"Wa alaikumus sallam ...."Aku mengarahkan pandangan ini ke depan sana. Mendengar suara itu, entah mengapa membuat hati ini merasa ... ah ... entah."Daddy mau, Bu!" Setelah selesai bicara dengan sang ayah, Tasya mengembalikan ponselku dengan senyuman lebar.Aku pun membalas senyumannya. "Syukur, alhamdulilah kalau Daddy ada waktu," ucapku. Maklum Steven sering sibuk, 'kan ...."Iya, nanti kita ajak Kak Hendi juga ya!" seru gadis kecil itu.Aku hanya menganggukkan kepala."Kakak diajak nggak?" tanya Nanda sembari menatap Tasya dengan mimik berharap."Kak Manda sama Kak Nanda juga ikutan! Nanti aku bilang Daddy biar sewa bis sekalian!" Tasya dan Nanda tertawa bersama. Mau tidak mau aku pun ikut tertawa. Walau itu hanya berpura-pura. Hmmm ... ya Allah, sungguh tak bisa aku menghilangkan suara-suara Merry di benakku. Setelah selesai menjenguk Tasya, tiba waktunya aku ke asrama putra. Di sana aku juga berusaha menutupi kegundahan yang tengah kurasakan saat ini. Aku tidak mau adikku itu m
Tidak! Bukan karena aku masih punya perasaan meskipun setitik sayang kepada pria yang pernah hadir di kehidupanku itu. Namun, ini bukan hal sepele!Ini pembunuhan!!!***Dua pekan berlalu semenjak hari itu. Pikiranku masih terus dipenuhi oleh kata-kata Merry. Namun, aku berusaha semampunya untuk selalu bersikap normal. Baik kepada Steven, bahkan kepada Mommy. Aku tidak mau mereka berpikir yang tidak-tidak. Beberapa hari lalu hampir saja aku tertangkap basah oleh Steven. Sebab aku mencari-cari sesuatu di ruang kerjanya. Terus terang aku tidak tahu sebenarnya aku mencari apa. Di dalam pikiranku, aku cuma ingin menemukan bukti. Hanya itu.Akan tetapi, nihil! Aku hanya sempat mencari sekitar lima belas menit saja. Karena entah mengapa, padahal Steven tadinya sudah pergi untuk bekerja, tapi tiba-tiba saja ia pulang karena ketinggalan sesuatu. Setelah itu aku belum lagi berkesempatan untuk mencari-cari.Rencananya hari ini aku ingin mencoba kembali. Ya, mumpung Steven masih di kantornya.
"Jangan lupa, kamu telepon Steven. Suruh pulang cepat!""Iya, Mom," jawabku sembari terus mendorong kursi roda ibu mertuaku itu menuju ke kamar beliau.Aku melirik ke arah foto-foto tadi yang masih setia di atas pangkuan Mommy. Ada apa sebenarnya dengan Mommy? Sungguh, hati ini dipenuhi tanda tanya.***"Mommy tanya! Kamu dapat dari mana foto-foto ini?!" Terdengar suara keras Mommy dari dalam kamar beliau.Aku yang berada di ruang tengah itu terlonjak kaget. Sontak aku pun menolehkan kepalaku ke arah sana.Rasa ingin ke sana, tetapi aku takut.Ya, Steven segera pulang ketika aku meneleponnya. Ia mungkin khawatir karena aku bilang sang menyuruhnya untuk pulang saat itu juga.Aku tidak dapat lagi mendengar pembicaraan di sana. Sepertinya Steven telah meredam emosi sang ibu.Akan tetapi, hati ini masih merasa resah. Sebenarnya apa yang sedang terjadi?Dengan jantung yang berta
"Oke. Aku ... aku jatuh cinta sama kamu."Deg!Apa telingaku tidak salah dengar? Dia menyatakan cinta?Kupejamkan mata sembari menarik napas dalam-dalam, kemudian mengembuskan udara perlahan-lahan. Ya Allah, tenangkan aku ...."Kamu yakin kamu sekarang cinta sama aku?" tanyaku dengan perasaan sangsi.Dia menatapku lekat, kemudian menjawab, "Ya. Aku tidak tahu, sejak kapan aku jatuh cinta sama kamu. Tapi ... aku tidak mau kamu pergi dan tidak mau kamu lepas dariku lagi.""Ketika aku meminta tolong soal Bibiku, saat itu kamu sudah cinta apa belum?" tanyaku penasaran."Sudah," jawabnya singkat."Yakin?" Dia mendengkus dan kemudian tersenyum. "Ya, aku yakin. Karena semenjak aku memutuskan untuk melepasmu sebelumnya. Aku merasa kehilangan. Mungkin saat itu aku baru sadar, kalau aku sudah jatuh cinta dengan wanita yang bernama Nay," ungkapnya.Akan tetapi, entah mengapa pengakuannya ini terasa garin
