini terlepas gitu aja dari tanganku. Gelasnya licin, Ko.” Dengan sigap, pria bermata sipit itu berhasil menangkap gelas kaca yang baru saja terjun bebas sebelum mencapai lantai. Namun, tumpahan sari buah jeruk di atas meja sudah mengucur dan menetes-netes ke permukaan granit di sekitar kaki Fanny. Niel pun meletakkan gelas itu kembali ke atas meja. Lelaki itu bahkan sempat berseru kepada Fanny untuk berhati-hati, tetapi terlambat. Fanny yang berputar dengan cepat dan hendak berlalu untuk mengambil tongkat pel justru hilang keseimbangan ketika salah satu kakin
Begitu pintu menutup di belakangnya, Niel berbalik sebentar untuk menatap lurus-lurus ke arah pintu. Dengan menghela napas panjang, Niel mengacak-acak rambutnya sendiri dan berbalik dengan cepat menuju mobilnya terparkir. Sesampainya di dalam mobil SUV warna hitam, Niel tak kunjung menyalakan mesin, hanya duduk berdiam diri. Beberapa detik kemudian, keningnya diletakkan di atas kedua punggung tangan yang tengah memegang kemudi mobil di bagian atas. Sesekali, keningnya dibentur-benturkan dengan pelan ke punggung tangan yang berada di bawahnya. “Apa yang ada di dalam otakmu, Niel?” geramnya pada diri sendiri. “Fanny itu sudah kayak adikmu sendiri!” kecamnya lagi beberapa saat kemudian. Bayangan mereka berdua yang setengah berpelukan kembali muncul dalam kepalanya. Sejak tadi, bayangan tersebut tak mau menghilang dari isi kepalanya, selalu kembali setiap kali pikirannya kehilangan fokus. Selama ini, tak tebersit satu kali pun dalam otaknya kalau Fanny sekarang telah menjelma menjadi w
Sudah hampir tiga tahun ini, Debby menempati rumah modern minimalis berukuran sedang yang dibeli dari hasil keringatnya sendiri. Salah satu ruangan di dalam rumah yang didominasi warna putih dan cokelat itu telah ia sulap menjadi ruang kerja yang nyaman. Meskipun bekerja sebagai desainer grafis lepas, Debby tetap menerapkan aturan kerja yang jelas bagi dirinya sendiri. Hari Minggu atau hari libur menjadi me time bagi wanita yang memiliki tubuh dengan lekukan-lekukan yang pas di tempat-tempat yang tepat itu untuk melakukan hal-hal yang disukainya. Waktu libur selalu dimanfaatkan oleh Debby dengan sebaik-baiknya. Kadang kala, ia memanjakan diri sendiri dengan perawatan-perawatan tubuh dari ujung kepala hingga ujung kaki yang bisa dilakukan sendiri di rumah. Di lain waktu, ia akan menyalurkan hobinya membuat kue atau sekadar bersih-bersih rumah. Wanita berparas oriental itu selalu berusaha menjauhkan pekerjaan dari otaknya ketika ia sedang berlibur. Pada suatu Minggu sore, Debby sedang
Malam itu, Debby memutuskan untuk membawa Fanny pulang ke rumahnya. Fanny yang juga hidup sendiri pasti tidak bisa mengurus dirinya sendiri jika diantar pulang ke apartemennya. Setelah Fanny bangun keesokan paginya, Debby memberinya yoghurt yang ia campur dengan potongan buah segar dan kacang-kacangan untuk mengusir efek mabuk. Begitu isi mangkuk pindah ke dalam perut Fanny hingga tandas tak bersisa, Debby langsung mengomelinya panjang lebar. Ia mengingatkan bahaya yang mungkin saja bisa menimpa Fanny malam itu. Fanny yang sepertinya menyadari kekhawatiran Debby, berusaha meredakan emosinya. Kedua tangannya memeluk ringan pinggang Debby dari samping dengan manja. Kepalanya disandarkan di bahu kanan Debby. “Maafkan aku, Deb, sudah bikin kamu khawatir. Aku nggak menyangka kalau reaksimu bakal kayak gini. Kukira selama ini kamu cuma basa-basi,” ujar Fanny yang langsung mendapatkan sentilan keras di dahi. “Aww!” Satu tangan Fanny langsung mengusap-usap dahinya yang mulai memerah. “Sial
