"Dia mau ajak aku bicara sesuatu."Sontak aku kembali mengarahkan tatapan mata ke suami esku itu. "Mau bicara soal apa?" tanyaku penasaran."Aku tidak tahu," jawab Steven sekenanya.Kembali aku mendengkus. Suasana kembali hening ....Steven pun masih memainkan ponselnya. Sepertinya ia tengah melakukan percakapan di perpesanan WA di sana."Kamu kenapa nggak mau bicara dengannya?" Sungguh aku masih penasaran dengan hal itu."Aku merasa tidak ada yang mesti aku bahas dengan perempuan itu. Urusan kami sudah selesai sejak lama," ujar pria itu dengan nada datar."Ya, siapa tahu ada hal penting yang ingin Hana bicarakan dengan kamu," bantahku sembari mencebikkan bibir. Jujur saja, aku merasa sedikit panas di dalam dada ini jika mengingat Erika atau Hana. Aku ingin tahu, apa Steven masih ada perasaan dengan mantannya itu? Ya, mereka cantik-cantik dan berkelas. Sering membuat aku insecure mengingat diri sendiri yang hanyalah seorang gadis kampung dan tidak berpendidikan tinggi seperti mereka
Dengan cepat Ardian melesat ke sana setelah menitipkan ponselnya kepada Hendi. Tanpa pikir panjang pemuda itu pun menceburkan diri hendak menolong Tasya.Aku, Nanda, Hendi, dan para pengunjung lainnya di sekitar merasa tegang menanti Ardian membawa Tasya naik ke permukaan. Dan aku pun mulai merasa lega ketika Ardian berhasil membawa gadis itu ke tepian.Dengan segera aku mendekat ke pinggiran gertak kayu di sana. "Ya Allah, Tasya ...," lirihku."Buuu!" Tasya menghambur memelukku hingga pakaianku ikut basah terkena pakaiannya yang sudah benar-benar kuyup."Ini, Bu," ujar pemilik rumah makan menyerahkan sebuah handuk kepadaku.Aku meraih benda itu dan mengucapkan terima kasih. Kemudian kusampirkan handuk tersebut ke pundak Tasya sembari mengarahkannya untuk duduk di sebuah bangku panjang di pinggir sungai.Ardian yang basah kuyup juga mengelap-elap wajahnya dengan handuk pemberian pemilik rumah makan ditemani oleh Hendi.Tasya masih menangis di pelukanku. "Sudah, sudah ... yang penting
Mengapa sikap Steven seperti ini? Ya, benar. Jika aku ingat-ingat, pria ini seakan selalu menghindar apabila aku mengarahkan telapak tangannya untuk menyentuh perutku. Kenapa?Pertanyaan itu kini mendominasi isi kepalaku. Mengapa Steven seakan tidak menghendaki kehamilanku ini? Bukankah ia sudah lama menginginkan seorang anak lagi? Berulangkali pertanyaan itu muncul melihat sikapnya. Ia seakan hanya peduli denganku, tetapi abai dengan bayi ini. Kenapa?Ah! Sudahlah, mungkin ini hanya perasaanku saja yang memang lebih sensitif semenjak hamil. Bukankah Steven memang lelaki yang aneh?Ya ... ya .... Aku baru ingat, kalau aku telah menikah dengan Tuan Otoriter yang punya kepribadian ganda. Terkadang dia penuh kehangatan dan perhatian .... Namun, terkadang, dia juga sangat dingin dan cuek.Aku malas untuk memikirkan hal itu lagi. Lebih baik beristirahat memulihkan tenaga untuk menghadapi kenyataan di depan. Hehehe ....***"Kamu ngapain juga berdiri di pinggir jembatan. Salah sendiri,"
"Waaah! Pantai, Kak!" seru sepupuku antusias ketika di hadapan kami terbentang lautan nan luas.Aku pun membalas senyumannya dengan semringah. Jujur saja, aku sendiri belum pernah berwisata ke pantai. Biasanya paling ke puncak, yakni wisata pegunungan. Ternyata merasakan suasana dan udara di tepi laut seperti ini begitu menyenangkan.Setelah pak supir memarkirkan mobil, kami semua turun menjejakkan kaki ke hamparan pasir."Ibuuu!" Tasya berlari mendekati dan merangkul lengan kananku. Kami pun berjalan bersama lebih mendekat ke arah pantai.Nanda, Hendi, dan Ardian pun terlihat tidak sabar. Mereka berlarian menuju air laut.Aku menoleh ke belakang. Ternyata Steven mengambil duduk di kursi semen di bawah pondok kecil di sana. Ia memasang kaca mata hitamnya, sehingga menambah pesona pria yang memang sudah sangat tampan tersebut."Bu, mau sewa tikar?" Terdengar suara seorang ibu-ibu yang tiba-tiba saja muncul di sampingku dan juga Tasya. Di tangannya memegang beberapa lipatan tikar plas
"Kenapa?!" Steven sontak ikut memegang perutku."Aku ... mual ...," jawabku lirih sembari terus menahan gejolak di dalam perut ini. "Hueeek!!" Akhirnya aku memuntahkan isi perutku ke atas pasir di samping tikar yang aku duduki.Steven memijati tengkuk dan punggungku. "Kita ke rumah sakit!" seru pria itu sembari bangkit dan menarik tanganku.Aku menahan tangannya. "Nggak ... tolong ambilin minyak kayu putih di saku tasku itu!" pintaku seraya menunjuk ke arah tas selempangku yang berada di dekat tumpukan bungkusan camilan di sana.Steven menautkan alisnya. Namun, pria itu tetap melakukan apa yang kupinta. Ia merogoh kocek tas dan menyerahkan botol minyak kayu putih tersebut ke arahku.Hmm ... terasa lumayan lega setelah membubuhkan sedikit minyak atsiri tersebut di penciuman dan mengusapkannya ke perut. "Kamu sudah sebulanan ini nggak muntah lagi, yakin nggak mau ke rumah sakit?" tanya Steven dengan sorot mata yang masih terlihat cemas. Ia pun menyerahkan sebotol air ke arahku.Hmm ..
