"Oke. Aku ... aku jatuh cinta sama kamu."
Deg!Apa telingaku tidak salah dengar? Dia menyatakan cinta?Kupejamkan mata sembari menarik napas dalam-dalam, kemudian mengembuskan udara perlahan-lahan. Ya Allah, tenangkan aku ...."Kamu yakin kamu sekarang cinta sama aku?" tanyaku dengan perasaan sangsi.Dia menatapku lekat, kemudian menjawab, "Ya. Aku tidak tahu, sejak kapan aku jatuh cinta sama kamu. Tapi ... aku tidak mau kamu pergi dan tidak mau kamu lepas dariku lagi.""Ketika aku meminta tolong soal Bibiku, saat itu kamu sudah cinta apa belum?" tanyaku penasaran."Sudah," jawabnya singkat."Yakin?"Dia mendengkus dan kemudian tersenyum. "Ya, aku yakin. Karena semenjak aku memutuskan untuk melepasmu sebelumnya. Aku merasa kehilangan. Mungkin saat itu aku baru sadar, kalau aku sudah jatuh cinta dengan wanita yang bernama Nay," ungkapnya.Akan tetapi, entah mengapa pengakuannya ini terasa garinYa, Allah ... aku tidak tahu lagi harus berkata apa ....Mungkin ... mungkinkah semua yang ia katakan ini benar?***Aku berusaha berdamai dengan Steven. Bahkan kepada diriku sendiri. Kepada semua pikiran-pikiran kacau yang sempat menerpa.Aku juga tidak punya bukti apa pun tentang keterlibatan Steven pada kematian Bang Rizal. Sebaiknya kuanggap Merry hanya menuduh tanpa dasar.Akan tetapi, jujur ... hati ini merasa sangat miris. Mengapa Bang Rizal bisa berakhir seperti ini? Meskipun aku tidak lagi memiliki perasaan apa-apa terhadapnya, tetapi walau bagaimanapun ia pernah hadir di kehidupan, bahkan hati ini.Ah ... aku berharap Allah mau memaafkan segala kejahatan yang pernah pria itu lakukan. Itu saja."Kita nginep di sini."Tiba-tiba sepasang lengan memeluk tubuh ini dari belakang. Terasa Steven mengecup dengan lekat belakang kepalaku yang tertutup hijab.Aku memegang punggung telapak tangan yang kini
Aku hanya menggeleng-gelengkan kepala sembari mengulas senyuman melihat reaksi Ana. "Duduk, An!" Aku mempersilakan wanita muda itu duduk di ruang tengah villa ini.Mama muda itu pun mendaratkan bokongnya di sofa sembari memangku bayi kecilnya itu. "Tuan Steven mana, Nay?" tanya Ana kemudian."Ada di atas," jawabku sembari melenggang ke arah belakang hendak mengambilkan kudapan dan segelas air sirup yang sudah kusiapkan untuknya. Setelah itu aku kembali dan meletakkan jamuan tersebut di hadapan wanita muda tersebut. "Silakaan ...," tawarku kepadanya."Wah, brownies. Enak ini!" seru Ana seraya meraih sepotong lalu membelah kue itu, memberikan kepada Lala separuh dan mengunyah separuhnya untuk diri sendiri. Ana terlihat menikmati makanannya."Lala sukaa?" Aku menjawil pipi gembil batita lucu itu.Sang bocah hanya tersenyum sembari menjawab, "Nyak!" katanya. "Enak ya, La ...." Ana tertawa melihat tingkah anaknya.Aku pun ikut tertawa melihat bayi lucu itu. Ya Allah, aku mau punya kayak g
Akan tetapi, Steven tidak mengakui hal itu. Ya, Rabb ... mengapa rasa keraguanku padanya kembali membesar?"Nay!" "Hah?" Aku terperangah ketika mendengar Ana yang tiba-tiba menggoyangkan bahuku."Kamu mikir apa, sih?" "Ah, ng ... nggak, An! Dimakan lagi kuenya!" Dengan gugup aku menggeser piring brownies agar lebih mendekat ke arah Ana.Ana kembali meraih sepotong kue coklat itu. Lalu memasukkan ke dalam mulutnya. "Tiga hari lalu aku ketemu Bibimu, Nay. Sama Nanda di pasar. Jalan-jalan sambil belanja katanya.""Oh, iya?" Aku menyimak cerita Ana. "Eh, tiba-tiba ada cowok ganteeeng banget, Nay. Dia nyapa Bi Eli, akrab banget. Tapi cuma sebentar. Terus cowok itu pergi!" lanjut Ana.Aku menautkan kedua alis. "Siapa?" tanyaku."Katanya kepala sekolah di SMP Mutiara. Siapa yaa namanyaa ... aku kok, lupa." Ana terlihat mencoba mengingat-ingat."Oh, Mas Wahyu," sahutku ketika paham siapa yang ia mak
Namun, aku terkesiap ketika ia tiba-tiba melepasku sembari menjaga jarak.Tampak Steven menundukkan pandangannya sembari mengatur deru napasnya yang seakan tersendat-sendat. Begitu juga aku, merasa sangat kehilangan momen tadi saat ini."Shit!" Steven bangkit berdiri dan meremas rambut kepalanya sendiri. "Sorry ...." Ia menatapku dengan sorot yang pelas.Ya, aku mengerti. Kembali teringat pesan Dokter Risa kalau kami masih belum boleh untuk melakukan itu...."Aku ke kamar sebelah." Steven mendekat dan dengan singkat mengecup puncak kepalaku, lalu ia pun berbalik, melangkah keluar, dan menutup pintu kamar ini."Huuuuft ...." Aku mengembuskan napas panjang. Mata ini masih menerawang menatap kosong ke arah pintu kayu di hadapan dengan perasaan nelangsa. "Ya Allah ... cobaan banget ya ...," lirihku pada diri sendiri. Aku lalu kembali merebahkan tubuh dan berusaha menetralisir desiran hangat yang masih menjalar di tubuh ini akibat perbuatan kami barusan.***Klinik Dokter Risa hari ini t
