"Kenapa apa, Mom?" tanya Steven dengan nada santai seperti tanpa beban.Aku sedikit memutar mata melihat gayanya."Ya, kalian diam-diaman begini?" Mommy mengernyitkan dahinya.Entahlah, aku memang sedang malas bicara sekarang.Sambil mengunyah Steven mencebikkan bibirnya. "Nggak ada apa-apa," kilahnya sembari mengendikkan bahu lebarnya itu."Kalau ada masalah dibicarakan baik-baik. Jangan diam-diaman. Udah pada dewasa juga," cetus Mommy."Kita nggak ada masalah 'kan, Sayang?" Steven meraih telapak tanganku dengan tangan kanannya.Dengan terpaksa aku menaikkan kedua ujung bibir ini ke atas. "Iya, Mom. Nggak ada masalah apa-apa, kok," ujarku sambil menatap ibu mertuaku sebentar.Aku tidak mau Mommy anggap seperti anak kecil yang tengah merajuk. Biarlah Steven saja yang tahu kalau aku sedang tidak enak hati kepadanya. Itu pun kalau dia masih punya kepekaan. Akan tetapi, entah mengapa aku malah sangsi. Hhhh ....
"Kamu, Nay! Gara-gara kamu 'kan Rizal mati?!"Betapa terkejutnya aku mendengar tudingan wanita itu."Ap–apaa ...?!"Nanda terlihat kaget."Gara-gara kamu aku harus kehilangan mobilku tahu kamu?!" tuding Merry. Ya, dia wanita yang kukenal sebagai istri Bang Rizal yang waktu itu aku bertemu di kontrakan mereka."Mak–maksud Mbak apa?" Alisku bertaut kencang. Berusaha mencerna perkataannya, "Bang Rizal meninggal?"Ya, selama ini aku tidak tahu kabar Bang Rizal. Semenjak kejadian penyekapan di hari itu, aku tidak mau mencari tahu kabar apa pun lagi tentang dia. Aku merasa trauma dan berusaha untuk tidak mengenang kembali kejadian yang membuatku selalu mengalami mimpi-mimpi buruk.Bahkan setelah aku bisa lebih baik dan bisa dikatakan mulai sembuh dari rasa ketakutan-ketakutan itu, aku tidak mau tahu lagi tentang Bang Rizal. Apa pun itu. Namun, kini ... apa benar yang dikatakan perempuan ini?"Kamu jangan pura-pura bodoh!" cetus wanita dengan rambut bercat kemerahannya itu, "suami kamu itu y
"Wa alaikumus sallam ...."Aku mengarahkan pandangan ini ke depan sana. Mendengar suara itu, entah mengapa membuat hati ini merasa ... ah ... entah."Daddy mau, Bu!" Setelah selesai bicara dengan sang ayah, Tasya mengembalikan ponselku dengan senyuman lebar.Aku pun membalas senyumannya. "Syukur, alhamdulilah kalau Daddy ada waktu," ucapku. Maklum Steven sering sibuk, 'kan ...."Iya, nanti kita ajak Kak Hendi juga ya!" seru gadis kecil itu.Aku hanya menganggukkan kepala."Kakak diajak nggak?" tanya Nanda sembari menatap Tasya dengan mimik berharap."Kak Manda sama Kak Nanda juga ikutan! Nanti aku bilang Daddy biar sewa bis sekalian!" Tasya dan Nanda tertawa bersama. Mau tidak mau aku pun ikut tertawa. Walau itu hanya berpura-pura. Hmmm ... ya Allah, sungguh tak bisa aku menghilangkan suara-suara Merry di benakku. Setelah selesai menjenguk Tasya, tiba waktunya aku ke asrama putra. Di sana aku juga berusaha menutupi kegundahan yang tengah kurasakan saat ini. Aku tidak mau adikku itu m
Tidak! Bukan karena aku masih punya perasaan meskipun setitik sayang kepada pria yang pernah hadir di kehidupanku itu. Namun, ini bukan hal sepele!Ini pembunuhan!!!***Dua pekan berlalu semenjak hari itu. Pikiranku masih terus dipenuhi oleh kata-kata Merry. Namun, aku berusaha semampunya untuk selalu bersikap normal. Baik kepada Steven, bahkan kepada Mommy. Aku tidak mau mereka berpikir yang tidak-tidak. Beberapa hari lalu hampir saja aku tertangkap basah oleh Steven. Sebab aku mencari-cari sesuatu di ruang kerjanya. Terus terang aku tidak tahu sebenarnya aku mencari apa. Di dalam pikiranku, aku cuma ingin menemukan bukti. Hanya itu.Akan tetapi, nihil! Aku hanya sempat mencari sekitar lima belas menit saja. Karena entah mengapa, padahal Steven tadinya sudah pergi untuk bekerja, tapi tiba-tiba saja ia pulang karena ketinggalan sesuatu. Setelah itu aku belum lagi berkesempatan untuk mencari-cari.Rencananya hari ini aku ingin mencoba kembali. Ya, mumpung Steven masih di kantornya.