"Biasa aja."Aku tertawa mendengar tanggapan si manusia kulkas. "Ish! Daddy nggak ngerti seni!" cetus Tasya sembari mengerucutkan bibirnya. Ia tampak kesal melihat sang ayah yang memang sering menyebalkan itu."Iya, bagus ...," ujar Steven meralat pendapatnya.Perlahan bibir Tasya pun mengukir sebuah senyuman. Ia berlari kecil mendekat. Lalu mencium pipi sang ayah. "Mmmuaach!" Setelahnya, gadis mendekat kepadaku dan memberi kecupan lain di pipi, lalu ke atas perut buncitku. "Dedek cepat gede ya! Biar bisa main sama kakak nanti!" imbuhnya ke arah perutku.Aku mengulum senyuman melihat hal tersebut. Tasya pun menantikan adiknya dengan sorot bahagia selama ini.Gadis cantik itu kemudian berbalik dan berlari kecil kembali ke istana pasirnya bersama Nanda di sana.Walau dua hari yang lalu terjadi insiden jatuhnya Tasya ke sungai Kapuas, aku bersyukur ia baik-baik saja. Namun, liburan kali ini sangat berkesan. Aku sangat menikmatinya.Setelah puas menikmati suasana pantai, kami pun beranja
Ap–apa maksudnya Steven berkata demikian? Itu ... itu Dokter Risa yang dia ajak bicara. Tes DNA? Maksudnya apa?Untung saja nampan kopi telah aku letakkan di atas meja. Tubuh ini sontak terasa bergetar ....Steven tampak terperanjat ketika matanya tak sengaja sadar akan kedatanganku. Bibirnya terbuka seolah tidak jadi mengeluarkan kata-kata lagi kepada Dokter Risa."Jadi ... ini yang membuat kamu bersikap acuh selama ini ...?" Dengan bibir yang bergetar aku bertanya kepadanya. Tiba-tiba saja mata ini terasa begitu panas. Degup jantung pun berdenyut dengan sangat kencang.Inilah jawabannya. Selama ini dia menjaga jarak dan bersikap seperti itu karena meragukan bayi ini.Bayang-bayang kejadian beberapa bulan silam berdesakan berkelebat di pelupuk mataku. Dia benar ... anak ini patut diragukan statusnya. "Nay ... ak–aku ... bukan seperti itu. Maksudku ...." Ia terbata-bata.Tanpa dapat lagi tertahan, air mata yang telah bergelantungan di pelupuk pun akhirnya menetes dan berderaian. Aku
Aku kembali menunduk dan memeluk lutut Mommy dengan kencang. Tubuhku bergetar hebat menangis sejadi-jadinya.Mommy seakan terdiam. Mungkin beliau juga bingung dan mencoba mencerna apa yang aku sampaikan."Apa yang diperbuat Rizal hari itu?" tanya Mommy di antara isakan tangisku."A–aku nggak tahu, Mom ... aku nggak tahuuu ...." Air mata ini terus saja menganak sungai. Aku masih menangis di pangkuan ibu mertuaku."Kamu ditemukan pingsan ketika itu," ungkap Mommy.Iya, Mommy benar. Aku tidak ingat. Terakhir yang aku ingat Bang Rizal mulai menyingkap pakaian dan menggerayangi tubuh ini. Ya Allaaah ....Jika aku mengingat hari itu, aku merasa sangat kotoorr!***Mommy berusaha menenangkanku menyuruhku beristirahat dan aku pun menurutinya. Aku tertidur setelah lelah menangis seharian.Setelah bangun, aku merenung panjang di atas tempat tidur. Aku berusaha untuk berpikir jernih. Aku kembali mengingat perjalananku hingga sampai ke detik ini. Bagaimana aku bisa akhirnya jatuh cinta kepada p