Bang Hanan hanya mengantar kami ke parkiran. "Hardi, ini kamu tolong antar Nyonya pulang. Sebelumnya antar Nona Natasya dulu ke rumah tantenya," pungkas pria itu kepada Pak Hardi sembari membukakan aku pintu.
Pak Hardi juga sibuk membukakan Tasya pintu sembari mengangguk-angguk. Ia tampak heran melihatku menangis. "Tuan nggak ikut pulang?" tanya pria empat puluh tahunan itu kepada Bang Hanan."Nggak," jawab Bang Hanan singkat."Oh, oke." Pak Hardi menyahut kemudian langsung saja ia masuk dan duduk di belakang stir.Berikutnya supir keluarga Arnold tersebut memutar mobil dan mengeluarkan kendaraan roda empat ini ke luar area kantor.Aku tahu, Pak Hardi heran dan bingung melihatku. Namun, ia hanya diam membisu."Ibu, jangan nangis dong ...." Tasya merangkul lengan dan menggenggam erat jemari tanganku kini.Aku berusaha keras menahan suara isakan tangis ini. Namun, sungguh ... aku tidak sanggup menahan air yang terus mengaSeusai berendam di bathtub, perasaanku lebih tenang. Aroma terapi tadi memang membuatku rileks dan merasa nyaman.Seusai melilitkan handuk ke tubuh ini, aku pun keluar dari kamar mandi. Kedua alisku bertaut ketika melihat Steve ternyata sudah berada di kamar. Ya, tentu saja aku heran, setelah sekitar sebulanan tidak sekali pun dia ke mari. Beberapa setel pakaiannya saja yang dipindah ke kamar tamu sana oleh para asisten.Pria blasteran itu seperti tengah mengambil sesuatu di dalam brankasnya yang berada di dekat pojok kanan ruangan. Setahuku memang dia menyimpan beberapa surat penting di situ. Hanya saja aku tidak pernah mempertanyakan.Terserahlah ... aku tidak mau menyapanya saat ini. Aku malas jika mesti mengacaukan pikiranku lagi. Kubuka almari hendak mengambil gaun tidurku di sana. "Kamu tidak perlu cemburu dengan Erika. Aku tidak ada hubungan apa-apa dengannya."Tiba-tiba terdengar suara berat pria itu dari sana.Aku yang
Steven kembali menyentuhku, membuat kami bersatu setelah sekian lama.Ya, selama ini aku sangat merindukannya. Merindukan kehangatan dan sentuhan darinya. Kini, dengan cara yang tidak terduga kami kembali berhubungan intim.Di awal dia begitu kasar, tadinya aku benci sekali. Namun, mengapa setelah aku tidak lagi melakukan perlawanan, akhirnya ia melembut sehingga justru membuatku merasa terbuai. Sampai akhir pun ia menyentuhku dengan sangat lembut.Ya, aku memang telah mencintai kamu, Steve ....Aku mencintai si Tuan Otoriter.Steven membelai wajah ini sembari menepikan helaian rambut dan menautkannya ke telingaku.Aku menatap kuyu ke samping di mana ia merebah setelah kami sama-sama mendapatkan kepuasan.Kami saling berpandangan.Sedetik ... dua detik ... tiga detik ...."Aku minta maaf ...," ucapku. Teringat kembali hari di mana aku tidak berterus terang kepadanya, hingga membuat pria ini marah dan me
"Eh, Mas," sahutku sembari berusaha tersenyum walaupun terasa kaku. Pria itu ternyata Mas Wahyu. "Apa kabar kamu, Nay?" tanya Mas Wahyu seraya bangkit berdiri. Ia mengulas sebuah senyuman ke arahku."Alhamdulillah, baik. Mas juga gimana kabarnya?" Balik aku bertanya."Baik juga," sahutnya, "ngomong-ngomong, kamu dengan siapa, sendiri?" "Aku deng–"Tiba-tiba datang Steven dari balik rak barang. Ia langsung mendekat, menginterupsi omonganku. Mas Wahyu sontak melebarkan matanya— sebentar. Namun, tidak lama ia pun kembali mengulas senyum. "Apa kabar Tuan Arnold?" sapanya kepada suamiku.Wajah ini terasa kebas. Selalu saja terasa awkward jika berada di antara mereka berdua."Baik," jawab Steven singkat dan seperti biasa, memasang wajah tidak suka. Si Tuan Otoriter ini memang cukup posesif."Mmm ... aku ke sana dulu, Mas!" Tak mau berlama-lama di situasi yang tidak nyaman, aku pun pamit dari hadapan Mas Wa