"Jangan lupa, kamu telepon Steven. Suruh pulang cepat!""Iya, Mom," jawabku sembari terus mendorong kursi roda ibu mertuaku itu menuju ke kamar beliau.Aku melirik ke arah foto-foto tadi yang masih setia di atas pangkuan Mommy. Ada apa sebenarnya dengan Mommy? Sungguh, hati ini dipenuhi tanda tanya.***"Mommy tanya! Kamu dapat dari mana foto-foto ini?!" Terdengar suara keras Mommy dari dalam kamar beliau.Aku yang berada di ruang tengah itu terlonjak kaget. Sontak aku pun menolehkan kepalaku ke arah sana.Rasa ingin ke sana, tetapi aku takut.Ya, Steven segera pulang ketika aku meneleponnya. Ia mungkin khawatir karena aku bilang sang menyuruhnya untuk pulang saat itu juga.Aku tidak dapat lagi mendengar pembicaraan di sana. Sepertinya Steven telah meredam emosi sang ibu.Akan tetapi, hati ini masih merasa resah. Sebenarnya apa yang sedang terjadi?Dengan jantung yang berta
"Oke. Aku ... aku jatuh cinta sama kamu."Deg!Apa telingaku tidak salah dengar? Dia menyatakan cinta?Kupejamkan mata sembari menarik napas dalam-dalam, kemudian mengembuskan udara perlahan-lahan. Ya Allah, tenangkan aku ...."Kamu yakin kamu sekarang cinta sama aku?" tanyaku dengan perasaan sangsi.Dia menatapku lekat, kemudian menjawab, "Ya. Aku tidak tahu, sejak kapan aku jatuh cinta sama kamu. Tapi ... aku tidak mau kamu pergi dan tidak mau kamu lepas dariku lagi.""Ketika aku meminta tolong soal Bibiku, saat itu kamu sudah cinta apa belum?" tanyaku penasaran."Sudah," jawabnya singkat."Yakin?" Dia mendengkus dan kemudian tersenyum. "Ya, aku yakin. Karena semenjak aku memutuskan untuk melepasmu sebelumnya. Aku merasa kehilangan. Mungkin saat itu aku baru sadar, kalau aku sudah jatuh cinta dengan wanita yang bernama Nay," ungkapnya.Akan tetapi, entah mengapa pengakuannya ini terasa garin
Ya, Allah ... aku tidak tahu lagi harus berkata apa ....Mungkin ... mungkinkah semua yang ia katakan ini benar?***Aku berusaha berdamai dengan Steven. Bahkan kepada diriku sendiri. Kepada semua pikiran-pikiran kacau yang sempat menerpa.Aku juga tidak punya bukti apa pun tentang keterlibatan Steven pada kematian Bang Rizal. Sebaiknya kuanggap Merry hanya menuduh tanpa dasar.Akan tetapi, jujur ... hati ini merasa sangat miris. Mengapa Bang Rizal bisa berakhir seperti ini? Meskipun aku tidak lagi memiliki perasaan apa-apa terhadapnya, tetapi walau bagaimanapun ia pernah hadir di kehidupan, bahkan hati ini.Ah ... aku berharap Allah mau memaafkan segala kejahatan yang pernah pria itu lakukan. Itu saja."Kita nginep di sini."Tiba-tiba sepasang lengan memeluk tubuh ini dari belakang. Terasa Steven mengecup dengan lekat belakang kepalaku yang tertutup hijab.Aku memegang punggung telapak tangan yang kini
Aku hanya menggeleng-gelengkan kepala sembari mengulas senyuman melihat reaksi Ana. "Duduk, An!" Aku mempersilakan wanita muda itu duduk di ruang tengah villa ini.Mama muda itu pun mendaratkan bokongnya di sofa sembari memangku bayi kecilnya itu. "Tuan Steven mana, Nay?" tanya Ana kemudian."Ada di atas," jawabku sembari melenggang ke arah belakang hendak mengambilkan kudapan dan segelas air sirup yang sudah kusiapkan untuknya. Setelah itu aku kembali dan meletakkan