Mengapa sikap Steven seperti ini? Ya, benar. Jika aku ingat-ingat, pria ini seakan selalu menghindar apabila aku mengarahkan telapak tangannya untuk menyentuh perutku. Kenapa?Pertanyaan itu kini mendominasi isi kepalaku. Mengapa Steven seakan tidak menghendaki kehamilanku ini? Bukankah ia sudah lama menginginkan seorang anak lagi? Berulangkali pertanyaan itu muncul melihat sikapnya. Ia seakan hanya peduli denganku, tetapi abai dengan bayi ini. Kenapa?Ah! Sudahlah, mungkin ini hanya perasaanku saja yang memang lebih sensitif semenjak hamil. Bukankah Steven memang lelaki yang aneh?Ya ... ya .... Aku baru ingat, kalau aku telah menikah dengan Tuan Otoriter yang punya kepribadian ganda. Terkadang dia penuh kehangatan dan perhatian .... Namun, terkadang, dia juga sangat dingin dan cuek.Aku malas untuk memikirkan hal itu lagi. Lebih baik beristirahat memulihkan tenaga untuk menghadapi kenyataan di depan. Hehehe ....***"Kamu ngapain juga berdiri di pinggir jembatan. Salah sendiri,"
"Waaah! Pantai, Kak!" seru sepupuku antusias ketika di hadapan kami terbentang lautan nan luas.Aku pun membalas senyumannya dengan semringah. Jujur saja, aku sendiri belum pernah berwisata ke pantai. Biasanya paling ke puncak, yakni wisata pegunungan. Ternyata merasakan suasana dan udara di tepi laut seperti ini begitu menyenangkan.Setelah pak supir memarkirkan mobil, kami semua turun menjejakkan kaki ke hamparan pasir."Ibuuu!" Tasya berlari mendekati dan merangkul lengan kananku. Kami pun berjalan bersama lebih mendekat ke arah pantai.Nanda, Hendi, dan Ardian pun terlihat tidak sabar. Mereka berlarian menuju air laut.Aku menoleh ke belakang. Ternyata Steven mengambil duduk di kursi semen di bawah pondok kecil di sana. Ia memasang kaca mata hitamnya, sehingga menambah pesona pria yang memang sudah sangat tampan tersebut."Bu, mau sewa tikar?" Terdengar suara seorang ibu-ibu yang tiba-tiba saja muncul di sampingku dan juga Tasya. Di tangannya memegang beberapa lipatan tikar plas
"Kenapa?!" Steven sontak ikut memegang perutku."Aku ... mual ...," jawabku lirih sembari terus menahan gejolak di dalam perut ini. "Hueeek!!" Akhirnya aku memuntahkan isi perutku ke atas pasir di samping tikar yang aku duduki.Steven memijati tengkuk dan punggungku. "Kita ke rumah sakit!" seru pria itu sembari bangkit dan menarik tanganku.Aku menahan tangannya. "Nggak ... tolong ambilin minyak kayu putih di saku tasku itu!" pintaku seraya menunjuk ke arah tas selempangku yang berada di dekat tumpukan bungkusan camilan di sana.Steven menautkan alisnya. Namun, pria itu tetap melakukan apa yang kupinta. Ia merogoh kocek tas dan menyerahkan botol minyak kayu putih tersebut ke arahku.Hmm ... terasa lumayan lega setelah membubuhkan sedikit minyak atsiri tersebut di penciuman dan mengusapkannya ke perut. "Kamu sudah sebulanan ini nggak muntah lagi, yakin nggak mau ke rumah sakit?" tanya Steven dengan sorot mata yang masih terlihat cemas. Ia pun menyerahkan sebotol air ke arahku.Hmm ..
