"Assalamualaikum!" Mas Wahyu mengucap salam dengan wajah semringah.
Kami pun menjawab salamnya dengan serentak.Aku hanya bisa menundukkan pandangan. Ya, Allah. Kenapa Mas Wahyu ke sini?"Sudah siap pulang, Bi?" tanya pria itu sembari mendudukkan bokongnya di samping Bi Eli di kursi panjang ini.Hmm, berarti dia tahu hari ini Bibiku pulang. Siapa yang memberi tahu? Manda kah?"Lagi nungguin Manda, Nak Wahyu!" Bi Eli terlihat sangat senang dengan kedatangan pria manis berkacamata itu.Mas Wahyu mengangguk-angguk.Kemudian matanya beralih ke arahku. "Apa kabar, Nay?"Aku menarik kedua sudut bibir ini ke atas dengan tipis. "Alhamdulillah, baik, Mas," jawabku.Tak lama kemudian datang Manda. Dengan langkah sedikit berjingkrak ia semakin mendekat. Wajah gadis itu tampak ceria. "Ayo, kita pulang! Cepat pesan mobil, Nan!" suruhnya kepada sang adik."Eh, Mas bawa mobil!" sambar Mas Wahyu cepat.""Bibi istirahat dulu, ya!" suruhku kepada Bibi.Terus terang, aku pun merasa agak pusing. Ini tentu bawaan bayi. Ditambah dengan semua sikap dan ucapan bibi tadi soal Mas Wahyu."Hmm, iya. Bibi mau rebahan!" Bibiku memegang pegangan sofa dan berusaha bangkit.Dengan cepat aku memegang lengan Bibi satunya hendak membantu beliau berdiri. Kemudian aku menggiring Bibi yang ingin istirahat ke dalam kamarnya.Setelah beliau merebahkan badan, beliau menatapku. "Bibi makasih sama kamu, Nay," ucap Bibi dengan sorot mata sayu.Aku menautkan kedua alis demi mendengar apa yang beliau ucapkan. Tidak pernah Bibi seperti ini sebelumnya."Sini!" titahnya sembari menepuk bibir ranjang menyuruhku duduk.Dengan perlahan aku pun menurut, mendaratkan bokong ke pinggir tempat tidur itu. "Kamu selama udah bantu Bibi, Nay. Selama Bibi nggak sadarkan diri, kamu pasti repot untuk cari uang perawatan Bibi. Kamu dapat uang dari mana, Nay?
Kami terdiam untuk beberapa menit. Aku menyusut kedua sudut mata, membersihkan air yang tadi mengalir dari sana. Berusaha menenangkan diri sendiri. Manda dan Nanda pun hanya terpaku di tempatnya masing-masing. Kami sama-sama menanti tanggapan Bi Eli berikutnya."Jadi ...." Akhirnya suara Bibi kembali terdengar. Aku menanti omongannya."Kamu sekarang sudah hamil ...?" tanya Bibi dengan sorot mata mulai sayu.Aku mengangguk pelan. "Iya, Bi ... alhamdulilah, akhirnya aku hamil, Bi." Bibir ini mengulas sebuah senyuman.Ya, Bibi tahu, kalau selama ini aku sangat menginginkan sebuah kehamilan menghampiri diriku. Ternyata tuduhan mandul kepadaku itu tidak benar ...."Kamu bahagia dengan pernikahan kamu ini?" tanya Bibi lagi.Kembali aku mengangguk-anggukkan kepala. "Iya, Bi. Aku bahagia. Steven sangat baik sama aku."Bibi pun akhirnya mengangguk. "Rasanya masih belum bisa dipercaya. Tapi ya sudahla
Kukecup dan kumainkan cuping telinganya. "Aku kangen ...," bisikku sembari menghidu aroma tubuhnya yang khas di indera penciumanku itu."Hmm, nanti lagi ya! Nanti aku hubungi lagi." Steven terlihat memutuskan saluran telepon selularnya. Ia pun memasukkan benda segi empat itu ke dalam saku celananya."Kamu sudah pulang?" tanyanya sembari tetap menggenggam telapak tanganku yang berada di dadanya."Hu um ...," jawabku masih asik bersandar di pundak dan punggungnya."Kamu teleponan dengan siapa? Tes apa yang enam bulan?" tanyaku sambil terus memeluknya."Ooh, itu. Soal kerjaan. Tes pasar ...." Steve mengurai pelukanku, ia lalu melangkah menuju meja kerjanya. Kemudian mendaratkan bokongnya ke kursi kebesarannya di sana. "Gimana, Bibimu sudah sehat?" tanyanya sembari menarik laptopnya mendekat.Aku mencebik dan menaikkan alis. "Alhamdulillah, aku senang ... Bibiku semakin sehat. Perkembangan lumayan bagus," jawabku atas pertanyaannya sambil berjalan menyusul mendekatinya, kemudian kembali m
"Kenapa apa, Mom?" tanya Steven dengan nada santai seperti tanpa beban.Aku sedikit memutar mata melihat gayanya."Ya, kalian diam-diaman begini?" Mommy mengernyitkan dahinya.Entahlah, aku memang sedang malas bicara sekarang.Sambil mengunyah Steven mencebikkan bibirnya. "Nggak ada apa-apa," kilahnya sembari mengendikkan bahu lebarnya itu."Kalau ada masalah dibicarakan baik-baik. Jangan diam-diaman. Udah pada dewasa juga," cetus Mommy."Kita nggak ada masalah 'kan, Sayang?" Steven meraih telapak tanganku dengan tangan kanannya.Dengan terpaksa aku menaikkan kedua ujung bibir ini ke atas. "Iya, Mom. Nggak ada masalah apa-apa, kok," ujarku sambil menatap ibu mertuaku sebentar.Aku tidak mau Mommy anggap seperti anak kecil yang tengah merajuk. Biarlah Steven saja yang tahu kalau aku sedang tidak enak hati kepadanya. Itu pun kalau dia masih punya kepekaan. Akan tetapi, entah mengapa aku malah sangsi. Hhhh ....
