Aku dan Manda berpandang-pandangan. Kami terkesima.
"Manda! Panggil dokter!" Seketika saja aku teringat kalau harus memanggil dokter.Manda segera memencet sebuah tombol di atas brankar Bi Eli.Aku mendekat ke arah kepala Bibi dengan degup jantung yang bertalu kencang. "Bi ...." Aku mencoba memanggil Bibi di dekat telinga beliau."Mmmghh ...." Kembali Bi Eli bergumam.Aku memandang ke arah Manda sebentar. Kami merasa takjup. Bayangkan, setelah sekian bulan Bibi tidak sadar, akhirnya ia siuman! Allaahu akbar! Engkau benar-benar Maha Besar ya Allah ...!Tanpa sadar air mata ini menyeruak, mengalir, dan membasahi pipi ini ketika melihat Bibi perlahan membuka kedua matanya. "Bibi ....""Ibuuu ...." Manda memeluk ibunya sembari terisak karena haru.Ceklek!Aku dan Manda tersentak karena tiba-tiba pintu terbuka. Rupanya datang dua orang perawat di sana. Sementara Mas Wahyu dan Shela pun melongok dengan sorot"Iya iya. Terima kasih! Bibi sekarang sudah siap kalau Nak Wahyu mau melamar keponakan Bibi ini," ujar Bi Eli sembari menepuk pelan punggung tanganku yang masih memegang bahu beliau.Deg!Mendengar hal itu aku hanya bisa terdiam. Bibir yang sedari tadi tertarik ke atas pun seketika saja langsung terturun kembali. Ya, aku hampir lupa. Bibi tidak tahu kalau aku saat ini sudah menikah dengan Steven. Bagaimana ini? Bagaimana cara aku menjelaskan kepada Bibi agar beliau tidak salah paham?Mas Wahyu pun hanya bisa tersenyum kikuk di sana. Begitu juga Manda. Intinya suasana berubah menjadi awkward saat ini."Kenapa?" Bi Eli seakan menyadari suasana yang berubah di sekitar kami. "Bibi salah ngomong apa?" tanya beliau."Nanda pasti seneeng banget kalau dengar Ibu udah siuman begini ...!" celetuk Manda mengalihkan pembicaraan. Gadis itu melebarkan senyuman manisnya."Eh, iya. Adikmu ke mana ini?" tanya Bi Eli.Ah, syukurlah. Manda berhasil mengalihkan pembahasan Bibi."Manda masih di sekolah,
Dengan ragu-ragu akhirnya aku pun menggeser logo hijau di layar ponsel. Takutnya malah Steven curiga kalau aku tidak menjawab teleponnya."Assalamualaikum ...," ucapku dengan irama jantung yang berdegup kencang.Mas Wahyu mengalihkan pandangannya ke arah luar kantin."Wa alaikumus sallam. Kenapa lama angkat teleponnya?" tanya priaku dari seberang sana."A–aku lagi di rumah sakit," jawabku, "mmm ... Steve, Bibiku sudah sadar!" Dengan cepat aku bercerita. Agar pria bule itu tidak bertanya-tanya lagi."Oh ya? Bagus kalau begitu." "Iya. Aku senang." Aku menyunggingkan senyuman, "kamu kapan ke bandara Supadio?" tanyaku."Ini aku baru selesai makan siang. Nanti jam dua-an baru ke bandara. Kamu sudah makan? Ingat, kamu mesti makan tepat waktu." Walau dengan suara datar seperti itu, hatiku bahagia, suamiku ini masih perhatian kepada istrinya. Namun, aku menahan senyuman ketika sadar Mas Wahyu masih di depan. Meskipun aku tahu ia berpura-pura mengalihkan pandangan, tetapi aku sadar, dia tentu
"Steve!" Sontak aku menghambur memeluk Steven sampai ia sedikit terhuyung ke belakang. Sungguh, aku rindu sekali padanya. Kukecup lekat rahang berbulunya.Pria itu mengelus pelan punggungku tanpa berkata apa pun. Entah mengapa tiba-tiba mata ini dipenuhi kaca-kaca. "Aku kangen banget ...," rengekku sembari menatap wajah tampan suamiku yang tampak sedikit lelah itu.Steve hanya menarik sedikit kedua ujung bibirnya ke atas. Ia masih terdiam. "Kenapa? Kamu nggak kangen sama aku?" tanyaku sembari mengerucutkan bibir."Aku capek," sahut Steve sambil melepaskan tangannya dari tanganku."Kamu mau mandi? Aku siapin air hangat dulu!" Aku segera melangkah ke arah kamar mandi."Nggak usah!" cegahnya membuatku menghentikan langkah."Biar aku sendiri. Aku mau mandi air dingin," katanya sembari melepas jasnya.Aku segera meraih jas hitam itu dari tangannya, kemudian melipat kasar benda itu dan meletakkannya ke atas nakas. "Kamu pusing kenapa?" tanya Steven sembari menatap lekat ke arah mataku."M