Ya, Allah ... aku tidak tahu lagi harus berkata apa ....Mungkin ... mungkinkah semua yang ia katakan ini benar?***Aku berusaha berdamai dengan Steven. Bahkan kepada diriku sendiri. Kepada semua pikiran-pikiran kacau yang sempat menerpa.Aku juga tidak punya bukti apa pun tentang keterlibatan Steven pada kematian Bang Rizal. Sebaiknya kuanggap Merry hanya menuduh tanpa dasar.Akan tetapi, jujur ... hati ini merasa sangat miris. Mengapa Bang Rizal bisa berakhir seperti ini? Meskipun aku tidak lagi memiliki perasaan apa-apa terhadapnya, tetapi walau bagaimanapun ia pernah hadir di kehidupan, bahkan hati ini.Ah ... aku berharap Allah mau memaafkan segala kejahatan yang pernah pria itu lakukan. Itu saja."Kita nginep di sini."Tiba-tiba sepasang lengan memeluk tubuh ini dari belakang. Terasa Steven mengecup dengan lekat belakang kepalaku yang tertutup hijab.Aku memegang punggung telapak tangan yang kini
Aku hanya menggeleng-gelengkan kepala sembari mengulas senyuman melihat reaksi Ana. "Duduk, An!" Aku mempersilakan wanita muda itu duduk di ruang tengah villa ini.Mama muda itu pun mendaratkan bokongnya di sofa sembari memangku bayi kecilnya itu. "Tuan Steven mana, Nay?" tanya Ana kemudian."Ada di atas," jawabku sembari melenggang ke arah belakang hendak mengambilkan kudapan dan segelas air sirup yang sudah kusiapkan untuknya. Setelah itu aku kembali dan meletakkan jamuan tersebut di hadapan wanita muda tersebut. "Silakaan ...," tawarku kepadanya."Wah, brownies. Enak ini!" seru Ana seraya meraih sepotong lalu membelah kue itu, memberikan kepada Lala separuh dan mengunyah separuhnya untuk diri sendiri. Ana terlihat menikmati makanannya."Lala sukaa?" Aku menjawil pipi gembil batita lucu itu.Sang bocah hanya tersenyum sembari menjawab, "Nyak!" katanya. "Enak ya, La ...." Ana tertawa melihat tingkah anaknya.Aku pun ikut tertawa melihat bayi lucu itu. Ya Allah, aku mau punya kayak g
Akan tetapi, Steven tidak mengakui hal itu. Ya, Rabb ... mengapa rasa keraguanku padanya kembali membesar?"Nay!" "Hah?" Aku terperangah ketika mendengar Ana yang tiba-tiba menggoyangkan bahuku."Kamu mikir apa, sih?" "Ah, ng ... nggak, An! Dimakan lagi kuenya!" Dengan gugup aku menggeser piring brownies agar lebih mendekat ke arah Ana.Ana kembali meraih sepotong kue coklat itu. Lalu memasukkan ke dalam mulutnya. "Tiga hari lalu aku ketemu Bibimu, Nay. Sama Nanda di pasar. Jalan-jalan sambil belanja katanya.""Oh, iya?" Aku menyimak cerita Ana. "Eh, tiba-tiba ada cowok ganteeeng banget, Nay. Dia nyapa Bi Eli, akrab banget. Tapi cuma sebentar. Terus cowok itu pergi!" lanjut Ana.Aku menautkan kedua alis. "Siapa?" tanyaku."Katanya kepala sekolah di SMP Mutiara. Siapa yaa namanyaa ... aku kok, lupa." Ana terlihat mencoba mengingat-ingat."Oh, Mas Wahyu," sahutku ketika paham siapa yang ia mak
Namun, aku terkesiap ketika ia tiba-tiba melepasku sembari menjaga jarak.Tampak Steven menundukkan pandangannya sembari mengatur deru napasnya yang seakan tersendat-sendat. Begitu juga aku, merasa sangat kehilangan momen tadi saat ini."Shit!" Steven bangkit berdiri dan meremas rambut kepalanya sendiri. "Sorry ...." Ia menatapku dengan sorot yang pelas.Ya, aku mengerti. Kembali teringat pesan Dokter Risa kalau kami masih belum boleh untuk melakukan itu...."Aku ke kamar sebelah." Steven mendekat dan dengan singkat mengecup puncak kepalaku, lalu ia pun berbalik, melangkah keluar, dan menutup pintu kamar ini."Huuuuft ...." Aku mengembuskan napas panjang. Mata ini masih menerawang menatap kosong ke arah pintu kayu di hadapan dengan perasaan nelangsa. "Ya Allah ... cobaan banget ya ...," lirihku pada diri sendiri. Aku lalu kembali merebahkan tubuh dan berusaha menetralisir desiran hangat yang masih menjalar di tubuh ini akibat perbuatan kami barusan.***Klinik Dokter Risa hari ini t