Ap–apa maksudnya Steven berkata demikian? Itu ... itu Dokter Risa yang dia ajak bicara. Tes DNA? Maksudnya apa?Untung saja nampan kopi telah aku letakkan di atas meja. Tubuh ini sontak terasa bergetar ....Steven tampak terperanjat ketika matanya tak sengaja sadar akan kedatanganku. Bibirnya terbuka seolah tidak jadi mengeluarkan kata-kata lagi kepada Dokter Risa."Jadi ... ini yang membuat kamu bersikap acuh selama ini ...?" Dengan bibir yang bergetar aku bertanya kepadanya. Tiba-tiba saja mata ini terasa begitu panas. Degup jantung pun berdenyut dengan sangat kencang.Inilah jawabannya. Selama ini dia menjaga jarak dan bersikap seperti itu karena meragukan bayi ini.Bayang-bayang kejadian beberapa bulan silam berdesakan berkelebat di pelupuk mataku. Dia benar ... anak ini patut diragukan statusnya. "Nay ... ak–aku ... bukan seperti itu. Maksudku ...." Ia terbata-bata.Tanpa dapat lagi tertahan, air mata yang telah bergelantungan di pelupuk pun akhirnya menetes dan berderaian. Aku
Aku kembali menunduk dan memeluk lutut Mommy dengan kencang. Tubuhku bergetar hebat menangis sejadi-jadinya.Mommy seakan terdiam. Mungkin beliau juga bingung dan mencoba mencerna apa yang aku sampaikan."Apa yang diperbuat Rizal hari itu?" tanya Mommy di antara isakan tangisku."A–aku nggak tahu, Mom ... aku nggak tahuuu ...." Air mata ini terus saja menganak sungai. Aku masih menangis di pangkuan ibu mertuaku."Kamu ditemukan pingsan ketika itu," ungkap Mommy.Iya, Mommy benar. Aku tidak ingat. Terakhir yang aku ingat Bang Rizal mulai menyingkap pakaian dan menggerayangi tubuh ini. Ya Allaaah ....Jika aku mengingat hari itu, aku merasa sangat kotoorr!***Mommy berusaha menenangkanku menyuruhku beristirahat dan aku pun menurutinya. Aku tertidur setelah lelah menangis seharian.Setelah bangun, aku merenung panjang di atas tempat tidur. Aku berusaha untuk berpikir jernih. Aku kembali mengingat perjalananku hingga sampai ke detik ini. Bagaimana aku bisa akhirnya jatuh cinta kepada p
"Aku nggak mau anak ini dites DNA," ujarku lagi mengulang dan memperjelas ungkapan tadi."Kamu sudah tahu soaaal ...." Dokter Risa menggantung ucapannya dengan tatapan yang sendu.Aku mengangguk pelan."Kamu sendiri nggak mau tahu itu anak siapa?" tanya Dokter Risa lagi."Yang pasti dia anakku, 'kan?" Aku tersenyum getir dan merendahkan pandangan. Dada ini rasanya menjadi sempit, ya Allah ....Dengan ragu-ragu dokter cantik itu pun menarik kedua ujung bibirnya. "Ya, kamu benar ...." Ia mengangguk pelan."Kalau anak ini lahir dan dia perempuan, baru nanti boleh dites. Tapi, kalau lelaki tidak perlu," tambahku."Begitu?" sahut Dokter Risa.Aku mengangguk."Karena kelak ia butuh wali untuk menikah?" Dokter Risa memahami hal itu. Aku kembali mengangguk."Kalau laki-laki pun 'kan, ia berhak tahu ayahnya." Dokter Risa menatapku lekat."Biar saja. Aku tidak peduli, Dok," sahutku sembari menarik napas berusaha melegakan dada yang kian menyempit dan mengembuskannya perlahan."Oke," lirih Dokt
Di sepanjang perjalanan pulang aku merenungkan apa yang Dokter Risa tadi ungkap. Bisa-bisanya Steven mengadakan sandiwara hanya untuk menghindar berhubungan intim denganku, tanpa aku sadari.Aku tertawa miris, tetapi jujur, hati ini justru menangis pilu. Setitik air mata jatuh tanpa tertahan. Segera aku susut dengan telunjuk dan ibu jari. Betapa perih batin ini, bagaikan diiris-iris rasanya. Sesampainya di rumah aku memasuki kamar dan langsung meraih koper. Kukemas helai demi helai pakaian dari dalam almari dan memasukkannya ke dalam koper tersebut. Aku tidak bisa terus di sini. Aku tidak bisa hidup dengan orang yang tidak bisa menerima kehadiran anakku. Bahkan ia dengan sengaja menghindar bersentuhan dariku. Maksudnya apa?Tok! Tok! Tok!Terdengar suara pintu kamar diketuk. Entah siapa itu."Masuk!" seruku dengan mengeraskan suara. Tanganku masih melipat-lipat dan menyusun helaian pakaian ke dalam koper."Kamu mau ke mana, Nay?" Aku tersentak ketika mendengar suara dari arah sana.
