“Siapa sih mereka sebetulnya? Kalian kenal di mana? Sudah berapa lama kalian saling kenal? Bukankah yang bernama Debby itu yang tadi ada di meja resepsionis? Yang membuatku terusir? Yang kamu pandangi terus tadi? Apa kamu tertarik padanya? Wah, wah, wah … ini benar-benar pemandangan langka. Aku belum pernah lihat kamu kayak gini sebelumnya. Ck, ck, ck ….” Rasa ingin tahu Leon yang menggunung berubah menjadi rasa geli ketika mengingat tingkah sahabatnya itu beberapa saat yang lalu. Senyum miring tercetak di bibir merah muda milik pria berwajah oriental itu. Kepalanya pun tak mau ketinggalan ikut menggeleng-geleng kecil, menegaskan kalau pernyataan terakhirnya tadi benar-benar di luar kebiasaan William. “Astaga, mulutmu itu!” Mata William membeliak. “Kamu ini laki-laki apa perempuan sih? Cerewetnya melebihi Mami,” keluh William tanpa menjawab satu pun pertanyaan dari Leon. Bukannya tersinggung, Leon justru tergelak mendengar keluhan William. “Aku ini kan sahabatmu, Will. Masa kamu ngg
Dari ekor matanya, Fanny melihat Niel membungkuk ke arah meja rendah di tengah ruang duduk. Ia hanya tertawa keras tanpa mengomentari. Perhatiannya sudah kembali beralih pada isi lemari pendingin di hadapannya. “Mau jus buah apa minuman soda, Ko?” “Jus buah aja.” “Oke,” sahut Fanny yang langsung mengeluarkan kotak karton berisi sari buah jeruk dari dalam lemari pendingin. Ia kemudian mengambil dua buah gelas tinggi dan menuang sebagian isi kotak ke dalam gelas. Selagi menuang cairan berwarna kuning tersebut, tiba-tiba Niel muncul di sampingnya. “Kamu masih punya ini, Fan?” tanya lelaki itu sembari menunjukkan bungkus kosong crackers asin ke hadapannya. Lengan kanannya yang terulur memperlihatkan tato harimau tengah berjalan dan mengaum di antara pergelangan tangan bagian dalam hingga beberapa sentimeter sebelum lipatan siku. Setelah melirik sekilas crackers yang dimaksud oleh Niel, Fanny yang tingginya terpaut lima belas sentimeter dengan lelaki itu harus mendongak saat menatap wa
Indra pendengaran Fanny tiba-tiba menangkap suara gelas kaca membentur meja kayu yang datangnya seperti dari kejauhan. Wanita itu hanya diam membeku menatap nanar ke arah Niel. Lelaki itu menoleh ke belakang dengan cepat, lalu memelesat ke arah Fanny. “Ya ampun, Fan! Kok bisa jatuh sih? Awas! Gelasnya menggelinding!” seru Niel. Fanny yang sesaat merasa bagai tersihir akhirnya gelagapan dan menunduk ke arah meja makan. “Eh, ini terlepas gitu aja dari tanganku. Gelasnya licin, Ko.” Dengan sigap, pria bermata sipit itu berhasil menangkap gelas kaca yang baru saja terjun bebas sebelum mencapai lantai. Namun, tumpahan sari buah jeruk di atas meja sudah mengucur dan menetes-netes ke permukaan granit di sekitar kaki Fanny. Niel pun meletakkan gelas itu kembali ke atas meja. Lelaki itu bahkan sempat berseru kepada Fanny untuk berhati-hati, tetapi terlambat. Fanny yang berputar dengan cepat dan hendak berlalu untuk mengambil tongkat pel justru hilang keseimbangan ketika salah satu kakin
Begitu pintu menutup di belakangnya, Niel berbalik sebentar untuk menatap lurus-lurus ke arah pintu. Dengan menghela napas panjang, Niel mengacak-acak rambutnya sendiri dan berbalik dengan cepat menuju mobilnya terparkir. Sesampainya di dalam mobil SUV warna hitam, Niel tak kunjung menyalakan mesin, hanya duduk berdiam diri. Beberapa detik kemudian, keningnya diletakkan di atas kedua punggung tangan yang tengah memegang kemudi mobil di bagian atas. Sesekali, keningnya dibentur-benturkan dengan pelan ke punggung tangan yang berada di bawahnya. “Apa yang ada di dalam otakmu, Niel?” geramnya pada diri sendiri. “Fanny itu sudah kayak adikmu sendiri!” kecamnya lagi beberapa saat kemudian. Bayangan mereka berdua yang setengah berpelukan kembali muncul dalam kepalanya. Sejak tadi, bayangan tersebut tak mau menghilang dari isi kepalanya, selalu kembali setiap kali pikirannya kehilangan fokus. Selama ini, tak tebersit satu kali pun dalam otaknya kalau Fanny sekarang telah menjelma menjadi w
