Akan tetapi, Steven tidak mengakui hal itu. Ya, Rabb ... mengapa rasa keraguanku padanya kembali membesar?
"Nay!""Hah?" Aku terperangah ketika mendengar Ana yang tiba-tiba menggoyangkan bahuku."Kamu mikir apa, sih?""Ah, ng ... nggak, An! Dimakan lagi kuenya!" Dengan gugup aku menggeser piring brownies agar lebih mendekat ke arah Ana.Ana kembali meraih sepotong kue coklat itu. Lalu memasukkan ke dalam mulutnya. "Tiga hari lalu aku ketemu Bibimu, Nay. Sama Nanda di pasar. Jalan-jalan sambil belanja katanya.""Oh, iya?" Aku menyimak cerita Ana."Eh, tiba-tiba ada cowok ganteeeng banget, Nay. Dia nyapa Bi Eli, akrab banget. Tapi cuma sebentar. Terus cowok itu pergi!" lanjut Ana.Aku menautkan kedua alis. "Siapa?" tanyaku."Katanya kepala sekolah di SMP Mutiara. Siapa yaa namanyaa ... aku kok, lupa." Ana terlihat mencoba mengingat-ingat."Oh, Mas Wahyu," sahutku ketika paham siapa yang ia makNamun, aku terkesiap ketika ia tiba-tiba melepasku sembari menjaga jarak.Tampak Steven menundukkan pandangannya sembari mengatur deru napasnya yang seakan tersendat-sendat. Begitu juga aku, merasa sangat kehilangan momen tadi saat ini."Shit!" Steven bangkit berdiri dan meremas rambut kepalanya sendiri. "Sorry ...." Ia menatapku dengan sorot yang pelas.Ya, aku mengerti. Kembali teringat pesan Dokter Risa kalau kami masih belum boleh untuk melakukan itu...."Aku ke kamar sebelah." Steven mendekat dan dengan singkat mengecup puncak kepalaku, lalu ia pun berbalik, melangkah keluar, dan menutup pintu kamar ini."Huuuuft ...." Aku mengembuskan napas panjang. Mata ini masih menerawang menatap kosong ke arah pintu kayu di hadapan dengan perasaan nelangsa. "Ya Allah ... cobaan banget ya ...," lirihku pada diri sendiri. Aku lalu kembali merebahkan tubuh dan berusaha menetralisir desiran hangat yang masih menjalar di tubuh ini akibat perbuatan kami barusan.***Klinik Dokter Risa hari ini t
"Loh, kok, dia ikut?!" Tiba-tiba terdengar suara protes dari si anak gadis manja kami ketika Ardian datang membawa sebuah ransel besar di pundaknya. Pemuda itu menanti gilirannya untuk memasukkan tas itu, karena Pak Parmin masih mengatur posisi tas-tas yang lain di dalam mobil.Aku memicingkan mata menatap Tasya. Mengapa harus bersikap seperti itu—lagi? Padahal beberapa waktu belakangan sikapnya pada Ardian sudah terlihat lebih baik.Sadar dengan reaksiku, gadis yang mulai beranjak remaja itu memencongkan bibirnya seraya menghela napas. Ia seakan paham, kalau aku tidak menyukai sikapnya itu. Lalu ia mengalihkan pandangan ke arah lain tanpa berkata apa-apa lagi.Aku bersyukur Ardian seolah tidak peduli. Mungkin dia sudah terbiasa dari dulu dan pemuda itu pun tidak mau ambil pusing dengan sifat Tasya yang sering menyebalkan kepadanya.Untung saja Pak Hardi berada agak jauh dari sini. Kalau ia mendengar 'kan, tentu merasa tidak nyaman karena anaknya diperlakukan demikian."Ya ... ya. Kam
"Yang pakai baju hijau ituu ... kayaak ... Mama Hana?"Deg!Aku sedikit terkejut mendengar nama yang Tasya sebutkan. Benarkah itu Hana, mantan istri Steven?Steven terlihat memperhatikan wanita yang mengenakan dress model sabrina yang tengah bercakap-cakap dengan seorang pria di salah satu meja di sana.Mungkin merasa kalau ada yang memperhatikan, tiba-tiba wanita itu menoleh ke arah kami.Terlihat rahang Steven yang mengeras dengan tatapan nanar ke arah sana. Hmm, jadi benar itu memang mantan istrinya. Mungkinkah pria ini masih mempunyai perasaan kepada wanita itu? Hatiku dipenuhi tanda tanya kini.Wanita berbaju hijau di sana pun terlihat cukup terkejut. "Aku mau ke sana!" seru Tasya.Refleks Steven menahan pergelangan tangan sang putri. "No!" tegas pria itu sambil berisyarat dengan matanya yang penuh penekanan agar Tasya tetap di tempatnya.Tasya pun menurut. Ia membenarkan posisi duduknya
"Semua sudah bangun dan shalat subuh?" tanyaku sembari berkemas diri untuk segera mandi.Hari masih menunjukkan jam lima pagi, tetapi Tasya sudah mengetuk pintu kamar kami. Ia tidak sabar ingin segera pergi ke Taman Digulis di tengah-tengah kota Pontianak itu."Sudah, kok. Kak Nanda lagi mandi sekarang." Ia duduk di sebuah sofa di dalam kamar ini bersama sang ayah yang menikmati secangkir kopi beserta kudapan."Nanti jam enam kita berangkatnya," sahut sang ayah."Kata Daddy pagi-pagi sekali?!" Sang gadis cantik mengerucutkan bibirnya."Ya, jam enam itu masih pagi sekali."Aku hanya bisa mengulum senyuman ke arah mereka."Kita sarapan dulu, Sayang," selaku sembari meraih handuk dan melangkah ke kamar mandi."Ya, udah! Aku suruh cowok-cowok mandi dulu!" seru Tasya sembari bangkit lalu bergegas ke luar dari kamar ini.Aku pun menutup pintu kamar mandi ketika kedua kaki ini sudah masuk ke dalamnya seraya menghela napas dan melipat bibir ini.***"Aku tunggu di bawah," ujar Steven ketika a