"Benar!"Deg!Jantung ini seakan berhenti berdetak mendengar pengakuannya. Jadi ... jadi benar? Pada akhirnya dia akan membuangku jika terbukti ini memang anak Bang Rizal dan bukan darah dagingnya? Ya Allah ....Mengapa aku menuntut jawaban, jika ternyata sesakit ini ketika mengetahui kebenarannya?Bahkan rasaku padamu lebih besar dari rasaku kepada Bang Rizal dulu, Steve .... Sungguh ... aku bisa membedakannya. Cinta ini sudah sangat dalam kepadamu. Ya, Rabb ... hati ini rasanya bagai diremas-remas sampai kering. Begitu nyeri ....Aku menatap lekat pria itu dengan deraian air mata. Kemudian aku mengangguk-angguk berusaha mengerti jalan pikirannya. Mungkin memang tidak semudah itu menerima benih dari orang lain untuknya."Memang benar awalnya aku berniat seperti itu. Tapi aku ternyata tidak bisa ...." Ia menggantung omongannya. Aku tersenyum miring. "Sebaiknya memang aku pergi. Mungkin dengan kepergianku, semua akan lebih mudah buat kamu," ujarku sembari melangkah menuju pintu dan
Ya, Rabb ... terasa begitu sakiiit di dalam sini ....Bibiku menepuk-nepuk pelan punggung ini. "Ada apa sebenarnya, Nay? Kamu bertengkar dengan Tuan Steven?" tanya beliau di sela-sela tangisan ini.Aku mengurai pelukan dan berusaha mengendalikan perasaan yang kini tidak keruan. "Aku akan berpisah dengan Steven, Bi," ucapku sembari mengusap air mata yang terus saja mengalir di kedua pipi.Manda datang membawa segelas air es sirup. Matanya terlihat heran melihat ke arahku. Ya, tentu saja. Gadis itu lalu meletakkan gelas yang ia bawa tersebut ke atas meja di hadapanku."Minum dulu," suruh Bi Eli sambil menunjuk ke arah minumanku.Aku pun meraih gelas tersebut dan meneguk isinya dengan perlahan-lahan. Setelah terasa agak lega, kuletakkan kembali gelas tersebut ke atas meja.Manda tampak penasaran. Ia duduk diam di sebuah sofa single di hadapanku dan ibunya. "Coba, ceritakan sama Bibi. Sebenarnya ada permasalahan apa? Kok, k
Dua hari dua malam sudah aku berada di rumah Bi Eli. Dua malam pula aku terus menangis. Entahlah, aku tidak tahu apakah yang aku lakukan ini benar atau tidak? Semalam Mommy menelepon ponselku. Beliau masih membujukku untuk kembali. Kalaupun tidak di rumah itu, aku disuruh untuk tinggal di villa saja. Beliau menyarankan kami untuk saling introspeksi, untuk memikirkan kembali tentang keberlangsungan pernikahan ini. Agar aku dan Steven tidak terburu-buru memutuskan untuk berpisah. Ah, seandainya Steven tidak membuat sandiwara di belakangku, mungkin aku masih bisa memaklumi. Akan tetapi, ketika mendengar ia sengaja mengadakan drama kalau aku mempunyai kelainan pada kandungan dan akhirnya membuat kami tidak saling bersentuhan seperti layaknya suami-istri, itu membuat hatiku sangat perih. Apalagi ketika nanti ia tahu janin ini milik Bang Rizal, ia bermaksud menceraikan aku. Sakiiit sekali menerima kenyataan itu. Andai dia mau berterus terang dan mau mengkomunikasikan ini bersamaku, tentu
"Apa itu, Kak?" tanya Manda seraya pandangannya terarah ke bungkusan plastik yang kupegang. Ia tampak penasaran mengulurkan tangan hendak memegang juga bungkusan yang kupegang.Aku mencebik dan mengendikkan bahu. Kaki ini terus melangkah dan kembali duduk di sofa, lalu kami pun membuka bungkusan itu bersama. Ternyata dua buah kotak berisi kue-kue yang terlihat sangat lezat."Waaahh ...!" seru Manda semringah. Matanya berbinar melihat isi bungkusan tersebut."Ambil piring, Man!" suruh Bi Eli kepada anak gadisnya.Dengan segera Manda beranjak dan melangkah ke arah dapur."Kenapa tadi Tuan Steven tidak ikut kemari, Nay? Dia ada di mobil, 'kan?" tanya Mas Wahyu.Aku tersentak mendengar pertanyaan pria berkacamata itu. Berarti Mas Wahyu mendengar ucapan Pak Hardi tadi?Bi Eli hanya melirik ke arah kami. Namun, tidak mengeluarkan sepatah kata pun dari lisannya."Mmm ... biasa, Mas. Buru-buru mau kerja," jawabku asal hanya agar Mas Wahyu tidak berpikiran yang macam-macam.Pria itu mengulas s