Ya, Rabb ... terasa begitu sakiiit di dalam sini ....
Bibiku menepuk-nepuk pelan punggung ini. "Ada apa sebenarnya, Nay? Kamu bertengkar dengan Tuan Steven?" tanya beliau di sela-sela tangisan ini.Aku mengurai pelukan dan berusaha mengendalikan perasaan yang kini tidak keruan. "Aku akan berpisah dengan Steven, Bi," ucapku sembari mengusap air mata yang terus saja mengalir di kedua pipi.Manda datang membawa segelas air es sirup. Matanya terlihat heran melihat ke arahku. Ya, tentu saja. Gadis itu lalu meletakkan gelas yang ia bawa tersebut ke atas meja di hadapanku."Minum dulu," suruh Bi Eli sambil menunjuk ke arah minumanku.Aku pun meraih gelas tersebut dan meneguk isinya dengan perlahan-lahan. Setelah terasa agak lega, kuletakkan kembali gelas tersebut ke atas meja.Manda tampak penasaran. Ia duduk diam di sebuah sofa single di hadapanku dan ibunya."Coba, ceritakan sama Bibi. Sebenarnya ada permasalahan apa? Kok, kDua hari dua malam sudah aku berada di rumah Bi Eli. Dua malam pula aku terus menangis. Entahlah, aku tidak tahu apakah yang aku lakukan ini benar atau tidak? Semalam Mommy menelepon ponselku. Beliau masih membujukku untuk kembali. Kalaupun tidak di rumah itu, aku disuruh untuk tinggal di villa saja. Beliau menyarankan kami untuk saling introspeksi, untuk memikirkan kembali tentang keberlangsungan pernikahan ini. Agar aku dan Steven tidak terburu-buru memutuskan untuk berpisah. Ah, seandainya Steven tidak membuat sandiwara di belakangku, mungkin aku masih bisa memaklumi. Akan tetapi, ketika mendengar ia sengaja mengadakan drama kalau aku mempunyai kelainan pada kandungan dan akhirnya membuat kami tidak saling bersentuhan seperti layaknya suami-istri, itu membuat hatiku sangat perih. Apalagi ketika nanti ia tahu janin ini milik Bang Rizal, ia bermaksud menceraikan aku. Sakiiit sekali menerima kenyataan itu. Andai dia mau berterus terang dan mau mengkomunikasikan ini bersamaku, tentu
"Apa itu, Kak?" tanya Manda seraya pandangannya terarah ke bungkusan plastik yang kupegang. Ia tampak penasaran mengulurkan tangan hendak memegang juga bungkusan yang kupegang.Aku mencebik dan mengendikkan bahu. Kaki ini terus melangkah dan kembali duduk di sofa, lalu kami pun membuka bungkusan itu bersama. Ternyata dua buah kotak berisi kue-kue yang terlihat sangat lezat."Waaahh ...!" seru Manda semringah. Matanya berbinar melihat isi bungkusan tersebut."Ambil piring, Man!" suruh Bi Eli kepada anak gadisnya.Dengan segera Manda beranjak dan melangkah ke arah dapur."Kenapa tadi Tuan Steven tidak ikut kemari, Nay? Dia ada di mobil, 'kan?" tanya Mas Wahyu.Aku tersentak mendengar pertanyaan pria berkacamata itu. Berarti Mas Wahyu mendengar ucapan Pak Hardi tadi?Bi Eli hanya melirik ke arah kami. Namun, tidak mengeluarkan sepatah kata pun dari lisannya."Mmm ... biasa, Mas. Buru-buru mau kerja," jawabku asal hanya agar Mas Wahyu tidak berpikiran yang macam-macam.Pria itu mengulas s
Aku terdiam seribu bahasa. Tidak sanggup berkata-kata. Apa ... apa yang harus aku lakukan sekarang? Tanpa sadar setetes air menitik dari pelupuk mata. Ya Rabb, ternyata sesakit ini mendengar kata itu. Benarkah Steven akan menceraikan aku? Benarkah aku akan menjadi janda—lagi?"Kak ...."Aku menoleh ke arah pintu kamar yang memang tidak tertutup. Nanda berdiri di sana memanggilku. Hari ini Ahad, dia tidak sekolah. Sementara Bibi dan Manda sedang ke pasar, berbelanja."Hmm?" Segera kususut air mata ini dengan gerakan cepat. Namun, tentu saja gadis itu menangkap basah aku yang menangis."Ada Tuan Steven datang," sahut sepupuku dengan wajah yang sendu. Ia sudah tahu kalau aku dengan Steven punya rencana untuk berpisah."Nay ... Nay! Kamu masih di sana!" Aku tersentak ketika sadar bahwa ponsel ini masih tersambung dengan Mommy. "Mom ... dia sudah datang. Aku ... aku mau menemui Steve dulu ya, assalamualaikum," pamitku dengan suara bergetar. Tanpa menunggu jawaban orang tua yang sudah ku
Lelaki siapa?Aaahh ... Mas Wahyu! Pasti Mas Wahyu maksudnya."Iya, memang benar! Hanya dia pria tulus yang mencintai aku apa adanya! Dia pasti mau menerima dengan lapang dada, walaupun aku mengandung benih orang lain!" seruku semakin menantang ke arahnya.Pria itu mengepalkan tangan sebelahnya yang bebas. Ia terlihat semakin geram.Biar saja! Aku sudah tidak mau peduli lagi. Toh, kenyataannya dia memang tidak mau menerima aku apa adanya. Tidak mau menerima darah dagingku sendiri."Oke," serunya kemudian, "aku ceraikan kamu. Dan mulai hari ini, kamu bukan lagi istriku."Deg!Pria itu melangkah lebar ke luar rumah. Ia terlihat sangat marah. Sementara aku ....Seketika saja kaki ini terasa lunglai tak berdaya. Aku terduduk di atas sofa. Bulir bening yang sejak tadi tergenang di pelupuk mata akhirnya jatuh berderai begitu saja, mengalir deras menganak sungai. Aku tergugu dan terisak.Ya, Rabb ... sakitnyaaa ....***"Ya Allah, Nay ... kamu jadi janda lagi ...?" Bi Eli ikut menangis mend
