Sepertinya mobil kami tidak sengaja melewati sebuah lubang yang cukup dalam barusan.
"Hati-hati jalannya, Hardi!" tegas Steve dengan mimik wajah tidak suka.Karena hampir tersuruk ke hadapan, lenganku tadi tidak sengaja menarik lutut Steve yang terbalut celana kain berwarna biru dongker itu. Untung saja pria di sampingku ini sigap. Kalau tidak, wajah ini tentu sudah terbentur keras ke depan.Dengan perlahan aku beringsut kembali menjaga jarak dari Steven. Mengingat pria itu sebenarnya tidak bermaksud bersentuhan denganku. Aku jadi tidak enak hati."Ma–af, Tuan ...," ucap Pak Hardi terdengar menyesal. "Nggak kelihatan ada lubang," lanjutnya.Melihat Steven kembali akan mengeluarkan omongan, aku lekas menyentuh pahanya. Aku tahu dia tidak suka mendengar alasan dari sebuah kelalaian.Mata biru yang kini bersorot nanar itu sontak menatapku karena sentuhan itu. Pria yang masih berstatus suamiku tersebut tampak mengeraskan kedua rahangSetelah kami tiba di ruangan Steven, pria itu berkata, "Kalian tunggu di sini.""Daddy mau ke mana?" Pertanyaan Tasya mewakiliku."Daddy sudah ditunggu di ruang rapat," sahut Steven. Kemudian pria itu melenggang pergi ke luar ruangan bersama Bang Hanan."Kita duduk," ajakku pada Tasya seraya meraih pergelangan tangannya.Kami berdua pun mendaratkan bokong ke sofa di sana.Aku meraih sebuah majalah bisnis yang tersusun di atas meja, kemudian membolak-balik halaman kertasnya. Hmm, isinya rata-rata informasi tentang perusahaan atau orang-orang yang dianggap sukses berbisnis. Aku tidak paham sama sekali.Tasya tampak beranjak dari sofa mungkin dia bosan, gadis itu lalu melenggang menuju lemari es kecil yang bersandar di dinding sana. "Asik!" Tampak ia berseru senang, "Ibu mau es krim?" tanyanya kepadaku."Boleeh," jawabku seraya meletakkan majalah bisnis dari tanganku tadi ke tempat semula, karena mata ini tidak se
"Mama Rika?" Tasya spontan berdiri dari duduknya. Ia juga tampak terkejut dengan insiden barusan.Baru saja kami membahas tentang wanita ini tadi. Tanpa diduga dia malah muncul di hadapan sekarang.Dengan perlahan-lahan aku pun ikut bangkit dari sofa di sana. Degup jantung ini berdebar dengan begitu kencang dan seketika saja dada ini terasa sesak melihat kejadian yang tidak diperkirakan itu.Sontak Wanita yang mengenakan dress maroon ketat dengan leher baju yang rendah hingga belahan dadanya terlihat menantang itu menoleh ke arah kami. Ia pun terlihat cukup terkejut. "Ta–sya ...?""Kamu ngapain ke mari?!" tanya Steven dengan nada ketus kepadaErika.Wanita itu sedikit menjaga jarak dengan pria yang saat ini sudah menjadi mantannya itu. Ia seperti salah tingkah karena baru tersadar ternyata ada orang lain di ruangan ini.Pikiran ini seketika saja berkelana. Apa Steven dan Erika sering bertemu di belakangku?"Tentu aja
Bang Hanan hanya mengantar kami ke parkiran. "Hardi, ini kamu tolong antar Nyonya pulang. Sebelumnya antar Nona Natasya dulu ke rumah tantenya," pungkas pria itu kepada Pak Hardi sembari membukakan aku pintu.Pak Hardi juga sibuk membukakan Tasya pintu sembari mengangguk-angguk. Ia tampak heran melihatku menangis. "Tuan nggak ikut pulang?" tanya pria empat puluh tahunan itu kepada Bang Hanan."Nggak," jawab Bang Hanan singkat."Oh, oke." Pak Hardi menyahut kemudian langsung saja ia masuk dan duduk di belakang stir.Berikutnya supir keluarga Arnold tersebut memutar mobil dan mengeluarkan kendaraan roda empat ini ke luar area kantor. Aku tahu, Pak Hardi heran dan bingung melihatku. Namun, ia hanya diam membisu."Ibu, jangan nangis dong ...." Tasya merangkul lengan dan menggenggam erat jemari tanganku kini.Aku berusaha keras menahan suara isakan tangis ini. Namun, sungguh ... aku tidak sanggup menahan air yang terus menga