"Loh, kok, dia ikut?!" Tiba-tiba terdengar suara protes dari si anak gadis manja kami ketika Ardian datang membawa sebuah ransel besar di pundaknya. Pemuda itu menanti gilirannya untuk memasukkan tas itu, karena Pak Parmin masih mengatur posisi tas-tas yang lain di dalam mobil.Aku memicingkan mata menatap Tasya. Mengapa harus bersikap seperti itu—lagi? Padahal beberapa waktu belakangan sikapnya pada Ardian sudah terlihat lebih baik.Sadar dengan reaksiku, gadis yang mulai beranjak remaja itu memencongkan bibirnya seraya menghela napas. Ia seakan paham, kalau aku tidak menyukai sikapnya itu. Lalu ia mengalihkan pandangan ke arah lain tanpa berkata apa-apa lagi.Aku bersyukur Ardian seolah tidak peduli. Mungkin dia sudah terbiasa dari dulu dan pemuda itu pun tidak mau ambil pusing dengan sifat Tasya yang sering menyebalkan kepadanya.Untung saja Pak Hardi berada agak jauh dari sini. Kalau ia mendengar 'kan, tentu merasa tidak nyaman karena anaknya diperlakukan demikian."Ya ... ya. Kam
"Yang pakai baju hijau ituu ... kayaak ... Mama Hana?"Deg!Aku sedikit terkejut mendengar nama yang Tasya sebutkan. Benarkah itu Hana, mantan istri Steven?Steven terlihat memperhatikan wanita yang mengenakan dress model sabrina yang tengah bercakap-cakap dengan seorang pria di salah satu meja di sana.Mungkin merasa kalau ada yang memperhatikan, tiba-tiba wanita itu menoleh ke arah kami.Terlihat rahang Steven yang mengeras dengan tatapan nanar ke arah sana. Hmm, jadi benar itu memang mantan istrinya. Mungkinkah pria ini masih mempunyai perasaan kepada wanita itu? Hatiku dipenuhi tanda tanya kini.Wanita berbaju hijau di sana pun terlihat cukup terkejut. "Aku mau ke sana!" seru Tasya.Refleks Steven menahan pergelangan tangan sang putri. "No!" tegas pria itu sambil berisyarat dengan matanya yang penuh penekanan agar Tasya tetap di tempatnya.Tasya pun menurut. Ia membenarkan posisi duduknya
"Semua sudah bangun dan shalat subuh?" tanyaku sembari berkemas diri untuk segera mandi.Hari masih menunjukkan jam lima pagi, tetapi Tasya sudah mengetuk pintu kamar kami. Ia tidak sabar ingin segera pergi ke Taman Digulis di tengah-tengah kota Pontianak itu."Sudah, kok. Kak Nanda lagi mandi sekarang." Ia duduk di sebuah sofa di dalam kamar ini bersama sang ayah yang menikmati secangkir kopi beserta kudapan."Nanti jam enam kita berangkatnya," sahut sang ayah."Kata Daddy pagi-pagi sekali?!" Sang gadis cantik mengerucutkan bibirnya."Ya, jam enam itu masih pagi sekali."Aku hanya bisa mengulum senyuman ke arah mereka."Kita sarapan dulu, Sayang," selaku sembari meraih handuk dan melangkah ke kamar mandi."Ya, udah! Aku suruh cowok-cowok mandi dulu!" seru Tasya sembari bangkit lalu bergegas ke luar dari kamar ini.Aku pun menutup pintu kamar mandi ketika kedua kaki ini sudah masuk ke dalamnya seraya menghela napas dan melipat bibir ini.***"Aku tunggu di bawah," ujar Steven ketika a
"Dia mau ajak aku bicara sesuatu."Sontak aku kembali mengarahkan tatapan mata ke suami esku itu. "Mau bicara soal apa?" tanyaku penasaran."Aku tidak tahu," jawab Steven sekenanya.Kembali aku mendengkus. Suasana kembali hening ....Steven pun masih memainkan ponselnya. Sepertinya ia tengah melakukan percakapan di perpesanan WA di sana."Kamu kenapa nggak mau bicara dengannya?" Sungguh aku masih penasaran dengan hal itu."Aku merasa tidak ada yang mesti aku bahas dengan perempuan itu. Urusan kami sudah selesai sejak lama," ujar pria itu dengan nada datar."Ya, siapa tahu ada hal penting yang ingin Hana bicarakan dengan kamu," bantahku sembari mencebikkan bibir. Jujur saja, aku merasa sedikit panas di dalam dada ini jika mengingat Erika atau Hana. Aku ingin tahu, apa Steven masih ada perasaan dengan mantannya itu? Ya, mereka cantik-cantik dan berkelas. Sering membuat aku insecure mengingat diri sendiri yang hanyalah seorang gadis kampung dan tidak berpendidikan tinggi seperti mereka