Kembali kulihat jam ke layar ponsel. Sudah lebih dari satu jam Steven meninggalkan aku sendirian di kamar. Aku heran. Apa yang terjadi dengan pria blasteran itu? Apa dia tidak rindu setelah hampir sepekan pergi ke Kalimantan? Tidak ... tidak!Aku tahu dan sangat paham tadi ia juga berhasrat, sama denganku. Namun, mengapa di tengah percumbuan tadi dia tiba-tiba berubah pikiran?Ah, sebaiknya aku cari dia!Segera aku turun dari tempat tidur dan meraih baju kimono untuk menutupi gaun tidurku yang menerawang. Lantas aku ke luar dari kamar.Aku berjalan ke arah ruang tengah, tidak ada tanda-tanda ada seseorang di sana. Kemudian aku menuju ke kamar tamu, kamar di mana waktu itu Steven menginap di situ. Kubuka pintu berwarna coklat tersebut. Hmm, tidak ada siapa-siapa di situ."Ke mana Steven?" gumamku pada diri sendiri.Ah, aku coba saja mencarinya di ruang gym. Apa mungkin dia di sana?Kulangkahkan kaki de
Pertanyaan-pertanyaan itu berputar-putar di kepalaku. "Sudahlah, kamu nggak usah mikir yang macam-macam. Kamu mau barang apa, mau makan apa, bilang aja sama aku," ujarnya santai.Aku masih mengerutkan kening. Masak selama hamil nggak boleh berhubungan intim? Hamil muda katanya tadi. Jadi, kalau sudah hamil tua baru boleh? Lama dong? Yang benar aja. Memang ini kehamilanku yang pertama. Sebelumnya aku belum punya pengalaman sama sekali. Tapi ... kok, rasanya aku tidak bisa menerima jika hanya karena alasan hamil, sepasang suami-isteri tidak boleh melakukan hubungan seksual yang mana jelas-jelas itu kebutuhan biologis yang halal bagi yang sudah sah. "Ada buah nggak?" tanya Steven."Kok, kamu jadi ngalihin omongan?" tanyaku lagi."Kita bikin rujak, yuk!" ajaknya.Aku menyambar pergelangan tangan suamiku ketika ia hendak beranjak dari sofa, sehingga gerakannya pun terhenti. Kembali ia menatap lekat ke arah mataku.
Lebih dari satu pekan telah berlalu. Terus terang saja, aku benar-benar merasa rindu dengan sentuhan Steven. Usia kandunganku kalau dihitung-hitung, sudah menginjak pekan ke sembilan. Artinya sudah dua bulan lebih.Aku masih sering merasa mual dan muntah. Namun, Mommy selalu perhatian. Beliau selalu rewel kepada para asisten agar menjagaku. Beliau menyuruh mereka untuk segera menyediakan minuman hangat untukku jika mual atau pun jika aku sampai muntah.Leha juga selalu siap memijat-mijat tubuhku jika aku merasa tidak enak badan. Aku bersyukur, walaupun Steven selalu sibuk, tetapi masih ada Mommy di sampingku. Beliau sudah seperti ibuku sendiri.Karena alasan sibuk pula, Steven kembali meralat janjinya. Ia masih belum bisa menemani aku untuk berkonsultasi kepada Dokter Risa.Padahal sesekali aku merasakan kalau dia juga berhasrat untuk menyentuhku. Namun, tiap kali ia terlihat seperti itu, maka pria itu pun keluar dari kamar. Bahkan kemarin dia tid