"Biasa aja."Aku tertawa mendengar tanggapan si manusia kulkas. "Ish! Daddy nggak ngerti seni!" cetus Tasya sembari mengerucutkan bibirnya. Ia tampak kesal melihat sang ayah yang memang sering menyebalkan itu."Iya, bagus ...," ujar Steven meralat pendapatnya.Perlahan bibir Tasya pun mengukir sebuah senyuman. Ia berlari kecil mendekat. Lalu mencium pipi sang ayah. "Mmmuaach!" Setelahnya, gadis mendekat kepadaku dan memberi kecupan lain di pipi, lalu ke atas perut buncitku. "Dedek cepat gede ya! Biar bisa main sama kakak nanti!" imbuhnya ke arah perutku.Aku mengulum senyuman melihat hal tersebut. Tasya pun menantikan adiknya dengan sorot bahagia selama ini.Gadis cantik itu kemudian berbalik dan berlari kecil kembali ke istana pasirnya bersama Nanda di sana.Walau dua hari yang lalu terjadi insiden jatuhnya Tasya ke sungai Kapuas, aku bersyukur ia baik-baik saja. Namun, liburan kali ini sangat berkesan. Aku sangat menikmatinya.Setelah puas menikmati suasana pantai, kami pun beranja
Ap–apa maksudnya Steven berkata demikian? Itu ... itu Dokter Risa yang dia ajak bicara. Tes DNA? Maksudnya apa?Untung saja nampan kopi telah aku letakkan di atas meja. Tubuh ini sontak terasa bergetar ....Steven tampak terperanjat ketika matanya tak sengaja sadar akan kedatanganku. Bibirnya terbuka seolah tidak jadi mengeluarkan kata-kata lagi kepada Dokter Risa."Jadi ... ini yang membuat kamu bersikap acuh selama ini ...?" Dengan bibir yang bergetar aku bertanya kepadanya. Tiba-tiba saja mata ini terasa begitu panas. Degup jantung pun berdenyut dengan sangat kencang.Inilah jawabannya. Selama ini dia menjaga jarak dan bersikap seperti itu karena meragukan bayi ini.Bayang-bayang kejadian beberapa bulan silam berdesakan berkelebat di pelupuk mataku. Dia benar ... anak ini patut diragukan statusnya. "Nay ... ak–aku ... bukan seperti itu. Maksudku ...." Ia terbata-bata.Tanpa dapat lagi tertahan, air mata yang telah bergelantungan di pelupuk pun akhirnya menetes dan berderaian. Aku
Aku kembali menunduk dan memeluk lutut Mommy dengan kencang. Tubuhku bergetar hebat menangis sejadi-jadinya.Mommy seakan terdiam. Mungkin beliau juga bingung dan mencoba mencerna apa yang aku sampaikan."Apa yang diperbuat Rizal hari itu?" tanya Mommy di antara isakan tangisku."A–aku nggak tahu, Mom ... aku nggak tahuuu ...." Air mata ini terus saja menganak sungai. Aku masih menangis di pangkuan ibu mertuaku."Kamu ditemukan pingsan ketika itu," ungkap Mommy.Iya, Mommy benar. Aku tidak ingat. Terakhir yang aku ingat Bang Rizal mulai menyingkap pakaian dan menggerayangi tubuh ini. Ya Allaaah ....Jika aku mengingat hari itu, aku merasa sangat kotoorr!***Mommy berusaha menenangkanku menyuruhku beristirahat dan aku pun menurutinya. Aku tertidur setelah lelah menangis seharian.Setelah bangun, aku merenung panjang di atas tempat tidur. Aku berusaha untuk berpikir jernih. Aku kembali mengingat perjalananku hingga sampai ke detik ini. Bagaimana aku bisa akhirnya jatuh cinta kepada p
"Aku nggak mau anak ini dites DNA," ujarku lagi mengulang dan memperjelas ungkapan tadi."Kamu sudah tahu soaaal ...." Dokter Risa menggantung ucapannya dengan tatapan yang sendu.Aku mengangguk pelan."Kamu sendiri nggak mau tahu itu anak siapa?" tanya Dokter Risa lagi."Yang pasti dia anakku, 'kan?" Aku tersenyum getir dan merendahkan pandangan. Dada ini rasanya menjadi sempit, ya Allah ....Dengan ragu-ragu dokter cantik itu pun menarik kedua ujung bibirnya. "Ya, kamu benar ...." Ia mengangguk pelan."Kalau anak ini lahir dan dia perempuan, baru nanti boleh dites. Tapi, kalau lelaki tidak perlu," tambahku."Begitu?" sahut Dokter Risa.Aku mengangguk."Karena kelak ia butuh wali untuk menikah?" Dokter Risa memahami hal itu. Aku kembali mengangguk."Kalau laki-laki pun 'kan, ia berhak tahu ayahnya." Dokter Risa menatapku lekat."Biar saja. Aku tidak peduli, Dok," sahutku sembari menarik napas berusaha melegakan dada yang kian menyempit dan mengembuskannya perlahan."Oke," lirih Dokt