"Dia mau ajak aku bicara sesuatu."Sontak aku kembali mengarahkan tatapan mata ke suami esku itu. "Mau bicara soal apa?" tanyaku penasaran."Aku tidak tahu," jawab Steven sekenanya.Kembali aku mendengkus. Suasana kembali hening ....Steven pun masih memainkan ponselnya. Sepertinya ia tengah melakukan percakapan di perpesanan WA di sana."Kamu kenapa nggak mau bicara dengannya?" Sungguh aku masih penasaran dengan hal itu."Aku merasa tidak ada yang mesti aku bahas dengan perempuan itu. Urusan kami sudah selesai sejak lama," ujar pria itu dengan nada datar."Ya, siapa tahu ada hal penting yang ingin Hana bicarakan dengan kamu," bantahku sembari mencebikkan bibir. Jujur saja, aku merasa sedikit panas di dalam dada ini jika mengingat Erika atau Hana. Aku ingin tahu, apa Steven masih ada perasaan dengan mantannya itu? Ya, mereka cantik-cantik dan berkelas. Sering membuat aku insecure mengingat diri sendiri yang hanyalah seorang gadis kampung dan tidak berpendidikan tinggi seperti mereka
Dengan cepat Ardian melesat ke sana setelah menitipkan ponselnya kepada Hendi. Tanpa pikir panjang pemuda itu pun menceburkan diri hendak menolong Tasya.Aku, Nanda, Hendi, dan para pengunjung lainnya di sekitar merasa tegang menanti Ardian membawa Tasya naik ke permukaan. Dan aku pun mulai merasa lega ketika Ardian berhasil membawa gadis itu ke tepian.Dengan segera aku mendekat ke pinggiran gertak kayu di sana. "Ya Allah, Tasya ...," lirihku."Buuu!" Tasya menghambur memelukku hingga pakaianku ikut basah terkena pakaiannya yang sudah benar-benar kuyup."Ini, Bu," ujar pemilik rumah makan menyerahkan sebuah handuk kepadaku.Aku meraih benda itu dan mengucapkan terima kasih. Kemudian kusampirkan handuk tersebut ke pundak Tasya sembari mengarahkannya untuk duduk di sebuah bangku panjang di pinggir sungai.Ardian yang basah kuyup juga mengelap-elap wajahnya dengan handuk pemberian pemilik rumah makan ditemani oleh Hendi.Tasya masih menangis di pelukanku. "Sudah, sudah ... yang penting
Mengapa sikap Steven seperti ini? Ya, benar. Jika aku ingat-ingat, pria ini seakan selalu menghindar apabila aku mengarahkan telapak tangannya untuk menyentuh perutku. Kenapa?Pertanyaan itu kini mendominasi isi kepalaku. Mengapa Steven seakan tidak menghendaki kehamilanku ini? Bukankah ia sudah lama menginginkan seorang anak lagi? Berulangkali pertanyaan itu muncul melihat sikapnya. Ia seakan hanya peduli denganku, tetapi abai dengan bayi ini. Kenapa?Ah! Sudahlah, mungkin ini hanya perasaanku saja yang memang lebih sensitif semenjak hamil. Bukankah Steven memang lelaki yang aneh?Ya ... ya .... Aku baru ingat, kalau aku telah menikah dengan Tuan Otoriter yang punya kepribadian ganda. Terkadang dia penuh kehangatan dan perhatian .... Namun, terkadang, dia juga sangat dingin dan cuek.Aku malas untuk memikirkan hal itu lagi. Lebih baik beristirahat memulihkan tenaga untuk menghadapi kenyataan di depan. Hehehe ....***"Kamu ngapain juga berdiri di pinggir jembatan. Salah sendiri,"
"Waaah! Pantai, Kak!" seru sepupuku antusias ketika di hadapan kami terbentang lautan nan luas.Aku pun membalas senyumannya dengan semringah. Jujur saja, aku sendiri belum pernah berwisata ke pantai. Biasanya paling ke puncak, yakni wisata pegunungan. Ternyata merasakan suasana dan udara di tepi laut seperti ini begitu menyenangkan.Setelah pak supir memarkirkan mobil, kami semua turun menjejakkan kaki ke hamparan pasir."Ibuuu!" Tasya berlari mendekati dan merangkul lengan kananku. Kami pun berjalan bersama lebih mendekat ke arah pantai.Nanda, Hendi, dan Ardian pun terlihat tidak sabar. Mereka berlarian menuju air laut.Aku menoleh ke belakang. Ternyata Steven mengambil duduk di kursi semen di bawah pondok kecil di sana. Ia memasang kaca mata hitamnya, sehingga menambah pesona pria yang memang sudah sangat tampan tersebut."Bu, mau sewa tikar?" Terdengar suara seorang ibu-ibu yang tiba-tiba saja muncul di sampingku dan juga Tasya. Di tangannya memegang beberapa lipatan tikar plas