Sudah hampir tiga tahun ini, Debby menempati rumah modern minimalis berukuran sedang yang dibeli dari hasil keringatnya sendiri. Salah satu ruangan di dalam rumah yang didominasi warna putih dan cokelat itu telah ia sulap menjadi ruang kerja yang nyaman. Meskipun bekerja sebagai desainer grafis lepas, Debby tetap menerapkan aturan kerja yang jelas bagi dirinya sendiri. Hari Minggu atau hari libur menjadi me time bagi wanita yang memiliki tubuh dengan lekukan-lekukan yang pas di tempat-tempat yang tepat itu untuk melakukan hal-hal yang disukainya. Waktu libur selalu dimanfaatkan oleh Debby dengan sebaik-baiknya. Kadang kala, ia memanjakan diri sendiri dengan perawatan-perawatan tubuh dari ujung kepala hingga ujung kaki yang bisa dilakukan sendiri di rumah. Di lain waktu, ia akan menyalurkan hobinya membuat kue atau sekadar bersih-bersih rumah. Wanita berparas oriental itu selalu berusaha menjauhkan pekerjaan dari otaknya ketika ia sedang berlibur. Pada suatu Minggu sore, Debby sedang
Malam itu, Debby memutuskan untuk membawa Fanny pulang ke rumahnya. Fanny yang juga hidup sendiri pasti tidak bisa mengurus dirinya sendiri jika diantar pulang ke apartemennya. Setelah Fanny bangun keesokan paginya, Debby memberinya yoghurt yang ia campur dengan potongan buah segar dan kacang-kacangan untuk mengusir efek mabuk. Begitu isi mangkuk pindah ke dalam perut Fanny hingga tandas tak bersisa, Debby langsung mengomelinya panjang lebar. Ia mengingatkan bahaya yang mungkin saja bisa menimpa Fanny malam itu. Fanny yang sepertinya menyadari kekhawatiran Debby, berusaha meredakan emosinya. Kedua tangannya memeluk ringan pinggang Debby dari samping dengan manja. Kepalanya disandarkan di bahu kanan Debby. “Maafkan aku, Deb, sudah bikin kamu khawatir. Aku nggak menyangka kalau reaksimu bakal kayak gini. Kukira selama ini kamu cuma basa-basi,” ujar Fanny yang langsung mendapatkan sentilan keras di dahi. “Aww!” Satu tangan Fanny langsung mengusap-usap dahinya yang mulai memerah. “Sial
Melihat Fanny tancap gas membuat Debby bergegas kembali masuk ke dalam rumah. Tanpa pikir panjang, Debby berniat menyusul Fanny ke apartemennya. Tak ingin membuang-buang waktu dengan mengganti pakaian, Debby hanya menyambar jaket untuk menutupi kaus tanpa lengannya dan meraup kunci mobil beserta dompet dari atas meja kecil di samping tempat tidurnya. Ia pun berlari untuk menyambar ponsel di atas meja bar. Larinya tak berhenti hingga ia mengunci pintu depan rumah. Dengan tergesa-gesa, wanita berparas cantik itu lalu membuka pagar lipat, menyalakan mesin mobil dan keluar rumah dalam hitungan detik. “Sial, sial, sial! Baru kali ini aku merasa direpotkan sama pintu pagar!” Debby tak henti-hentinya menggerutu karena ia harus turun lagi dari mobil hanya untuk menutup pintu pagar dan menguncinya. Namun, begitu pantatnya menyentuh bantalan jok mobil, Debby langsung tancap gas. Merasa yakin jika Fanny kembali ke apartemennya, Debby tak memedulikan hal lainnya lagi selain segera sampai ke apa
Rupanya butuh waktu lama bagi Leon untuk mengumpulkan semua berkas pelamar yang diminta William. Hingga waktu pulang kantor tiba, lelaki itu belum juga memunculkan batang hidungnya di ruangan sang CEO. Tak sabar menanti, William berencana untuk menyusul Leon ke bagian HRD begitu pekerjaan yang sedang ia tangani saat ini selesai dikerjakan. Namun, belum juga sepuluh menit berlalu, pintu ruangannya sudah keburu diketuk dari luar, disusul dengan munculnya wajah Leon dari balik pintu. Kedua tangannya memegang setumpuk berkas. Tanpa menutup pintu, Leon berjalan menuju meja kerja William. “Ini belum semuanya, Will, baru sebagian dari berkas pelamar yang nggak lolos seleksi. Aku nggak tahu apa tujuanmu meminta semua berkas pelamar ini. Jadi, kupikir lebih baik kubawa dulu berkas-berkas yang sudah diseleksi biar nggak mengganggu pekerjaan mereka,” lapor Leon seraya meletakkan tumpukan berkas tersebut di tepi meja kerja William yang kosong. “Sisanya akan menyusul besok.” “Hmm, bagus! Begitu