Melihat Fanny tancap gas membuat Debby bergegas kembali masuk ke dalam rumah. Tanpa pikir panjang, Debby berniat menyusul Fanny ke apartemennya. Tak ingin membuang-buang waktu dengan mengganti pakaian, Debby hanya menyambar jaket untuk menutupi kaus tanpa lengannya dan meraup kunci mobil beserta dompet dari atas meja kecil di samping tempat tidurnya. Ia pun berlari untuk menyambar ponsel di atas meja bar. Larinya tak berhenti hingga ia mengunci pintu depan rumah. Dengan tergesa-gesa, wanita berparas cantik itu lalu membuka pagar lipat, menyalakan mesin mobil dan keluar rumah dalam hitungan detik. “Sial, sial, sial! Baru kali ini aku merasa direpotkan sama pintu pagar!” Debby tak henti-hentinya menggerutu karena ia harus turun lagi dari mobil hanya untuk menutup pintu pagar dan menguncinya. Namun, begitu pantatnya menyentuh bantalan jok mobil, Debby langsung tancap gas. Merasa yakin jika Fanny kembali ke apartemennya, Debby tak memedulikan hal lainnya lagi selain segera sampai ke apa
Rupanya butuh waktu lama bagi Leon untuk mengumpulkan semua berkas pelamar yang diminta William. Hingga waktu pulang kantor tiba, lelaki itu belum juga memunculkan batang hidungnya di ruangan sang CEO. Tak sabar menanti, William berencana untuk menyusul Leon ke bagian HRD begitu pekerjaan yang sedang ia tangani saat ini selesai dikerjakan. Namun, belum juga sepuluh menit berlalu, pintu ruangannya sudah keburu diketuk dari luar, disusul dengan munculnya wajah Leon dari balik pintu. Kedua tangannya memegang setumpuk berkas. Tanpa menutup pintu, Leon berjalan menuju meja kerja William. “Ini belum semuanya, Will, baru sebagian dari berkas pelamar yang nggak lolos seleksi. Aku nggak tahu apa tujuanmu meminta semua berkas pelamar ini. Jadi, kupikir lebih baik kubawa dulu berkas-berkas yang sudah diseleksi biar nggak mengganggu pekerjaan mereka,” lapor Leon seraya meletakkan tumpukan berkas tersebut di tepi meja kerja William yang kosong. “Sisanya akan menyusul besok.” “Hmm, bagus! Begitu
Sebuah mobil SUV cokelat gelap berhenti di jalur masuk sebuah rumah yang tampak tertutup rapat dari luar. Pagar tembok setinggi satu setengah meter lebih mengelilingi rumah di sisi kanan dan kiri, sedangkan di bagian depan tertutup oleh pagar tembok yang hanya memiliki celah-celah sempit dengan jarak tertentu. Pintu pagar lipatnya yang berbahan aluminium pun tampak tertutup rapat tanpa celah. Debby keluar dari mobil untuk membuka sebagian pintu pagar yang didominasi warna cokelat tua dan cokelat muda itu. Tiga daun pintu didesain supaya membuka ke sisi kiri dan tiga lainnya membuka ke sisi kanan. Secara berselang seling, masing-masing permukaan daun pintu berwarna cokelat muda tersebut memiliki motif pohon bambu dan garis-garis vertikal. Tak berselang lama, mobil pun meluncur mulus memasuki sebuah carport berlantai batu koral sikat dengan motif kotak-kotak. Atapnya yang berupa kanopi berbahan polikarbonat bening itu melindungi mobil SUV kesayangan Debby dari paparan sinar matahari la
“Apa maksudmu, Baby?!” tuntut William yang kaget setengah mati.Jantungnya langsung menggila mendengar keputusan sepihak yang meluncur dari bibir mungil sang kekasih. Hati William menolak keras untuk mencerna maksud yang terkandung di dalamnya. Namun, otaknya jelas-jelas menerima pesan tersebut dengan sangat gamblang. Seketika, otaknya dipenuhi dengan kata-kata keramat yang sangat dihindari oleh lelaki itu.William pun langsung menyambar tangan Debby yang keburu membelakanginya. Namun, sebelum tubuh kekasihnya berbalik sepenuhnya, William masih sempat melihat kekasihnya menutup mulut dan mendengar suara isakan lirih. William langsung mengernyit. Hatinya sedikit terusik dengan sikap dan omongan Debby yang lagi-lagi saling bertolak belakang di saat bersamaan.“Baby?” panggil William dengan lebih lembut saat wanita itu tetap me