Di sepanjang perjalanan pulang aku merenungkan apa yang Dokter Risa tadi ungkap. Bisa-bisanya Steven mengadakan sandiwara hanya untuk menghindar berhubungan intim denganku, tanpa aku sadari.Aku tertawa miris, tetapi jujur, hati ini justru menangis pilu. Setitik air mata jatuh tanpa tertahan. Segera aku susut dengan telunjuk dan ibu jari. Betapa perih batin ini, bagaikan diiris-iris rasanya. Sesampainya di rumah aku memasuki kamar dan langsung meraih koper. Kukemas helai demi helai pakaian dari dalam almari dan memasukkannya ke dalam koper tersebut. Aku tidak bisa terus di sini. Aku tidak bisa hidup dengan orang yang tidak bisa menerima kehadiran anakku. Bahkan ia dengan sengaja menghindar bersentuhan dariku. Maksudnya apa?Tok! Tok! Tok!Terdengar suara pintu kamar diketuk. Entah siapa itu."Masuk!" seruku dengan mengeraskan suara. Tanganku masih melipat-lipat dan menyusun helaian pakaian ke dalam koper."Kamu mau ke mana, Nay?" Aku tersentak ketika mendengar suara dari arah sana.
Aku memutuskan untuk menerima rujuk yang ditawarkan oleh Steven hari itu. Jujur, saat ini hatiku merasa sangat ... lengkap. Ya, mungkin itu kata yang tepat untuk menggambarkan keadaan kami sekarang.Sudah dua bulanan aku kembali ke rumah besar ini—rumah keluarga Arnold. Mommy dan Tasya juga terlihat sangat bahagia di hari akad aku dengan Steven untuk kedua kalinya. Ya, karena masa iddah telah lewat, makanya kami perlu mengulang kembali akad. Hendi awalnya ragu untuk mendukung. Namun, pada akhirnya setelah ia melihat semua orang—terutama Bibi dan juga kedua sepupuku mensupport, ia pun ikut mendukung aku kembali bersama pria yang memang namanya masih setia terukir di dalam hati ini. Yakni dia yang merupakan ayah dari putra kesayanganku ... Zack."Steve, apa-apaan kamu ikut masuk, ih!" Aku berusaha mendorong tubuh liat itu agar mau keluar dari kamar mandi."Aku lihat kamu tadi sudah shalat Ashar, jadi kita sudah boleeeh—" Dua alis tebal itu terangkat-angkat ke atas dengan tatapan manik
"Lho, Nak Wahyu sudah mau pulang?" Terdengar suara Bibi dari luar sana. Sepertinya Bibi melihat gelagat Mas Wahyu yang hendak pergi dari rumah ini."Iya, Bi. Aku permisi dulu," jawab Mas Wahyu sekenanya."Ah, iya-iya. Hati-hati di jalan, Nak Wahyu. Maaf kalau sudah banyak merepotkan Nak Wahyu selama ini."Ah, akhirnya kata-kata itu keluar juga dari lisan Bi Eli kepada Mas Wahyu. Aku tertawa miris mendengarnya. Bukankah selama ini beliau seakan tidak mau peduli dengan hal itu?Sementara itu, aku dan Steven masih saling diam di ruang tiga kali tiga meter ini. Aku tidak tahu dan mungkin malas untuk kembali membahas sesuatu bersama pria itu.Bi Eli menyibak tirai di muka pintu dan aku pun sontak menoleh ke arah beliau tanpa berkata apa-apa. Namun, ternyata orang tua itu tidak mau masuk. Beliau kembali melepas gorden sehingga kembali tertutup, walau jelas masih ada celah di sana. Sepertinya Bibi mengambil duduk di ruang makan di sana, karena aku mendengar bunyi derit seperti kursi yang dige