"Kamu, Nay! Gara-gara kamu 'kan Rizal mati?!"Betapa terkejutnya aku mendengar tudingan wanita itu."Ap–apaa ...?!"Nanda terlihat kaget."Gara-gara kamu aku harus kehilangan mobilku tahu kamu?!" tuding Merry. Ya, dia wanita yang kukenal sebagai istri Bang Rizal yang waktu itu aku bertemu di kontrakan mereka."Mak–maksud Mbak apa?" Alisku bertaut kencang. Berusaha mencerna perkataannya, "Bang Rizal meninggal?"Ya, selama ini aku tidak tahu kabar Bang Rizal. Semenjak kejadian penyekapan di hari itu, aku tidak mau mencari tahu kabar apa pun lagi tentang dia. Aku merasa trauma dan berusaha untuk tidak mengenang kembali kejadian yang membuatku selalu mengalami mimpi-mimpi buruk.Bahkan setelah aku bisa lebih baik dan bisa dikatakan mulai sembuh dari rasa ketakutan-ketakutan itu, aku tidak mau tahu lagi tentang Bang Rizal. Apa pun itu. Namun, kini ... apa benar yang dikatakan perempuan ini?"Kamu jangan pura-pura bodoh!" cetus wanita dengan rambut bercat kemerahannya itu, "suami kamu itu y
"Wa alaikumus sallam ...."Aku mengarahkan pandangan ini ke depan sana. Mendengar suara itu, entah mengapa membuat hati ini merasa ... ah ... entah."Daddy mau, Bu!" Setelah selesai bicara dengan sang ayah, Tasya mengembalikan ponselku dengan senyuman lebar.Aku pun membalas senyumannya. "Syukur, alhamdulilah kalau Daddy ada waktu," ucapku. Maklum Steven sering sibuk, 'kan ...."Iya, nanti kita ajak Kak Hendi juga ya!" seru gadis kecil itu.Aku hanya menganggukkan kepala."Kakak diajak nggak?" tanya Nanda sembari menatap Tasya dengan mimik berharap."Kak Manda sama Kak Nanda juga ikutan! Nanti aku bilang Daddy biar sewa bis sekalian!" Tasya dan Nanda tertawa bersama. Mau tidak mau aku pun ikut tertawa. Walau itu hanya berpura-pura. Hmmm ... ya Allah, sungguh tak bisa aku menghilangkan suara-suara Merry di benakku. Setelah selesai menjenguk Tasya, tiba waktunya aku ke asrama putra. Di sana aku juga berusaha menutupi kegundahan yang tengah kurasakan saat ini. Aku tidak mau adikku itu m
Tidak! Bukan karena aku masih punya perasaan meskipun setitik sayang kepada pria yang pernah hadir di kehidupanku itu. Namun, ini bukan hal sepele!Ini pembunuhan!!!***Dua pekan berlalu semenjak hari itu. Pikiranku masih terus dipenuhi oleh kata-kata Merry. Namun, aku berusaha semampunya untuk selalu bersikap normal. Baik kepada Steven, bahkan kepada Mommy. Aku tidak mau mereka berpikir yang tidak-tidak. Beberapa hari lalu hampir saja aku tertangkap basah oleh Steven. Sebab aku mencari-cari sesuatu di ruang kerjanya. Terus terang aku tidak tahu sebenarnya aku mencari apa. Di dalam pikiranku, aku cuma ingin menemukan bukti. Hanya itu.Akan tetapi, nihil! Aku hanya sempat mencari sekitar lima belas menit saja. Karena entah mengapa, padahal Steven tadinya sudah pergi untuk bekerja, tapi tiba-tiba saja ia pulang karena ketinggalan sesuatu. Setelah itu aku belum lagi berkesempatan untuk mencari-cari.Rencananya hari ini aku ingin mencoba kembali. Ya, mumpung Steven masih di kantornya.
"Jangan lupa, kamu telepon Steven. Suruh pulang cepat!""Iya, Mom," jawabku sembari terus mendorong kursi roda ibu mertuaku itu menuju ke kamar beliau.Aku melirik ke arah foto-foto tadi yang masih setia di atas pangkuan Mommy. Ada apa sebenarnya dengan Mommy? Sungguh, hati ini dipenuhi tanda tanya.***"Mommy tanya! Kamu dapat dari mana foto-foto ini?!" Terdengar suara keras Mommy dari dalam kamar beliau.Aku yang berada di ruang tengah itu terlonjak kaget. Sontak aku pun menolehkan kepalaku ke arah sana.Rasa ingin ke sana, tetapi aku takut.Ya, Steven segera pulang ketika aku meneleponnya. Ia mungkin khawatir karena aku bilang sang menyuruhnya untuk pulang saat itu juga.Aku tidak dapat lagi mendengar pembicaraan di sana. Sepertinya Steven telah meredam emosi sang ibu.Akan tetapi, hati ini masih merasa resah. Sebenarnya apa yang sedang terjadi?Dengan jantung yang berta