"Aku nggak mau anak ini dites DNA," ujarku lagi mengulang dan memperjelas ungkapan tadi."Kamu sudah tahu soaaal ...." Dokter Risa menggantung ucapannya dengan tatapan yang sendu.Aku mengangguk pelan."Kamu sendiri nggak mau tahu itu anak siapa?" tanya Dokter Risa lagi."Yang pasti dia anakku, 'kan?" Aku tersenyum getir dan merendahkan pandangan. Dada ini rasanya menjadi sempit, ya Allah ....Dengan ragu-ragu dokter cantik itu pun menarik kedua ujung bibirnya. "Ya, kamu benar ...." Ia mengangguk pelan."Kalau anak ini lahir dan dia perempuan, baru nanti boleh dites. Tapi, kalau lelaki tidak perlu," tambahku."Begitu?" sahut Dokter Risa.Aku mengangguk."Karena kelak ia butuh wali untuk menikah?" Dokter Risa memahami hal itu. Aku kembali mengangguk."Kalau laki-laki pun 'kan, ia berhak tahu ayahnya." Dokter Risa menatapku lekat."Biar saja. Aku tidak peduli, Dok," sahutku sembari menarik napas berusaha melegakan dada yang kian menyempit dan mengembuskannya perlahan."Oke," lirih Dokt
Di sepanjang perjalanan pulang aku merenungkan apa yang Dokter Risa tadi ungkap. Bisa-bisanya Steven mengadakan sandiwara hanya untuk menghindar berhubungan intim denganku, tanpa aku sadari.Aku tertawa miris, tetapi jujur, hati ini justru menangis pilu. Setitik air mata jatuh tanpa tertahan. Segera aku susut dengan telunjuk dan ibu jari. Betapa perih batin ini, bagaikan diiris-iris rasanya. Sesampainya di rumah aku memasuki kamar dan langsung meraih koper. Kukemas helai demi helai pakaian dari dalam almari dan memasukkannya ke dalam koper tersebut. Aku tidak bisa terus di sini. Aku tidak bisa hidup dengan orang yang tidak bisa menerima kehadiran anakku. Bahkan ia dengan sengaja menghindar bersentuhan dariku. Maksudnya apa?Tok! Tok! Tok!Terdengar suara pintu kamar diketuk. Entah siapa itu."Masuk!" seruku dengan mengeraskan suara. Tanganku masih melipat-lipat dan menyusun helaian pakaian ke dalam koper."Kamu mau ke mana, Nay?" Aku tersentak ketika mendengar suara dari arah sana.
"Benar!"Deg!Jantung ini seakan berhenti berdetak mendengar pengakuannya. Jadi ... jadi benar? Pada akhirnya dia akan membuangku jika terbukti ini memang anak Bang Rizal dan bukan darah dagingnya? Ya Allah ....Mengapa aku menuntut jawaban, jika ternyata sesakit ini ketika mengetahui kebenarannya?Bahkan rasaku padamu lebih besar dari rasaku kepada Bang Rizal dulu, Steve .... Sungguh ... aku bisa membedakannya. Cinta ini sudah sangat dalam kepadamu. Ya, Rabb ... hati ini rasanya bagai diremas-remas sampai kering. Begitu nyeri ....Aku menatap lekat pria itu dengan deraian air mata. Kemudian aku mengangguk-angguk berusaha mengerti jalan pikirannya. Mungkin memang tidak semudah itu menerima benih dari orang lain untuknya."Memang benar awalnya aku berniat seperti itu. Tapi aku ternyata tidak bisa ...." Ia menggantung omongannya. Aku tersenyum miring. "Sebaiknya memang aku pergi. Mungkin dengan kepergianku, semua akan lebih mudah buat kamu," ujarku sembari melangkah menuju pintu dan
Ya, Rabb ... terasa begitu sakiiit di dalam sini ....Bibiku menepuk-nepuk pelan punggung ini. "Ada apa sebenarnya, Nay? Kamu bertengkar dengan Tuan Steven?" tanya beliau di sela-sela tangisan ini.Aku mengurai pelukan dan berusaha mengendalikan perasaan yang kini tidak keruan. "Aku akan berpisah dengan Steven, Bi," ucapku sembari mengusap air mata yang terus saja mengalir di kedua pipi.Manda datang membawa segelas air es sirup. Matanya terlihat heran melihat ke arahku. Ya, tentu saja. Gadis itu lalu meletakkan gelas yang ia bawa tersebut ke atas meja di hadapanku."Minum dulu," suruh Bi Eli sambil menunjuk ke arah minumanku.Aku pun meraih gelas tersebut dan meneguk isinya dengan perlahan-lahan. Setelah terasa agak lega, kuletakkan kembali gelas tersebut ke atas meja.Manda tampak penasaran. Ia duduk diam di sebuah sofa single di hadapanku dan ibunya. "Coba, ceritakan sama Bibi. Sebenarnya ada permasalahan apa? Kok, k
