"Waaah! Pantai, Kak!" seru sepupuku antusias ketika di hadapan kami terbentang lautan nan luas.Aku pun membalas senyumannya dengan semringah. Jujur saja, aku sendiri belum pernah berwisata ke pantai. Biasanya paling ke puncak, yakni wisata pegunungan. Ternyata merasakan suasana dan udara di tepi laut seperti ini begitu menyenangkan.Setelah pak supir memarkirkan mobil, kami semua turun menjejakkan kaki ke hamparan pasir."Ibuuu!" Tasya berlari mendekati dan merangkul lengan kananku. Kami pun berjalan bersama lebih mendekat ke arah pantai.Nanda, Hendi, dan Ardian pun terlihat tidak sabar. Mereka berlarian menuju air laut.Aku menoleh ke belakang. Ternyata Steven mengambil duduk di kursi semen di bawah pondok kecil di sana. Ia memasang kaca mata hitamnya, sehingga menambah pesona pria yang memang sudah sangat tampan tersebut."Bu, mau sewa tikar?" Terdengar suara seorang ibu-ibu yang tiba-tiba saja muncul di sampingku dan juga Tasya. Di tangannya memegang beberapa lipatan tikar plas
"Kenapa?!" Steven sontak ikut memegang perutku."Aku ... mual ...," jawabku lirih sembari terus menahan gejolak di dalam perut ini. "Hueeek!!" Akhirnya aku memuntahkan isi perutku ke atas pasir di samping tikar yang aku duduki.Steven memijati tengkuk dan punggungku. "Kita ke rumah sakit!" seru pria itu sembari bangkit dan menarik tanganku.Aku menahan tangannya. "Nggak ... tolong ambilin minyak kayu putih di saku tasku itu!" pintaku seraya menunjuk ke arah tas selempangku yang berada di dekat tumpukan bungkusan camilan di sana.Steven menautkan alisnya. Namun, pria itu tetap melakukan apa yang kupinta. Ia merogoh kocek tas dan menyerahkan botol minyak kayu putih tersebut ke arahku.Hmm ... terasa lumayan lega setelah membubuhkan sedikit minyak atsiri tersebut di penciuman dan mengusapkannya ke perut. "Kamu sudah sebulanan ini nggak muntah lagi, yakin nggak mau ke rumah sakit?" tanya Steven dengan sorot mata yang masih terlihat cemas. Ia pun menyerahkan sebotol air ke arahku.Hmm ..
"Biasa aja."Aku tertawa mendengar tanggapan si manusia kulkas. "Ish! Daddy nggak ngerti seni!" cetus Tasya sembari mengerucutkan bibirnya. Ia tampak kesal melihat sang ayah yang memang sering menyebalkan itu."Iya, bagus ...," ujar Steven meralat pendapatnya.Perlahan bibir Tasya pun mengukir sebuah senyuman. Ia berlari kecil mendekat. Lalu mencium pipi sang ayah. "Mmmuaach!" Setelahnya, gadis mendekat kepadaku dan memberi kecupan lain di pipi, lalu ke atas perut buncitku. "Dedek cepat gede ya! Biar bisa main sama kakak nanti!" imbuhnya ke arah perutku.Aku mengulum senyuman melihat hal tersebut. Tasya pun menantikan adiknya dengan sorot bahagia selama ini.Gadis cantik itu kemudian berbalik dan berlari kecil kembali ke istana pasirnya bersama Nanda di sana.Walau dua hari yang lalu terjadi insiden jatuhnya Tasya ke sungai Kapuas, aku bersyukur ia baik-baik saja. Namun, liburan kali ini sangat berkesan. Aku sangat menikmatinya.Setelah puas menikmati suasana pantai, kami pun beranja
Ap–apa maksudnya Steven berkata demikian? Itu ... itu Dokter Risa yang dia ajak bicara. Tes DNA? Maksudnya apa?Untung saja nampan kopi telah aku letakkan di atas meja. Tubuh ini sontak terasa bergetar ....Steven tampak terperanjat ketika matanya tak sengaja sadar akan kedatanganku. Bibirnya terbuka seolah tidak jadi mengeluarkan kata-kata lagi kepada Dokter Risa."Jadi ... ini yang membuat kamu bersikap acuh selama ini ...?" Dengan bibir yang bergetar aku bertanya kepadanya. Tiba-tiba saja mata ini terasa begitu panas. Degup jantung pun berdenyut dengan sangat kencang.Inilah jawabannya. Selama ini dia menjaga jarak dan bersikap seperti itu karena meragukan bayi ini.Bayang-bayang kejadian beberapa bulan silam berdesakan berkelebat di pelupuk mataku. Dia benar ... anak ini patut diragukan statusnya. "Nay ... ak–aku ... bukan seperti itu. Maksudku ...." Ia terbata-bata.Tanpa dapat lagi tertahan, air mata yang telah bergelantungan di pelupuk pun akhirnya menetes dan berderaian. Aku