"Ah, Mommy senang banget kalau kamu beneran hamil, Nay. Mommy bakal punya cucu baru. Tasya juga pasti senang punya adik!" Mommy tampak sangat antusias.Aku tersenyum getir. Sungguh aku juga berharap demikian. Hanya saja aku takut jika terlalu muluk-muluk. Sebab terbukti selama tiga tahun menikah dengan Bang Rizal, aku sama sekali belum pernah hamil.Steven tiba-tiba berdiri. Kemudian pria itu melangkah pergi menuju ke kamar kami tanpa mengucapkan sepatah kata pun.Mommy hanya melirik sebentar ke arah Steven. Namun, orang tua itu tidak menanggapi sikap dingin putra semata wayangnya itu.Mataku terus mengekori punggung lebar suami buleku yang semakin jauh ke sana."Kamu telat datang bulan nggak, Nay?" tanya Mommy kepadaku."Hah?" Aku sedikit gelagapan."Kamu telat datang bulan nggak?" ulang Mommy."Mmm, i–iya. Kayaknya aku udah telat," jawabku tergagap. Mommy benar juga. Kalau nggak salah, bula
Entah apa yang ada di gambar tersebut. Aku tidak bisa melihat dengan jelas. Di penglihatanku, itu hanya seperti bulatan kecil saja.Walau begitu, rasanya ada banyak kembang api yang meletup-letup di dalam dada ini. Ya Rabbi, aku bahagia sekali. Rasanya masih tidak percaya kalau ternyata aku bisa hamil."Oke, sudah!" Dokter Risa pun beranjak, lalu bergerak menuju ke meja kerjanya diikuti oleh Steven.Aku lalu menutup kembali perutku setelah bekas gel yang masih tertinggal dibersihkan oleh perawat tadi. "Makasih, Mbak," ucapku kepadanya.Wanita muda itu tersenyum dan mengangguk pelan. Ia pun membantu aku duduk.Aku kemudian menyusul meletakkan bokong ini di samping Steven. Kuraih jemari lelakiku yang berada di atas lututnya demi menetralisir rasa yang tengah membuncah di dalam dada."Oke, sekali lagi selamat. Kamu punya anak lagi, Bro!" ucap Dokter Risa lagi, "Tasya pasti senang punya adik. Hehehe."Steven mengul
"Kamu makan malam di rumah nggak?" tanyaku kepada Steven di saluran telepon seluler ketika hampir magrib dia belum juga pulang kerja."Aku lembur. Makan di kantor," sahutnya.Aku mencebik. "Steve ... aku kangen ...," tuturku manja. "Hmm."Ish! Balik lagi sikap sok cool-nya!"Baby kita juga kangen." Aku tersenyum."Aku masih ada kerjaan. Nanti aku pulang malam. Jangan tunggu aku.""Ck!" Aku berdecak kesal. "Ya udah!" Aku pun memutuskan sambungan telepon kami.Steven selalu saja sibuk! Iya, aku tahu dia punya banyak kerjaan. Tapi 'kan, kata Mommy ada siapa itu? Nico. Entah siapa Nico. Kasih aja kerjaan ke Nico. Katanya mau ajak aku bulan madu. Kapan kalau sibuk terus kayak begini?Aku beranjak dari dudukku di sofa. Kemudian berdiri di hadapan cermin besar yang ada di pintu lemari.Kusingkap baju kaus yang kukenakan sampai perut ini terlihat. Perutku masih terlihat rata. Kapa
[Man, Kakak sudah siap, nih. Kamu juga siap-siap ya!] Chat-ku kepada Manda. Tadi malam aku sudah mengabari Steven kalau hari ini mau ke rumah sakit lagi. Pas juga saat ini Manda dalam keadaan libur. Minggu tenang untuk persiapan menghadapi ujian pekan depan. Jadi, sekalian kuajak dia pergi barengan.[Oke, Kak! Aku mandi sekarang!]Setelah melihat balasan sepupuku itu, aku segera meraih tas dan berjalan ke luar kamar. Selanjutnya aku berjalan ke arah belakang rumah, karena ibu mertuaku ada di sana tadi bersama asisten sekaligus sahabatnya, Bu Narsih."Sudah mau pergi?" tanya Mommy yang sedang santai memperhatikan Leha yang tengah membersihkan dedaunan kering di sekitar taman.Aku sudah bilang ke Mommy kalau ingin menjenguk Bibi lagi pagi ini ketika sarapan tadi. "Iya, Mom," jawabku sembari mengulurkan tangan ke arah Mommy hendak bersalaman pamit."Oh, ya udah. Hati-hati di jalan." Aku mengecup punggung telapak
Aku dan Manda berpandang-pandangan. Kami terkesima."Manda! Panggil dokter!" Seketika saja aku teringat kalau harus memanggil dokter.Manda segera memencet sebuah tombol di atas brankar Bi Eli.Aku mendekat ke arah kepala Bibi dengan degup jantung yang bertalu kencang. "Bi ...." Aku mencoba memanggil Bibi di dekat telinga beliau."Mmmghh ...." Kembali Bi Eli bergumam.Aku memandang ke arah Manda sebentar. Kami merasa takjup. Bayangkan, setelah sekian bulan Bibi tidak sadar, akhirnya ia siuman! Allaahu akbar! Engkau benar-benar Maha Besar ya Allah ...!Tanpa sadar air mata ini menyeruak, mengalir, dan membasahi pipi ini ketika melihat Bibi perlahan membuka kedua matanya. "Bibi ....""Ibuuu ...." Manda memeluk ibunya sembari terisak karena haru.Ceklek!Aku dan Manda tersentak karena tiba-tiba pintu terbuka. Rupanya datang dua orang perawat di sana. Sementara Mas Wahyu dan Shela pun melongok dengan sorot