"Memang Mommy bilang begitu?" tanya Steven ketika aku menjelaskan apa yang Mommy sampaikan tadi pagi sebab ia kembali ingin tidur di kamar tamu. Hal itu karena ia tidak mau tergoda untuk menyentuhku. Akhir-akhir ini dia memang tampak lebih sensitif jika aku sedikit saja mendekat."Iya, memang begitu," tegasku."Oke, lusa kita ketemu dengan Risa. Kita tanya kejelasannya," ujar Steven sembari melangkah menuju keluar kamar."Loh, kok, nanya Dokter Risa lagi? Kamu nggak percaya dengan Mommy?" protesku.Steve menghentikan langkahnya. "Bukan nggak percaya ... tapi, biar lebih memastikan saja. 'Kan, dia ahlinya.""Steveee ...," rengekku sembari melangkah lebar lantas memegang tangannya mencegah ia untuk melangkah pergi, "aku kangen tahuuuu ...!"Pria itu menatapku lekat. Begitu juga aku, menatapnya penuh permohonan. Aku lelah, sudah mau sebulanan kami begini. Seperti bukan suami-istri saja. Apa lagi sekarang, dia mulai tidur d
Aku melirik ke arah Steven yang sibuk menyetir di sana. Ya, kami pergi tidak bersama Pak Hardi karena pria itu izin untuk pemeriksaan rutin sang istri.Suami buleku itu hanya diam tidak berkata apa-apa sejak dari klinik Dokter Risa tadi. Apa dia juga berpikir sama sepertiku tentang bagaimana menjalani kehamilanku ini? Kembali aku mengarahkan pandangan ke depan dengan tatapan yang kosong."Kamu jangan sedih."Terdengar suara bariton itu yang memecah keheningan di antara kami.Aku menoleh ke arahnya dan begitu juga ia. Menoleh ke arahku sejenak, lantas kembali melihat ke depan mengendalikan laju kendaraan roda empat ini."Aku kangen kamu, Steve," lirihku sembari menundukkan pandangan.Pria itu meraih sebelah tanganku dan menggenggamnya erat. "Aku nggak ke mana-mana," timpalnya."Tapi kamu rasanya makin menjauh ...," ujarku menahan sesak di dalam dada.Ya, beberapa waktu belakangan, aku merasa ia semakin jauh saja.
Aku memutuskan untuk menerima rujuk yang ditawarkan oleh Steven hari itu. Jujur, saat ini hatiku merasa sangat ... lengkap. Ya, mungkin itu kata yang tepat untuk menggambarkan keadaan kami sekarang.Sudah dua bulanan aku kembali ke rumah besar ini—rumah keluarga Arnold. Mommy dan Tasya juga terlihat sangat bahagia di hari akad aku dengan Steven untuk kedua kalinya. Ya, karena masa iddah telah lewat, makanya kami perlu mengulang kembali akad. Hendi awalnya ragu untuk mendukung. Namun, pada akhirnya setelah ia melihat semua orang—terutama Bibi dan juga kedua sepupuku mensupport, ia pun ikut mendukung aku kembali bersama pria yang memang namanya masih setia terukir di dalam hati ini. Yakni dia yang merupakan ayah dari putra kesayanganku ... Zack."Steve, apa-apaan kamu ikut masuk, ih!" Aku berusaha mendorong tubuh liat itu agar mau keluar dari kamar mandi."Aku lihat kamu tadi sudah shalat Ashar, jadi kita sudah boleeeh—" Dua alis tebal itu terangkat-angkat ke atas dengan tatapan manik
"Lho, Nak Wahyu sudah mau pulang?" Terdengar suara Bibi dari luar sana. Sepertinya Bibi melihat gelagat Mas Wahyu yang hendak pergi dari rumah ini."Iya, Bi. Aku permisi dulu," jawab Mas Wahyu sekenanya."Ah, iya-iya. Hati-hati di jalan, Nak Wahyu. Maaf kalau sudah banyak merepotkan Nak Wahyu selama ini."Ah, akhirnya kata-kata itu keluar juga dari lisan Bi Eli kepada Mas Wahyu. Aku tertawa miris mendengarnya. Bukankah selama ini beliau seakan tidak mau peduli dengan hal itu?Sementara itu, aku dan Steven masih saling diam di ruang tiga kali tiga meter ini. Aku tidak tahu dan mungkin malas untuk kembali membahas sesuatu bersama pria itu.Bi Eli menyibak tirai di muka pintu dan aku pun sontak menoleh ke arah beliau tanpa berkata apa-apa. Namun, ternyata orang tua itu tidak mau masuk. Beliau kembali melepas gorden sehingga kembali tertutup, walau jelas masih ada celah di sana. Sepertinya Bibi mengambil duduk di ruang makan di sana, karena aku mendengar bunyi derit seperti kursi yang dige