“Happy wedding anniversary, Baby!” ucap William dengan sangat mesra. Lelaki itu mencium punggung tangan sang istri dengan sangat lembut.Mereka baru saja selesai makan malam romantis yang sengaja disiapkan oleh William. Sayangnya, kebahagiaan William bercampur dengan rasa jengkel setiap kali ada pria yang memandang istrinya hingga dua kali. Tak ingin membagi pesona sang istri dengan orang lain, William pun buru-buru mengajak wanita itu untuk kembali ke kamar suite yang khusus dipesan untuk momen istimewa ini.William tak bosan-bosannya memandangi sang istri. Hingga detik ini, ia masih dan selalu saja terpukau dengan sosok sang istri yang tak banyak berubah selain bertambah cantik sejak ia menikahinya, apalagi malam ini. Berbalut busana malam warna merah menyala dengan bahu terbuka dan belahan gaun setinggi setengah paha yang menampilkan lekuk tubuh di tempat-tempat yang tep
“Koko kenapa? Masuk angin?” tanya Debby dengan panik. Wanita itu tahu-tahu sudah ada di sampingnya. Satu tangan memijat-mijat tengkuknya sementara tangan yang lain meraba keningnya.Perutnya kembali bergolak. Namun, William mencoba mengabaikannya. Tak berani membuka mulut, lelaki itu hanya bisa menggeleng sembari menghentikan apa pun niat Debby saat ini dengan isyarat tangan.Ketika Debby menyingkir, William sedikit merasa lega. Ia menghirup napas dalam-dalam sambil bertumpu pada dinding. William mengerutkan kening dengan perasaan tak enak.Setelah perutnya berhenti bergolak, William melangkah ke wastafel. Ia menatap sekilas pantulan dirinya di cermin, lalu membasuh wajahnya. Saat menegakkan tubuh, sang istri kembali muncul di sisinya dengan membawa botol minyak kayu putih.“Gak perlu, Baby. Koko gak apa-apa kok,&rdquo
“I love you too, Baby. My Love. My Wife. Now and forever,” sahut William dengan senyum mesra terpampang di wajah. Lelaki itu pun balas mencium Debby di beberapa titik di wajah.Setelah mendapatkan ciuman di kening, kedua pipi, dan bibir, Debby lantas menghirup napas dalam-dalam sambil memejamkan mata sejenak. Saat membuka mata, ada kebulatan tekad dan keberanian yang bersemayam di hati.“Aku percaya sama Koko. Kalau sikap Koko kayak gitu, mana mungkin aku tega membuat Koko berharap lama-lama. Aku nggak bakal minta Koko buat nunda kehamilan. Kalau Tuhan kasih kepercayaan itu sama kita sekarang, aku bakal menerima dan menjalaninya.”“Oh, Baby! Kamu serius? Kamu benar gak apa-apa?”Debby mengiyakan dengan mantap. Kepalanya ikut mengangguk untuk meyakinkan suaminya.&ldqu
Seringai jahil sang suami semakin lebar saja. Lelaki itu kemudian bertanya, “Apa kamu sadar, Baby, kalau nanti ada yang kebakaran lagi seperti dulu, sekarang sudah gak perlu bingung-bingung lagi buat cari pemadamnya?”“Ish! Koko ini, lo!” pekik Debby. Tangannya pun langsung mencubit daging terdekat.William sontak mengaduh kesakitan dan menggosok-gosok dada kirinya. “Astaga, Baby! Jarimu pedas juga, ya.”“Hmm! Siapa suruh godain terus?” rajuk Debby. Namun, sesaat kemudian Debby kembali berujar, “Tapi sori, ya, Ko, aku baru bisa kasih semalam.”“Hush! Kamu ini omong apaan sih! Setelah pemberkatan di gereja dan resepsi dengan segitu banyak tamu, kita kan sama-sama kecapaian, Baby. Kamu jangan omong gitu, ah. Meskipun Koko pengin, Koko juga gak mau ma
Warning!!! Episode ini mengandung adegan dewasa yang mungkin tidak cocok atau membuat tidak nyaman bagi sebagian pembaca.Harap kebijakannya dalam membaca episode ini.*****Selagi Debby menerka-nerka siapa sosok yang dengan lancang berani memanggil-manggil nama suaminya, tiba-tiba suara William yang terdengar parau menembus gendang telinga Debby. “Lepaskan, Baby. Lepaskan.”“Ko Billy!” jerit Debby putus asa. ‘Ah! Kenapa suara yang keluar sama dengan yang tadi? Apa tadi itu suaraku sendiri?’“Ya, Baby, ya. Ayo, jangan ditahan lagi. Koko pengin lihat kamu, Baby,” ucap William terus menyemangati.Tak ingin mengecewakan lelaki itu, Debby berusaha menuruti kata-katanya. Dengan sedikit takut, dorongan yang semula ia tahan-tahan kini ia biarkan lepas mengalir begitu sa