jamuan tersebut di hadapan wanita muda tersebut. "Silakaan ...," tawarku kepadanya."Wah, brownies. Enak ini!" seru Ana seraya meraih sepotong lalu membelah kue itu, memberikan kepada Lala separuh dan mengunyah separuhnya untuk diri sendiri. Ana terlihat menikmati makanannya."Lala sukaa?" Aku menjawil pipi gembil batita lucu itu.Sang bocah hanya tersenyum sembari menjawab, "Nyak!" katanya. "Enak ya, La ...." Ana tertawa melihat tingkah anaknya.Aku pun ikut tertawa melihat bayi lucu itu. Ya Allah, aku mau punya kayak g
Aku memutuskan untuk menerima rujuk yang ditawarkan oleh Steven hari itu. Jujur, saat ini hatiku merasa sangat ... lengkap. Ya, mungkin itu kata yang tepat untuk menggambarkan keadaan kami sekarang.Sudah dua bulanan aku kembali ke rumah besar ini—rumah keluarga Arnold. Mommy dan Tasya juga terlihat sangat bahagia di hari akad aku dengan Steven untuk kedua kalinya. Ya, karena masa iddah telah lewat, makanya kami perlu mengulang kembali akad. Hendi awalnya ragu untuk mendukung. Namun, pada akhirnya setelah ia melihat semua orang—terutama Bibi dan juga kedua sepupuku mensupport, ia pun ikut mendukung aku kembali bersama pria yang memang namanya masih setia terukir di dalam hati ini. Yakni dia yang merupakan ayah dari putra kesayanganku ... Zack."Steve, apa-apaan kamu ikut masuk, ih!" Aku berusaha mendorong tubuh liat itu agar mau keluar dari kamar mandi."Aku lihat kamu tadi sudah shalat Ashar, jadi kita sudah boleeeh—" Dua alis tebal itu terangkat-angkat ke atas dengan tatapan manik
"Lho, Nak Wahyu sudah mau pulang?" Terdengar suara Bibi dari luar sana. Sepertinya Bibi melihat gelagat Mas Wahyu yang hendak pergi dari rumah ini."Iya, Bi. Aku permisi dulu," jawab Mas Wahyu sekenanya."Ah, iya-iya. Hati-hati di jalan, Nak Wahyu. Maaf kalau sudah banyak merepotkan Nak Wahyu selama ini."Ah, akhirnya kata-kata itu keluar juga dari lisan Bi Eli kepada Mas Wahyu. Aku tertawa miris mendengarnya. Bukankah selama ini beliau seakan tidak mau peduli dengan hal itu?Sementara itu, aku dan Steven masih saling diam di ruang tiga kali tiga meter ini. Aku tidak tahu dan mungkin malas untuk kembali membahas sesuatu bersama pria itu.Bi Eli menyibak tirai di muka pintu dan aku pun sontak menoleh ke arah beliau tanpa berkata apa-apa. Namun, ternyata orang tua itu tidak mau masuk. Beliau kembali melepas gorden sehingga kembali tertutup, walau jelas masih ada celah di sana. Sepertinya Bibi mengambil duduk di ruang makan di sana, karena aku mendengar bunyi derit seperti kursi yang dige
Telapak tangan ini terasa kebas karena beradu dengan rahang kukuhnya. Mata ini pun mulai terasa panas. Dada naik turun karena menahan emosi.Akan tetapi, pria itu hanya tertunduk sebentar karena wajahnya barusan terkena gamparan tanganku. Kemudian ia menoleh dengan tatapan seakan makin menantang.Zack yang tadi telah terlelap akhirnya terbangun dan menangis dengan sangat kencang. Tentu saja dia kaget mendengar bunyi tamparan dan suaraku yang keras barusan.Pria arogan di hadapanku itu bangkit berdiri dengan terus menatap nyalang ke arahku.Aku pun sontak mendongak ke arah dia yang memang lebih tinggi dari tubuhku dengan tatapan tidak mau kalah. Namun, bulir bening tiba-tiba lolos dan jatuh dari sudut mata. Dengan gerakan cepat aku segera menyusutnya. Aku mencoba menarik napas panjang walau tersendat-sendat demi meredakan gelegak yang tengah membara di dalam dada."Ada apa ini?!" Tiba-tiba Bi Eli dan Mas Wahyu muncul di muka pintu. Sedetik kemudian Bibiku melangkah maju dan meraih Zac