Aku kembali menunduk dan memeluk lutut Mommy dengan kencang. Tubuhku bergetar hebat menangis sejadi-jadinya.Mommy seakan terdiam. Mungkin beliau juga bingung dan mencoba mencerna apa yang aku sampaikan."Apa yang diperbuat Rizal hari itu?" tanya Mommy di antara isakan tangisku."A–aku nggak tahu, Mom ... aku nggak tahuuu ...." Air mata ini terus saja menganak sungai. Aku masih menangis di pangkuan ibu mertuaku."Kamu ditemukan pingsan ketika itu," ungkap Mommy.Iya, Mommy benar. Aku tidak ingat. Terakhir yang aku ingat Bang Rizal mulai menyingkap pakaian dan menggerayangi tubuh ini. Ya Allaaah ....Jika aku mengingat hari itu, aku merasa sangat kotoorr!***Mommy berusaha menenangkanku menyuruhku beristirahat dan aku pun menurutinya. Aku tertidur setelah lelah menangis seharian.Setelah bangun, aku merenung panjang di atas tempat tidur. Aku berusaha untuk berpikir jernih. Aku kembali mengingat perjalananku hingga sampai ke detik ini. Bagaimana aku bisa akhirnya jatuh cinta kepada p
"Aku nggak mau anak ini dites DNA," ujarku lagi mengulang dan memperjelas ungkapan tadi."Kamu sudah tahu soaaal ...." Dokter Risa menggantung ucapannya dengan tatapan yang sendu.Aku mengangguk pelan."Kamu sendiri nggak mau tahu itu anak siapa?" tanya Dokter Risa lagi."Yang pasti dia anakku, 'kan?" Aku tersenyum getir dan merendahkan pandangan. Dada ini rasanya menjadi sempit, ya Allah ....Dengan ragu-ragu dokter cantik itu pun menarik kedua ujung bibirnya. "Ya, kamu benar ...." Ia mengangguk pelan."Kalau anak ini lahir dan dia perempuan, baru nanti boleh dites. Tapi, kalau lelaki tidak perlu," tambahku."Begitu?" sahut Dokter Risa.Aku mengangguk."Karena kelak ia butuh wali untuk menikah?" Dokter Risa memahami hal itu. Aku kembali mengangguk."Kalau laki-laki pun 'kan, ia berhak tahu ayahnya." Dokter Risa menatapku lekat."Biar saja. Aku tidak peduli, Dok," sahutku sembari menarik napas berusaha melegakan dada yang kian menyempit dan mengembuskannya perlahan."Oke," lirih Dokt
Di sepanjang perjalanan pulang aku merenungkan apa yang Dokter Risa tadi ungkap. Bisa-bisanya Steven mengadakan sandiwara hanya untuk menghindar berhubungan intim denganku, tanpa aku sadari.Aku tertawa miris, tetapi jujur, hati ini justru menangis pilu. Setitik air mata jatuh tanpa tertahan. Segera aku susut dengan telunjuk dan ibu jari. Betapa perih batin ini, bagaikan diiris-iris rasanya. Sesampainya di rumah aku memasuki kamar dan langsung meraih koper. Kukemas helai demi helai pakaian dari dalam almari dan memasukkannya ke dalam koper tersebut. Aku tidak bisa terus di sini. Aku tidak bisa hidup dengan orang yang tidak bisa menerima kehadiran anakku. Bahkan ia dengan sengaja menghindar bersentuhan dariku. Maksudnya apa?Tok! Tok! Tok!Terdengar suara pintu kamar diketuk. Entah siapa itu."Masuk!" seruku dengan mengeraskan suara. Tanganku masih melipat-lipat dan menyusun helaian pakaian ke dalam koper."Kamu mau ke mana, Nay?" Aku tersentak ketika mendengar suara dari arah sana.
"Benar!"Deg!Jantung ini seakan berhenti berdetak mendengar pengakuannya. Jadi ... jadi benar? Pada akhirnya dia akan membuangku jika terbukti ini memang anak Bang Rizal dan bukan darah dagingnya? Ya Allah ....Mengapa aku menuntut jawaban, jika ternyata sesakit ini ketika mengetahui kebenarannya?Bahkan rasaku padamu lebih besar dari rasaku kepada Bang Rizal dulu, Steve .... Sungguh ... aku bisa membedakannya. Cinta ini sudah sangat dalam kepadamu. Ya, Rabb ... hati ini rasanya bagai diremas-remas sampai kering. Begitu nyeri ....Aku menatap lekat pria itu dengan deraian air mata. Kemudian aku mengangguk-angguk berusaha mengerti jalan pikirannya. Mungkin memang tidak semudah itu menerima benih dari orang lain untuknya."Memang benar awalnya aku berniat seperti itu. Tapi aku ternyata tidak bisa ...." Ia menggantung omongannya. Aku tersenyum miring. "Sebaiknya memang aku pergi. Mungkin dengan kepergianku, semua akan lebih mudah buat kamu," ujarku sembari melangkah menuju pintu dan