Warning!!! Episode ini mengandung adegan dewasa yang mungkin tidak cocok atau membuat tidak nyaman bagi sebagian pembaca.Harap kebijakannya dalam membaca episode ini.*****“Umm!” gumam Debby sambil menggeliat. Namun, jerit tertahan langsung menyusul detik berikutnya. Tubuh wanita itu langsung mematung kaku. Kelopak mata tanpa lipatan yang semula susah dibuka seperti habis diberi lem pun langsung terbuka lebar-lebar.Kerutan halus muncul tak lama kemudian di antara kedua alis hitam melengkungnya. Saat Debby mencoba untuk kembali meregangkan tubuh, suara desisan panjang langsung meluncur dari bibirnya. Otaknya pun langsung menggali ingatan.“Oh, Tuhan!” seru Debby begitu berhasil mengumpulkan semua memori tentang semalam. Ia langsung menarik selimut hingga menutupi seluruh wajahnya yang kini terasa panas.Suara kekehan maskuli
Jantung William tak bisa berhenti berdebar kencang. Meskipun ia sudah mengatur napas sedemikian rupa, tetap saja jantungnya masih bertingkah dengan brutal. Keempat jari tangan kanannya pun tak berhenti berderap di atas meja. Sebentar-sebentar netra sipitnya melirik arlojinya.“Ya, Tuhan! Kenapa kamu belum sampai juga, Baby?” desah William untuk ke sekian kalinya sejak lima menit yang lalu.Selain melirik arloji, lelaki itu juga berkali-kali menatap ke arah pintu. Pemandangan 360 derajat di sekelilingnya yang menampilkan gemerlap lampu ibu kota dari atap gedung tak mampu mengalihkan perhatian William.“Ya, Tuhan! Kalau tahu akan seperti ini, Koko gak akan mau menuruti permintaanmu tadi, Baby. Argh! Kenapa kamu gak mau Koko jemput aja sih?” gerutu William.Setelah gelisah hingga lima menit kemudian, akhirnya sosok yang dinanti-nanti tiba juga. William buru-buru bangkit berdiri sambil tersenyum semringah meski langsung berusaha ia redam. Ia masih tak tahu pasti apa yang akan terjadi malam
“Eh, Papi!” seru William dan Debby berbarengan.Keduanya sama-sama terkejut. William langsung menghentikan gerakan tangannya yang tengah menjepit dan memainkan bibir bawah kekasihnya. Tangan itu pun sontak menjauh dari bibir menggemaskan putri semata wayang Gunawan.“Maaf, Pi,” ucap William sambil sedikit menundukkan kepala sekaligus merutuki kelancangan tangannya dalam hati.“Hmm,” timpal Gunawan dengan suara sekaligus ekspresi datar. Lelaki paruh baya itu pun mendekat dan duduk di sofa.William melirik kekasihnya saat wanita itu menggeser duduknya sedikit menjauh. Wajahnya sudah seperti kepiting rebus saja. William kembali menyesali tangannya yang tak bisa diam hingga membuat wanita itu harus menanggung malu di hadapan orang tuanya sendiri.“Sori,” bisik William tatkala Gunawan tak memperhatikan mereka.“Princess,” panggil Gunawan setelah menyamankan diri di sofa yang sebelumnya didudukinya.“Ya, Pi.”Ayah dan anak itu saling bertatapan sejenak sebelum Gunawan menggeleng-gelengkan ke
William sangat terkejut mendengar penuturan Debby. Ia sama sekali tak mengira jika kekasihnya memiliki ketakutan sampai seperti itu. William mengulurkan tangan hendak menenangkan sang kekasih yang kembali berderai air mata. Ia terenyuh melihat wanita itu bahkan bernapas dengan tersengal-sengal.Namun, belum sempat merengkuh sang kekasih, William kembali dikejutkan dengan suara jeritan histeris yang terdengar tiba-tiba. William dan Debby yang masih menangis sontak menoleh berbarengan ke sumber suara.“Jangan lagi, ya, Tuhan! Jangan lagi!” desis seseorang yang baru saja tiba hingga berkali-kali.Dalam sekejap, suara tangis di sisi William pun lenyap, berganti dengan kesiap tajam. Lelaki itu pun tak kalah terperanjat saat menatap kedua sosok yang tiba-tiba sudah berdiri di ambang pintu. Satu orang memapah yang lainnya yang tampak tak baik-baik saja. Buru-buru William ban