Jujur saja, ini pertemuan pertamaku dengan Steven semenjak hari itu. Hari di mana ia telah menjatuhkan talaq kepadaku di ruang tamu rumah ini. Waktu itu aku masih dalam keadaan hamil. Usia kandunganku saat itu baru enam bulan lebih, hampir masuk bulan ke tujuh.Aah, walaupun janggut itu terlihat lebih lebat, kamu masih tetap tampan dan gagah, Steve ... aku cukup tertegun dengan kehadirannya. Apakah arti dari debaran kencang di dalam dada ini ya, Rabb?Sebentar saja sepasang netra biru gelap itu melihat lekat ke arahku, sejurus kemudian ia langsung mengalihkan pandangan ke arah Bi Eli. "Maaf, aku mau mengunjungi anakku," ucap pria bermata safir tersebut dengan suara khasnya yang berat dan datar. Sebentar manik itu melirik ke arah Mas Wahyu.Hmmm ... ia tampak tidak senang dengan adanya pria berkacamata itu di sini.Apa kamu cemburu, Steve ...?Sementara Mas Wahyu hanya duduk diam memperhatikan di tempat duduknya sana. Ia sepertinya tidak berniat untuk menyapa Steven terlebih dahulu se
Setelah sadar dari pingsan kemarin karena kehilangan banyak darah, akhirnya hari ini—hari keempat setelah melahirkan—aku diperbolehkan untuk pulang. Semua orang terlihat sangat bahagia. Tentu saja, terutama diri ini.Sebenarnya Mommy menyuruhku untuk kembali ke rumah besarnya. Namun, sekali lagi aku menolak dengan halus. Dulu waktu belum resmi bercerai dengan Steven saja, aku tidak mau. Apalagi saat ini, kami sudah benar-benar bukan lagi berstatus sebagai pasangan suami-istri.Akan tetapi, aku berjanji kepada Mommy untuk selalu datang. Mungkin nanti setelah tubuhku lebih sehat dan bayiku lebih kuat. Hal itu karena aku menyadari, bahwa tentu saja orang tua itu ingin bertemu cucu laki-lakinya sesekali.Kemarin Hendi sudah melihat keponakannya yang baru lahir. Hanya sehari saja. Berikutnya ia dan Tasya kembali mesti belajar di pondok. Tasya yang terlihat begitu berat meninggalkan adiknya. Namun, aku membujuknya. Aku berjanji setiap pekan di jadwal peneleponan, kami akan melakukan video c
Aku hanya bisa tersenyum melihat putri cantikku yang kini mengerucutkan bibirnya lucu. Entahlah, aku merasa cukup senang ketika mendengar pria itu datang. Artinya dia masih peduli. Walaupun memang, sebenarnya tidak berpengaruh apa pun. Toh, kami sudah bukan pasangan suami-istri lagi. Kalau mengingat hal itu, daging merah di dalam dada ini kembali terasa perih. "Hendi mana ya, Bi? Apa nggak ikut pulang sama Tasya?" tanyaku kepada Bibi.Belum sempat Bi Eli membuka mulutnya, Tasya pun menyambar, "Kak Hendi masih harus setoran tasmi', Bu! Tapi besok dia nyusul dijemput Pak Hardi.""Oh, gitu," sahutku singkat.Tidak berapa lama kemudian, perawat yang tadi memeriksaku kembali datang menghampiri. Ah, hatiku merasa begitu bahagia ketika melihat wanita muda itu menggendong seorang bayi berbalut kain bedong di tangannya."Rebahan aja, Bu," ujar perawat tersebut ketika ia melihat aku berusaha untuk bangkit dan duduk. Mendengar ucapannya, aku pun menurut. Kembali aku merebahkan tubuh ini. "Ss