William berusaha keras untuk tidak menyentuh wanita yang duduk di sampingnya—meski tak sedekat biasanya, apalagi saat wanita itu mengangguk tak mantap sambil menggigit bibir bawahnya.“Kurang lebih,” jawab Debby. “Aku sadar kalau aku selalu menghindar tiap kali Koko memintaku buat melangkah ke jenjang yang lebih serius. Kupikir aku bisa kayak gitu dulu buat sementara waktu. Tapi ternyata yang terakhir kemarin itu ....”Debby mengangkat bahu sambil tersenyum sendu sementara William agak terusik dengan sesuatu yang diucapkan kekasihnya. Ia pun menautkan kedua alisnya meski berusaha untuk tak menyela.“Aku nggak tahu apa yang terakhir itu yang paling parah,” lanjut Debby, “atau justru saking banyaknya Koko nimbun kekesalan jadi bikin Koko jaga jarak sama aku. Tapi apa pun itu, yang jelas aku mau minta maaf sama Koko soal ini. Bolak-balik aku selalu mengecewakan Koko. M
“Wow!” seru Debby yang masih takjub dengan kabar bahagia yang dibawa oleh sahabatnya. Ujung-ujung bibir Debby sudah terangkat sejak tadi.“Jadi, benar ini dari Ko Niel?” tanya Debby lagi sembari mencermati sebentuk cincin bermata berlian tunggal yang tersemat pada jari manis tangan Fanny.Wanita berambut sebahu itu sekarang sudah duduk di hadapannya. Namun, Debby belum melepas genggaman tangannya sejak dirinya melihat kilau sebuah cincin baru yang ia tahu belum pernah dikenakan oleh Fanny sebelumnya.Debby ikut berbahagia untuk Fanny yang senyumnya juga tak pernah lekang dari wajah perseginya sejak muncul di hadapan Debby. “Aku benar-benar ikut senang, Fan. Ya ampun. Selamat, ya, Say. Selamat. Omong-omong, kapan Ko Niel melamar?”“Uhm ... baru hari Sabtu kemarin sih,” ucap Fanny dengan pipi merona.
Di hadapan William, kini tersaji semangkuk bubur ayam tanpa kuah bumbu. Hanya ada bubur nasi yang sudah bercampur dengan potongan daging ayam dengan pugasan kulit pangsit goreng, irisan seledri, tongcai, dan cakwe. Kekasihnya bahkan juga menyediakan kecap asin di mangkuk terpisah yang ukurannya jauh lebih kecil.William kembali termangu sambil menatap sajian itu. Hatinya benar-benar terbelah dua. Ia merasa sangat bahagia sekaligus frustrasi. Baru kali ini, ia dilayani untuk sarapan sampai sedemikian rupa, apalagi oleh wanita yang sangat dicintai dan diinginkannya. Selain sosok sang mami tentu saja.“Kenapa cuma dilihat aja, Ko? Oh, astaga! Apa Koko nggak suka bubur ayam?”Suara merdu sang kekasih menyentak angan William. Ia gelagapan sesaat sebelum menimpali, “Oh, gak apa-apa kok, Baby. Siapa bilang Koko gak suka bubur ayam? Koko cuma lagi
William memang memutuskan untuk bersikap biasa saja sebelum mengetahui dengan pasti apa keinginan kekasihnya dari hubungan mereka ini. Namun, tetap saja lelaki itu tak bisa menahan ujung-ujung bibirnya yang mulai terangkat setelah mendengar pesan suara dari Debby. Ia pun melempar tubuhnya ke matras sambil terkekeh kecil.“Ya, Tuhan. Seperti ini nih yang bikin Koko gak bisa berpaling dari kamu, Baby. Bagaimana kelak Koko bisa hidup tanpamu?”Tiba-tiba ponselnya kembali berbunyi. Ada satu lagi pesan suara yang masuk dari kekasihnya.“Ko Billy? Koko baik-baik aja? Kenapa nggak ada respons, Ko? Aku tahu Koko sudah buka pesan suaraku. Jangan nakut-nakutin aku, Ko. Aku mencemaskan Koko. Kalau Koko butuh aku, bilang aja. Aku bakal menemani Koko. Aku sayang sama Koko.”Lagi-lagi William tak bisa menahan senyum. Namun, se