Telapak tangan ini terasa kebas karena beradu dengan rahang kukuhnya. Mata ini pun mulai terasa panas. Dada naik turun karena menahan emosi.Akan tetapi, pria itu hanya tertunduk sebentar karena wajahnya barusan terkena gamparan tanganku. Kemudian ia menoleh dengan tatapan seakan makin menantang.Zack yang tadi telah terlelap akhirnya terbangun dan menangis dengan sangat kencang. Tentu saja dia kaget mendengar bunyi tamparan dan suaraku yang keras barusan.Pria arogan di hadapanku itu bangkit berdiri dengan terus menatap nyalang ke arahku.Aku pun sontak mendongak ke arah dia yang memang lebih tinggi dari tubuhku dengan tatapan tidak mau kalah. Namun, bulir bening tiba-tiba lolos dan jatuh dari sudut mata. Dengan gerakan cepat aku segera menyusutnya. Aku mencoba menarik napas panjang walau tersendat-sendat demi meredakan gelegak yang tengah membara di dalam dada."Ada apa ini?!" Tiba-tiba Bi Eli dan Mas Wahyu muncul di muka pintu. Sedetik kemudian Bibiku melangkah maju dan meraih Zac
Jujur saja, ini pertemuan pertamaku dengan Steven semenjak hari itu. Hari di mana ia telah menjatuhkan talaq kepadaku di ruang tamu rumah ini. Waktu itu aku masih dalam keadaan hamil. Usia kandunganku saat itu baru enam bulan lebih, hampir masuk bulan ke tujuh.Aah, walaupun janggut itu terlihat lebih lebat, kamu masih tetap tampan dan gagah, Steve ... aku cukup tertegun dengan kehadirannya. Apakah arti dari debaran kencang di dalam dada ini ya, Rabb?Sebentar saja sepasang netra biru gelap itu melihat lekat ke arahku, sejurus kemudian ia langsung mengalihkan pandangan ke arah Bi Eli. "Maaf, aku mau mengunjungi anakku," ucap pria bermata safir tersebut dengan suara khasnya yang berat dan datar. Sebentar manik itu melirik ke arah Mas Wahyu.Hmmm ... ia tampak tidak senang dengan adanya pria berkacamata itu di sini.Apa kamu cemburu, Steve ...?Sementara Mas Wahyu hanya duduk diam memperhatikan di tempat duduknya sana. Ia sepertinya tidak berniat untuk menyapa Steven terlebih dahulu se
Setelah sadar dari pingsan kemarin karena kehilangan banyak darah, akhirnya hari ini—hari keempat setelah melahirkan—aku diperbolehkan untuk pulang. Semua orang terlihat sangat bahagia. Tentu saja, terutama diri ini.Sebenarnya Mommy menyuruhku untuk kembali ke rumah besarnya. Namun, sekali lagi aku menolak dengan halus. Dulu waktu belum resmi bercerai dengan Steven saja, aku tidak mau. Apalagi saat ini, kami sudah benar-benar bukan lagi berstatus sebagai pasangan suami-istri.Akan tetapi, aku berjanji kepada Mommy untuk selalu datang. Mungkin nanti setelah tubuhku lebih sehat dan bayiku lebih kuat. Hal itu karena aku menyadari, bahwa tentu saja orang tua itu ingin bertemu cucu laki-lakinya sesekali.Kemarin Hendi sudah melihat keponakannya yang baru lahir. Hanya sehari saja. Berikutnya ia dan Tasya kembali mesti belajar di pondok. Tasya yang terlihat begitu berat meninggalkan adiknya. Namun, aku membujuknya. Aku berjanji setiap pekan di jadwal peneleponan, kami akan melakukan video c