"Ayolah, Steve ... tidak perlu kamu tanyakan itu kepadaku. Tentu saja aku masih mencintai kamu." Aku tertawa kecil mendengar pertanyaannya.Entah mengapa wajah itu terlihat cemas. Tidak pernah aku melihat ekspresi Steven seperti demikian. Akhirnya kedua sudut bibir itu terangkat juga. "Coz I love you so much," ucapnya sembari tertunduk.Aku pun melebarkan senyuman ini ketika ia mulai mendekat kemudian kami saling menautkan bibir dengan intens. Entah mengapa di dalam dada ini terasa begitu membuncah. Ada kerinduan yang begitu dalam yang ingin kulampiaskan."Oh, Steve ...." Aku sedikit mengerang ketika ia mulai mencumbu. Dia merebahkan tubuhku hingga berada di bawah kungkungannya. Sejenak mata sebiru permata safir itu menatap dengan lekat. Bibir ini tersenyum kecil membalas tatapannya yang penuh makna.Sejurus kemudian dia beringsut hendak menjauh. Alisku seketika bertaut. "Kenapa ...?" lirih bibir ini bertanya.Pria itu terus menatap dengan lekat tanpa mengucap sepatah kata pun. Ia
Mas Wahyu menjalankan mobilnya dengan kecepatan sedang. Untung saja jalanan di sini tidak begitu ramai seperti di kota. Bi Eli, Manda, dan juga Nanda terlihat tegang. Mungkin mendengar aku yang sesekali merintih kesakitan.Sesampainya kami di sebuah klinik terdekat di Desa Mekar ini, aku langsung dibawa oleh seorang perawat menuju ruang tindakan dengan menggunakan sebuah kursi roda. Bi Eli tidak berani untuk mendampingiku, kata beliau takut malah ikut panik di dalam. Karena itu, Manda-lah yang mendampingi.Di dalam hati ini merasa sedih, karena tadinya aku berharap ketika melahirkan berada dalam situasi seperti ini, aku bakal didampingi oleh Steven. Namun, apa daya, kami tidak lagi sebagai pasangan suami-istri. Bahkan pria itu tidak tahu saat ini aku akan berjuang untuk melahirkan seorang bayi, yang bisa jadi adalah benih darinya. Justru Mas Wahyu yang siaga. Ia memang sudah berpesan sejak beberapa pekan yang lalu untuk tidak segan memberitahunya apabila hari ini tiba. Oleh sebab itu
"Ibuuuu! Ayolaah ... aku nggak mau Ibu cerai dengan Daddy!" Ya, siang ini Tasya kembali datang untuk kedua kalinya. Waktu itu, sehari setelah akte cerai terbit, ia bersama Mommy datang juga dalam keadaan menangis sedih karena mendengar bahwa aku dan Daddy-nya telah bercerai. Waktu itu gadis cantik tersebut terlihat begitu terpukul. Ia menangis terus-menerus. Ia kaget karena baru dikasih kabar dan sebenarnya tidak menerima. Namun, mau bagaimana lagi. Nasi sudah menjadi bubur.Aku berusaha mengulas senyum ke arahnya. "Ibu tahu, Nak. Tapi semua tidak bisa sesuai keinginan kita," jelasku kepada gadis yang dari hari ke hari semakin tampak cantik dengan semakin bertambah usianya itu."Iya, tapi kata Pak Hardi, selama di masa Ibu hamilkan dedek ini, kalian masih bisa rujuk lagi. Aku mau Daddy dan Ibu rujuk. Lagian kenapa sih, pake cerai segala? Masalahnya apa? Capek aku nanya Daddy, nanya Grandma, nanya Ibu, nggak dijawab-jawab!" seru gadis itu tampak kesal."Sudahlah ... intinya Daddy sam