Seusai berendam di bathtub, perasaanku lebih tenang. Aroma terapi tadi memang membuatku rileks dan merasa nyaman.Seusai melilitkan handuk ke tubuh ini, aku pun keluar dari kamar mandi. Kedua alisku bertaut ketika melihat Steve ternyata sudah berada di kamar. Ya, tentu saja aku heran, setelah sekitar sebulanan tidak sekali pun dia ke mari. Beberapa setel pakaiannya saja yang dipindah ke kamar tamu sana oleh para asisten.Pria blasteran itu seperti tengah mengambil sesuatu di dalam brankasnya yang berada di dekat pojok kanan ruangan. Setahuku memang dia menyimpan beberapa surat penting di situ. Hanya saja aku tidak pernah mempertanyakan.Terserahlah ... aku tidak mau menyapanya saat ini. Aku malas jika mesti mengacaukan pikiranku lagi. Kubuka almari hendak mengambil gaun tidurku di sana. "Kamu tidak perlu cemburu dengan Erika. Aku tidak ada hubungan apa-apa dengannya."Tiba-tiba terdengar suara berat pria itu dari sana.Aku yang
Steven kembali menyentuhku, membuat kami bersatu setelah sekian lama.Ya, selama ini aku sangat merindukannya. Merindukan kehangatan dan sentuhan darinya. Kini, dengan cara yang tidak terduga kami kembali berhubungan intim.Di awal dia begitu kasar, tadinya aku benci sekali. Namun, mengapa setelah aku tidak lagi melakukan perlawanan, akhirnya ia melembut sehingga justru membuatku merasa terbuai. Sampai akhir pun ia menyentuhku dengan sangat lembut.Ya, aku memang telah mencintai kamu, Steve ....Aku mencintai si Tuan Otoriter.Steven membelai wajah ini sembari menepikan helaian rambut dan menautkannya ke telingaku.Aku menatap kuyu ke samping di mana ia merebah setelah kami sama-sama mendapatkan kepuasan.Kami saling berpandangan.Sedetik ... dua detik ... tiga detik ...."Aku minta maaf ...," ucapku. Teringat kembali hari di mana aku tidak berterus terang kepadanya, hingga membuat pria ini marah dan me
"Eh, Mas," sahutku sembari berusaha tersenyum walaupun terasa kaku. Pria itu ternyata Mas Wahyu. "Apa kabar kamu, Nay?" tanya Mas Wahyu seraya bangkit berdiri. Ia mengulas sebuah senyuman ke arahku."Alhamdulillah, baik. Mas juga gimana kabarnya?" Balik aku bertanya."Baik juga," sahutnya, "ngomong-ngomong, kamu dengan siapa, sendiri?" "Aku deng–"Tiba-tiba datang Steven dari balik rak barang. Ia langsung mendekat, menginterupsi omonganku. Mas Wahyu sontak melebarkan matanya— sebentar. Namun, tidak lama ia pun kembali mengulas senyum. "Apa kabar Tuan Arnold?" sapanya kepada suamiku.Wajah ini terasa kebas. Selalu saja terasa awkward jika berada di antara mereka berdua."Baik," jawab Steven singkat dan seperti biasa, memasang wajah tidak suka. Si Tuan Otoriter ini memang cukup posesif."Mmm ... aku ke sana dulu, Mas!" Tak mau berlama-lama di situasi yang tidak nyaman, aku pun pamit dari hadapan Mas Wa
"Ah, Mommy senang banget kalau kamu beneran hamil, Nay. Mommy bakal punya cucu baru. Tasya juga pasti senang punya adik!" Mommy tampak sangat antusias.Aku tersenyum getir. Sungguh aku juga berharap demikian. Hanya saja aku takut jika terlalu muluk-muluk. Sebab terbukti selama tiga tahun menikah dengan Bang Rizal, aku sama sekali belum pernah hamil.Steven tiba-tiba berdiri. Kemudian pria itu melangkah pergi menuju ke kamar kami tanpa mengucapkan sepatah kata pun.Mommy hanya melirik sebentar ke arah Steven. Namun, orang tua itu tidak menanggapi sikap dingin putra semata wayangnya itu.Mataku terus mengekori punggung lebar suami buleku yang semakin jauh ke sana."Kamu telat datang bulan nggak, Nay?" tanya Mommy kepadaku."Hah?" Aku sedikit gelagapan."Kamu telat datang bulan nggak?" ulang Mommy."Mmm, i–iya. Kayaknya aku udah telat," jawabku tergagap. Mommy benar juga. Kalau nggak salah, bula
Entah apa yang ada di gambar tersebut. Aku tidak bisa melihat dengan jelas. Di penglihatanku, itu hanya seperti bulatan kecil saja.Walau begitu, rasanya ada banyak kembang api yang meletup-letup di dalam dada ini. Ya Rabbi, aku bahagia sekali. Rasanya masih tidak percaya kalau ternyata aku bisa hamil."Oke, sudah!" Dokter Risa pun beranjak, lalu bergerak menuju ke meja kerjanya diikuti oleh Steven.Aku lalu menutup kembali perutku setelah bekas gel yang masih tertinggal dibersihkan oleh perawat tadi. "Makasih, Mbak," ucapku kepadanya.Wanita muda itu tersenyum dan mengangguk pelan. Ia pun membantu aku duduk.Aku kemudian menyusul meletakkan bokong ini di samping Steven. Kuraih jemari lelakiku yang berada di atas lututnya demi menetralisir rasa yang tengah membuncah di dalam dada."Oke, sekali lagi selamat. Kamu punya anak lagi, Bro!" ucap Dokter Risa lagi, "Tasya pasti senang punya adik. Hehehe."Steven mengul