Dua hari dua malam sudah aku berada di rumah Bi Eli. Dua malam pula aku terus menangis. Entahlah, aku tidak tahu apakah yang aku lakukan ini benar atau tidak? Semalam Mommy menelepon ponselku. Beliau masih membujukku untuk kembali. Kalaupun tidak di rumah itu, aku disuruh untuk tinggal di villa saja. Beliau menyarankan kami untuk saling introspeksi, untuk memikirkan kembali tentang keberlangsungan pernikahan ini. Agar aku dan Steven tidak terburu-buru memutuskan untuk berpisah. Ah, seandainya Steven tidak membuat sandiwara di belakangku, mungkin aku masih bisa memaklumi. Akan tetapi, ketika mendengar ia sengaja mengadakan drama kalau aku mempunyai kelainan pada kandungan dan akhirnya membuat kami tidak saling bersentuhan seperti layaknya suami-istri, itu membuat hatiku sangat perih. Apalagi ketika nanti ia tahu janin ini milik Bang Rizal, ia bermaksud menceraikan aku. Sakiiit sekali menerima kenyataan itu. Andai dia mau berterus terang dan mau mengkomunikasikan ini bersamaku, tentu
"Apa itu, Kak?" tanya Manda seraya pandangannya terarah ke bungkusan plastik yang kupegang. Ia tampak penasaran mengulurkan tangan hendak memegang juga bungkusan yang kupegang.Aku mencebik dan mengendikkan bahu. Kaki ini terus melangkah dan kembali duduk di sofa, lalu kami pun membuka bungkusan itu bersama. Ternyata dua buah kotak berisi kue-kue yang terlihat sangat lezat."Waaahh ...!" seru Manda semringah. Matanya berbinar melihat isi bungkusan tersebut."Ambil piring, Man!" suruh Bi Eli kepada anak gadisnya.Dengan segera Manda beranjak dan melangkah ke arah dapur."Kenapa tadi Tuan Steven tidak ikut kemari, Nay? Dia ada di mobil, 'kan?" tanya Mas Wahyu.Aku tersentak mendengar pertanyaan pria berkacamata itu. Berarti Mas Wahyu mendengar ucapan Pak Hardi tadi?Bi Eli hanya melirik ke arah kami. Namun, tidak mengeluarkan sepatah kata pun dari lisannya."Mmm ... biasa, Mas. Buru-buru mau kerja," jawabku asal hanya agar Mas Wahyu tidak berpikiran yang macam-macam.Pria itu mengulas s
Aku terdiam seribu bahasa. Tidak sanggup berkata-kata. Apa ... apa yang harus aku lakukan sekarang? Tanpa sadar setetes air menitik dari pelupuk mata. Ya Rabb, ternyata sesakit ini mendengar kata itu. Benarkah Steven akan menceraikan aku? Benarkah aku akan menjadi janda—lagi?"Kak ...."Aku menoleh ke arah pintu kamar yang memang tidak tertutup. Nanda berdiri di sana memanggilku. Hari ini Ahad, dia tidak sekolah. Sementara Bibi dan Manda sedang ke pasar, berbelanja."Hmm?" Segera kususut air mata ini dengan gerakan cepat. Namun, tentu saja gadis itu menangkap basah aku yang menangis."Ada Tuan Steven datang," sahut sepupuku dengan wajah yang sendu. Ia sudah tahu kalau aku dengan Steven punya rencana untuk berpisah."Nay ... Nay! Kamu masih di sana!" Aku tersentak ketika sadar bahwa ponsel ini masih tersambung dengan Mommy. "Mom ... dia sudah datang. Aku ... aku mau menemui Steve dulu ya, assalamualaikum," pamitku dengan suara bergetar. Tanpa menunggu jawaban orang tua yang sudah ku
Lelaki siapa?Aaahh ... Mas Wahyu! Pasti Mas Wahyu maksudnya."Iya, memang benar! Hanya dia pria tulus yang mencintai aku apa adanya! Dia pasti mau menerima dengan lapang dada, walaupun aku mengandung benih orang lain!" seruku semakin menantang ke arahnya.Pria itu mengepalkan tangan sebelahnya yang bebas. Ia terlihat semakin geram.Biar saja! Aku sudah tidak mau peduli lagi. Toh, kenyataannya dia memang tidak mau menerima aku apa adanya. Tidak mau menerima darah dagingku sendiri."Oke," serunya kemudian, "aku ceraikan kamu. Dan mulai hari ini, kamu bukan lagi istriku."Deg!Pria itu melangkah lebar ke luar rumah. Ia terlihat sangat marah. Sementara aku ....Seketika saja kaki ini terasa lunglai tak berdaya. Aku terduduk di atas sofa. Bulir bening yang sejak tadi tergenang di pelupuk mata akhirnya jatuh berderai begitu saja, mengalir deras menganak sungai. Aku tergugu dan terisak.Ya, Rabb ... sakitnyaaa ....***"Ya Allah, Nay ... kamu jadi janda lagi ...?" Bi Eli ikut menangis mend