Akhirnya aku pun tidak bisa lagi menutupi apa yang tengah terjadi di dalam pernikahanku kepada Mas Wahyu. Apa hendak dikata, aku telah tertangkap basah. Ini surat undangan sidang mediasi dari Pengadilan Agama. Bi Eli menceritakan perihalku panjang lebar, hingga aku sendiri tak sanggup untuk berkata-kata lagi.Pria berkacamata itu sangat terkejut setelah mendengar semuanya. Ia tidak menyangka aku akan menjadi janda kembali. Kegagalan dalam mengarungi sebuah pernikahan terulang lagi kepadaku. Mas Wahyu terlihat sangat prihatin dengan apa yang menimpa diriku kini. "Jadi bayi ini ada kemungkinan milik ...?" Pria itu menggantung omongannya.Aku hanya bisa mengangguk dengan perasaan yang hancur. Aku sendiri tidak menyangka secepat ini sidang dilakukan. Sepertinya kamu sudah tidak sabar lagi untuk melepasku, Steve ...."Kamu sabar ya, Nay." Mas Wahyu menatap diri ini dengan sorot prihatin.Dengan berat hati aku mengangkat kedua sudut bibir ini walau rasanya sangatlah getir. "In syaa Allah,
"Ibuuuu! Ayolaah ... aku nggak mau Ibu cerai dengan Daddy!" Ya, siang ini Tasya kembali datang untuk kedua kalinya. Waktu itu, sehari setelah akte cerai terbit, ia bersama Mommy datang juga dalam keadaan menangis sedih karena mendengar bahwa aku dan Daddy-nya telah bercerai. Waktu itu gadis cantik tersebut terlihat begitu terpukul. Ia menangis terus-menerus. Ia kaget karena baru dikasih kabar dan sebenarnya tidak menerima. Namun, mau bagaimana lagi. Nasi sudah menjadi bubur.Aku berusaha mengulas senyum ke arahnya. "Ibu tahu, Nak. Tapi semua tidak bisa sesuai keinginan kita," jelasku kepada gadis yang dari hari ke hari semakin tampak cantik dengan semakin bertambah usianya itu."Iya, tapi kata Pak Hardi, selama di masa Ibu hamilkan dedek ini, kalian masih bisa rujuk lagi. Aku mau Daddy dan Ibu rujuk. Lagian kenapa sih, pake cerai segala? Masalahnya apa? Capek aku nanya Daddy, nanya Grandma, nanya Ibu, nggak dijawab-jawab!" seru gadis itu tampak kesal."Sudahlah ... intinya Daddy sam
Mas Wahyu menjalankan mobilnya dengan kecepatan sedang. Untung saja jalanan di sini tidak begitu ramai seperti di kota. Bi Eli, Manda, dan juga Nanda terlihat tegang. Mungkin mendengar aku yang sesekali merintih kesakitan.Sesampainya kami di sebuah klinik terdekat di Desa Mekar ini, aku langsung dibawa oleh seorang perawat menuju ruang tindakan dengan menggunakan sebuah kursi roda. Bi Eli tidak berani untuk mendampingiku, kata beliau takut malah ikut panik di dalam. Karena itu, Manda-lah yang mendampingi.Di dalam hati ini merasa sedih, karena tadinya aku berharap ketika melahirkan berada dalam situasi seperti ini, aku bakal didampingi oleh Steven. Namun, apa daya, kami tidak lagi sebagai pasangan suami-istri. Bahkan pria itu tidak tahu saat ini aku akan berjuang untuk melahirkan seorang bayi, yang bisa jadi adalah benih darinya. Justru Mas Wahyu yang siaga. Ia memang sudah berpesan sejak beberapa pekan yang lalu untuk tidak segan memberitahunya apabila hari ini tiba. Oleh sebab itu
"Ayolah, Steve ... tidak perlu kamu tanyakan itu kepadaku. Tentu saja aku masih mencintai kamu." Aku tertawa kecil mendengar pertanyaannya.Entah mengapa wajah itu terlihat cemas. Tidak pernah aku melihat ekspresi Steven seperti demikian. Akhirnya kedua sudut bibir itu terangkat juga. "Coz I love you so much," ucapnya sembari tertunduk.Aku pun melebarkan senyuman ini ketika ia mulai mendekat kemudian kami saling menautkan bibir dengan intens. Entah mengapa di dalam dada ini terasa begitu membuncah. Ada kerinduan yang begitu dalam yang ingin kulampiaskan."Oh, Steve ...." Aku sedikit mengerang ketika ia mulai mencumbu. Dia merebahkan tubuhku hingga berada di bawah kungkungannya. Sejenak mata sebiru permata safir itu menatap dengan lekat. Bibir ini tersenyum kecil membalas tatapannya yang penuh makna.Sejurus kemudian dia beringsut hendak menjauh. Alisku seketika bertaut. "Kenapa ...?" lirih bibir ini bertanya.Pria itu terus menatap dengan lekat tanpa mengucap sepatah kata pun. Ia