Telapak tangan ini terasa kebas karena beradu dengan rahang kukuhnya. Mata ini pun mulai terasa panas. Dada naik turun karena menahan emosi.Akan tetapi, pria itu hanya tertunduk sebentar karena wajahnya barusan terkena gamparan tanganku. Kemudian ia menoleh dengan tatapan seakan makin menantang.Zack yang tadi telah terlelap akhirnya terbangun dan menangis dengan sangat kencang. Tentu saja dia kaget mendengar bunyi tamparan dan suaraku yang keras barusan.Pria arogan di hadapanku itu bangkit berdiri dengan terus menatap nyalang ke arahku.Aku pun sontak mendongak ke arah dia yang memang lebih tinggi dari tubuhku dengan tatapan tidak mau kalah. Namun, bulir bening tiba-tiba lolos dan jatuh dari sudut mata. Dengan gerakan cepat aku segera menyusutnya. Aku mencoba menarik napas panjang walau tersendat-sendat demi meredakan gelegak yang tengah membara di dalam dada."Ada apa ini?!" Tiba-tiba Bi Eli dan Mas Wahyu muncul di muka pintu. Sedetik kemudian Bibiku melangkah maju dan meraih Zac
Jujur saja, ini pertemuan pertamaku dengan Steven semenjak hari itu. Hari di mana ia telah menjatuhkan talaq kepadaku di ruang tamu rumah ini. Waktu itu aku masih dalam keadaan hamil. Usia kandunganku saat itu baru enam bulan lebih, hampir masuk bulan ke tujuh.Aah, walaupun janggut itu terlihat lebih lebat, kamu masih tetap tampan dan gagah, Steve ... aku cukup tertegun dengan kehadirannya. Apakah arti dari debaran kencang di dalam dada ini ya, Rabb?Sebentar saja sepasang netra biru gelap itu melihat lekat ke arahku, sejurus kemudian ia langsung mengalihkan pandangan ke arah Bi Eli. "Maaf, aku mau mengunjungi anakku," ucap pria bermata safir tersebut dengan suara khasnya yang berat dan datar. Sebentar manik itu melirik ke arah Mas Wahyu.Hmmm ... ia tampak tidak senang dengan adanya pria berkacamata itu di sini.Apa kamu cemburu, Steve ...?Sementara Mas Wahyu hanya duduk diam memperhatikan di tempat duduknya sana. Ia sepertinya tidak berniat untuk menyapa Steven terlebih dahulu se
Setelah sadar dari pingsan kemarin karena kehilangan banyak darah, akhirnya hari ini—hari keempat setelah melahirkan—aku diperbolehkan untuk pulang. Semua orang terlihat sangat bahagia. Tentu saja, terutama diri ini.Sebenarnya Mommy menyuruhku untuk kembali ke rumah besarnya. Namun, sekali lagi aku menolak dengan halus. Dulu waktu belum resmi bercerai dengan Steven saja, aku tidak mau. Apalagi saat ini, kami sudah benar-benar bukan lagi berstatus sebagai pasangan suami-istri.Akan tetapi, aku berjanji kepada Mommy untuk selalu datang. Mungkin nanti setelah tubuhku lebih sehat dan bayiku lebih kuat. Hal itu karena aku menyadari, bahwa tentu saja orang tua itu ingin bertemu cucu laki-lakinya sesekali.Kemarin Hendi sudah melihat keponakannya yang baru lahir. Hanya sehari saja. Berikutnya ia dan Tasya kembali mesti belajar di pondok. Tasya yang terlihat begitu berat meninggalkan adiknya. Namun, aku membujuknya. Aku berjanji setiap pekan di jadwal peneleponan, kami akan melakukan video c
Aku hanya bisa tersenyum melihat putri cantikku yang kini mengerucutkan bibirnya lucu. Entahlah, aku merasa cukup senang ketika mendengar pria itu datang. Artinya dia masih peduli. Walaupun memang, sebenarnya tidak berpengaruh apa pun. Toh, kami sudah bukan pasangan suami-istri lagi. Kalau mengingat hal itu, daging merah di dalam dada ini kembali terasa perih. "Hendi mana ya, Bi? Apa nggak ikut pulang sama Tasya?" tanyaku kepada Bibi.Belum sempat Bi Eli membuka mulutnya, Tasya pun menyambar, "Kak Hendi masih harus setoran tasmi', Bu! Tapi besok dia nyusul dijemput Pak Hardi.""Oh, gitu," sahutku singkat.Tidak berapa lama kemudian, perawat yang tadi memeriksaku kembali datang menghampiri. Ah, hatiku merasa begitu bahagia ketika melihat wanita muda itu menggendong seorang bayi berbalut kain bedong di tangannya."Rebahan aja, Bu," ujar perawat tersebut ketika ia melihat aku berusaha untuk bangkit dan duduk. Mendengar ucapannya, aku pun menurut. Kembali aku merebahkan tubuh ini. "Ss