William terjun ke dalam air dan langsung menghilang di bawah permukaan air yang seketika bergolak seakan baru saja terjadi gempa bumi. Setelah satu-dua menit, tiba-tiba William kembali muncul ke permukaan dengan gerakan yang kembali mengentak keras. Permukaan air pun kembali berguncang sementara air memercik ke mana-mana saat kepala William menengadah ke langit malam dengan gerakan cepat.Bibir William langsung terbuka lebar dengan suara tarikan napas yang terdengar sangat jelas. Sejurus kemudian, dadanya bergerak naik turun dengan sangat cepat. Ia sengaja menahan napas selama berada di dalam air. Egonya tengah tertantang untuk menguji batas kemampuan dirinya.Tanpa mengambil jeda untuk menetralkan debar jantungnya yang masih menggila, William kembali masuk ke dalam air setelah menghirup napas dalam-dalam. Kali ini, ia meluncur dengan cepat seperti ikan di bawah permukaan air yang langs
Debby menatap sosok laki-laki yang pada suatu waktu dahulu sangat dikaguminya, tetapi juga sekaligus sosok yang menorehkan luka yang dalam di hatinya. Debby menghela napas sambil menautkan tangan pada jari jemari William.“Ko Yuyun,” panggil Debby dengan penuh kesabaran, “aku benar-benar sudah memaafkan Koko. Tapi tolong jangan buat aku menyesali keputusanku ini. Berhentilah meminta sesuatu yang sudah nggak bisa kuberikan lagi. Aku berusaha buat menghormati Koko lagi sekarang.“Tapi kalau Koko terus-terusan memaksa, jangan salahkan aku kalau aku akhirnya benar-benar kehilangan respek sama Koko. Hal yang bisa kuberi saat ini cuma maaf buat Koko, nggak lebih. Jadi, tolong mengertilah, Ko. Aku nggak mungkin balik lagi sama Koko.”Untuk sesaat, Yunan hanya menatap Debby lurus-lurus dengan bibir membentuk garis lurus. Lelaki berambut gondrong itu diam seribu bahasa, hany
Warning!!! Mengandung adegan kekerasan! Mohon bijak dalam menyikapi!*****Urat kendali diri William benar-benar sudah super tegang. Rasanya hanya butuh sentuhan ringan saja untuk memutus tali tak kasatmata itu. Ia bisa meledak kapan saja. William sampai ketakutan dengan dirinya sendiri. Ia seperti tak mengenali lagi sosoknya sendiri.Sebelum mengenal Debby, ia tak pernah lepas kendali. Namun, sekarang ini rasa-rasanya ia sanggup dan bersedia menghancurkan seseorang demi orang yang dikasihinya. Ia siap bertarung habis-habisan dengan siapa pun tanpa peduli risikonya!William benar-benar tak terima kekasihnya hendak diserobot dengan terang-terangan di bawah hidungnya!“Lebih baik diselesaikan sekarang aja, Ko, biar nggak berlarut-larut. Aku juga nggak mau terus-terusan kayak gini. Tolong percaya sama aku, Ko,&rd
“Wah, ada angin apa Koko ke sini? Sendirian aja, Ko? Mana Fanny?” Debby tampak mencari-cari ke arah pintu pagar yang masih terbuka.Untuk sesaat, hati William kembali merasa terusik gara-gara sambutan hangat yang diberikan kekasihnya pada tamu tak diundang itu, apalagi melihat senyum manis yang menyertainya. William harus berjuang keras untuk meredam perasaan cemburu yang lagi-lagi menyeruak ke permukaan.“Astaga, Will! Kamu kenapa sih? Kenapa akhir-akhir ini kamu jadi sensitif gini? Ayo, kendalikan dirimu!” tegur William dalam hati.“Fanny enggak ikut,” sahut Niel. “Koko baru mau ke tempat Fanny nanti, setelah dari sini.”“Oh.”“Tamunya disuruh masuk dulu, Baby,” ucap William setelah berhasil mengendalikan perasaannya. Satu tangan