Aku hanya bisa tersenyum melihat putri cantikku yang kini mengerucutkan bibirnya lucu. Entahlah, aku merasa cukup senang ketika mendengar pria itu datang. Artinya dia masih peduli. Walaupun memang, sebenarnya tidak berpengaruh apa pun. Toh, kami sudah bukan pasangan suami-istri lagi. Kalau mengingat hal itu, daging merah di dalam dada ini kembali terasa perih. "Hendi mana ya, Bi? Apa nggak ikut pulang sama Tasya?" tanyaku kepada Bibi.Belum sempat Bi Eli membuka mulutnya, Tasya pun menyambar, "Kak Hendi masih harus setoran tasmi', Bu! Tapi besok dia nyusul dijemput Pak Hardi.""Oh, gitu," sahutku singkat.Tidak berapa lama kemudian, perawat yang tadi memeriksaku kembali datang menghampiri. Ah, hatiku merasa begitu bahagia ketika melihat wanita muda itu menggendong seorang bayi berbalut kain bedong di tangannya."Rebahan aja, Bu," ujar perawat tersebut ketika ia melihat aku berusaha untuk bangkit dan duduk. Mendengar ucapannya, aku pun menurut. Kembali aku merebahkan tubuh ini. "Ss
"Ayolah, Steve ... tidak perlu kamu tanyakan itu kepadaku. Tentu saja aku masih mencintai kamu." Aku tertawa kecil mendengar pertanyaannya.Entah mengapa wajah itu terlihat cemas. Tidak pernah aku melihat ekspresi Steven seperti demikian. Akhirnya kedua sudut bibir itu terangkat juga. "Coz I love you so much," ucapnya sembari tertunduk.Aku pun melebarkan senyuman ini ketika ia mulai mendekat kemudian kami saling menautkan bibir dengan intens. Entah mengapa di dalam dada ini terasa begitu membuncah. Ada kerinduan yang begitu dalam yang ingin kulampiaskan."Oh, Steve ...." Aku sedikit mengerang ketika ia mulai mencumbu. Dia merebahkan tubuhku hingga berada di bawah kungkungannya. Sejenak mata sebiru permata safir itu menatap dengan lekat. Bibir ini tersenyum kecil membalas tatapannya yang penuh makna.Sejurus kemudian dia beringsut hendak menjauh. Alisku seketika bertaut. "Kenapa ...?" lirih bibir ini bertanya.Pria itu terus menatap dengan lekat tanpa mengucap sepatah kata pun. Ia
Mas Wahyu menjalankan mobilnya dengan kecepatan sedang. Untung saja jalanan di sini tidak begitu ramai seperti di kota. Bi Eli, Manda, dan juga Nanda terlihat tegang. Mungkin mendengar aku yang sesekali merintih kesakitan.Sesampainya kami di sebuah klinik terdekat di Desa Mekar ini, aku langsung dibawa oleh seorang perawat menuju ruang tindakan dengan menggunakan sebuah kursi roda. Bi Eli tidak berani untuk mendampingiku, kata beliau takut malah ikut panik di dalam. Karena itu, Manda-lah yang mendampingi.Di dalam hati ini merasa sedih, karena tadinya aku berharap ketika melahirkan berada dalam situasi seperti ini, aku bakal didampingi oleh Steven. Namun, apa daya, kami tidak lagi sebagai pasangan suami-istri. Bahkan pria itu tidak tahu saat ini aku akan berjuang untuk melahirkan seorang bayi, yang bisa jadi adalah benih darinya. Justru Mas Wahyu yang siaga. Ia memang sudah berpesan sejak beberapa pekan yang lalu untuk tidak segan memberitahunya apabila hari ini tiba. Oleh sebab itu
"Ibuuuu! Ayolaah ... aku nggak mau Ibu cerai dengan Daddy!" Ya, siang ini Tasya kembali datang untuk kedua kalinya. Waktu itu, sehari setelah akte cerai terbit, ia bersama Mommy datang juga dalam keadaan menangis sedih karena mendengar bahwa aku dan Daddy-nya telah bercerai. Waktu itu gadis cantik tersebut terlihat begitu terpukul. Ia menangis terus-menerus. Ia kaget karena baru dikasih kabar dan sebenarnya tidak menerima. Namun, mau bagaimana lagi. Nasi sudah menjadi bubur.Aku berusaha mengulas senyum ke arahnya. "Ibu tahu, Nak. Tapi semua tidak bisa sesuai keinginan kita," jelasku kepada gadis yang dari hari ke hari semakin tampak cantik dengan semakin bertambah usianya itu."Iya, tapi kata Pak Hardi, selama di masa Ibu hamilkan dedek ini, kalian masih bisa rujuk lagi. Aku mau Daddy dan Ibu rujuk. Lagian kenapa sih, pake cerai segala? Masalahnya apa? Capek aku nanya Daddy, nanya Grandma, nanya Ibu, nggak dijawab-jawab!" seru gadis itu tampak kesal."Sudahlah ... intinya Daddy sam