"Ayolah, Steve ... tidak perlu kamu tanyakan itu kepadaku. Tentu saja aku masih mencintai kamu." Aku tertawa kecil mendengar pertanyaannya.Entah mengapa wajah itu terlihat cemas. Tidak pernah aku melihat ekspresi Steven seperti demikian. Akhirnya kedua sudut bibir itu terangkat juga. "Coz I love you so much," ucapnya sembari tertunduk.Aku pun melebarkan senyuman ini ketika ia mulai mendekat kemudian kami saling menautkan bibir dengan intens. Entah mengapa di dalam dada ini terasa begitu membuncah. Ada kerinduan yang begitu dalam yang ingin kulampiaskan."Oh, Steve ...." Aku sedikit mengerang ketika ia mulai mencumbu. Dia merebahkan tubuhku hingga berada di bawah kungkungannya. Sejenak mata sebiru permata safir itu menatap dengan lekat. Bibir ini tersenyum kecil membalas tatapannya yang penuh makna.Sejurus kemudian dia beringsut hendak menjauh. Alisku seketika bertaut. "Kenapa ...?" lirih bibir ini bertanya.Pria itu terus menatap dengan lekat tanpa mengucap sepatah kata pun. Ia
Mas Wahyu menjalankan mobilnya dengan kecepatan sedang. Untung saja jalanan di sini tidak begitu ramai seperti di kota. Bi Eli, Manda, dan juga Nanda terlihat tegang. Mungkin mendengar aku yang sesekali merintih kesakitan.Sesampainya kami di sebuah klinik terdekat di Desa Mekar ini, aku langsung dibawa oleh seorang perawat menuju ruang tindakan dengan menggunakan sebuah kursi roda. Bi Eli tidak berani untuk mendampingiku, kata beliau takut malah ikut panik di dalam. Karena itu, Manda-lah yang mendampingi.Di dalam hati ini merasa sedih, karena tadinya aku berharap ketika melahirkan berada dalam situasi seperti ini, aku bakal didampingi oleh Steven. Namun, apa daya, kami tidak lagi sebagai pasangan suami-istri. Bahkan pria itu tidak tahu saat ini aku akan berjuang untuk melahirkan seorang bayi, yang bisa jadi adalah benih darinya. Justru Mas Wahyu yang siaga. Ia memang sudah berpesan sejak beberapa pekan yang lalu untuk tidak segan memberitahunya apabila hari ini tiba. Oleh sebab itu
"Ibuuuu! Ayolaah ... aku nggak mau Ibu cerai dengan Daddy!" Ya, siang ini Tasya kembali datang untuk kedua kalinya. Waktu itu, sehari setelah akte cerai terbit, ia bersama Mommy datang juga dalam keadaan menangis sedih karena mendengar bahwa aku dan Daddy-nya telah bercerai. Waktu itu gadis cantik tersebut terlihat begitu terpukul. Ia menangis terus-menerus. Ia kaget karena baru dikasih kabar dan sebenarnya tidak menerima. Namun, mau bagaimana lagi. Nasi sudah menjadi bubur.Aku berusaha mengulas senyum ke arahnya. "Ibu tahu, Nak. Tapi semua tidak bisa sesuai keinginan kita," jelasku kepada gadis yang dari hari ke hari semakin tampak cantik dengan semakin bertambah usianya itu."Iya, tapi kata Pak Hardi, selama di masa Ibu hamilkan dedek ini, kalian masih bisa rujuk lagi. Aku mau Daddy dan Ibu rujuk. Lagian kenapa sih, pake cerai segala? Masalahnya apa? Capek aku nanya Daddy, nanya Grandma, nanya Ibu, nggak dijawab-jawab!" seru gadis itu tampak kesal."Sudahlah ... intinya Daddy sam